Hal pertama yang terlihat saat masuk ke dalam rumah kaca untuk buah adalah pohon jeruk yang tumbuh di dekat pintu masuk. Pohon jeruk itu tampak seperti penjaga pintu dan tingginya hampir mencapai atap. Aku bisa melihat puluhan buah jeruk yang masih kecil dan berwarna hijau, bau buah jeruk terasa menyegarkan di hidungku. Di ujung lain rumah kaca tersebut, aku bisa melihat pohon apel dari kejauhan. Di atas kepalaku di sepanjang rumah kaca deretan pohon anggur menggantung menjuntai seolah ingin meraih ujung kepalaku. Sedangkan di bawahnya, tersusun di atas rak kayu yang bertingkat tiga, ratusan buah stroberi berwarna merah segar menghiasi mataku. Buah-buah stroberi itu tampak siap, menunggu untuk dipetik.
Torc datang membawa sarung tangan plastik untukku dan sebuah keranjang rotan.
"Apa kau pernah memetik stroberi?" tanya Torc.
Hanya ada semak berduri dan pohon Kamboja di halaman belakang panti asuhan Nyonya Marta, tapi aku pernah menangkap ayam hutan yang berkeliaran di pekarangan, jadi memetik stroberi tidak akan lebih sulit dari itu kurasa.
"Tenang saja," kataku.
Aku memasang tampang kalau memetik stroberi itu mudah sekali.
Torc mengerutkan dahinya yang bergelambir.
"Putar dan petik buahnya atau kau akan merontokkan seluruh dahannya, apa kau mengerti?" sahut Torc.
Aku menunjukkan jari jempolku, tenang saja.
Torc menyempitkan matanya lalu pergi dengan keranjang rotannya sendiri. Aku memasang sarung tangan plastik dan segera bekerja.
Aku bekerja dengan cepat, dalam sekejap keranjangku hampir penuh dengan stroberi. Aku bahkan menarik kursi kayu dan naik ke atas untuk bisa menggapai stroberi di rak ketiga.
Setelah berhasil mengisi penuh keranjang rotan, perut Mike, dan mulutku dengan stroberi yang manis dan berair.
Aku turun dari kursi dan memanggil mencari Torc.
Torc datang menghampiriku dengan wajah basah penuh keringat seolah dia baru saja lari maraton sepuluh kilometer. Torc tersengal-sengal dan ketika dia menatap keranjang di tanganku dia langsung menggerutu.
"Kenapa kau mencampur stroberi yang hampir busuk dengan yang bagus? kau bisa merusak semuanya!"
Troc mengambil paksa keranjangku dan duduk berjongkok di tanah, sambil menggerutu dengan suara yang tidak jelas Torc terburu-buru mengambil stroberi yang bagus dari keranjangku dan menaruhnya ke keranjangnya yang masih kosong. Entah apa yang Torc lakukan sedari tadi hingga keranjang buahnya masih kosong.
Dalam waktu cepat keranjang Torc hampir penuh dengan stroberi segar yang aku petik.
Mike mengeluh secara sembunyi-sembunyi.
Mike berkata, "Nenek rakus itu mencuri semua stroberi kita untuk dirinya sendiri."
Aku menatap keranjangku yang kini tampak kosong hanya ada beberapa stroberi yang terlalu matang tergeletak di sana.
Kemudian seekor lalat menghampiri dan hinggap di buah stroberi di keranjangku, Torc menoleh dengan cepat, dia menatap lalat itu dengan mata melotot, air liur menetes dari ujung mulutnya. Lalat buah itu sedang menghisap stroberi ketika Torc yang tiba-tiba kalap dengan cepat mencoba menangkap lalat itu dengan kedua tangannya, tapi tak berhasil.
Lalat itu terbang ke atas kepalanya Torc mencoba menepuknya tapi lalat itu keburu pergi, Torc mendongak melihat lalat itu terbang tinggi hingga menghilang di antara buah anggur lalu sesuatu yang aneh terjadi. Mendadak tubuh Torc bergetar hebat, dia kemudian jatuh menggelinjang di tanah. Torc memegangi lehernya seolah dia sedang tersedak sesuatu dan tak bisa bernafas, kemudian dia pingsan tapi lebih tampak seperti orang yang sudah meninggal.
