Aku menyimpan foto kedua orang tuaku di dalam saku baju, di dekat jantungku yang masih berdegup kencang. Kereta berbunyi, menyembulkan asap ke langit lalu bergerak perlahan kemudian semakin cepat. Aku melihat puncak bukit tempat panti asuhan nyonya Marta berada bergerak menjauh sebelum akhirnya menghilang.
Ini pertama kalinya aku naik kereta, aku menempelkan hidung di kaca jendela, mengamati kumpulan awan yang berbentuk binatang, pohon-pohon seperti barisan tentara, deretan rumah, ladang jagung yang menguning, semuanya bergerak cepat menjauh.
Paman Berg tak banyak bicara, sepertinya tak ada obrolan yang membuatnya tertarik, saat aku bertanya seperti apa Nenek Lucy. Apa Nenek Lucy cerewet atau tidak? apa dia akan menyukaiku atau tidak? Paman Berg hanya menjawab kalau dia seperti nenek-nenek biasa.
Paman Berg hanya menjawab pertanyaanku dengan satu-dua kata lalu dia kembali terdiam lama. Hampir satu jam lebih perjalanan di kereta dan yang Paman Berg lakukan hanyalah mengetuk dinding jendela kereta dengan buku jari telunjuk nya sembari menatapku, dia terus mengamati apa yang kulakukan, hanya itu yang dia lakukan, hanya mengamati ku. Paman Berg seperti pengawas sekolah yang sedang mengawasi muridnya ujian.
Aku menawari Paman Berg roti dia menggeleng, aku menawarinya minum dia menolak, mungkin dia benar-benar vampir, kurasa dia hanya minum darah segar.
Kereta kami sedang melewati jembatan rel yang menghubungkan dua gunung besar saat aku mendadak teringat Mike yang masih di dalam kotak kardus. Aku segera mengambil kotak kardus di bawah meja di dekat kakiku, aku meletakkannya di atas meja, dan membuka ikatannya. Mike segera melompat keluar dari dalam kardus, dia mengeong sambil merenggangkan kedua kaki depannya, lalu mengibaskan kepalanya dan menguap sangat lebar.
Mike sepertinya marah padaku karena aku melupakannya dan meninggalkannya di dalam kotak terlalu lama, jadi dia berniat balas dendam dengan membuat masalah. Mike melakukan uji nyali dengan melompat ke lengan Paman Berg lalu memanjat ke bahunya.
Paman Berg melirik Mike dengan sudut matanya, dan keningnya berkerut sepertinya dia tidak suka dengan kucing.
"Turun dari sana Mike," kataku.
Aku memelototi Mike tapi dia tidak menghiraukan ancaman ku dia malah pergi ke tempat yang lebih ekstrim, dia melompat naik ke atas kepala paman Berg dan menggaruk-garuk topinya.
Aku bergumam, "Turun, atau Paman Berg akan memakan mu, dia suka makan kucing dan tikus hidup-hidup."
Aku mengatakan dengan sangat pelan tapi sepertinya Paman Berg masih bisa mendengarnya.
Paman Berg mengambil Mike dari kepalanya, meletakkannya di meja dan mengumumkan.
"Kita tidak bisa membawanya," seru Paman Berg.
Aku mengambil Mike dan mendekapnya erat-erat di dadaku dan berkata, "Aku tidak akan meninggalkan kucingku."
"Kurasa Nyonya Lucy tidak akan setuju," kata Paman Berg.
"Kurasa Nenek ku akan menyukainya," kataku, "lagipula dia istimewa, dia lucu, hitam dan penurut."
Aku berbohong soal penurut, Paman Berg juga sepertinya tidak terkesan soal lucu dan dengan warna bulu mike.
Aku akhirnya mengeluarkan kartu rahasiaku.
"Dia bisa bicara dengan manusia," kataku.
Meskipun aku sendiri tidak terlalu yakin kalau Mike benar-benar bisa bicara bahasa manusia.
Aku berpikir Paman Berg akan menertawakan ku tapi dia melipat kedua tangannya di dada dan menyandar di kursi.
Paman Berg bergumam, "Oh, ya!"
Paman Berg menautkan kedua alis tebalnya dia memasang tampang kalau dia sedang menungguku untuk membuktikan kalau Mike bisa bicara.
Aku berkata pada Mike.
"Sekarang Mike katakan sesuatu."
Mike menggeliat di pelukanku dan mengeong, aku mengangkatnya, kepala kami saling berhadapan, aku memandang lekat matanya.
"Katakan seperti yang kau lakukan kemarin malam di atap," kataku.
Mike melirik ke kanan dan ke kiri, aku menduga dia ingin merahasiakan kemampuannya.
"Tidak apa-apa, kau boleh bicara kapan saja, ayo satu kata saja, A ...!"
