Ibu, Ayah Aku Pulang

Cahaya bulan menyibak tirai bayangan hitam itu, dan ketika aku berjalan menuruni bukit bisa melihatnya dengan lebih jelas.

Aku berseru hampir berteriak, "Oh, astaga! apa itu pesawat?" 

Aku melempar tongkat kayu di tanganku dan berlari melewati paman Berg hingga ke dasar bukit. 

Aku tidak bisa percaya dengan apa yang kulihat, Itu bukan hanya sekedar pesawat kecil, itu pesawat tempur!

Ini pertama kalinya aku melihat pesawat tempur. Aku segera menempelkan telapak tangan dan pipiku pada badan pesawat  yang berwarna hijau dan dingin. Aku meloncat mencoba untuk menepuk gambar di badan pesawat di dekat ekornya: sebuah gambar lingkaran besar dengan warna merah di tengah dan putih di bagian luar, di sampingnya terdapat tulisan: ROAR.

Pesawat perang dunia kedua ini usianya mungkin lebih dari delapan puluh tahun, dia seharusnya berada di museum. Pesawat ini mungkin tidak seharusnya ada di sini, itu kenapa paman Berg menyimpannya di belakang hutan di dekat stasiun berhantu, dia ingin menyembunyikannya dari semua orang.

"Bagaimana paman mendapatkannya?" aku menebak, "apa paman mencurinya di suatu tempat?"

Paman Berg naik ke atas sayap pesawat, dia melepas jas yang seharian ini tampak tak nyaman di badannya. Paman Berg menggeser pintu kaca dan melempar jasnya ke dalam kursi penumpang, dia mengambil helm kecil dan jaket dari dalam pesawat dan turun dari sayap pesawat.

Paman Berg menoleh padaku dan mengumumkan.

"Properti keluarga."

Tidak mungkin!

Aku berkata, "Apa pesawat ini masih hidup? apa dia bisa terbang? Apa kita akan naik ini?"

Paman Berg memakaikan ku jaket tebal, saat dia memasukkan helm kecil  ke kepalaku aku bergetar karena begitu bersemangat, aku tersenyum pada Mike yang mencari kehangatan  dengan menyelinap masuk ke dalam jaket.

 "Mike, kita akan terbang," kataku.

Paman Berg mengangkat ku tinggi-tinggi dan mendudukkan ku ke sayap pesawat.

"Siapa namanya?" tanyaku.

Paman Berg bertanya balik, "Siapa?"

Aku menepuk sayap pesawat, Paman Berg menggeleng dia tidak mau menjawabnya.

"Oh, ayolah! Kita harus memberinya nama, bagaimana dengan Thor?" kataku.

Paman Berg memanjat ke sayap lalu merangkak naik ke kursi kemudi.

"Atau Bima sakti?"

Aku tidak bisa berhenti mengoceh.

"Namanya Rosi," kata Paman Berg.

Paman Berg menarik dan mengikat sabuk pengaman di dadanya.

"Rosi! paman pasti bercanda," kataku, "itu seperti nama anak perempuan."

Paman Berg menunjukkan ekspresi: 'biarkan saja, aku tidak peduli pendapatmu, aku tidak akan mengubah namanya, sekali Rosi tetap Rosi'.

Paman Berg melambaikan tangan memintaku untuk ikut masuk ke dalam, aku merayap naik dan duduk di pangkuannya. Paman Berg menutup kaca di atas kepala kami, tinggi badan paman Berg membuatnya harus menundukkan kepala agar tidak terantuk kaca.

Paman Berg menyalakan mesin pesawat, mesin berderu, lampu  depan pesawat menyala, aku merasakan pesawat bergetar, baling-baling di moncong pesawat mulai berputar, kami berbelok lalu melaju dengan kecepatan rendah lalu semakin cepat, dan sebuah hentakan yang mengangkat pesawat naik ke atas. 

Aku melihat angin membuat kaca depan bergetar, aku menoleh ke bawah melihat daratan di bawah kami menjauh, lalu mengecil, kami terbang!

Lampu-lampu rumah di bawah kami menciptakan kerlap kerlip yang indah, warna-warni yang memukau. Kami melewati pemukiman, hutan, lalu naik lebih tinggi dan terbang menembus awan. Pesawat berbelok menuju ke arah selatan, kemudian daratan mulai menghilang dan yang nampak hanya lautan. 

Kami bertemu dengan kawanan bangau yang terbang bermigrasi ke afrika, dan aku bertanya-tanya siapa di antara mereka yang bernama Tucker. Sampai aku sadar kalo itu sudah sepuluh tahun yang lalu kurasa Tucker mungkin sudah meninggal. 

Aku bertanya kepada Paman Berg, apa aku boleh memegang kendali pesawat?

