-Gabe-
Lima hari sebelumnya,
Aku berhasil membawa Ramiel ke tempat perkumpulan kami di bumi bernama Angelus Vallis. Letaknya tidak bisa dicapai manusia karena berada di kaki langit di atas awan. Aku pernah membawa gadis itu kemari saat aku putus asa tidak bisa menghapus ingatannya sama sekali. Tempat ini memang terlarang bagi umat manusia untuk memasukinya. Ini adalah tempat teraman bagi kaum kami dari serangan para iblis di bumi.
Azrael dan Mikhael yang melihat kemunculanku segera membantuku menyelamatkan Ramiel.
"Hei, apa yang terjadi padanya?" tanya Mikhael sedikit terkejut dengan keadaan Ramiel yang terluka parah.
"Lucifer menusuknya dengan pedang miliknya. Kuharap ia masih bisa disembuhkan. Pedang itu beracun," jelasku dengan napas terengah-engah.
Aku berbaring di atas rerumputan yang menghampar. Matahari bersinar terang menyorot tubuhku yang juga terluka. Untungnya, racun dari pedang itu tidak terserap terlalu dalam.
Tidak ada malam di sini. Hanya ada cahaya matahari abadi. Saat terluka, kami hanya perlu menyerap cahaya matahari untuk membuat tubuh kami sembuh dan kuat seperti sedia kala.
"Kau juga terluka. Bagaimana Lucifer bisa menyerangmu?" tanya Azrael sementara Mikhael membawa tubuh Ramiel ke air terjun yang mengalir di ujung sana.
"Ceritanya panjang ..." gumamku sambil menutup mata. Aku harus menghindari cerita tentang kepergianku ke klub malam untuk mencari kunciku. Azrael pasti tidak suka mendengarnya.
"Mungkin Raphael bisa menjelaskan padaku."
Aku refleks membuka mata dan melihat Raphael telah berdiri di sebelah Azrael dengan cengiran lebar.
"Terima kasih atas mulut besarmu, Sobat," ujarku seraya bangun untuk duduk tegak.
"Hei, bukan aku. Tapi Uriel yang memberitahu pada mereka tentang rencana besar kita," kilah Raphael sambil menyugar rambut panjang kelabunya. Satu-satunya bagian tubuh yang sangat dibanggakannya.
Aku memutar bola mata sementara Azrael menukas tajam. "Rencana bodoh! Lihatlah akibat dari yang kalian lakukan!"
Aku menggigit rahangku keras-keras dan mengalihkan pandangan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Lukaku mulai menutup sempurna. Rasanya tubuhku mulai membaik.
"Jadi ..." kudengar suara menyebalkan Azrael kembali berkata. "Apa berita buruknya?"
"Aku selamat. Itu berita baiknya."
"Aku tidak peduli. Yang ingin kudengar adalah berita buruknya. Kenapa The Watcher itu bisa terluka oleh Lucifer dan kau bawa ia kemari?" Azrael terlihat tak sabar.
Aku menengadah memandangnya. Lalu, melirik Raphael yang mengangkat bahu. "Oke, sebenarnya aku dan Raphael pergi mencari kunci itu di San Fransisco. Kami tidak tahu kalau tempat itu adalah sarang mereka dan ..."
"Kau mendapatkannya?" sela Azrael. Wajahnya mengeras.
Aku berdeham. "Tidak. Mungkin sebenarnya kami bisa mendapatkannya jika saja para iblis sialan itu tidak menyerang kami. Kau tahu mereka itu sangat menyebalkan."
"Ya, aku sudah mulai bisa menerka apa yang terjadi selanjutnya." Azrael bersedekap. "Lalu, apa lagi kejadian buruk yang kau lakukan malam ini?"
Aku menghela napas jengah, kemudian bangkit berdiri. "Kurasa kita bisa membicarakannya nanti. Aku harus memeriksa keadaan Ramiel di sana. Ia terluka parah."
"Kau masih mengkhawatirkannya padahal ia telah menipu kita?" Raphael mengernyitkan wajah. "Wow! Kau memang malaikat sejati!"
"Dia tidak menipu kita, Raph. Aku yakin itu," sergahku.
"Setelah dia sadar, bawa ia pergi dari tempat ini." Azrael berkata tegas. "Aku tidak suka ia berada di sini."
"Yeah, aku setuju." Raphael menimpali.
"Baiklah. Tapi, apa kalian tidak terlalu kasar? Maksudku, dulunya mereka adalah bagian dari kita..."
