Pesta Halloween yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sejak pukul tujuh malam sekolah sudah ramai dipenuhi anak-anak yang mengenakan kostum bermacam-macam; dari mulai Superhero, tokoh karakter film, hantu menyeramkan sampai karakter tokoh terkenal. Musik disko berdentum-dentum memenuhi ruangan aula sekolah yang disulap menjadi tempat penyelenggaraan party malam ini, lengkap dengan ornamen-ornamen bernuansa horor. Labu-labu kuning yang diukir membentuk wajah menyeramkan digantung hampir di setiap sudut ruangan. Lampu-lampu neon temaram menambah kesan angker. Justru suasana seperti inilah yang dinanti-nanti setiap Halloween datang.
Kulihat Liz di sudut ruangan, mengobrol bersama Vincent sejak kami datang. Sesekali kedua remaja itu tertawa. Kurasa pendekatan Liz berjalan lancar. Vincent nampak tertarik dengannya. Bisa kulihat dari caranya menatap Liz saat ini dan gaya tubuhnya yang selalu condong ke depan ketika mengobrol. Well, tentu saja ini kabar baik. Liz sudah lama menyukai cowok itu.
Kuteguk minuman soda di gelas yang kupegang sejak tadi. Beberapa anak lain berdansa di tengah aula dengan gembira. Sharon dan Dalton nampak serasi dengan kostum Cleopatra and Ramses yang mereka kenakan. Mereka berdua mengobrol bersama anak-anak populer lain di sisi ruangan.
Kuputar-putar gelasku dengan tak semangat, mencari-cari sosok Gabe yang belum terlihat. Ruangan sudah penuh sesak dengan para siswa dan guru yang hadir. Becca sedang bergabung dengan anak club musik, membicarakan rencana festival sekolah yang akan diselenggarakan musim dingin akhir tahun nanti.
Anak-anak teater juga akan mengadakan audisi senin depan di sekolah. Kami sudah merencanakan akan menampilkan drama Hansel and Gretel. Dan aku tidak perlu repot-repot untuk mengikuti audisi sebab sudah pasti aku akan langsung dapat peran, well sebagai pohon, tanaman bunga atau kalau beruntung menjadi angsa putihnya. Selalu begitu setiap tahun. Bukankah aku sangat beruntung?
"Hai!" sapa Calvin Morris padaku.
Aku mendongak dan tersenyum tipis. "Hai!"
Calvin mengenakan kostum vampir dan mendandani wajahnya sendiri memakai foundation agar terlihat lebih pucat, rambutnya di sisir rapi ke belakang memakai pomade serta gambar taring di bawah bibirnya yang agak tebal sexy--membuatku teringat pada karakter vampir di film-film lama.
"Sendirian?" mata topaz-nya mengamatiku lekat-lekat. Kedua alis tebalnya terangkat dan senyuman jail khasnya mencuat.
Aku mendesah, merasa bingung kenapa Calvin tiba-tiba datang menyapaku. Sangat tidak biasa. "Seperti yang kau lihat."
Calvin mengedipkan mata. "Boleh aku duduk disini? Menemanimu?" Tanpa menunggu persetujuanku, dia sudah menghempaskan tubuhnya di kursi bar sebelahku.
"Ya, asal kau tidak macam-macam saja," ancamku sedikit merasa tak nyaman, lalu meneguk sodaku sampai habis.
"Kau Keana Larson, kan? Kita satu kelas di kelas bahasa inggris," Calvin mengamati wajahku lagi. Ekspresinya menunjukkan ketertarikan.
Aku balas menatap wajahnya, lalu mengangguk pelan. "Ya, apa kau baru menyadarinya?"
Calvin tergelak. "Sejujurnya iya. Kau tampak berbeda malam ini--dengan kostum ini." Ia menunjukku keatas dan kebawah menggunakan telunjuknya.
Aku mengerutkan alis, kurang memahami ucapannya. "Maksudmu? Berbeda apa?"
Calvin mencondongkan tubuhnya ke telingaku dan berbisik lirih. "Kau terlihat cantik."
Aku menggeser tubuhku sambil mengusap telingaku yang terasa geli. Calvin tertawa lagi melihat reaksiku. Aku mendengus kesal, dia pasti sengaja ingin menggodaku dan aku tidak mood meladeninya.
"Jadi, maksudmu selama ini aku tidak cantik?" tanyaku ketus, lalu mengambil segelas air soda lagi dan meminumnya sedikit.