Paman  Berg berkata, "Tidak." 

Jawaban yang sudah kuduga. 

"Hanya sebentar."

"Tidak."

Aku bertanya lagi apa suatu hari nanti aku boleh belajar mengemudikan pesawat ini, Paman Berg tidak menjawabnya jadi kurasa dia akan mengajariku, aku akan menagihnya nanti.

"Apa kita hampir sampai?" tanyaku.

Kurasa ini sudah hampir satu jam lebih kami berada di langit.

Paman Berg berkata dengan malas, "Kau bisa tidur kalau kau mau."

Itu berarti perjalanan masih akan sangat lama.

Jika saja Paman Berg mengizinkanku membuka kaca jendela mungkin akan terasa lebih baik, hanya ada laut dan laut di bawah sana yang seakan menyatu bersama langit malam dan itu mulai membosankan. Tanpa sadar aku jatuh tertidur entah untuk berapa lama? aku terbangun dan mendapati kalau kami masih terbang di atas laut. Aku mengusap wajahku berusaha untuk tidak kembali tidur, karena hampir tidak ada yang bisa di lihat di bawah sana jadi aku mendongak untuk melihat bintang lalu mencari letak bulan kemudian sebuah cahaya api melesat hanya sedikit di atas kaca. 

Kemudian disusul tiga cahaya lain bermunculan di sisi kanan dan kiri kami.

Aku menunjuk ke arah   cahaya api yang kelima.

 "Panah api, kita diserang!" seruku. 

Paman Berg memberitahu, "Itu Locky."

"Siapa?" tanyaku.

"Burung Phoenix," kata Paman Berg, "kita memang menunggu mereka."

"He, apa?"

Aku melihat titik-titik api itu melesat lebih cepat dari pesawat kami.

"Kita harus mengikuti mereka! itu penunjuk jalan kita," kata Paman Berg, "berpegangan Nona Alesia."

"Iya," sahutku.

Tapi, aku harus berpegangan pada apa?

Aku terhentak ke belakang ketika Paman Berg mempercepat laju pesawat. Aku mencengkram baju kemeja Paman Berg dengan kedua tangan. Kelima burung Phoenix terbang berbaris di depan kami, lalu mereka menyebar ke segala arah, salah satunya turun terbang ke bawah. Sepertinya Paman Berg sudah memutuskan burung Phoenix mana yang akan dia kejar, Pesawat menukik ke bawah mengikuti salah satu burung Phoenix. Kami terus meluncur ke bawah hingga aku bisa melihat permukaan air laut, ketika sangat dekat dengan burung Phoenix itu, aku bisa melihat paruhnya yang bengkok, jambulnya yang berkelebatan dan tubuhnya yang bercahaya merah seolah-olah dia terbakar.

Phoenix itu terus menukik turun, kami terus turun mengikutinya.

Paman Berg  bergumam, "Ayo Flexi, naiklah apa yang kau lakukan?"

Kupikir paman Berg akan menabrakkan pesawat ini ke laut demi untuk mengejar Flexi, sampai kemudian burung Phoenix  itu berkicau nyaring lalu mendongakkan kepalanya.  Ketika Flexi terbang sejajar dengan laut, aku bisa melihat matanya yang berkilat. Kami sudah sangat dekat dengan permukaan air laut, ujung baling-baling depan pesawat sudah mengiris ombak sebelum akhirnya Paman Berg berhasil membawa pesawat naik kembali ke atas.

Aku menatap ke depan, kabut tebal menghadang kami seperti tirai putih raksasa, Flexi terbang masuk menghilang ke dalam kumpulan kabut.

Aku bertanya, "Apa kita juga akan ke sana?"

Paman Berg berkata, "Kita memang akan ke sana."

Di dalam kabut, aku hampir tidak bisa melihat apa-apa, Flexi hanya terlihat seperti sekelebat titik api  yang bergerak cepat, kami mencoba mengikutinya dan tiba-tiba saja sudah ada dinding karang hanya beberapa kaki di depan kami, ujung sayap pesawat hampir menabrak batu besar ketika mencoba berbelok menghindari dinding karang. Aku bisa mendengar bunyi deru ombak yang menghantam batu karang di bawah kami.  Aku melihat sekelebat pohon yang biasa tumbuh di bebatuan karang. Kemudian aku menyadari sesuatu, kami terbang di antara  gugusan pulau karang yang berdiri rapat satu sama lainya. Dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan kami, dan deretan pulau karang yang berjejer, satu-satunya harapan kami bisa melewati gugusan pulau karang ini hanya ada di penunjuk arah kami: Flexi. 

Kami harus berbelok saat Flexi berbelok, menukik saat dia mendadak menukik, kami tidak boleh kehilangan Flexi sedetik pun.

