Untuk kali kedua aku melihatnya terbang dan memiliki sayap yang besar. Aku berharap itu semua hanya halusinasiku saja, tapi semuanya terasa sangat nyata. Dan yang paling membuatku semakin sinting adalah dia membawaku terbang dan bertemu teman-teman sejenisnya. Apa kau tahu betapa ngeri-nya aku saat itu?
Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi setelah itu. Tahu-tahu aku sudah terbangun keesokan harinya di atas tempat tidurku yang hangat. Kepalaku terasa berdenyut sakit luar biasa sampai aku nyaris nekat membenturkannya ke tembok untuk menghilangkan sakitnya.
Mom bilang padaku bahwa kemarin aku pingsan di sekolah saat pelajaran olahraga. Ya, aku ingat saat Mr. Bekker diam-diam berencana membunuhku dan dia hampir berhasil. Tapi, yang membuatku kaget adalah Gabe yang mengantarku pulang. Gabriel!
Oh, well. Itu menguatkan dugaanku bahwa ingatan di otakku ini nyata, bukan halusinasi atau sekedar mimpi---dan juga bukan ketidakwarasanku.
Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?
Apa aku harus kembali menanyakan tentang dirinya yang sebenarnya?
Atau aku berpura-pura saja tidak tahu?
Lagipula dia dan teman-teman bersayapnya itu telah melakukan sesuatu padaku yang aku tidak sadari. Mereka bilang Gabe harus menghilangkan ingatanku.
Sungguh. Bukankah itu tindakan kriminal?
Dan benarkah itu adalah hal aneh yang bisa dilakukan Gabe---selain ia bisa terbang?
Bagaimana jika diam-diam ia akan membunuhku tanpa aku sadari?
Lalu, mengapa aku masih mengingat apa yang terjadi setelah Gabe berusaha menghilangkan ingatanku untuk yang kedua kali?
Oh, Tuhan! Cowok itu sungguh bisa membuatku gila sungguhan!
Dan Mom terus mengoceh sepanjang pagi itu tentang betapa tampannya Gabe, betapa menawan senyumnya, betapa merdu suaranya dan betapa indah tatapannya. Dan aku tidak bisa membayangkan Mom betapa terkejutnya ia jika tahu Gabe diam-diam punya sayap dan bisa terbang, juga bisa menghapus ingatan seseorang.
Jadi aku berangkat sekolah diiringi ekspresi sebal Dad yang merasa tersaingi ketampanannya oleh Gabe di mata Mom. Sungguh pagi yang menyebalkan.
Saat berada di sekolah nanti, aku harus berusaha menghindari Gabe dimana pun. Aku tidak ingin terlibat dengannya untuk sementara waktu. Aku tahu aku akan tersiksa oleh rasa penasaranku atas keingintahuanku makhluk apa dia, tapi menjauh adalah solusi terbaik untukku saat ini.
"Selamat hari Pizza!" seru Liz sambil meletakan nampan makan siangnya ke atas meja dengan gembira.
Hari ini adalah hari Jumat. Hari menu Pizza tersedia di kantin sekolah. Kami menyukai Pizza, terutama aku tentu saja. Makanan Italia apapun itu, aku sangat menyukainya.
"Kau tahu, sekolah kemarin heboh karena Gabe mengantarmu pulang sewaktu kau pingsan," Liz menatapku sambil meminum sodanya.
"Benarkah?" Aku menggigit Pizzaku dengan satu gigitan besar. Aku lapar.
"Ya. Mereka bilang kalau kau pura-pura hanya untuk menarik perhatiannya," Liz terkikik.
Aku menyeringai. "Yang benar saja..."
"Lagipula kenapa dia yang mengantarmu pulang kemarin? Maksudku, bisa saja kan Liz atau anak lain yang mengantarmu." Becca menatap kami penasaran---sangat penasaran.
Sejak pelajaran Biologi tadi ia sudah tak sabar ingin menginterogasiku mengenai hal itu. Tapi, kami tidak bisa bergosip karena Mr. Thompson membuat kami sibuk melakukan percobaan Respirasi pada serangga. Dan pagi itu satu kelas heboh dengan jeritan anak-anak perempuan yang membenci hewan malang itu, termasuk Becca. Ia terus menjerit ketakutan saat jangkrik yang kami jadikan percobaan melompat-lompat ke tangan dan bahunya.
Aku tidak takut pada serangga, apalagi hanya seekor jangkrik. Aku hanya takut pada serangga yang bersayap, yang bisa terbang dan bisa menghilangkan ingatan seseorang. Oh, ya tentu saja itu Gabe.
"Entahlah. Dia sendiri yang menawarkan diri untuk mengantar Keana kemarin. Kupikir dia memang naksir kau, Keana Larson..." goda Liz lagi sembari memakan pizza nya.