Calvin menautkan kedua alisnya. "Kau cantik, kok. Hanya saja mungkin aku kurang memperhatikanmu dan malam ini aku baru menyesalinya."
Aku mendengus sinis, lalu mengedarkan pandangan berkeliling--berharap Gabe sudah muncul--tapi yang kudapat malah tatapan marah Karen yang berkilat ke arahku.
"Sebaiknya, kau tidak usah menggangguku. Aku tidak ingin Karen sampai membunuhku diam-diam gara-gara kau."
Calvin tersenyum mengejek, tatapannya beralih sesaat pada gadis itu. Karen mengenakan kostum Tomb Raider yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sungguh, apa dia tidak kedinginan memakai pakaian pendek itu? Aku sendiri sudah merasa tak nyaman dengan kostum periku yang agak kependekan.
"Tidak usah perdulikan dia. Dia dan seluruh cewek-cewek di sekolah ini sudah jatuh hati pada Gabe. Aku tersaingi. Ketampananku jadi tidak laku lagi--barangkali kau mau menaruh hatimu padaku?" godanya seraya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih--secara tidak langsung sengaja mengeluarkan pesonanya. Mungkin gadis lain akan terpikat, tapi aku tidak cukup tertarik dengan dirinya. Calvin si buaya darat sudah kutulis besar-besar dalam otakku.
"Selain penggoda, kau juga narsis ternyata," kataku sarkastik.
Calvin mengendikkan bahunya dengan gaya sok keren. "Ya, itulah ciri khasku. Kau pasti suka," kedipan matanya membuatku merinding.
"Kau sudah tidak waras." Aku geleng-geleng kepala.
"Kenapa?" tanyanya, kedua bibirnya mengerucut. Matanya menyipit memandangku. "Apa kau juga ikut-ikutan naksir Gabriel? Oh, ayolah. Kenapa kalian suka sama cowok gunung es itu padahal aku lebih menantang?"
"Kau itu badboy," sahutku yang membuatnya tertawa.
"Hei, kau tahu wanita itu lebih menyukai badboy daripada goodboy."
"Benarkah? Tapi, aku tidak." Aku mengangkat sebelah alisku.
Calvin berdecak. Sorot matanya semakin dalam menatapku. "Kau menarik juga. Aku suka kau."
Aku tersedak mendengar ucapannya. Sialnya, aku sedang meneguk soda. Hidungku jadi perih dan mataku berair.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Tangannya menepuk-nepuk punggungku dan aku segera menepisnya.
"Berhentilah menggodaku, Calvin. Sebaiknya kau goda gadis lain saja," kataku parau, masih terbatuk-batuk.
Calvin cemberut, tapi sedetik kemudian senyuman jail mencuat di bibirnya. "Malam ini mau kuantar pulang?"
"Tidak usah, aku pulang bersama Liz dan Becca."
"Maksudmu Liz--Elizabeth Brown? Dia sudah pergi bersama Vincent. Apa kau tidak menyadarinya?" Calvin mengambil segelas air soda di meja, lalu meminumnya.
Aku menatap ke tempat Liz dan Vincent mengobrol, baru kusadari gadis itu sudah tidak ada. Ponselku berbunyi dan sebuah pesan darinya mengatakan bahwa Vincent yang akan mengantarnya pulang. Kami memang pergi bersama ke sekolah, diantar oleh kakak laki-lakinya menggunakan mobil orang tua mereka.
Calvin tersenyum, mengamati reaksiku yang kebingungan. "Pulang bersamaku? Aku akan menyuruh Nick atau Jeremy mengantar temanmu pulang. Oh ya, Jeremy kupikir cocok jika berkencan dengan temanmu itu."
Nick? Jeremy? Dua makhluk buas yang sama seperti dirinya. Walau sebenarnya Calvin lebih ganas, tapi aku tidak akan membiarkan Becca berhubungan dengan mereka. Bisa tercemar.
"Tidak, aku bisa pulang sendiri."
"Dengan apa? Jalan kaki? Kau tahu kan bagaimana jalanan di malam hari."
Aku menangkupkan kedua tanganku di wajah. Aku bisa minta Dad menjemput. Bayangan duduk berdua bersama Calvin membuatku merinding. Entahlah, kenapa aku bisa takut dengannya.
"Kau tahu banyak gadis-gadis yang berebut agar bisa naik ke mobilku. Kau salah satu yang beruntung, tapi kau menolak," suaranya terdengar kecewa.
Aku mendesah. "Lalu kenapa kau tidak mengajak mereka? Kenapa malah mengajakku?"
"Karena aku tertarik padamu. Sudah kubilang tadi." Calvin merengut membuatnya terlihat menggemaskan.
Kutatap wajah Calvin yang memang tampan. Matanya dalam, bewarna topaz yang sangat serasi dengan warna cokelat gelap rambutnya, hidungnya tinggi dan lancip, bibirnya merah tebal dan sedikit berbelah sejajar dengan belahan dagunya. Kulitnya putih kecokelatan. Secara keseluruhan dia punya wajah yang sempurna, tapi semua itu lenyap sia-sia sebab perilakunya selama ini yang bisa dibilang dalam kategori kurang baik. Itu yang membuatku tidak terlalu terpikat padanya.
"Kenapa kau tertarik padaku?" semburku heran.
"Well, kau lucu dan sangat frontal. Aku suka cewek sepertimu. Lagipula kau juga cukup cantik," kedua matanya berbinar ketika mengucapkan itu.
Kurasakan pipiku memanas dan pasti wajahku sudah merah padam. "Kalau begitu terima kasih atas pujianmu."
"Jadi?" desaknya.
"Jadi apa?"
"Kau mau pulang denganku?"
Aku menggigit bibir bawahku, tanpa sadar melirik Karen yang terus memperhatikan kami. "Bagaimana dengan Karen?"
"Jangan khawatirkan dia. Lagipula kami sudah putus," Calvin menenangkanku. Tapi tatapan tajam Karen seakan bisa membunuh kami berdua.
"Akan kuantar kau pulang dengan aman. Aku janji tidak akan membuatmu lecet sedikit pun, tenang saja," lanjutnya yang mulai tak sabar dengan keraguanku.
Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. "Baiklah, tapi Becca boleh ikutkan? Aku tidak percaya dengan kedua temanmu itu."
Calvin tertawa. "Kenapa kau takut sekali, sih? Kami bukan monster yang akan memakan kalian. Kami cuma ... ya, sedikit nakal. Itu saja."
"Nah, itu lah yang aku takutkan."
Calvin menghela napas. "Malam ini aku akan bersikap baik padamu. Sungguh. Aku akan jadi goodboy."
"Ya, kau harus--atau aku akan telepon polisi jika kau macam-macam," ancamku yang membuat seringai muncul di wajah tampannya.
"Ternyata sulit sekali merayumu," keluhnya seraya menggosok hidungnya dengan gusar. Aku cuma tertawa kecil dan dia semakin cemberut.
"Aku hanya heran saja kenapa kau tiba-tiba seperti ini. Sungguh sesuatu yang aneh."
"Aneh bagaimana? Aku memang seperti ini, penuh pesona kan?" Dia nyengir, menaik-turunkan alisnya jenaka.
Sekonyong-konyong Gabe muncul di ambang pintu. Semua orang lagi-lagi seperti tersihir menatap ke arahnya dengan terpana. Gabe hanya mengenakan kaus turtleneck biru tua dan coat hitam dipadukan celana jins ketat dan sepatu sneakers cokelat. Tatapannya menyapu semua yang ada disini tanpa ada rasa bersalah dengan kostum yang ia kenakan.
"Dia tidak bercanda, kan? Kenapa dia nekat kemari kalau tidak pakai kostum?" gumam Calvin, terperangah dengan penampilan Gabe yang mengejutkan.
Anak-anak cowok menatap Gabe heran, sementara anak-anak perempuan hanya bisa mematung--terlena oleh pesona yang dipancarkannya. Gabe tetap terlihat luar biasa tampan. Jika kau pernah menonton film ada seorang tokoh yang berdiri bersinar karena auranya, seperti itulah Gabe yang kami lihat saat ini.
Gabe berjalan mendekati meja bar, tempat aku dan Calvin tengah duduk. Ada beberapa anak cewek yang berdiri di sini juga, menatapnya tak berkedip--mungkin mereka akan pingsan mendadak jika Gabe tersenyum pada mereka.
