Gabe dan aku berkeliling kota Athena dengan berjalan kaki, menyusuri gang-gang sempit bebatuan yang menanjak di kota Plaka. Bangunan-bangunan tua bergaya neoklasik membentuk kota ini seperti labirin. Deretan toko-toko sepatu, tas dan suvenir berjejer sepanjang jalan. Sesekali Gabe menggandeng tanganku waktu kami menyebrangi jalan dan itu berhasil membuat pipiku merona atau jantungku berdegup kencang.
Aku tidak perduli dengan penampilanku yang berantakan saat ini. Setidaknya aku merasa bahagia---sangat bahagia malah---walau orang-orang yang kebetulan melintas di dekatku secara ajaib selalu menatapku, terutama sandal boneka yang sedang kupakai.
Gabe berhenti di sebuah toko sepatu untuk membelikanku sepasang sneakers. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi tentu saja berjalan-jalan menggunakan sandal boneka di cuaca pada musim gugur---walau Mineapollis suhunya lebih dingin---bukanlah ide yang bagus dan aku tidak bawa uang.
Awalnya kupikir Gabe memiliki kemampuan menyihir. Maksudku, mungkin saja ia bisa merubah uang Dollar menjadi mata uang Euro---sebab ia tidak mau repot-repot menukarnya ke tempat Valuta Asing---dan ternyata tidak. Ia tetap membayar benda itu menggunakan Dollar beserta senyuman menawannya yang sangat memukau, sehingga wanita penjaga toko---yang kutaksir usianya sekitar 20-an---tak keberatan sama sekali, malah memberinya diskon.
Wow! Jangan-jangan dugaanku selama ini bahwa ia bisa menghipnotis benar adanya.
Matahari telah terbenam ketika kami sampai di Syntagma Square. Sepanjang perjalanan, mobil-mobil Taxi berwarna kuning berderet-deret menanti penumpang atau turis yang lewat. Terdapat gedung Parlemen yang berdiri kokoh di seberang jalan dengan penjaga berseragam yang sangat unik. Daerah ini cukup ramai wisatawan yang datang.
Gabe kembali menggandengku menyusuri jalan yang kami lewati. Aku tidak tahu. Mungkin ia takut aku tersesat di sini atau jalanku yang terlalu lamban atau bagaimana, ia terus memegang tanganku sampai kami berhenti di kawasan Monastiraki untuk makan malam. Well, aku sebenarnya. Gabe kan tidak makan.
Kami masuk ke salah satu restoran yang cukup terkenal di tempat ini. Suasananya hangat dan sangat minimalis. Kami duduk di meja paling sudut. Interiornya bernuansa neoklasik dengan hiasan bunga-bunga liar dan lampu-lampu kecil berkelap-kelip di sepanjang dindingnya. Cukup menarik bagiku.
Aku memesan Gyros---makanan khas negara ini---sejenis kebab Turki yang dibungkus dengan pita. Waktu aku memakannya rasanya lezat sekali. Benar-benar lezat. Gabe sampai menganga melihatku makan dengan begitu lahap.
"Kau tidak mau mencobanya?" tawarku untuk yang ketiga kali.
Dia mengernyit sambil mengendik bahu. Ekspresinya menunjukan ketidaktertarikan.
"Jadi, kemana lagi kita setelah ini?" tanyaku dengan nada antusias.
"Sebaiknya, kita pulang," jawabnya. "Kau kan punya janji dengan pacarmu malam ini."
Eh? Aku menengadah. Ya, aku lupa janji nonton bersama Calvin hari ini. Entah sudah jam berapa sekarang di Mineapollis, yang jelas aku memang tidak mengingatnya sama sekali. Aku begitu terlena di tempat ini dan rasanya tidak ingin kembali cepat-cepat.
"Ugh ... aku lupa," erangku seraya menggigit bibir.
Gabe tersenyum geli. "Kau akan membuatnya kecewa jika membatalkan janji kencan kalian."
"Ya, mungkin saja. Tapi, kenapa kau bisa tahu mengenai hal itu, maksudku janji nonton kami?" Aku mengerutkan kening menatapnya.
