Setelah insiden jatuhku kemarin, aku semakin gugup setiap bertemu Gabe. Entah itu di kelas atau di koridor sekolah. Dia tidak pernah bicara apapun lagi padaku, tapi aku senang--setidaknya dia tidak mengungkit kejadian itu dan sepertinya sudah melupakannya.
Cowok itu juga satu kelas denganku di kelas trigonometri dan bahasa inggris. Aku malas karena di dua kelas itu ada Sharon. Sharon terlihat sangat tertarik pada Gabe, termasuk teman-teman gengnya dan juga seluruh cewek di sekolah ini, dan mungkin juga aku.
Gabe tampak dingin dan selalu menyendiri saat makan siang di kafetaria sementara anak-anak lain bergerombol membentuk geng di bangku-bangku favorit mereka. Kelihatannya Gabe tidak tertarik untuk berteman dengan siapa pun. Itu aneh menurutku. Padahal cowok seperti dia pasti dengan mudah diterima kalangan manapun. Bahkan club-club sekolah dan geng anak populer, juga geng anak bermasalah berusaha mengajaknya untuk bergabung.
Gabe tetaplah cuek. Aku juga masih sering curi-curi pandang--sebenarnya aku hanya ingin tahu apa sih yang dia makan, karena nampan piringnya selalu tak tersentuh. Ia hanya makan buah-buahan setahuku--sepenglihatanku--dan sialnya Gabe selalu tahu jika aku sedang melihatnya. Jadi, mau tidak mau aku selalu membuang muka ke arah lain dalam keadaan merah padam.
Dan hari ini entah sudah berapa kali Calvin, Nick dan Jeremy mendatangi Gabe. Basa-basi perkenalan. Kelihatannya ada niat jahat di benak ketiga cowok bandel itu. Kebiasaan membuli siswa baru, tapi entah kenapa niat jahat mereka belum terlaksana sampai detik ini.
"Kau tidak makan?" Calvin mencomot kentang goreng di piring Gabe sambil nyengir. Nick dan Jeremy saling melempar seringai jaiil.
Gabe menatapnya malas. "Makan saja buatmu," lalu bangkit berdiri. Rahangnya mengeras. Nick si kaki panjang dan Jeremy langsung menghadangnya.
"Mau kemana? Aku kan baru saja duduk, Sobat." Calvin memanggilnya, tangannya mencomot lagi kentang goreng di piring Gabe. Seisi ruangan memperhatikan mereka, bertanya-tanya apa yang ingin dilakukan cowok tengil itu pada Gabe.
Gabe menggelengkan kepala dan mendengus. Mata birunya melirik Calvin tajam.
"Aku tidak tertarik berteman denganmu."
"Wow. Kau sangat mempesona, Gabe. Kau tahu, kau akan jadi sainganku di sekolah selain Crawford yang sok itu," kata Calvin. Kali ini memakan potongan sosis Gabe di piring.
Dalton yang sedang duduk bersama anggota tim football dan cheerleader---Sharon juga duduk di sana tengah menatap Gabe dan Calvin was-was---bangkit berdiri tiba-tiba. Ia dan Calvin memang sudah tak akur dari tahun pertama. Setahuku mereka bersaing dalam hal yang tidak penting bagiku, saingan cewek.
Wajah Dalton menegang. Sharon segera menenangkannya. Calvin memang begitu, senang sekali mencari masalah. Dua cowok itu pernah beberapa kali terlibat adu fisik dan yang sangat tidak adil, Calvin yang hanya menerima hukuman. Tapi, itu tidak membuatnya kapok untuk memulai permusuhan pada Dalton.
Dan suasana kantin pun berubah senyap. Semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kulihat anak-anak club catur memasang taruhan untuk memilih siapa yang akan memenangkan pertarungan sengit ini.
Mendadak aku merasa mual. Aku benci suasana seperti ini. Perkelahian, bullying, adu jotos--apapun itu aku sangat tidak menyukainya. Adakah yang ingin meminjamkanku ember? Ingin sekali aku mengguyur kepala Calvin karena kedatangannya sungguh merusak suasana. Sayang air limunku sudah habis sejak tadi. Kalau tidak, mungkin sudah kusiram ke wajah brengseknya. Ya, itupun kalau aku berani.
"Menyingkirlah." Gabe menatap Nick dan Jeremy dengan garang. Kedua cowok itu pun menggeser badan mereka ke samping. Gabe langsung berjalan cepat meninggalkan kafetaria dengan ekspresi kesal.