Mike menguap lebar.
Aku mulai kesal, aku memicingkan mata, memberi isyarat: jangan membuatku malu Mike.
Mike tak peduli jadi aku mengancam akan memasukkannya kembali ke dalam kotak, mendengarnya Mike menggeleng.
Pada akhirnya Mike memandangku seperti saat dia melihatku di atap, kami saling bertatapan, kukira akhirnya dia akan bersuara. Aku hanya perlu satu kata dari Mike, itu sudah lebih dari cukup, satu kata saja! Kumohon!
Mike mengernyitkan dahinya, mata dan hidungnya seperti akan menyatu di tengah, dia menelan ludah, dia mengeluarkan suara aneh. Sepertinya Mike akan buang air besar, sebelum terlambat aku menepuk punggungnya menyuruhnya pergi ke suatu tempat yang sepi.
Paman Berg melihat Mike yang berlari ke sudut gerbong dan melompat masuk ke dalam bak sampah.
Paman Berg berkata, "Sepertinya tidak berhasil."
"Dia akan bicara saat sudah sampai di rumah nenek, tunggu saja!" kataku, "mike itu hanya perlu sedikit motivasi."
Lalu, untuk melupakan niat paman Berg membuang Mike, aku mencoba mengubah arah pembicaraan dengan memberinya lelucon.
"Apa kau tahu, nyonya Marta mengatakan kalau seekor bangau yang membawaku ke depan pintu panti asuhannya, bukankah itu konyol," kataku.
"Namanya Tucker," kata Paman Berg.
"He, siapa?" tanyaku.
"Burung bangau yang kami minta untuk membawamu ke suatu tempat yang aman," seru Paman Berg.
Aku terduduk, lebih baik jika aku tak bertanya apapun lagi, sudah cukup banyak kejutan aneh yang terjadi dalam satu hari ini. Jika ada satu keanehan lagi kepalaku bisa pecah.
Sore hari hampir selesai dan akan berganti malam ketika kami turun dari kereta. Kami turun di sebuah stasiun kecil dan tua dan sepertinya tak terpakai lagi. Sinar matahari senja membuat stasiun itu berwarna jingga. Tak ada penumpang lain yang turun di stasiun itu kecuali kami berdua, tak ada siapapun di stasiun itu kecuali kami berdua.
Aku melihat papan stasiun nya miring ke samping karena salah satu pakunya lepas, aku membaca tulisan di papan tersebut: stasiun Barat 404. Kursi tunggu stasiun Barat 404 sudah reyot dan rusak, seekor rusa bersembunyi di kantor penjualan tiket, rusa itu tampak menjadi satu-satunya petugas stasiun yang masih bertahan di sana, satu-satunya lampu jalan yang ada di sana sekarat lalu kemudian mati.
Aku bertanya, "Apa kita sudah sampai?"
Mengingat betapa anehnya Paman Berg aku tidak akan terkejut jika dia berkata: 'ia ini adalah rumah kita'
Paman Berg tidak menjawab, kupikir dia akan duduk di salah satu kursi reyot itu tapi tidak jadi, kupikir dia menunggu seseorang tapi tidak ada seorangpun yang datang.
Malam seakan tiba lebih cepat di stasiun barat 404. Mike mengeong-ngeong, kucing penakut itu mencoba bersembunyi di balik leherku, aku juga tidak menyukai stasiun ini jadi aku bersyukur saat Paman Berg akhirnya mengajakku pergi meninggalkan tempat itu.
Kami melompati pagar kawat pembatas setinggi satu meter dan berjalan kaki menyusuri jalan tanah lalu masuk ke dalam hutan. Paman Berg menyalakan tongkat flare dan itu membuatku bertanya-tanya kenapa dia tidak membawa senter saja.
Tongkat flare menyala merah menerangi barisan pohon pinus di samping kami, bulan purnama sedang terang. Aku menemukan tongkat kayu yang cukup besar untuk memukul kepala seseorang hingga pingsan, aku secara sembunyi-sembunyi mengambil kayu itu dan meletakkannya di balik punggungku, aku harus berjaga-jaga siapa tahu paman Berg mendadak berubah menjadi manusia serigala, mengingat apa yang terjadi akhir-akhir ini aku harus mempersiapkan segala kemungkinan.
Pohon-pohon mulai merenggang menuju sebuah bukaan, kemudian kami menuruni bukit yang lapang. Aku mengira akan menemukan rumah Nenek Lucy di bawah bukit, tapi alih-alih seluit rumah aku malah melihat bayangan hitam besar yang awalnya kuduga sebagai belalang raksasa dengan dua sayap lebar dan panjang yang merentang di kedua sisi badannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
ღYaraღ
Gak sabar next chapter.
2024-01-01
0