"Tentu saja aku tahu. Kalian mengobrol di depanku saat kita berada di ruang loker. Kau ingat aku berdiri di dekat kalian," tukasnya.
"Oh." Aku mengangguk-anggukan kepala dan menghabiskan makananku dengan cepat.
"Jadi, siap pulang sekarang?"
"Umm ... baiklah. Tapi, bagaimana jika makhluk itu muncul lagi?"
"Tenang saja. Aku akan menjagamu. Tidak akan kubiarkan makhluk jelek itu mengganggumu lagi."
Aku menarik napas dalam-dalam. Rasa pusing dan mual sudah menghantui dan membuatku resah. Memikirkan bagaimana aku akan memuntahkan makanan lezat yang baru saja kusantap, rasanya menyebalkan.
Gabe menatapku dari balik kelopak matanya. "Haruskah kita pulang menggunakan pesawat jika kau tidak nyaman?"
"Kalau saja aku membawa kartu identitasku, itu bukanlah ide yang buruk," gerutuku sambil cemberut.
Ia terkekeh pelan, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan kami, maksudku makananku. Pelayan wanita itu sejenak ragu melihat Gabe membayar dengan uang Dollar bukannya Euro, tapi setelah Gabe menyakinkannya dengan suara merdu nan lembut juga secercah senyuman menawan---pelayan itu akhirnya menerima dengan senang hati. Ia bahkan sampai mengerjapkan mata berkali-kali untuk mengenyahkan pesona yang dipancarkan Gabe waktu ia berbalik ke tempatnya.
"Kau menghipnotisnya atau apa?" Aku menyipitkan mata saat Gabe berbalik menatapku.
"Menurutmu?" ia balas bertanya seraya bersandar di kursinya.
"Kukira itu tidak adil."
"Berhentilah mengeluh. Kau sudah menghabiskan banyak uangku hari ini dan juga bisa keluar negeri secara gratis."
Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat dan memutar bola mata. Tapi kemudian tersenyum semringah padanya. Bagaimanapun ia telah berbaik hati padaku hari ini. Kupandangi sepatu sneakers yang ia belikan untukku dengan rasa bangga. Warnanya cantik, abu-abu dengan aksen pink di pinggirannya.
Setelah itu, kami keluar restoran dan berjalan-jalan sebentar mengitari Monastiraki. Angin malam yang cukup dingin menerjang tubuhku, membuatku agak menggigil. Uh-oh, semoga saja aku tidak sampai terkena flu nanti.
Kulihat Gabe berjalan santai di sampingku. Sebelah tangannya ia masukan ke dalam saku jins sementara satunya mengayun-ayun bebas di sisi tubuhnya. Ia terlihat tidak kedinginan sama sekali. Padahal ia tak mengenakan jaket karena jaket kulit tebalnya, aku yang pakai.
"Kau tidak kedinginan?" bisikku padanya dengan nada heran. Walau dalam hati berharap ia mengucapkan tidak agar aku bisa terus mengenakan jaketnya yang beraroma manis ini.
Gabe menunduk menatapku sambil menggeleng. "Tidak. Tubuhku bisa menyesuaikan suhu di sekelilingku."
Aku membulatkan mata dengan kagum. "That's cool!"
Ia hanya tersenyum tipis.
"Omong-omong, bolehkah aku meminta satu hal lagi padamu? Aku masih merasa takjub dengan kemampuanmu menghentikan waktu. Bisakah kau melakukannya sekali lagi?"
Aku memasang tampangku yang paling manis dan cantik untuk menggodanya. Berharap ia mau menuruti permintaanku. Ya, walau ternyata aku malah terlihat konyol di matanya.
Ia terperangah memandangku, lalu menjawab. "Sebenarnya, aku tidak boleh sering-sering menghentikan waktu di bumi, Keana."
"Kenapa?" tanyaku dengan nada kecewa.
Ia memalingkan pandangannya pada lampu-lampu jalan yang berpendar. Kedua tangannya terkepal. "Karena saat waktu di bumi terhenti, itu bukan berarti waktu di seluruh alam semesta ini ikutan berhenti. Maksudku, tempat di luar bumi terus berjalan sesuai waktunya." Ia menghela napas. "Bisa kau bayangkan jika bumi yang seharusnya berotasi dengan teratur harus terganggu?"
Aku mencoba membayangkan, tapi otakku buntu. "Memang apa yang akan terjadi?"
Gabe mendesah. "Kau ingat dengan salju tebal yang tiba-tiba turun kemarin?"
Aku mengerutkan alis dan mengangguk. Aku ingat sekali salju tebal dan lampu yang berkedip-kedip lalu, melihat Gabe sedang berdiri di ujung jalan saat aku pulang dari Supermarket. Salju yang seharusnya belum turun di awal bulan November.
"Ya, aku ingat. Itu saat aku melihatmu memiliki sayap. Tapi apa hubungannya?"
"Itulah yang akan terjadi, Keana. Ketidakseimbangan alam di bumi jika aku terus menerus menghentikan waktu. Cuaca yang berubah, suhu udara bahkan yang paling parah bisa menyebabkan bencana alam."
Aku menelan ludah. "Jadi, saat kau menghentikan waktu hal seperti itu akan terjadi? Lalu, apa salju tebal waktu itu akibat dari kau menghentikan waktu sebelumnya?"
Ia mengangguk. "Kau ingat saat pesta Halloween di sekolah waktu itu? Kau mengikutiku terus ke belakang sekolah. Jadi, aku terpaksa menghentikan waktu untuk menjauh darimu sejenak. Aku tidak mungkin terbang di depan wajahmu saat itu."
Aku meringis dan garuk-garuk kepala dengan wajah merah padam. Malu sekali rasanya ketahuan menguntit seseorang.
"Maafkan aku. Saat itu aku hanya penasaran tentangmu. Kau begitu misterius." Aku membela diri.
Ia hanya berdecak. "Ayo, kita kembali!" ajaknya ketika kami melewati gang-gang sempit yang cukup jauh dari keramaian. Bangunan-bangunan bercat putih dan masih bernuansa neoklasik mengapit sisi kiri-kanan jalan kecil ini.
Tidak ada gedung pencakar langit di kota ini. Semua bangunan tampak sama dengan desain yang serupa. Tapi, aku tetap menyukainya.
"Siap?" Gabe membuyarkan lamunanku, lalu menarik tubuhku mendekat. "Lingkarkan tanganmu di pinggangku."
Aku terbelalak memandangnya. Ragu-ragu kedua tanganku menyentuh pinggangnya yang hangat sembari menggigit bibirku dengan gugup. Jantungku berdegup kencang.
Ia tertawa pelan melihat ekspresiku yang seperti itu. "Tenang saja. Aku hanya tidak ingin kau merasa terlalu mual dan pusing seperti yang kau rasakan saat kita berteleportasi."
"Baiklah ..." erangku dan melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Ia tersenyum waktu aku mendongak menatapnya. Matanya bersinar teduh, napasnya terasa hangat dan manis saat menyapu wajahku. Jantungku semakin berdegup keras---saking kerasnya sampai kuyakin ia juga bisa mendengarnya.
"Rileks, oke? Sekarang pejamkan matamu," perintahnya lembut.
"Apa kau yakin ini akan berhasil?" bisikku.
"Hanya pejamkan saja matamu." Ia mengulang, balas berbisik di telingaku.
Aku mengerjap. Wajah kami berdua kini begitu dekat saat bertatapan. Naluri manusiaku sepertinya mulai bergelora. Andai saja ia---well, menciumku saat ini, kurasa aku tak sanggup menolaknya. Dan aku terkejut bahwa, alam bawah sadarku ternyata mengharapkan hal itu.
Oh, sungguh gadis jalang kau, Keana! Sebuah suara berteriak di otakku. Bagaimana mungkin aku mengajak seorang malaikat untuk berbuat mesum?
Cepat-cepat kupejamkan mata, membuang semua pikiran kotor yang terlintas di otakku. Aku tidak merasakan apa-apa saat mataku terpejam, hanya napas Gabe yang menyapu hangat. Lalu, seperti sebuah tarikan yang melawan arus gravitasi, aku seperti melayang di udara. Selama beberapa saat, aku terus menutup mata sampai suara merdu Gabe terdengar di telingaku.
"Kita sudah sampai," ucapnya.
Kurasakan kakiku menjejak ke tanah dan terhuyung sebentar. Pelan-pelan kubuka mata, melihat pemandangan di sekelilingku. Sebuah bangunan putih bertengger di tengah halaman yang ditumbuhi rerumputan dan pohon Maple. Suasana yang sangat familier bagiku. Aku tidak akan pernah bisa melupakan pekarangan rumahku sendiri.
Gabe melepaskan rangkulannya. Mataku mengerjap sebentar. Sedikit merasa pusing tapi, tidak ada rasa mual yang menyiksa dan memaksa isi perutku untuk keluar.
"Apa kau masih merasa mual?" tanyanya.
Aku menoleh dan seketika tersenyum lebar. "Tidak. Hanya pusing sedikit, tapi ini tidak membuatku mual seperti sebelumnya."
"Baguslah." Ia terlihat senang.
"Bagaimana kau melakukannya?" Aku menatapnya bingung.
"Cukup mengurangi kecepatanku dan ternyata itu berhasil." Ia tersenyum miring.
Aku balas tersenyum. Matahari masih bersinar terang di sini walau sudah condong ke barat. Mungkin sudah pukul tiga atau empat sore, sementara tadi aku baru saja melewatkan makan malamku di Athena.
Dari sudut mata, kulihat Sharon dan tiga teman-temannya---Ashley, Demi dan Karen---baru saja datang. Mereka memarkir Porsche merah milik Demi di sisi jalan depan rumah Sharon. Sepertinya Sharon tidak mengendarai mobilnya sendiri. Mereka semua masih mengenakan seragam cheerleaders. Biar kutebak, mereka pasti baru pulang dari pertandingan football sekolah. Karena memang sekolah kami mengikuti kejuaraan olahraga tersebut selama musim gugur ini.
Keempat gadis itu menatapku dan Gabe bergantian dengan tatapan bertanya-tanya. Apalagi kami berdua masih berdiri sangat dekat.
"Sepertinya ada gosip terbaru yang kita lihat saat ini," gumam Ashley sambil tersenyum masam.
Sementara Karen melototiku dengan tajam. Mulutnya setengah terbuka. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Sharon diam saja, hanya tersenyum sinis, sedangkan Demi mengamati kami dengan ekspresi tak percaya.
Aku melirik Gabe dengan canggung. Sebetulnya bisa saja aku membiarkan para gadis itu memikirkan apapun yang ingin mereka pikirkan tentangku, tapi ditatap begitu rupa tetap saja membuatku tak nyaman. Namun, aku sendiri tidak ingin repot-repot mencari alasan agar mereka tidak salah paham. Jadi, masa bodoh sajalah.
Mom dan Dad datang di saat yang tepat. Mobil sedan convertible-nya melewatiku dan Gabe dengan pelan, lalu berhenti di halaman depan rumah. Kedua orangtuaku keluar dari dalamnya. Mom menggendong Keandra di punggungnya yang sedang terlelap, sementara Dad memicingkan mata menatap Gabe dan aku dengan penasaran. Ekspresinya tak kalah menyebalkan dari ekspresi yang keluar di wajah Sharon and the gank.
"Well, siap untuk interogasi?" gerutuku sambil melirik Gabe yang sedang **** senyum.
"Setidaknya mereka tidak akan mencekikmu," gumamnya.
Aku menghela napas dan berjalan mendekati kedua orangtuaku. Sementara Sharon dan teman-temannya masih memperhatikan kami. Gabe menyusul di belakang. Wajah malaikatnya nampak luar biasa tenang. Senyuman menawan telah terukir di bibirnya.
"Keana, apa kau pergi keluar?" tanya Mom keheranan. Ia mengernyit melihat penampilanku.
"Iya, aku ada sedikit urusan," jawabku. "Kupikir Mom ke rumah bibi Rosie dan Dad pergi memancing?"