"Tapi, sebagian dari mereka mengkhianati kita. Apa kau tidak ingat?" Azrael mendelik tajam.
"Well, ya. kau memang benar. Tapi, aku harus bertanya padanya tentang kebenaran sesuatu. Aku tidak percaya ia menipuku," kataku sambil menggeleng. "Boleh aku melihat keadaannya sekarang?"
Azrael mendesah dan berbalik meninggalkanku beberapa saat kemudian tanpa berkata apa-apa. Aku segera berjalan menuju Angelus Fall yang berada di sebelah timur tempat ini. Raphael mengikutiku di belakang.
Tempat ini hanya terhampar padang rumput hijau sejauh mata memandang. Beberapa tanaman bunga lili dan tulip tumbuh di sepanjang jalan setapak kerikil yang kami lewati. Di tengah padang terdapat beberapa pepohonan Dogwood yang sedang berbunga putih dan merah muda, menyebar bau harum kala aku menghirup napas. Semak-semak pakis tumbuh merambat di tepi telaga jernih yang membawa kami ke puncak air terjun mengalir di mana Mikhael sedang merawat Ramiel di sana.
"Jadi, kau mau bercerita kejadian selanjutnya padaku?" tanya Raphael dengan suara rendah.
Aku menoleh untuk menatapnya. "Dengan mulut besarmu itu? Aku tidak merasa itu hal yang bagus."
"Hei, aku berani bersumpah aku tidak mengatakan apa-apa pada Azrael. Kenapa kau tidak percaya padaku?" Ia memprotes.
"Ya, baiklah. Mungkin kau benar." Aku mengendikkan bahu, mengalah.
"Kau tahu kalau aku selalu benar," ia tersenyum. "Jadi, apa itu? Apa hal buruk yang terjadi?"
Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat ke dalam sambil menghela napas. Kedua mata Raphael menyipit penasaran. Lalu, pelan-pelan kuceritakan kejadian saat aku berteleportasi ke kediaman Ramiel.
"Aku menemukannya sudah terluka di sana. Dia yang melukai Ramiel sebelum aku datang. Lalu, Lucifer menyerangku. Kami bertarung cukup sengit. Seharusnya kau ikut bersamaku ke sana."
"Maafkan aku." Ia meringis, lalu melanjutkan. "Jadi itu bagian buruknya?"
Aku menggeleng dan mendesah. "Ada hal yang lebih buruk lagi."
Seketika kedua mata biru pucat Raphael melebar. Ia seperti sudah bisa menebak apa yang terjadi. "Kunci itu? Apa dia merebutnya darimu?"
"Ya. Shit happens! Aku benar-benar mengacau, kan? Ia berhasil mengambil salah satu kunci yang kusimpan. Azrael pasti akan memarahiku jika mengetahuinya," keluhku muram.
Raphael mengernyit. Lalu, menggerling ke belakang bahuku. Aku mengerutkan alis dan melirik ke arah yang dilihatnya. Azrael ternyata sedang berdiri beberapa langkah di belakangku sambil melipat tangan di depan dada. Wajahnya kaku tanpa ekspresi.
"Sejak kapan kau berada di sana?" tanyaku dengan napas tercekat.
"Cukup untuk mendengar semua cerita menyenangkanmu," sahutnya datar.
"Oke, maaf ... aku benar-benar mengacau malam ini. Aku akan menebusnya. Aku janji," kataku cepat-cepat.
"You think?" Ia menelengkan kepala sembari menyeringai.
Aku melirik Raphael yang sedang mengerutkan hidungnya sambil mencibir. Ekspresinya sangat lucu hingga membuatku ingin sekali mengacak rambut panjang kelabunya yang sangat ia banggakan itu.
"Kuharap kau punya rencana bagus untuk mengatasi segala kekacauan yang kau buat, Gabe ..." Azrael berkata di sela-sela giginya yang terkatup rapat. Mata birunya berkilat kesal.
"Aku akan merebut kembali kunci itu. Aku janji," tegasku dengan nada menyakinkan.
"Kau tidak bisa ..." ucapan Azrael terputus.
Suara teriakan Mikhael di tepi air terjun mengejutkan kami sekaligus menyelamatkanku dari omelan Azrael yang tentu saja akan amat menyebalkan. Aku cepat-cepat berlari menghampiri Mikhael, diikuti Raphael dan juga Azrael.