Aku pun tak kuasa menahan gejolak dalam perutku--yang kuyakini ini bukan karena masalah pencernaanku yang tak beres--tapi, lebih karena otakku yang terlalu bersemangat merespon kehadiran Gabe secara tiba-tiba. Dan cowok itu menatap kami sejenak, lalu mengalihkan pandangan setelah mengambil sepotong pie labu di atas meja.
"Apa?" tanyanya pada kami yang terus saja menatapnya, terkesima.
"Kau tidak salah pakai kostum, kan?" Calvin berusaha menahan tawa.
Gabe mengendikan bahu. "Tidak. Aku memang tidak berniat kemari," katanya dengan suara mengalun.
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, mengenyahkan mantra pemikat yang mungkin saja sedang ditebarnya. Tapi, tetap saja Gabe membuat mataku tidak bisa berpaling.
"Lalu, kenapa kau kemari?" Calvin keheranan.
"Aku bosan. Dan sepertinya itu bukan urusanmu," katanya dingin.
Calvin mendengus. Matanya berkilat menatap Gabe. Kemunculan Sharon dan teman-temannya membuat perhatianku akhirnya teralihkan.
"Hai, Gabe. Kenapa kau tidak memakai kostum malam ini?" sapa Sharon ramah padanya, tampak cantik dengan busana Cleopatra yang membalut tubuhnya.
Sementara Karen, menatapku dan Calvin dengan tatapan sadis. Demi mengenakan kostum Snow White yang selaras dengan rambut hitam gelapnya. Ashley di belakang masih mengobrol dengan Dalton dan anak populer yang lain. Gadis itu memakai kostum Red Devil yang cantik, lengkap dengan hiasan tanduk dikepalanya.
"Aku tidak berminat memakai kostum konyol seperti kalian," jawab Gabe datar, namun cukup mengejutkan.
"Yeah, kau tahu ini kan Halloween." Sharon mengerjap.
Gabe tersenyum tipis. "Lagipula, aku cuma mampir ke sini. Kalian bisa mengabaikanku kalau mau."
Karen yang berada di sebelah Sharon tiba-tiba menghampiri Calvin. Matanya menatap nyalang seolah sebentar lagi akan ada sinar laser yang keluar dan membelah tubuh kami.
"Bisa kita bicara sebentar, Calvin?" katanya dengan nada tinggi.
Calvin tampak menarik napas panjang. Wajahnya mengeras, seperti sudah siap akan menghadapi badai. "Kau mau bicara? Disini saja ..." ia tersenyum miring, suaranya terdengar gelisah.
"Tidak di sini, tentu saja!" Dengan kasar, gadis itu menarik tangannya ke sudut ruangan di sisi lain.
Aku geleng-geleng kepala, lalu bangkit berdiri. Gabe sedang memperhatikan Calvin dan Karen yang baru saja pergi. Sharon dan Demi masih setia di dekatnya--berusaha menarik perhatian dengan mengajak ngobrol apa saja. Saat itu Becca datang menghampiriku. Sudut matanya melirik Gabe dengan tak percaya. Aku tahu apa yang dipikirkannya.
"Aku mau pulang saja. Apa kau masih mau disini?" tanyaku pada Becca.
"Well, ya ... pembicaraanku dengan anak-anak club musik masih belum selesai. Sekarang kami mau berdansa. Kau mau ikut?"
"Tidak, ah. Aku sudah bosan." Aku menggeleng pelan.
"Kau mau pulang bersama Liz?"
"Tidak, dia sudah pergi dengan Vincent sejak tadi."
"Wow, benarkah? Aku tidak tahu. Lalu, kau akan pulang dengan siapa?" Becca menatapku lekat.
Aku mengendikan bahu. "Aku akan meminta Dad atau Mom menjemputku."
"Oh, baiklah. Aku juga sebenarnya sudah lelah, tapi tidak enak meninggalkan mereka." Becca melambai pada anak-anak club musik saat mereka memberi kode untuk ke lantai dansa. Lalu, kembali menatapku. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirnya.
"Kulihat kau mengobrol bersama Calvin Morris sejak tadi. Kalian ngobrol apa?"
"Dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang malam ini." Aku mendesah.
Becca membelalakan matanya tak percaya. "Sungguh? Itu sebuah kejutan. Kenapa dia mau mengajakmu pulang bersamanya? Apa dia sengaja menggodamu?"
"Entahlah. Siapa yang tahu apa yang dipikirkannya. Kau tahu sendiri seperti apa dia. Lagipula pulang dengannya adalah hal yang buruk."