"Ya, Mom meminta ayahmu untuk menjemput," sahutnya.
Dad berdeham di sebelah Mom, mata zamrudnya mengawasi Gabe yang berdiri di dekatku. "Kau pergi bersamanya?"
"Ya, Dad. Kami tidak pergi jauh, kok. Hanya seputaran sini saja," kataku cepat. Andai ia tahu bahwa kami baru saja pulang dari Athena.
"Maaf, Mr. Larson. Saya teman sekolah Keana. Nama saya Gabriel White. Anda bisa memanggil saya dengan Gabe saja," ujar Gabe sambil mengulurkan tangan pada Dad. "Senang bertemu dengan anda."
Dad menatapnya dengan mata menyipit. Lalu, membalas uluran tangannya ragu-ragu. "Ya, aku juga," sahutnya dengan suara sedikit parau.
"Oh, aku ingat kau yang mengantar Keana waktu pingsan itu, kan?" Mom menyela dengan nada antusias. Matanya memandang Gabe dengan penuh kagum. Tentu saja. Saat ia pertama kali melihat Gabe, sepanjang pagi itu kami harus mendengar ocehannya tentang cowok itu dan sedikit banyak membuat ayahku merajuk.
Dad menoleh ke arah Mom sekilas, lalu kembali menatap Gabe dengan tatapan menilai. Sudut bibirnya tertarik ke bawah. Nampak sekali tidak menyukai ketampanan Gabe yang di atas rata-rata.
"Iya, terima kasih anda masih mengingat saya, Mrs. Larson," ucap Gabe dengan suara merdunya.
"Tentu saja, aku mengingatmu." Mom tersenyum simpul, lalu membetulkan gendongannya pada Keandra yang agak melorot ke bawah. "Aku harus ke dalam. Keana, ajak temanmu masuk. Dingin sekali di luar."
"Oh, tidak. Trim's. Tidak perlu repot-repot. Aku harus kembali," sahut Gabe sopan.
"Kalau begitu kami masuk dulu ke dalam," ucap Dad, mengambil alih tugas menggendong Keandra dari punggung Mom. Tapi, ia menatapku sebentar. "Jangan terlalu lama di luar, Keana. Masuklah ke dalam."
"Yeah, Dad. Tentu saja," jawabku.
Mom melambai sebentar pada Gabe, lalu melempar senyum penuh arti untukku. Ia membantu membuka pintu depan dan menahannya sampai Dad masuk ke dalam. Aku mengembuskan napas saat kedua orangtuaku sudah lenyap di balik pintu.
"Terima kasih untuk hari ini, Gabe. Untuk makan malam dan sepatunya," kataku sambil menunduk. Entah kenapa ada rasa malu saat mengucapkan kata itu padanya. Aku melirik ke arah rumah Sharon dari ekor mataku. Para gadis itu sudah tidak ada lagi sana.
"Ya. Semoga kencanmu menyenangkan," sahutnya.
Aku mendongak dan ia sedang tersenyum. Dan untuk pertama kalinya kulihat mata birunya menatapku dengan berbinar.
Lalu, kudengar jeritan Mom dari dalam rumah yang membuatku tersentak.
"LAMPU KRISTALKU!! OH, TUHAN! APA YANG TERJADI, KEANA?!"
Uh-oh. Aku benar-benar melupakan nasib benda itu setelah dijatuhkan si makhluk bertubuh merah.
"Aku benar-benar dalam masalah," desahku sambil berdecak.
Gabe tertawa pelan. "Kau urus bagian itu untukku."
"Curang sekali!" aku menggerutu bersamaan dengan angin besar yang menerjang. Ia telah lenyap dari pandangan detik itu juga. Tapi, sayup-sayup aku masih mendengar suaranya di telingaku.
"Sampai ketemu lagi, Keana ..."
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
PECINTA CEO
asek asek aku baber
2021-01-05
0
purnama sari
🤗🤗🤗
2020-06-14
0
Triiyyaazz Ajuach
bagusssss bgt ceritanya
2020-05-05
0