Burung Phoenix lainnya muncul dan berkelebatan di sekitar pesawat, aku mengusulkan pada paman Berg.

"Bagaimana jika kita mengikuti burung Phoenix lainnya, kurasa Flexi itu sudah gila!" kataku.

"Tidak," kata Paman Berg, "Flexi itu yang paling lambat, tapi kau benar dia sudah gila."

Mike mendadak meloncat keluar dari jaketku dan dia terlempar menghantam kaca samping, aku meraihnya dan mengapitnya dengan satu tangan.

Paman Berg membawa Rosi terus bermanuver melewati pulau-pulau karang. Di tengah kicauan burung Phoenix yang melengking dan memekakkan telinga, saat pesawat berputar, Mike mengerang ketakutan.

Mike memekik seperti kucing gila.

"Selamatkan aku dari sini! aku tidak mau mati!"

"Dengar! apa paman mendengarnya?" teriakku, "Mike bicara, dia bisa bicara bahasa manusia!"

"Dia tidak bicara bahasa manusia, Nona Alesia," kata Paman Berg, "tapi kau yang bisa mengerti bahasa kucing."

"Tidak mungkin!"

Bukan Mike yang aneh tapi aku yang aneh.

Paman Berg mengancam Flexi.

"Jangan coba-coba lewat sana."

Tapi, Flexi menantang Paman Berg, dia masuk ke dalam celah sempit diantara dua tebing. Paman Berg memiringkan pesawat hingga 180 derajat, aku memegang erat-erat Mike di satu tangan dan tangan yang lainnya menempel di kaca menahan badanku agar tidak jungkir balik. 

Ranting pohon besar dan batuan tajam menghantam kaca, aku melihat retakan yang mulai menyebar sebelum akhirnya kaca di atas kepalaku mulai pecah.

Mike memekik, "Kita akan jatuh!! kita akan jatuh!!"

Percikan api muncul dari tubuh Rosi yang terus bergesekan pada batu karang. Aku memejamkan mata menghindari serpihan batu yang berhamburan masuk ke dalam tempat kemudi.

Saat aku membuka mata, pesawat sudah melewati celah sempit dan keluar dari kabut tebal. Kami terbang rendah hanya beberapa kaki di atas permukaan laut, aku melihat moncong pesawat yang menyembulkan  asap hitam, pelindung kaca pesawat yang pecah membuat angin kencang menerpa kami, Mike sedang memeriksa apakah keempat kaki dan ekornya masih ada di tempatnya.

Paman Berg menoleh padaku dan berteriak atau suaranya tidak akan terdengar.

"Apa kau baik-baik saja Nona Alesia!" tanya Paman Berg.

"Aku masih hidup!" teriakku.

"Kita sudah sampai."

Paman Berg memberitahu dengan suara yang hampir tertelan deru angin.

Paman Berg berkata, "Selamat datang di pulau Naira, di Kastil Bintang."

Aku mendongak dan di kejauhan aku melihat puncak gunung yang gelap, nampak seperti seluit raksasa seperti penjaga yang sedang mengawasi. Aku melihat bibir pantai yang disinari bulan, deretan pohon kelapa, sebuah menara pengawas yang menyorotkan pendar cahaya, dan yang paling membuatku terpukau, aku terkesima pada atap kastil yang bercahaya gemerlap lebih terang dari cahaya bulan, lebih terang dari cahaya apapun di pulau Naira. Lalu, tiba-tiba jantungku berdetak sangat kencang. 

Aku meletakkan tanganku di dada, di tempat foto kedua orang tuaku berada, ibu, ayah aku pulang.