Aku mendengus dan memutar bola mata. Saat itu Vincent datang dan mengajak Liz duduk bersamanya berdua di kursi kosong seberang kami. Tentu saja, mereka mau berpacaran.
"Sampai ketemu lagi." Liz mengedipkan mata. Lalu, melambai pada kami, mengikuti Vincent yang telah lebih dulu duduk di kursinya.
"Oh, Liz membuatku iri," gumam Becca sambil menopang dagunya memandang kedua orang itu.
"Kenapa kau tidak mencoba saja berkencan dengan Jeremy?" kataku, lalu tertawa sendiri saat ia melotot kesal padaku.
Becca adalah gadis yang manis. Aku suka berteman dengannya walau terkadang ia selalu ingin tahu segala hal.
"Lalu kau? Kenapa kau tidak berkencan saja dengan Calvin? Atau kau lebih memilih Gabe?" balasnya tak mau kalah.
Aku tersedak soda yang sedang kuminum saat Gabe tiba-tiba saja muncul di ambang pintu. Dengan gaya cool-nya seperti biasa berjalan ke kursi kosong yang tersisa sambil membawa nampan makan siangnya. Sedetik kemudian, mata birunya yang tajam menghujam ke arahku. Aku tersentak, lalu mengalihkan pandangan.
"Hei, dia melihatmu." Becca memberi tahuku dengan bisikan pelan dan tertawa kecil seolah itu adalah hal yang lucu.
Ya, aku tahu, Bec. Tolong diamlah! Atau dia akan menyihir kepalaku lagi dan membawaku terbang.
Aku menghabiskan sisa Pizza ku di piring lalu bangkit dari dudukku cepat-cepat. Becca menatapku heran.
"Kau mau kemana?"
"Aku sudah selesai. Maaf, aku duluan," kataku, melirik sedikit ke arah Gabe yang kurasa masih memandangku dan berjalan terburu-buru meninggalkan kafetaria.
Aku menarik napas lega bisa menghindar darinya---ya, walau untuk sementara. Sialnya, aku masih harus bertemu dengannya di kelas olahraga, kelas trigonometri dan oh, bahasa inggris juga.
Beruntung sekali kau, Keana!
Di ujung koridor, kulihat Calvin, Nick dan Jeremy sedang berjalan ke arahku. Oke, satu lagi masalah datang dan aku tidak bisa menghindari Calvin kali ini. Kuputuskan untuk menghadapinya, membiarkan dia menggodaku dengan jurus mautnya. Ya, biarkan saja. Toh, Calvin tidak punya kemampuan menghilangkan ingatan seperti Gabe.
Setidaknya dia hanya seekor buaya darat bukan makhluk aneh bersayap!
"Hai!" Calvin menyapaku dan mensejajarkan langkah saat aku berjalan cepat menuju lokerku.
"Hai!" balasku tanpa menatapnya.
"Kau buru-buru sekali. Mau kemana, sih?" tanyanya heran.
Aku semakin mempercepat langkahku. "Aku harus mengganti pakaianku, Calvin. Setelah ini aku ada pelajaran olahraga."
"Oh iya, kudengar kau pingsan kemarin dan Gabe yang mengantarmu pulang. Kau tahu, aku kecewa sekali mendengarnya."
Aku berbelok ke kanan, Calvin terus mengikutiku. Kakinya yang panjang begitu mudah mendahuluiku lalu, menghadangku dengan cepat agar aku menghentikan langkah.
"Apa kau tidak merindukanku? Kita sudah beberapa hari tidak bertemu," katanya sambil tersenyum miring.
Aku menghela napas. "Aku harus berganti pakaian, Calvin."
"Aku ingin mengobrol sebentar denganmu. Ayolah..."
Aku menatap Calvin dengan jengah. "Kita bisa bertemu lagi di kelas bahasa Inggris."
"Tapi, kita tidak bisa mengobrol di sana. Lagipula, kau duduk berjauhan dariku." Ia memasang tampang cemberut yang menggemaskan.
Aku ingin sekali mencubit pipinya keras-keras agar ia menyingkir.
"Jadi, kau mau mengobrol apa?" Aku menyibakkan rambutku tak sabar.
"Wow. Kau cantik saat menyibakkan rambutmu!" pujinya dengan senyuman jenaka.
Aku memutar bola mata dan meninggalkannya berjalan menuju lokerku yang berjarak dua meter dari tempatku berdiri. Calvin menyusulku sambil terkekeh.
Kubuka lemari lokerku begitu sampai, lalu mengambil pakaian olahragaku. Mengabaikan Calvin yang terus tersenyum menggoda.
"Jadi, kau sakit apa kemarin sampai pingsan di pelajaran olahragamu?" tanyanya serius.
Aku menatapnya. "Entahlah. Mungkin aku kelelahan dan juga stres---" stres memikirkan makhluk apa Gabe sebenarnya.
"Kuharap kau stres memikirkanku." Calvin mengedipkan mata.
"Ya, kuharap begitu," sahutku.
"Jadi---" ia menyandar ke pintu loker di sebelahku sambil menerawang, "mau nonton bersamaku sabtu besok? Jika kau punya waktu."
Kedua mataku membulat menatapnya. Dia mengajakku nonton? Itu artinya dia bermaksud untuk--- "kau ingin mengajakku kencan?"
Sebuah senyuman lebar mencuat di bibirnya. "Ya, jika kau menganggapnya begitu."
Aku tertawa. Tidak menyangka ia akan benaran mengajakku kencan.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?" Ia terlihat bingung dengan reaksiku.
Aku segera menghentikan tawaku. "Tidak. Tidak ada yang lucu. Aku hanya tidak menyangka kau mengajakku nonton."
"Apa itu sesuatu yang lucu bagimu? Aku serius, Keana. Jika kau tidak mau nonton, kita bisa jalan-jalan. Aku akan mengajakmu ke tempat yang bagus," katanya dengan ekspresi serius.
Tepat saat itu Gabe datang untuk berganti pakaian olahraganya. Ia menatapku dan Calvin bergantian, lalu membuka lokernya tanpa bicara sepatah pun. Aku membeku.
"Jadi, kau mau pergi kan?" Calvin kembali menatapku. Tatapannya penuh harap.
Aku tersentak. "Apa?"
"Nonton?"
"Oh... iya..."
"Maksudmu iya? Kau setuju?" Calvin menatapku tak percaya. Kedua bola matanya melebar.
Aku menggigit bibirku, melirik Gabe lalu, menatap Calvin yang terlihat tak sabar menunggu jawaban.
"Umm... ya."
"Yes!" serunya gembira. "Aku akan menjemputmu jam tujuh malam besok. Terima kasih, Keana kau mau menerima ajakanku."
"Ya, sama-sama," kataku pelan.
Aku tidak tahu apa yang membuatku bisa menerima ajakannya. Yang jelas otakku sedang tak bisa berpikir jernih sekarang, dimana Gabe sedang berdiri di dekat kami. Aku tahu ia mendengarkan.
Bel masuk berbunyi. Jam istirahat telah berakhir dan aku masih belum mengganti pakaianku.
"Baiklah, sampai ketemu di kelas bahasa Inggris." Calvin meninggalkanku dengan senyuman bahagia mengembang di wajahnya. Ia mengedipkan mata padaku sebelum berbalik.
Great! I'm in a big trouble now!
Dengan cepat, kukunci lokerku agar aku bisa segera pergi dari sini---menghindari Gabe. Ruang loker sudah lengang, aku tidak ingin sesuatu terjadi padaku jika aku berlama-lama di dekatnya. Aku tidak ingin mengalami amnesia atau parahnya terkena demensia gara-gara dia. Konyol sekali, kan?
"Keana!" suara mengalun Gabe membuatku terpaku. "Apa kau baik-baik saja?"
Ragu-ragu, aku berbalik padanya. Kurasa sekarang wajahku sudah seputih kertas. Aku tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa di hadapannya. Mungkin inilah alasan kenapa aku selalu gagal dalam club drama. Aku tidak pandai berakting.
"Ya, aku ... aku baik-baik saja," ucapku gugup, tersenyum canggung dan menatapnya dengan hati-hati.
Mata birunya mengamatiku lekat. Aku sampai merinding. Apa dia akan menyihirku lewat tatapannya? Atau menghipnotisku?
"Tidak. Kau terlihat tidak baik-baik saja," katanya kemudian.
Tentu saja. Itu semua karena kau, Brengsek!
"Ya, aku pingsan kemarin. Aku sakit," sahutku berusaha terlihat wajar. Kedua tanganku sudah berkeringat. Aku harus cepat pergi dari sini sebelum pingsan untuk ketiga kali dihadapannya.
"Aku tahu kau masih mengingat apa yang terjadi."
Aku tersentak dan mendongak memandangnya dengan terbelalak. "Aku ... aku tidak mengerti maksudmu?"
"Aku tahu, Keana. Kau tidak perlu menghindariku seperti ini. Aku tidak sejahat itu," katanya dengan nada sendu. Ekspresinya terlihat sedih. "Aku bukan makhluk jahat ..."
Bisa kurasakan wajahku memanas dan merah padam. Apa sekarang dia bisa membaca pikiran seseorang?
"Aku tidak akan melakukan hal jahat padamu atau pada siapapun. Kau tidak perlu takut padaku," tambahnya lagi.
"Well, apakah kau mau jujur mengatakan padaku, siapa kau sebenarnya?" aku memandangnya lekat.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Muse
Gue charming angel yang lagi nyasar Keana...nyasar kehatimu juga wkwwk...
2023-11-12
0
Triiyyaazz Ajuach
visualnya dong thor ax beneran penasaran nich
2020-05-05
8