Calvin terkekeh menatap kepergian Gabe. Tatapannya beralih pada Dalton yang kini sudah kembali duduk di kursinya.
"Kuharap kau berhenti mencari masalah, Morris! Aku tidak ingin poin nilaiku berkurang gara-gara kau!" suara Dalton terdengar nyaring.
"Santai saja, Man! Aku tidak akan ngapa-ngapain kok. Kau pacaran saja dengan Sharon," Calvin menggerling pada Sharon, lalu mengedipkan sebelah mata pada Karen yang duduk di sebelahnya.
Karen pernah menyukai Calvin dan kelihatannya sampai sekarang pun masih, walau mereka sempat berpacaran sebentar. Aku tidak mengerti apa yang disukai Karen pada Calvin yang menyebalkan itu selain wajahnya yang memang cukup tampan. Tapi, tampang bukan segala-galanya, kan? Jika kepribadiannya tidak baik, buat apa.
"Kenapa sih Calvin selalu saja resek?" keluh Liz, diam-diam melirik Vincent di balik kelopak matanya.
Vincent---anggota club basket. Badannya tinggi kekar dengan rambut keemasan---cowok yang ditaksir Liz sejak tahun kemarin.
"Yeah, mungkin hidupnya membosankan jadi dia seperti itu," sahutku skeptis, menepuk tangan Liz. "Kau lihat apa? Cowok itu?"
Liz tampak malu-malu saat aku mengikuti arah tatapannya. Becca tertawa kecil.
"Mungkin sebaiknya kau kejar dia. Ini waktu yang tepat. Nanti kita keburu lulus, lho." Becca menimpali.
"Tidak, ah. Aku takut. Kalian kan tahu sainganku berat. Demi juga naksir dia."
"Tapi, sepertinya Vincent juga menyukaimu, Liz. Sungguh. Lihat dia menoleh ke arah kita."
Aku menyenggol Liz yang spontan menunduk saat vincent menatap ke arah kami. Bisa dilihat sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Liz mengangkat wajahnya malu-malu dan tersenyum kecil pada Vincent.
Liz bertemu cowok itu di kelas psikologi. Menurutku Liz lumayan cantik. Rambutnya lurus pirang sebahu dengan poni depan. Kulitnya putih, tapi tidak sepucat aku, agak kemerahan mungkin karena ayahnya keturunan meksiko. Tubuhnya juga ramping. Hanya satu kekurangannya, ia tidak percaya diri. Nama aslinya sebenarnya Elizabeth, tapi entah bagaimana aku menyingkatnya jadi Liz sampai sekarang, termasuk Becca--Rebecca.
"Kita harus ke kelas sekarang. Sebentar lagi masuk." Aku beranjak bangkit. Liz dan Becca mengikuti. Anak-anak lain sudah mulai meninggalkan kafetaria menuju kelas masing-masing termasuk Calvin, Nick dan Jeremy.
Aku lega setidaknya tidak ada pertumpahan darah hari ini di kantin gara-gara Calvin.
o0o
Aku duduk menyandar di sofa depan tv menonton pertandingan NBA yang berlangsung selama musim gugur ini. Sepulang sekolah tadi, aku langsung mengerjakan PR dan tidur sebentar.
Hujan mengguyur deras sampai pukul lima sore. Udara di luar dingin sekali. Perutku sudah agak lapar. Mom sedang memasak makan malam. Dad belum pulang kerja, mungkin sebentar lagi. Keandra duduk di bawah bermain dengan Angelo, kucing persia peliharaannya.
Sebenarnya aku tidak suka binatang. Tapi, Keandra terus merengek minta punya anjing atau kucing, jadi Dad pun pergi ke toko binatang dan membelinya seekor kucing persia berwarna putih yang tampak seperti boneka.
"Keana, bisa Mom minta tolong?" Suara Mom terdengar di dapur.
Aku langsung menghampirinya. "Ada apa, Mom?"
"Sepertinya saus tomat dan daun parsley sudah habis. Mom lupa saat belanja tadi tidak membelinya," kata Mom. Tangannya bergerak membuka tutup lemari demi lemari di dapur. Mencari kedua benda itu di setiap sudut.
Aku melirik ke jendela. Hujan sudah berhenti, tapi di luar pasti dingin dan lembab. Aku senang berbelanja tentu saja, sebagai seorang wanita--berbelanja menjadi insting alamiah--tapi dalam cuaca seperti ini, bergelung dalam selimut lebih menyenangkan.
"Kenapa mom tidak mencatatnya di daftar belanja?" Aku cemberut.
Kebiasaan mom tidak pernah hilang. Setiap berbelanja, pasti ada saja barang yang ia lupakan dan entah kenapa selalu barang yang penting.
"Aku lupa, sayang. Entahlah. Kau tahu saat sudah di dalam supermarket, terkadang kita lupa mau membeli apa karena pikiranmu teralihkan oleh barang yang lain."
Aku memutar bola mata. Yang benar saja. Itu bukan alasan. Itu memang kebiasaannya.
"Masak yang lain saja. Yang tidak perlu pakai bahan itu."
"Kalau begitu, Mom akan cari resep baru. Masakan tanpa saus tomat."
Otakku berpikir cepat. Mom suka memasak, tapi tidak ahli dan sering bereksperimen tapi, jarang yang berhasil. Aku tidak ingin malam ini makan makanan aneh buah eksperimennya. Perutku lapar, aku ingin makan makanan enak.
"Mom mau masak apa sih?" tanyaku was-was.
"Umm... spaghetty mushroom. Tapi, sekarang tidak tahu. Kau ada ide?"
Aku menatap Mom yang terlihat manis dengan blouse abu-abu muda dan rok panjang bunga-bunganya. Mom mirip seperti aku. Sementara Keandra mirip Dad. Keandra punya mata berwarna zamrud macam Dad, sedangkan aku coklat terang macam Mom.
Keandra cantik, punya lesung pipi, kulit putih bersih bukan pucat dan bulu mata lentik. Ia akan tumbuh dewasa dengan rupa yang menawan. Satu-satunya kesamaan kami adalah kami punya rambut warna cokelat kemerahan. Sementara Dad cokelat gelap. Intinya Mom mewariskan sebagian dirinya padaku. Aku hanya mewarisi sedikit punya dad yaitu dagu yang lancip.
"Entahlah. Aku hanya ingin makan sesuatu yang normal," ujarku menekan kata normal dan membuat Mom tertawa. Ia tahu masakan eksperimennya kadang bisa meracuni seisi rumah.
Mom menatapku dengan tatapan puppy eyes-nya dan aku tak kuasa menolak. Dengan enggan, aku naik ke kamarku di lantai dua, mengenakan hoody merah marun yang tergantung di dalam lemari. Lalu, berjalan ke pintu.
"Kau sungguh putri Mom yang cantik, Keana." Suara mom memuji di belakangku ketika aku hendak membuka pintu.
"Ya, tentu saja," jawabku.
Angin dingin langsung menerpa wajahku begitu berada di luar. Aku berjalan menyusuri kompleks perumahanku menuju sebuah supermarket di ujung jalan berjarak dua blok dari rumah.
Ada sebuah mobil volvo silver terparkir di sudut jalan. Itu mobil Dalton. Aku tahu karena cowok itu sering mengendarainya ke sekolah dan di dalam mobil aku bisa melihat Dalton bersama Sharon sedang membicarakan sesuatu, lalu berciuman mesra.
Aku mual. Pemandangan ini membuat bulu kudukku meremang. Kadang aku berpikir bagaimana rasanya dicium karena sejujurnya aku belum pernah dan itu membuatku penasaran. Pasti rasanya menyenangkan.
Selama beberapa saat, aku memperhatikan mereka dengan bodohnya. Sharon memang tinggal di area kompleks yang sama denganku, tapi rumahnya lebih besar dan mewah karena orang tuanya bekerja di kantor pemerintahan. Dan aku berani bertaruh Sharon bahkan tak pernah menyadarinya, mungkin juga tak pernah menganggapku ada.
Kami tinggal di kawasan Aldrich Avenue kota Minneapolis, negara bagian Minnesota yang berbatasan langsung dengan negara Kanada. Tempat yang sudah kuhabiskan dari saat aku masih bayi. Sharon pindah ke sini sekitar musim dingin dua tahun lalu.
Selesai berciuman, Dalton membawa mobilnya melaju melewatiku. Sama sekali tidak berhenti, bahkan mereka mungkin tidak melihatku yang berdiri menjulang di pinggir jalan dekat mereka. Aku mendengus, berusaha tidak mempedulikan kedua manusia itu dan meneruskan langkahku menuju supermarket.
Sesampai di sana, aku merasa gembira. Cepat-cepat aku berjalan menuju rak-rak bumbu masakan. Berbelanja selalu menyenangkan buatku. Aku mengambil dua botol saus tomat dan memasukannya ke dalam keranjang yang kubawa. Kemudian, menyusuri konter sayur mayur dan buah-buahan.
Ekor mataku tak sengaja menangkap sosok yang selama ini mencuri perhatian semua orang di sekolah. Itu Gabriel Axton White. Cowok itu berdiri di rak-rak bagian perlengkapan mandi. Aku bisa melihatnya dari tempatku karena Gabe punya tubuh tinggi tegap yang membuatnya mudah dikenali.
Aku menimbang-nimbang apakah harus menyapanya atau tidak. Dan akhirnya, kuputuskan untuk menghentikan niatku karena hanya akan membuatku semakin tampak bodoh di depannya. Pikiranku bertanya-tanya apakah Gabe tinggal di sekitar sini?
Selesai mengambil dua ikat daun parsley di tempat sayuran, aku segera menuju kasir dan Gabe rupanya juga sudah berdiri di situ lebih dahulu.
Aku menatapnya canggung, tersenyum sekilas dan langsung membuang muka ke arah lain. Gabe menatapku lekat-lekat, seolah sedang mengingat siapa cewek aneh yang tersenyum padanya.
Kami saling diam tanpa bicara. Ketika sudah gilirannya untuk membayar, Gabe berbalik dan mempersilakanku untuk membayar duluan. Aku sejenak terpana dan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan ragu ke meja kasir. Keranjang yang kubawa tak sengaja menyenggol konter barang di pinggir tempatku lewat. Aku sempat mendengar bunyi benda jatuh ke dalam keranjangku.
Sebelum sempat memeriksa, kasir cewek yang usianya 3-4 tahun di atasku--sedang mengunyah permen karet--langsung mengambil keranjang itu, mengeluarkan isinya dan menempelkannya pada scanner barcode. Aku terkejut ketika ada sekotak alat kontrasepsi ukuran XL dalam keranjangku. Cewek kasir itu mengambilnya dan hendak men-scannya jadi,1 aku buru-buru berteriak.
"Maaf, itu bukan punyaku," kataku cepat membuat gerakan si cewek terhenti. Aku melirik ke arah Gabe dari balik kelopak mataku dan sialnya, cowok itu juga tengah memperhatikan.
Si cewek kasir menatapku bingung. Kedua alisnya terangkat. "Tapi ini ada di dalam keranjangmu."
Aku mengusap hidungku, sama bingungnya kenapa benda bodoh itu bisa ada di sana. Gabe tampak menahan senyum menatapku, sementara orang-orang mengantre di belakangnya, memandangku dengan rasa ingin tahu.
"Oh, well ... mungkin ini sebuah kesalahan. Sungguh. Aku tidak membelinya."
Si cewek kasir menatapku lekat-lekat sembari mengunyah permen karet di mulutnya keras-keras, matanya bersinar jail. Tatapannya kemudian beralih pada Gabe, mengerjap.
"Atau punyamu?"
Gabe menggeleng. "Bukan."
Sial. Pipiku panas. Kenapa aku harus mengalami kejadian memalukan ini di depan Gabe? Sungguh, jika tidak ada Gabe mungkin aku tidak semalu ini. Lagipula untuk apa aku membeli ** kalau cowok saja aku nggak punya.
"Okelah, kalau begitu. Tapi lebih baik menggunakan pengaman, kau tahu," kata si cewek itu lagi sambil tersenyum nakal padaku.
Aku diam saja. Selesai membayar dan mengucapkan terima kasih, cepat-cepat kuambil belanjaanku, lalu berjalan menuju pintu keluar. Aku sempat menoleh ke belakang ketika tanganku mendorong pintu. Kulihat Gabe berdiri di depan kasir, mengeluarkan barang-barang dalam keranjangnya. Cowok itu menatapku kemudian, senyuman mengejek tersungging di bibirnya.
Wow, bagus sekali Keana. Dia pasti sedang menertawaimu sekarang. Kututup kepalaku dengan tudung jaketku, lalu segera melesat keluar dari tempat itu. Rasa malu membuat laparku mendadak hilang.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
RisMaaa
q baru baca...
cukup menarik...
q suka alur ny...
2020-07-18
0
Ayne Kim
astaga kakak cantik, aku baru sadar klo kaka pake pov 1.
mo nanya, ini latarnya di mna ya kk? terus visial Gabe, siapa?😜😜😜😚😚😚
BALEZ YA. PLEASE BALESSSSSSSSSSSSSSSS
2020-06-15
0
ZalikaAngel 🤧🥀❣️
Hallo like dan vote 5 bintang Uda mendarat🤧
jadi jangan lupa tinggalkan like dan vote 5 bintang di “playboy maniak sexx"
2020-06-10
0