Gabe menarik tanganku sepanjang perjalanan menuju belakang sekolah tanpa mempedulikan ratusan pasang mata yang memperhatikan kami. Ia melepas tanganku ketika kami telah berada di dekat lapangan football. Gabe berjalan menuju bangku penonton yang agak sepi dan aku mengikutinya.
Lapangan itu sudah ramai oleh anak-anak tim American Football yang sedang berlatih karena akan bertanding dengan sekolah lain. Setiap musim gugur, hampir semua high school mengadakan pertandingan dan pemenang olahraga ini akan menjadi bintang dan mendapatkan penghargaan dari pihak sekolah.
Dalton dan timnya tengah berlatih di sana. Cewek-cewek cheerleaders ikut latihan di pinggir lapangan membentuk formasi. Aku mengamati mereka sesekali sambil menunggu Gabe bicara. Tatapan cowok itu serius sekali.
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" desakku tak sabar.
Gabe mengepalkan tangannya. Wajahnya kaku dan tegang. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu," katanya pelan.
"Memastikan apa? Bahwa aku tidak akan membuka mulut tentang rahasiamu malam itu?" semburku dan aku terkejut sendiri karena tiba-tiba saja mulutku dengan lancangnya mengatakan hal itu.
Rahangnya mengeras, matanya yang tajam langsung menghujamku. "Apa maksudmu?"
Aku tercekat. Lalu, ragu-ragu menjawab lirih. "Ya, malam itu. Aku lihat kau sedang berdiri di jalan ... dan kau punya ... sayap yang besar..."
Gabe mengamatiku sesaat, lalu ia tersenyum mengejek. "Apa kau sudah gila? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Aku tidak gila, walau kurasa ini memang tidak masuk akal. Tapi, aku tidak salah lihat. Itu kau! Kau terbang dan menghilang," kataku yakin. Walau kupikir aku hanya berusaha meyakini diriku sendiri bahwa aku memang masih waras.
Kedua matanya berkilat, persis seperti malam aku melihatnya. Ia menegakkan tubuhnya, namun pandangannya mengarah pada anak-anak cowok di lapangan yang sedang latihan.
"Apa kau sedang berhalusinasi? Kau bilang aku terbang? Yang benar saja ..." ejeknya.
"Aku tidak mungkin salah. Itu memang kau!" balasku sengit.
"Keana, apa kau salah minum obat? Kau baru saja demam. Mungkin kau terbawa mimpimu sampai tidak bisa membedakan mana yang nyata atau tidak." Ia tertawa, tapi tatapannya terlihat was-was.
Aku mengatupkan bibirku, rasa kesal membuat wajahku panas. "Lalu apa yang ingin kau bicarakan denganku? Kau tidak mungkin sampai membawaku ke tempat ini kalau bukan sesuatu yang penting."
Ekspresinya kembali mengeras. Ia terdiam untuk beberapa saat lamanya. Aku tahu ia sedang mencari jawaban yang tepat. Memandang raut wajahnya yang tegang membuatku yakin bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Aku hanya mengkhawatirkanmu. Itu saja," katanya.
"Kenapa kau mengkhawatirkan aku? Kita tidak sedekat itu." Aku mendengus.
"Jadi aku tidak boleh mengkhawatirkanmu?" ia tersenyum kecil.
Aku mengalihkan pandanganku ke tempat anak-anak cheerleaders sedang berlatih---yang sialnya, mereka juga tengah memperhatikan kami---untuk menghindari senyuman mempesona itu.
"Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu. Aku ... aku bisa saja menjaga rahasiamu jika kau takut aku bermulut besar," kataku lirih.
"Apa kau bercanda?" Senyuman dibibirnya langsung lenyap. Kedua pupil matanya membesar.
Pelan-pelan kucoba mendongak, menatap mata birunya yang tajam, mencari jawaban atas rasa penasaran yang menyiksaku sejak kemarin.
"Siapa kau sebenarnya, Gabriel?"
Gabe diam saja, tidak menjawab. Kedua tangannya terkepal. Bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran pertama dimulai dan aku masih terpaku menunggu jawaban cowok itu.
"Tentu saja aku manusia. Kau kira aku apa?" Katanya kemudian.