"Hei, bisakah kalian hentikan diskusi kalian? Kurasa Ramiel tidak akan bertahan lama," kata Mikhael begitu kami sampai.
Aku langsung berlutut di sisi Ramiel yang terbaring lemah. Wajahnya sangat pucat sementara sebagian tubuhnya membiru. Suara erangan lemah terdengar dari mulutnya. Mikhael punya keahlian menyembuhkan yang luar biasa. Namun, tidak segala hal bisa sembuh di tangannya jika memang takdir sudah menggariskan kehidupan si penderita harus berakhir.
"Ramiel, kau bisa mendengarku?" tanyaku cemas.
Ia membuka matanya perlahan. Lalu, menatapku dengan tatapan segaris. "Lucifer ... " lirihnya berbisik, "dia akan berhasil ... sebentar lagi---"
"Apa maksudmu? Tenangkan dirimu, Sobat. Kau bisa bicara nanti. Kau harus menyembuhkan lukamu," kataku sedikit khawatir melihatnya bersusah payah untuk berbicara.
"Tidak ..." ia menggeleng lemah. "Kau harus mendengarku ..."
"Oke-oke, kami mendengarmu. Apa yang ingin kau katakan?"
"Ada seorang gadis manusia ... cari dia ..." Suaranya semakin melemah hingga membuatku harus sedikit mencondongkan tubuh.
"Gadis? Siapa gadis yang kau maksud?" Aku mengernyit bingung, lalu menatap ketiga rekanku bergantian. Mereka hanya menatapku dengan ekspresi tidak mengerti.
Ramiel menarik napas susah payah. Sekujur tubuhnya semakin terasa dingin. Tangannya yang bebas menyentuh pergelangan tanganku dengan gemetaran.
"Di kitab Henox tertulis bahwa yang bisa membunuh Messias adalah seorang manusia. Gadis itulah ..." ia kembali berkata.
Aku mengembuskan napas, tapi tiba-tiba mulai mengerti apa yang dimaksudkannya. Kitab Henox adalah kitab berisi rahasia kehidupan yang terjadi di alam semesta. Kitab itu dijaga oleh para petinggi The Watcher. Tidak ada yang boleh membaca kitab itu selain mereka, bahkan kami pun tidak punya wewenang jika mereka tidak mengizinkan. Itulah mengapa para The Watcher menjadi makhluk yang tahu segala hal tentang apa yang akan dan harus terjadi di dunia ini.
"Dia yang akan membunuh Messias. Dia lah yang bisa... kau harus menjaganya, Gabriel ... kau harus ..." Ramiel kembali berkata. Suaranya parau dan terus melemah sampai-sampai aku kesulitan untuk menangkap lebih jelas.
"Oke, bisa kau beritahu siapa gadis yang kau maksud?" tanya Mikhael, menatap Ramiel tak berkedip.
"Lucifer ... dan pengikutnya sebentar lagi berhasil ... kalian harus bersiap. Aku ... aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Racun ini menyakitiku ..." desah Ramiel sambil mengernyit menahan sakit.
"Hei, Mikhael kau harus lakukan sesuatu!" teriakku panik. Kulihat wajahnya mulai membiru. Racun ini sudah menyebar dan akan merenggut nyawanya sebentar lagi. "Kau harus bertahan, Ramiel. Kau berhutang penjelasan padaku!"
"Tidak ..." ia menggeleng pelan. Napasnya tersengal-sengal. "Jaga gadis manusia itu ... atau mereka akan membunuhnya, Gabriel ..."
"Siapa gadis itu?" tanya Azrael ikut berlutut di sebelahku.
"Dia berada di dekat kalian. Di dekatmu, Gabriel ... oh, sial ... aku tidak bisa bertahan lagi ..." ia mengerang. Wajahnya mulai berangsur membiru. "Temui Jophiel---dia akan memberitahumu yang sebenarnya ..."
Aku membeku mendengar ucapannya sementara Mikhael menggenggam tangan Ramiel, mencoba untuk mencegah racunnya menyebar lebih besar. Namun, sudah terlambat. Ramiel mengejang beberapa detik saat racun itu berhasil merenggut nyawanya. Lalu, ia terkulai dengan mata setengah terbuka.
Aku terduduk lemas di rerumputan. Raphael mengulurkan tangan untuk menutup mata Ramiel. Angin sejuk berembus menerpa wajahku. Kami saling menunduk. Kematian Ramiel cukup membuat hatiku sakit. Sudah banyak darah kami tertumpah karena pertempuran dengan Lucifer dan anak buahnya. Rasanya menyakitkan mengenang segala hal yang terjadi selama ini.