"Kenapa?" tanya Becca heran.
Aku mengangkat daguku ke arah Calvin dan Karen sedang mengobrol di sudut ruangan yang berjarak beberapa meter dari kami. Mereka tampak bertengkar dan sesekali Karen melihat ke arahku dengan tatapan galak.
"Wow. Kau benar-benar dalam masalah, Keana." Becca tertawa ketika ikut mengamati mereka.
Aku mendengus. "Sebaiknya aku menelepon orang tuaku sekarang. Kau bisa bergabung dengan club-mu lagi jika kau merasa tidak enak."
"Umm... baiklah. Aku akan ke sana dulu. Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng. "Tidak. Kau pergilah. Aku baik-baik saja."
Becca melambai sebentar, lalu berjalan ke lantai dansa bergabung bersama teman-temannya. Aku berjalan ke pintu--nyaris menabrak Nick yang setengah mabuk di tengah ruangan--dan mengambil ponselku yang berada di dalam tas. Kemudian menelepon Mom memintanya menjemputku. Mom mengatakan iya.
Aku mengambil mantelku dalam tas dan mengganti wedges-ku dengan sneakers. Udara di luar dingin sekali ketika aku sudah meninggalkan gedung aula. Banyak anak-anak yang berkumpul di halaman sekolah. Separuh yang lain sudah pulang mengendarai mobil masing-masing.
Aku melangkah menuju gerbang. Selama 10 menit menunggu, Mom belum juga muncul. Kudengar suara Calvin memanggil-manggilku di belakang. Aku menoleh dan melihat cowok itu berjalan. Matanya menatap ke sekeliling seperti mencari-cari keberadaanku. Aku terlonjak dan cepat-cepat mencari tempat bersembunyi--berusaha menghindarinya.
Ada sebuah pohon apel yang tumbuh cukup besar di pinggir pelataran parkir. Aku bergegas sembunyi di sana. Calvin tampak gelisah memandang kesana kemari. Sesekali ia bertanya pada beberapa anak apakah melihatku dan mereka menggeleng. Ekspresinya mengerut antara kecewa dan kesal--aku tidak tahu pasti--yang jelas ia sudah masuk kembali ke dalam gedung aula. Aku mengembuskan napas lega. Aku merasa tidak nyaman, entah apa yang membuat Calvin begitu terobsesi padaku malam ini. Membayangkan bagaimana Karen nanti mencabik-cabikku jika aku dekat dengan cowoknya, membuatku merinding.
Pelan-pelan aku keluar dari balik pohon apel yang telah berjasa melindungiku malam ini. Sambil mengibas-kibaskan mantelku pada beberapa ranting yang melekat, aku tak sengaja melihat Gabe keluar dari gedung aula. Cowok itu berjalan ringan ke halaman belakang. Sorot matanya nampak serius. Kubuang pandanganku ke arah gerbang. Mom belum juga datang, jadi kuputuskan untuk mengikuti Gabe diam-diam. Dorongan rasa penasaran menyeruak dalam diriku.
Gabe menyusuri lorong tanpa menoleh sama sekali. Tatapannya lurus ke depan. Sesekali ia menengadah ke atas, ke langit malam yang tampak cerah dengan bintang-bintang bertaburan. Lalu, berbelok ke sisi kanan gedung. Aku menggigit bibirku, merasa tidak nyaman dengan rasa penasaranku. Tapi, aku tidak bisa menahannya. Saat kuikuti Gabe berbelok ke kanan, aku terkejut--cowok itu sudah tidak ada, menghilang.
Selama beberapa saat aku berputar-putar mencarinya. Sampai ke lapangan football dimana tim chearleaders sering latihan, juga ke tempat lintasan marathon dan arena lapangan baseball. Gabe tetap tidak ada. Kuputuskan untuk kembali ke halaman depan sekolah. Entah kemana cowok itu menghilang, aku cepat-cepat membuang rasa penasaranku sebelum Calvin menemukanku lagi.
Ponselku berdering nyaring. Mom mengatakan sudah di depan sekolah. Aku cepat-cepat berlari ke sana, meninggalkan tempat ini.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Ayne Kim
astaga Gabe. kamu itu... ihhh,, gemesin dehh
2020-06-15
0
purnama sari
Mantap...
2020-05-20
0
Triiyyaazz Ajuach
gabe bkin penasaran
2020-05-05
0