Episodes
1 Lori
2 Mike, Si Kucing Hitam.
3 Panti Asuhan Nyonya Marta
4 Keturunan Alexandria
5 Tuan Berg
6 Ibu, Ayah Aku Pulang
7 Kastil Bintang
8 Jam Bintang
9 Torc dan Nenek Berusia 157 Tahun
10 Pemegang Kunci Kastil Bintang
11 Pohon Kehidupan Dan Kolam Air Keabadian
12 Pohon Kenangan
13 Mike dan Torc
14 Torc Yang Aneh
15 Rumah Kaca Untuk Buah
16 Mimpi Buruk
17 Torc Berburu Di Malam Hari
18 Rencana Besar Untuk Alesia
19 Menjadi Dewasa Dalam Satu Malam
20 Perang Yang Terjadi Setiap 300 Tahun
21 Lembah Gelap
22 Belajar Menembak
23 Monster Air
24 Tangkapan Besar
25 Jantung Api Tom
26 Menara Pengawas
27 Keluarga Dorian
28 Menyelamatkan Flexi
29 Persetujuan Lomba
30 Busur Cahaya
31 Atap Kastil Bintang
32 Hujan Meteor
33 Patung Pangeran Dari Masa Lalu
34 Pemegang Pedang Alexandria
35 Torc Kabur
36 Pemeriksaan Pupil Mata
37 Dinding Yang Mulai Runtuh
38 Sejarah Keluarga Rudolf
39 Pertarungan Melawan Remus
40 Ralf
41 Rahasia Dari Hutan Raksasa
42 Kebenaran Dan Kebohongan
43 Untuk Putriku Tercinta
44 Kepingan Yang Hancur
45 Amarah
46 Ronald Menghilang
47 Gudang Bawah Tanah
48 Ragnock
49 Musuh Yang Licik
50 Bangsal Pengobatan
51 Kastil Bintang Bergerak
52 Menghadapi Perang
53 Membeku
54 Dongeng Kuno
55 Percikan Api Melawan Tumpukan Es
56 Raksasa Nimbus
57 Jantung Yang Lebih Panas Dari Apapun
58 Kucing Paling Pemberani
59 Menanam Bom
60 Delapan Jam Sebelum Perang
61 Perang Sudah Dimulai
62 Serangan Pertama
63 Monster Gunung
64 Mereka Yang Bertarung Demi Kastil Bintang
65 Jejak Empat Kaki Di Salju
66 Kesedihan Dan Kemarahan
67 Pergi Ke Garis Terdepan
68 Pohon Bibi Dorian
69 Jadilah Anak Pemberani Alesia
70 Kembalinya Pedang Alexandria
71 Janji Pemegang Pedang
72 Jembatan Kebaikan
73 Bella Dan Irian
74 Pria Tua Dengan Jubah Raja
75 Istana Amenthis
76 Lawan Yang Berbahaya
77 Satu Mata Amenthis
78 Sudah Berakhir
79 Nenek
80 Memulai Kembali
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Lori
2
Mike, Si Kucing Hitam.
3
Panti Asuhan Nyonya Marta
4
Keturunan Alexandria
5
Tuan Berg
6
Ibu, Ayah Aku Pulang
7
Kastil Bintang
8
Jam Bintang
9
Torc dan Nenek Berusia 157 Tahun
10
Pemegang Kunci Kastil Bintang
11
Pohon Kehidupan Dan Kolam Air Keabadian
12
Pohon Kenangan
13
Mike dan Torc
14
Torc Yang Aneh
15
Rumah Kaca Untuk Buah
16
Mimpi Buruk
17
Torc Berburu Di Malam Hari
18
Rencana Besar Untuk Alesia
19
Menjadi Dewasa Dalam Satu Malam
20
Perang Yang Terjadi Setiap 300 Tahun
21
Lembah Gelap
22
Belajar Menembak
23
Monster Air
24
Tangkapan Besar
25
Jantung Api Tom
26
Menara Pengawas
27
Keluarga Dorian
28
Menyelamatkan Flexi
29
Persetujuan Lomba
30
Busur Cahaya
31
Atap Kastil Bintang
32
Hujan Meteor
33
Patung Pangeran Dari Masa Lalu
34
Pemegang Pedang Alexandria
35
Torc Kabur
36
Pemeriksaan Pupil Mata
37
Dinding Yang Mulai Runtuh
38
Sejarah Keluarga Rudolf
39
Pertarungan Melawan Remus
40
Ralf
41
Rahasia Dari Hutan Raksasa
42
Kebenaran Dan Kebohongan
43
Untuk Putriku Tercinta
44
Kepingan Yang Hancur
45
Amarah
46
Ronald Menghilang
47
Gudang Bawah Tanah
48
Ragnock
49
Musuh Yang Licik
50
Bangsal Pengobatan
51
Kastil Bintang Bergerak
52
Menghadapi Perang
53
Membeku
54
Dongeng Kuno
55
Percikan Api Melawan Tumpukan Es
56
Raksasa Nimbus
57
Jantung Yang Lebih Panas Dari Apapun
58
Kucing Paling Pemberani
59
Menanam Bom
60
Delapan Jam Sebelum Perang
61
Perang Sudah Dimulai
62
Serangan Pertama
63
Monster Gunung
64
Mereka Yang Bertarung Demi Kastil Bintang
65
Jejak Empat Kaki Di Salju
66
Kesedihan Dan Kemarahan
67
Pergi Ke Garis Terdepan
68
Pohon Bibi Dorian
69
Jadilah Anak Pemberani Alesia
70
Kembalinya Pedang Alexandria
71
Janji Pemegang Pedang
72
Jembatan Kebaikan
73
Bella Dan Irian
74
Pria Tua Dengan Jubah Raja
75
Istana Amenthis
76
Lawan Yang Berbahaya
77
Satu Mata Amenthis
78
Sudah Berakhir
79
Nenek
80
Memulai Kembali

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!