"Tapi kau punya sayap. Seorang manusia tidak mungkin memilikinya," sergahku.
"Kau memang sudah tidak waras, Keana. Aku tidak peduli. Terserah kau saja!" Ia terlihat marah, wajahnya merah padam, lalu, berjalan cepat meninggalkanku begitu saja.
Aku menunduk, menatap ujung sepatu sneakers-ku dengan malu. Tapi entah kenapa aku masih yakin bahwa aku memang benar. Gabe hanya sedang menyembunyikan identitasnya saja.
Sepanjang perjalanan menuju ke kelas biologi, otakku terus mengenang kembali peristiwa malam sebelum aku pingsan. Jelas-jelas itu memang sosok Gabe yang kulihat. Mereka memiliki postur tubuh dan mata yang sama.
"Selamat datang, Ms. Larson! Kupikir kau masih absen hari ini," sapa Mr. Thompson saat aku baru masuk kelas.
Kelas sudah dimulai sejak lima menit lalu dan aku terlambat. Dengan malu-malu, aku segera menuju kursiku setelah sebelumnya meletakan tugas biologi yang sudah kukerjakan semalam ke mejanya.
"Maafkan atas keterlambatanku, Mr. Thompson." ucapku, bergegas duduk di kursiku.
"Yeah, tidak masalah. Setidaknya kau tidak membolos hari ini," sahutnya sambil membagikan kentang dan pisau pada setiap meja siswa.
Pelajaran hari ini kami mengadakan praktek menganalisa osmosis pada kentang. Aku duduk di sebelah Becca, sementara Liz duduk di belakang kami.
"Jadi, apa yang kau bicarakan dengan Gabe? Kudengar dia menggandengmu dan kalian bicara empat mata." Becca langsung menginterogasiku penasaran. Bola matanya sibuk mengawasi Mr. Thompson agar kami leluasa bergosip.
Aku menghela napas, mulai mengupas kentang dan memotong-motongnya menjadi beberapa bagian sesuai petunjuk yang diarahkan Mr. Thompson pada kami.
"Kami tidak bicara apa-apa," kataku tak semangat.
"Sungguh?" Becca menatapku tak percaya. Lalu, menyiapkan larutan glukosa untuk merendam kentang-kentang tersebut.
"Ya," aku mengangguk. "Dia cuma menanyakan keadaanku. Itu saja."
"Wow! Mungkin dia memang menyukaimu," Becca berkata antusias.
Aku mendengus." Tidak, dia tidak menyukaiku. Kau jangan salah paham."
Tentu saja, yang kami bicarakan tadi adalah mengenai dirinya yang bersayap bukan hal lain.
"Kenapa kau yakin dia tidak menyukaimu?" Becca menatapku penasaran. "Lihat saja, betapa ia mempedulikanmu. Aku yakin dia memang tertarik padamu dan menurutku Gabe lebih baik daripada Calvin."
Aku memutar bola mata.
Ya, mungkin makhluk bersayap memang lebih baik daripada buaya darat, pikirku ironis.
o0o
Saat istirahat makan siang, aku memilih pergi ke ruang club drama menemui Jake Ramsey. Aku ingin melakukan audisi, walau kutahu sudah terlambat sebab audisi sudah selesai, tapi aku berharap cowok itu bisa memberi keringanan untukku karena sakitku kemarin.
"Maaf, Keana. Audisi sudah selesai dan kami sudah menentukan siapa saja yang berhasil mendapatkan peran," katanya ketika aku datang dan memohon padanya untuk diberi kesempatan.
"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan sekali saja? Aku sakit kemarin, jadi tidak bisa mengikuti audisi dan kau tahu itu," pintaku memasang tampang memelas.
Jake menarik napas. "Baiklah, karena kau telah lama bergabung dengan club ini. Aku akan memberimu kesempatan. Silakan kau berlatih dulu selama 10 menit, lalu kembali ke sini. Ini kesempatan terakhir untukmu."
"Oke! Terima kasih, Jake." Aku bergegas ke belakang panggung, mulai berlatih adegan Juliet di depan cermin besar. Di belakangku Emilly dan anak-anak teater lain memperhatikanku. Aku bisa menangkap raut tidak suka yang dipancarkan Emilly padaku.