Aku berteriak-teriak memanggil bantuan. Beberapa Torc yang lain datang berlari menghampiri kami. Mereka membopong Torc yang bersamaku dan aku mendengar dari dalam kerumunan, Torc itu kemudian sadar dan memekikkan sesuatu yang tidak bisa aku mengerti, tapi aku bersyukur dia masih hidup.
Itu menjadi akhir dari kegiatan memetik stroberi, seorang Torc laki-laki memintaku untuk meninggalkan rumah kaca dan kembali ke Kastil Bintang.
Aku keluar dari rumah kaca tapi alih-alih kembali ke Kastil Bintang, kakiku malah membawaku berjalan menuju ke arah Pohon Kenangan.
Aku sudah sampai di sungai Lapa-sia dan akan melepas sepatuku saat terdengar suara dentang bunyi besi yang dipukul di kejauhan. Nenek Lucy melarang aku ke utara tapi tidak ke arah pantai, jadi aku memutuskan untuk mencari tahu asal suara itu.
Saat sampai di pantai, aku menemukan Paman Berg di depan menara pengawas di dekat bibir pantai, dia sedang mencoba meluruskan baling-baling pesawat Rosi yang penyok dengan memukulnya menggunakan palu.
"Apa masih bisa diperbaiki?" tanyaku.
Paman Berg tidak menjawab pertanyaanku, dia juga tidak mendongak untuk melihatku, sepertinya dia terlalu sibuk dengan Rosi hingga mengabaikan aku.
Paman Berg berkata, "Nyonya Lucy tahu kalau kau kesini?"
"Nyonya Lucy menyuruhku untuk memetik stroberi, lalu Torc yang biasa bersamaku tiba-tiba saja dia …."
Aku pura-pura mencekik leherku sendiri dan memasang mata melotot.
"Kenapa dengannya?" tanya Paman Berg.
"Aku tidak tahu, dia tiba-tiba saja pingsan," kataku, "lalu Torc yang lain menyuruhku keluar dari rumah kaca untuk berjalan-jalan sendiri."
Paman Berg sepertinya tahu kebohonganku soal berjalan-jalan sendiri.
"Kau sebaiknya kembali ke kastil," kata Paman Berg.
Tapi, aku tidak mau pergi begitu saja.
"Paman Berg tidak tinggal di kastil?" tanyaku.
Paman Berg mengangkat baling-baling pesawat dengan satu tangan dan mencoba memasukkannya ke dalam moncong Rosi.
Paman Berg berkata, "Aku memang tidak tinggal di Kastil Bintang,"
Sambil mendorong baling-baling ke dalam moncong, Paman Berg menunjuk dengan kepalanya ke arah menara pengawas.
"Aku tinggal di sana!"
"Mengapa? ada banyak kamar kosong yang tidak terpakai di Kastil Bintang, Paman Berg bisa memakai salah satunya," seruku.
"Aku hanya tidak menyukainya," sahut Paman Berg, "apa yang kau lakukan? turun dari sana!"
Aku sedang memanjat sayap pesawat.
"Mengapa tidak meminta bantuan? banyak Torc yang bekerja di kebun yang bisa dipanggil untuk membantu," kataku.
Aku naik dan duduk di pinggir sayap pesawat dan merasa betah.
"Para Torc tidak tahu apa-apa, selain apa yang sudah mereka latih bertahun-tahun, mereka tidak akan membantu di sini," kata Paman Berg.
Paman Berg menelengkan kepalanya untuk mencari sesuatu untuk memutar mur.
Aku merayap masuk dan duduk di kursi pilot.
"Tapi, aku bisa!" kataku.
Aku menjulurkan kunci 12 pas yang Paman Berg cari kemana-mana.
Aku menghabiskan sisa hariku membantu Paman Berg memperbaiki Rosi. Aku mencoba menangkap burung bangau yang bertengger di ekor pesawat, siapa tahu mereka membawa bayi sepertiku di dalam mulut mereka. Paman Berg melempar obeng, batu atau apapun di dekat tangannya setiap kali dia melihat burung Phoenix terbang melintasi tepi pantai, sepertinya dia masih kesal dengan kejadian kemarin.
Aku dengan cepat mengerti mengapa Paman Berg lebih suka tinggal di menara pengawas daripada di kastil bintang. Di pantai, angin berhembus memberikan ketenangan, tidak ada aturan yang mengekang, pantainya sangat indah, pasirnya putih dan lembut, berada di pantai membuat hatiku terasa lebih baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments