HOOEEKKK!!!
Aku tak kuasa menahan rasa mual dan pening yang menyerang ketika menjejakkan kaki di tanah. Semua makanan yang baru saja kumakan terpaksa terbuang sia-sia. Rasanya isi perutku terkuras habis.
"Kau tidak apa-apa?" Gabe menepuk-nepuk bahuku dengan cemas melihatku sedang muntah.
Aku menyeka mulut dan wajah. Keringat dingin membasahi dahi dan tengkukku. Mataku mengerjap menahan rasa pusing yang menyerang. Seperti baru saja menaiki wahana Roller Coaster dengan kecepatan gila-gilaan atau mengalami jet lag yang tak mengenakkan.
"Wajahmu pucat sekali. Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu." Gabe menatapku dengan ekspresi khawatir.
Aku mendongak menatapnya dan bernapas susah payah. "Kau benar-benar akan membunuhku."
"Semoga saja tidak." Ia nyengir lebar.
Aku menegakkan tubuh sambil menatap berkeliling. "Kau membawaku kemana? Apa kita tadi berteleportasi? Rasanya sama sekali tidak nyaman."
"Kita berada di halaman rumahmu," jawabnya.
Aku mengembuskan napas. "Kau membawaku pulang dengan teleportasi? Hebat sekali!"
"Mungkin lain kali aku akan mengajakmu ke tempat yang lebih jauh." Ia tersenyum.
"Kalau begitu kau bisa membunuhku dalam sekejap," gerutuku. Perutku masih bergejolak. Sepertinya tortellini dan pannacotta yang kumakan sudah terbuang habis. Sayang sekali, kan?
"Apa rasanya sungguh tidak mengenakkan?" Ia menatapku lamat-lamat.
"Ya, aku tidak pernah merasa semabuk ini. Seperti menaiki kapal laut di tengah badai," sahutku. "Lain kali jika kau ingin mengajakku berteleportasi, aku harus meminum obat anti mabuk terlebih dahulu."
Ia tergelak mendengar omelanku. "Sebenarnya, bisa dibilang itu bukan teleportasi."
"Lalu apa? Kau cepat sekali. Bagaimana mungkin kita bisa berpindah tempat dengan waktu hanya satu detik?"
"Aku tadi menggunakan sayapku. Karena memang kami memakai kecepatan cahaya saat terbang. Jadi, berpindah tempat di bumi hanya memerlukan waktu sekejap saja." Ia tersenyum seolah hal tersebut adalah sesuatu yang biasa baginya. "Tapi, mungkin rasanya memang sama dengan berteleportasi bagi kalian manusia."
Aku melongo takjub. Kecepatan cahaya itu sangat cepat sekali dalam ilmu fisika. Dan manusia modern belum ada yang bisa membuat benda menggunakan kecepatan tersebut.
"Tapi, saat itu kau pernah menggendongku dan membawaku terbang---aku tidak semual ini," kataku bingung.
"Karena kau saat itu dalam keadaan setengah sadar dan aku tidak menggunakan kecepatan maksimal." Ia mengendikkan bahu.
Aku mengalihkan pandangan ke arah rumahku. Mobil Dad sudah terparkir di depan. Pasti ia sudah pulang. Aku tidak ingin orangtuaku memikirkan hal macam-macam mengenai keterlambatanku. Aku harus mencari alasan masuk akal. Bukan ide bagus jika mereka melihat Gabe di sini.
"Kurasa sebaiknya kau masuk. Sudah malam. Orangtuamu pasti mencemaskanmu," kata Gabe sambil mengamatiku.
"Ya, terima kasih telah mengantarku pulang dan juga makan malamnya," sahutku.
"Kupikir kau harus kembali makan malam karena kau sudah memuntahkannya tadi," ia tertawa pelan.
Aku ikut tertawa, lalu mengerutkan alis. "Bagaimana dengan mobilmu yang masih ada di Rochester?"
"Aku akan kembali ke sana mengambilnya. Tidak terlalu menyulitkan untukku."
"Maaf, aku tidak bisa mengajakmu mampir. Sepertinya bukan ide bagus jika Dad melihat kau terlibat dalam keterlambatanku pulang hari ini." Aku mendesah, sedikit merasa gelisah ketika melihat rumah bercat putih berdinding kayu itu---rumahku.
Gabe mengangguk paham. "Ya, aku sependapat. Sebaiknya aku pergi sekarang," ia menatap berkeliling, kedua sayapnya seketika mengembang. "Sampai jumpa!"
Aku menahan napas saat angin besar menyapu tubuhku waktu ia terbang dan menghilang di hadapanku. Cepat-cepat, kulangkahkan kaki ke dalam rumah. Terlalu lama di luar membuatku menggigil.
"Dad, Mom, aku pulang!" sapaku saat berada di pintu depan sambil membuka sepatu sneakers yang kukenakan dan meletakkannya ke rak di pinggir.
Dad sedang menonton tv di ruang tengah sementara Mom di dapur mencuci piring.
"Kenapa kau baru pulang? Dari mana saja?" tanya Mom, berbalik menghadapku. Kedua tangannya yang memakai sarung tangan karet terangkat ke atas.
Aku berjalan ke lemari es, mengambil sebotol jus dan langsung meneguknya. Rasanya menyegarkan. Perutku kembali keroncongan melihat sisa Lasagna di kulkas. Dengan gerakan cepat, kuambil makanan tersebut, lalu memanaskannya di microwave.
"Maaf, tapi tadi aku harus mengikuti rapat drama di sekolah. Pembagian peran," kataku tak sepenuhnya berbohong.
"Sampai selarut ini?" Dad menyela di belakangku.
Aku berbalik menghadapnya dan menaruh tas sekolahku di kursi meja makan. Antara dapur dan ruang tv di rumah kami memang tidak memiliki dinding. Dad sedang duduk menyandar di sofa bersama Keandra. Matanya tak lepas dariku. Aku tahu ia sedang menyelidik.
"Ya, aku tidak bisa mengabari kalian karena handphone-ku mati. Kehabisan baterai," jawabku dengan nada wajar agar terkesan biasa-biasa saja. Aku tidak pandai berbohong masalahnya.
"Kau tidak bersama cowok kan? Ini malam sabtu, lho." Dad memulai interogasinya.
Suara ting dari microwave menyelamatkanku. Buru-buru aku mengambil Lasagna yang kupanaskan, meletakkan di meja dan menyantapnya dalam diam---pura-pura tidak mendengar.
Dad selalu bersikap posesif mengenai hal berbau cowok. Aku tidak tahu alasannya. Walau aku belum pernah membawa cowok ke rumah, tapi Dad selalu bereaksi berlebihan dan itu sangat menyebalkan. Aku sudah 17 tahun dan ia bersikap seolah-olah aku masih berumur 7 tahun.
"Aku akan tampil di panggung berperan sebagai Rosaline. Ini sebuah kejutan untukku." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sungguh?" Mom menatapku antusias. Ia duduk di hadapanku setelah selesai menyusun peralatan makan yang baru dicucinya tadi.
"Ya, aku harus berlatih dengan baik agar bisa tampil bagus nanti," sahutku, berusaha memakan makananku dengan cepat agar bisa segera naik ke kamar.
"Itu bagus. Lalu, siapa yang mengantarmu pulang tadi? Apa kau berjalan kaki?"
Pertanyaan bagus, Dad! Kalau kujawab bahwa seorang malaikat yang mengantarku dan kami berteleportasi atau terbang atau apalah namanya, apakah ia akan berhenti bertanya?
"Tidak, seorang teman mengantarku," jawabku sebal.
"Teman? Liz? Becca? Atau dengan teman cowok?" Dad menyipitkan mata penuh selidik.
"Dad, please ...aku lelah. Aku ingin istirahat." Aku bangkit berdiri dengan tampang memohon---membawa piring makanku ke bak cuci piring dan mencucinya sebentar, lalu mengambil segelas air.
"Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" Dad mendesah.
"Ya, seorang teman mengantarku," aku menghela napas lalu, meneguk air di gelas tadi sampai tandas.
"Cowok?"
"Ya, cowok. Hanya teman, kau tidak perlu khawatir, Dad."
Mom membulatkan mata mendengar jawabanku. Aku mencium gelagat akan ada banyak pertanyaan menyebalkan yang baru dari mereka berdua, jadi aku bergegas naik ke kamar, menghindari interogasi mereka sebelum terlambat.
Saat di kamar, aku langsung men-charge ponselku, kemudian mengambil peralatan mandi beserta handuk dan setengah berlari menuju kamar mandi di bawah. Aku melakukan kegiatan itu secara kilat, lalu melesat kembali naik tangga mengenakan bathrobe.
Mom dan Dad masih duduk di ruang tv sambil mengobrol sesuatu saat aku menaiki kamar. Selesai berpakaian---aku mengenakan kaus lengan panjang usang kesayanganku---aku duduk di meja belajar, mengeluarkan naskah drama yang harus mulai kuhapal. Aku membalik-balikan halaman demi halaman kertas itu tanpa benar-benar membacanya. Pikiranku terbagi pada hal lain---teringat peristiwa Gabe yang melenyapkan makhluk menyeramkan tadi, lalu saat ia menghentikan waktu dan mengajakku berteleportasi atau berpindah tempat dengan sekejap.
Aku menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat. Merasa bahwa dunia memang semakin gila. Semua terlalu membingungkan buatku, tapi aku tidak bisa mengelak meskipun rasanya sangat di luar logika.
Aku menguap lebar, melirik jam weker di atas nakas. Sudah pukul sepuluh malam, pantas saja mataku sudah tak kuat lagi untuk diajak bekerja sama. Setelah membereskan naskah drama ke dalam tasku, aku bangkit menuju tempat tidur, bergelung dalam selimut tebal dan tak lama terlelap dalam mimpi yang terasa panjang dan melelahkan.
Aku terbangun paginya dengan napas terengah-engah. Keringat membasahi tengkuk dan leherku. Tubuhku menggeliat, menatap cahaya kuning pucat yang menelusup masuk melalui jendela kamar.
Aku bangkit berdiri dan berjalan membukanya lebar-lebar, membiarkan sinar mentari masuk ke dalam. Cuaca tampak cerah pagi ini. Awan tipis bergelayut manja di ujung cakrawala. Tidak ada tanda-tanda hari ini akan turun hujan seperti kemarin.
Aroma roti dan sosis bakar memanggil alam bawah sadarku untuk segera turun ke dapur. Mom sedang menggoreng sosis dan telur mata sapi di wajan. Keandra tengah menyantap sepotong roti coklat di meja makan. Sekitar bibir dan dagunya sudah belepotan selai, membuatnya terlihat lucu.
"Pagi!" sapaku sembari berjalan ringan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu, aku kembali ke meja makan, menarik kursi di sebelah Keandra yang sekarang tengah menjilati jari-jarinya.
"Pagi!" Mom balas menyapa, lalu meletakan telur setengah matang, sosis dan roti bakar di piring di hadapanku.
"Mana Dad?" tanyaku seraya mengelap wajah dan jari-jari Keandra dengan serbet bersih dari atas meja.
"Memancing bersama Mr. Rob di danau. Hari ini cuaca cerah. Kita akan makan malam dengan ikan lagi kurasa," kata Mom sambil menarik kursi makan depan Keandra. Lalu, duduk di sana seraya meletakan piring sarapannya.
Dad suka memancing bersama Mr. Rob---sahabat karibnya sejak remaja---di danau Calhoun setiap musim panas atau gugur. Saat aku masih di Middle School biasanya Dad mengajakku untuk ikut serta, melihatnya menangkap ikan Walley atau tombak utara yang mengasyikan. Kadang-kadang ia mengajariku bagaimana memasang umpan pada pancingan dan cara mendapat ikan dengan benar.
"Apa kau mau roti lagi?" Kulirik Keandra yang sekarang duduk termangu di sebelahku, mata zamrudnya masih menatap selai cokelat di meja dengan berbinar.
Gadis kecil itu mengangguk. "Ya, aku mau. Coklatnya yang banyak," katanya sambil meringis.
Aku meraih selembar roti gandum di seberangku dan mengoleskan coklat agak tebal di atasnya. Keandra sangat menyukai segala hal berbau cokelat. Ia menerima roti tersebut dengan senyuman lebar.
"Trim's..." gumamnya.
"Sama-sama." Aku balas tersenyum.
Mom menghabiskan sarapannya dengan cepat, kemudian bangkit berdiri. "Ayo, Sweety. Selesaikan sarapanmu. Kita akan ke rumah bibi Rosie hari ini."
"Mom mau ke rumah bibi Rosie?" tanyaku sambil menggigit sosis bakarku pelan-pelan.
"Ya. Kami ingin melihat keadaan bibimu. Ingat kan kemarin dia kecelakaan dan mengalami retak tulang? Hari ini ia akan membuka gips-nya ke rumah sakit. Mom rencananya akan pergi menemaninya. Kau mau ikut?"
Aku mengendikkan bahu. "Entahlah."
"Apa rencanamu hari ini? Pergi keluar bersama teman?" Mom mengangkat kedua alisnya dengan ekspresi tertarik. Jangan bilang ia masih penasaran ingin menginterogasiku soal semalam.
Aku mendesah. "Aku harus mulai berlatih dramaku hari ini dan ..." tiba-tiba saja teringat janji nonton film bersama Calvin nanti malam. "Ya, aku ada janji pergi menonton bersama teman malam ini."
"Kelihatannya menarik." Mom menuang segelas jus jeruk ke dalam gelas seraya tersenyum.
"Cuma teman, Mom." Aku memutar bola mata.
"Well, itu tidak apa-apa. Asal kau pulang tidak terlalu malam. Kau tahu kan ayah mu seperti apa," ujarnya sambil terkikik.
Aku tersenyum. "Ayah yang sangat mengesankan."
"Ayah yang menyayangi putrinya." Mom meralat, matanya beralih pada Keandra di sampingku. "Oh, Keandra ... kau kotor sekali. Ayo, kita mandi!" Ia bergegas menghampiri putri bungsunya yang sudah belepotan coklat.
Gadis kecil itu tertawa saat Mom menggendongnya menuju kamar mandi. Aku geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang menggemaskan, lantas menghabiskan sarapanku dengan cepat. Setelah itu, aku naik ke kamar mengambil ponselku yang masih dalam keadaan mati karena di-charge.
Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari nomor tak dikenal yang ternyata adalah Calvin. Baru saja aku hendak membalas pesannya, ia sudah lebih dulu meneleponku.
"Hallo, Baby!" suara beratnya menyapa riang.
"Hallo! Aku baru saja hendak membalas pesanmu. Maaf ponselku mati semalam."
"Kau masih ingat tentang kencan kita nanti malam, kan?"
"Tentu. Aku akan berdandan yang cantik untukmu," sahutku skeptis.
Terdengar suara tawanya di seberang telepon.
"Wah, aku tidak sabar menunggu nanti malam. Apa yang kau lakukan sekarang?"
Aku mengangkat bahu sambil duduk di ranjang. "Baru selesai sarapan. Aku ingin berlatih drama siang ini. Banyak dialog yang harus kuhapal."
Aku ingat kira-kira ada tujuh dialog yang akan kubawakan nanti saat pentas. Itu cukup banyak buatku dalam debut pertamaku tampil tahun ini.
"Apa kau mau kubantu berlatih? Well, aku cukup jago untuk urusan adegan ciuman. Kau bisa mengajakku jika kau mau." Suara tawa jailnya kembali terdengar.
Aku mendengus. "Tentu. Aku tidak meragukan bakatmu yang satu itu."
"Hei, aku serius loh jika kau mau."
"Oh, tapi sayang sekali tidak ada adegan itu dalam bagianku. Kau bisa membantu Emilly jika kau mau," kataku sambil menyeringai. Aku ingat Emilly dulu pernah tergila-gila pada Calvin waktu kami masih di tahun Sophomore.
"Ah, sayang sekali. Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan meneleponmu lagi nanti. Sampai ketemu nanti malam, Baby!"
"Ya, sampai nanti!"
Lalu, telepon terputus. Aku menatap layar ponselku sambil menghela napas. Kuletakkan kembali benda itu di atas nakas dan mengambil naskah skenario untuk mulai menghapalnya.
Mom muncul di depan pintu kamar bersama Keandra yang telah berpakaian rapi.
"Kami pergi sekarang, Keana. Jaga rumah baik-baik, ya!"
"Ya, Mom. Hati-hati di jalan!" sahutku sambil melambai pada mereka.
Sepanjang pagi itu, kuhabiskan waktu dengan menghapal naskah di depan tv. Sesekali melirik jam dinding di seberang ruangan. Rasanya detik berjalan sangat lambat hari ini. Beberapa kali aku mengecek ponsel siapa tahu Gabe mengirim pesan untukku. Aku masih penasaran mengenai dirinya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab. Seperti kenapa ia bertikai dengan makhluk mengerikan malam itu? Juga apa alasan ia datang kemari dan menyamar jadi manusia?
Aku menghela napas panjang memikirkan hal-hal konyol itu. Selama beberapa saat aku termangu memandangi naskah yang belum berhasil kuhapal sama sekali. Aku berjalan ke dapur untuk mencari camilan karena perutku agak lapar. Saat itulah telingaku menangkap suara gaduh di lantai atas.
Dengan penasaran, aku cepat-cepat naik ke tangga untuk mengecek dari mana suara itu berasal. Ternyata dari arah kamarku yang tertutup.
Suara gaduh itu semakin kencang terdengar hingga aku menerobos masuk ke dalam. Mataku membelalak ketika melihat sosok yang mengobrak-abrik kamarku saat ini.
"Hello, girl!" sapa sosok mengerikan bertubuh merah dan bertanduk, mata kuning terangnya menatapku nyalang---membuatku bergidik.
Ia menyeringai. Temannya yang lain---berambut panjang, berkulit pucat keabu-abuan dan bertaring---ikut menatapku tajam. Bola matanya juga berwarna kuning mengerikan.
"Si-siapa kalian?!" teriakku kaget. Suaraku pecah. Aliran darah di wajahku seketika surut. Aku tak bisa membendung kengerian dan ketakutan waktu membalas tatapan mereka.
Secara refleks, kakiku mundur dua langkah dan mereka melangkah maju mendekatiku. Si wanita pucat berambut panjang tertawa melengking yang membuatku semakin bergidik.
"Oh, kemarilah!" temannya yang berkulit merah semakin dekat berjalan ke arahku. Matanya meneliti setiap senti tubuhku dan senyuman yang lebih mirip seringaian mencuat di wajahnya.
Aku langsung berlari menuruni tangga dengan napas tercekat. Tapi rupanya mereka lebih cepat. Dua makhluk tadi kini sudah berdiri di mulut tangga di bawah dan si wanita pucat terbang ke arahku. Tangannya yang dingin mencekik leherku dengan erat.
"Katakan dimana benda yang malaikat bodoh itu simpan?!" Suara seraknya menusuk telingaku.
Aku megap-megap kehabisan napas karena cengkramannya yang membuatku sesak. "A-apa maksudmu?"
"Bunuh saja dia jika ia tidak mau mengatakannya!" Makhluk berkulit merah menyela di belakang. Suaranya terdengar parau.
Si wanita menyeringai padaku dan mendorong tubuhku dengan kasar ke dinding. Punggungku berdenyut sakit ketika menghantam permukaan keras itu. Aku semakin lemas karena kehabisan oksigen, sementara cekikan di leherku begitu kuat mencengkram. Lututku gemetar, pandanganku mulai kabur. Tanganku yang lemah terus menggapai-gapai tangan dingin wanita pucat itu agar melepaskanku.
"Aku ingin tahu apa reaksi malaikat tengik itu jika temannya mati!"
🍁🍁🍁
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Sheryl<N>■■~
Aku bacanya sampe tahan napass
2021-07-29
0
Titus Adjust
itu setannya gak takut sama cahaya matahari ya.. siang2 kok nongol.. 😅
2020-08-09
1
purnama sari
Serem... Bikin spot jantung ni cerita
2020-06-13
0