Setelah 10 menit berlalu, Jake memanggilku dan menyuruhku berdiri di atas panggung. Aku menarik napas dalam-dalam sambil menatap orang-orang di hadapanku dengan sedikit gugup.
Mrs. Alison---pembina teater sekaligus guru bahasa inggris kami---menatapku lekat. Aku tersenyum pada mereka semua, lalu memulai aktingku dengan dialog yang sudah kuhapal berkali-kali dan aku sadar setelahnya, bahwa aktingku payah.
Kulihat raut kekecewaan dari wajah mereka padaku. Aku menggigit bibirku menahan rasa sesal dan marah. Kesal terhadap kepayahan diriku sendiri.
"Maaf, Keana Larson. Kau belum cocok untuk menjadi Juliet," kata Mrs. Alison, namun ia berusaha tersenyum padaku.
Aku menunduk. Air mata menggenangi pelupuk mataku. Tak bisa kubendung lagi kekecewaan dalam diriku sendiri. Aku benar-benar berharap tahun ini bisa mendapatkan peran bagus, tapi aku sudah mengacaukannya.
"Jangan sedih, Keana. Kau masih bisa ikut jika kau mau. Aku akan mencari peran yang cocok untukmu," gumam Jake yang terlihat mengasihaniku.
Aku tertawa dalam hati. Yeah, peran yang cocok untukku hanyalah menjadi pohon, tanaman bunga, atau posisi penggerek layar. Mungkin kali ini ia akan memberiku peran menjadi rumput liar atau kalau perlu menjadi tukang gulung kabel.
"Tenang saja. Aku tidak apa-apa," kataku pada mereka seraya turun dari atas panggung.
"Terima kasih atas partisipasimu, Ms. Larson. Tetap semangat, okay?" Mrs. Alison menyemangatiku dan kujawab dengan anggukan lemah.
Aku segera keluar dari ruang teater dengan langkah gontai. Semangatku hilang. Mungkin club drama tidak cocok untukku. Sebaiknya tahun depan aku bergabung dengan club lain saja yang memang lebih cocok.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Liz padaku saat kami di ruang ganti untuk memakai pakaian olahraga.
"Ya. Aku tidak apa-apa," sahutku muram.
Sejak tadi aku sudah berusaha menyemangati diriku sendiri dengan segala macam pikiran yang bisa menaikan mood ku lebih baik, tapi tetap saja kenyataan bahwa aku gagal audisi untuk yang kesekian kali membuatku sedih dan tak bersemangat.
"Kau pucat," Liz mengamati wajahku. "Bagaimana dengan audisimu? Apa berjalan lancar?"
"Buruk." Aku balas menatapnya, "aku payah. Mungkin sebaiknya tahun depan aku bergabung pada ekskul lain."
Liz menepuk bahuku, memberi semangat. "Jangan bersedih. Kau hanya sedang sial saja. Jika kau tidak sakit, mungkin kesempatanmu untuk lolos lebih besar."
"Tidak. Aku memang payah. Mungkin takdirku di dalam drama hanya menjadi sebatang pohon," ujarku yang membuat Liz tertawa.
Dan kesialan terus berlanjut hari ini untukku. Kami harus berlari marathon pada pelajaran olahraga kali ini. Aku belum sempat makan apa-apa istirahat tadi karena harus mengikuti audisi. Jadi, selama berlari aku benar-benar tidak bertenaga---selain memang semangatku telah hilang---dan berada diurutan paling buncit. Setelah itu, Mr. Bekker menyuruh kami untuk melakukan lompat jauh.
Oh, Mr. Bekker kenapa kau tidak sekalian membunuhku saja.
Selama pelajaran berlangsung, aku merasakan Gabe terus menatapku. Ekspresinya sulit ditebak, kelihatannya dia takut aku membahas sayapnya lagi. Sungguh, aku sedang tidak berminat karena sekarang jika kupikir aku yang memang sudah tidak waras. Mungkin dokter Franklin menyusupkan Mariyuana dalam obat demamku kemarin sehingga aku berhalusinasi melihatnya bersayap.