"Jadi, siapa gadis yang ia maksud?" Mikhael membuka kesunyian. Ia masih memandangi tubuh Ramiel di hadapan kami dengan sendu.
Kami memang sudah lama mendengar bahwa Messias hanya akan mati di tangan manusia, bukan oleh bangsa kami atau pun para Iblis. Namun, hari ini Ramiel memberikan kami fakta yang mengejutkan bahwa manusia itu adalah seorang gadis.
"Kupikir selama ini mungkin saja manusia setengah dewa atau laki-laki ajaib dengan kekuatan supranatural," kata Raphael sambil geleng-geleng. "Sulit dipercaya bukan, bahwa seorang gadis yang bisa membunuh Messias?"
Azrael menggosok hidungnya. Wajahnya berkerut. "Kurasa kita harus mulai mencarinya." Lalu, ia berpaling ke arahku. "Kau dengar itu, Gabriel? Dia bilang gadis itu berada di dekatmu."
Aku balas menatapnya dan mengangkat bahu. "Entahlah. Aku akan mencari tahu mulai sekarang. Mungkin anggota The Watcher yang lain bisa memberikan informasi lebih rinci. Ramiel menyebut Jophiel. Dia pasti akan memberitahu kita."
"Bisakah kau berhenti mengandalkan mereka? Apa kau ingin mereka menipumu lagi?" Raphael bangkit berdiri dengan gusar. "Dan kalian percaya dengan ucapannya? Jophiel atau siapapun itu. Mereka adalah The Watcher! Pengkhianat! Seorang gadis manusia membunuh Messias? What the hell!"
"Berhentilah bersikap skeptis, Raph. Dia tidak mungkin berbohong. Aku mengenal Ramiel dengan baik." Kupelototi ia dengan marah. Kemudian, ikut bangkit berdiri. "Dan dia baru saja mati!"
"Ya, terserah kau saja!" gerutunya sambil menyeringai.
Aku tidak membalas ucapannya. Kata-kata Ramiel terus terngiang di benakku. Seorang gadis? Oke, aku harus mencari tahu secepatnya. Jadi, tugasku bertambah lagi sekarang. Tapi, siapa gadis yang berada di dekatku saat ini? Aku tidak dekat dengan siapa-siapa, kecuali ...
Keana ... Keana Larson...
Aku menahan napas sambil mendelik. Perasaanku campur aduk antara lega, sedih dan bingung. Jika memang gadis yang dimaksud adalah Keana, maka ini takdir yang buruk untuknya. Nyawanya bisa terancam dan ia bisa saja mati sewaktu-waktu jika aku tidak bisa menjaganya.
"Hei, ada apa?" Azrael menatapku heran karena melihatku terdiam sangat lama.
Aku mendongak menatapnya, lalu pada Raphael dan Mikhael. Uriel dan Zadkiel tiba-tiba muncul menghampiri kami. Mereka kelihatan kaget melihat ekspresi tegang dan sendu di wajah kami semua.
"Hei, apa ada sesuatu terjadi?" sapa Uriel sambil memandang kami semua bergantian. Matanya biru gelap, nyaris hitam dengan rambut yang sewarna matanya.
Sementara Zadkiel membelalak melihat tubuh Ramiel yang terbujur kaku di atas rerumputan. Ia memiliki rambut cokelat tua dan bola mata biru kehijauan. Janggut dan kumis tumbuh lebat di sekitar dagunya. "Apa dia mati?" tanyanya dengan suara tercekat.
Tidak ada yang menjawab, semua orang terfokus padaku. Pikiranku sendiri masih mengambang. Kenyataan bahwa Keana yang ditakdirkan menjadi pembunuh Messias membuatku bingung setengah mati. Benarkah Keana? Atau ada gadis lain di luar sana?
"Kupikir aku sudah tahu siapa gadis yang dimaksud Ramiel," kataku akhirnya.
"Kau tahu?" Azrael terperanjat.
"Ya. Aku tahu siapa dia. Kurasa aku harus menghampirinya sekarang."
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Sheril 25
walaupun sudah baca berulang2 tapi ttap tegang dan suka, novel yg sangat keren🥰🤩🤩
2023-10-17
0
Triiyyaazz Ajuach
keana pnya kekuatan apa ya???
2020-05-05
0