Kini giliranku untuk melakukan lompat jauh. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Untuk berdiri pun kakiku terasa lemah. Aku menelan ludah berkali-kali dan tenggorokanku terasa kering. Saat aku mulai mengambil ancang-ancang untuk melakukan lompatan, seketika pandanganku terasa berputar dan kurasakan badanku melayang, lalu ambruk ke tanah.
Aku pingsan.
o0o
Aku membuka mataku perlahan-lahan, tubuhku serasa melayang. Tidak---aku memang melayang dan aku merasa seseorang sedang menggendongku dan membawaku terbang. Mataku terasa sangat berat untuk terbuka lebih lebar, tapi aku bisa melihat sosok yang sedang membawaku saat ini, walau sedikit kabur.
Itu Gabe---Gabriel!
Dan ya, Tuhan! Dia bersayap! Sayap putihnya mengembang dan mengepak di udara seperti seekor burung raksasa. Mata birunya menatap lurus ke depan, namun debaran jantung dan hawa hangat yang keluar dari tubuhnya membuatku yakin bahwa aku sedang tidak bermimpi.
Gabe menurunkanku di atas rerumputan hijau yang terhampar sejauh mata memandang. Aku bisa mendengar suara gemericik air di telingaku. Lalu, alunan seruling merdu yang membuatku mengantuk. Rasanya tubuhku berat sekali ketika kucoba untuk bangkit dan mataku masih sulit untuk membuka lebih lebar.
Gabe berdiri menjulang di depanku. Kedua sayapnya masih mengembang di belakang punggungnya. Aku ingin memanggilnya, tapi lidahku kelu.
Seseorang bertudung hitam menghampiri Gabe. Saat ia membuka tudungnya, aku bisa melihat ia adalah seorang laki-laki dan memiliki wajah yang luar biasa tampan. Matanya biru tapi lebih gelap. Janggut tipis tumbuh disekitar dagunya. Hidungnya tegas dan mancung seperti Gabe, lalu rambut pirang pasirnya---panjang sebahu---melambai-lambai tertiup angin yang berhembus.
"Kenapa kau membawanya kemari?" tanya pria itu sambil menatapku tajam. Suaranya mengalun merdu. Ekspresinya menunjukan kecemasan, tapi sepertinya bukan mencemaskanku melainkan mencemaskan dirinya sendiri.
"Aku tidak punya pilihan lain. Dia masih tetap mengingatku," jawab Gabe yang masih memunggungiku.
"Kau tahu tempat ini terlarang baginya untuk masuk," laki-laki itu terlihat gusar.
"Ya, aku tahu. Aku akan membawanya kembali."
"Jika ia masih mengingatmu, kau harus menghapus ingatannya kembali," kata pria itu.
"Aku sudah mencobanya dan ini yang kedua kali. Aku tidak tahu apakah aku harus melakukan untuk ketiga kali, jika ia masih mengingatku." Gabe berbalik sejenak untuk menatapku. Wajahnya mengernyit dan tatapannya sendu.
Aku masih tidak bisa bergerak apalagi bersuara. Rasanya tubuhku terkunci. Aku benar-benar tidak tahu sedang berada di mana. Tempat ini terlalu indah untuk ditempati seorang manusia.
Dan suara seruling merdu tadi berhenti. Dari sudut mataku, aku melihat sosok laki-laki tampan lain---bersayap emas---memakai jubah emas yang menjuntai sampai ke mata kakinya. Matanya berwarna biru keabu-abuan yang sangat cantik.
"Pergilah, Gabriel. Dia tidak boleh berada di sini lebih lama lagi," laki-laki berjubah emas itu ikut berkata. Suaranya sama merdunya dengan laki-laki berjubah hitam tadi.
"Baiklah. Aku pergi," kata Gabe, lalu berbalik menundukkan tubuhnya ke arahku.
Aku menahan napas. Tangan Gabe terulur menutup mataku yang terbuka, lalu aku tak sadar apa-apa lagi.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Muse
kalo Keana tetep inget siapa jati diri Gabe apakah itu akan membahayakan dirinya ?
2023-11-12
0
Sheril 25
keren bnaget kak..
likenya kok dikit yaa
2022-08-19
0
PECINTA CEO
gabriel bukankah itu nama malaikat dlm agama kristen maaf klo salah
2021-01-05
0