Minggu-minggu bulan Oktober berjalan sangat cepat. Musim gugur terasa semakin dingin. Semua anak-anak di sekolah sibuk membicarakan Halloween party yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Dan tahun ini sekolah akan mengadakan pesta kostum pada perayaan itu.
Semua anak-anak antusias menyambutnya. Tak terkecuali bagi Liz, Becca dan aku. Sejak pengumuman yang diumumkan minggu kemarin, Liz dan Becca langsung menentukan kostum apa yang akan mereka pakai nanti. Aku sendiri masih belum punya bayangan ingin mengenakan apa.
Sebetulnya, aku jarang ikut pesta Halloween. Liz dan Becca juga sama. Itulah mengapa kami sangat antusias. Kami ingin tampil keren di pesta itu--ya, setidaknya jangan sampai memalukan.
Liz dan Becca terus membicarakan perihal Halloween sampai kaki kami tiba di ruang ganti. Aku dan Liz harus mengganti pakaian kami dengan pakaian olahraga. Istirahat makan siang sebentar lagi berakhir.
"Kau tidak ke kelas sejarahmu?" tanyaku pada Becca karena dia masih saja mengikuti kami sampai ke dalam.
"Sebentar lagi. Kita masih ada waktu 10 menit untuk mengobrol," ujarnya seraya menatap arlojinya. "Jadi, kau mau pakai apa nanti?"
"Entahlah. Aku tidak tahu. Nanti kupikirkan lagi."
Liz sudah menentukan ia pakai kostum Wonder woman, sementara Becca memakai kostum Annabelle. Ya, bagus sekali ide mereka. Dan aku masih belum memikirkannya. Acaranya pun berlangsung pekan depan, masih ada waktu untuk berpikir.
"Kau harus cepat karena toko penyewaan kostum akan selalu penuh. Nanti kau tidak dapat kostum." Liz mengingatkanku.
"Ya, kau benar." Aku mengangguk setuju.
"Bagaimana kalau pulang sekolah nanti kita ke tempat penyewaan? Supaya tidak keburu diambil orang lain."
"Boleh juga. Kalau begitu aku harus mengabari Mom karena akan pulang terlambat," kataku.
"Kita berkumpul di depan sekolah. Aku tahu tempat penyewaan yang bagus dimana. Kita bisa naik metro ke sana," jelas Liz.
Aku mengangguk.
"Oke, sebaiknya aku ke kelasku sekarang. Sampai bertemu lagi." Becca bergegas keluar menuju ruang kelasnya di gedung tiga.
Selesai mengganti pakaian, aku dan Liz keluar dan berjalan menuju loker. Gabe seperti biasa berdiri di lokernya yang tak jauh dari lokerku.
Setelah kejadian memalukan di Supermarket beberapa waktu lalu, aku berusaha menjauh dari Gabe. Ketika berpapasan di koridor, loker atau di kelas--pokoknya dimana saja--aku akan menghindar sebisaku. Dan sekarang aku pun akan melakukan hal yang sama. Entahlah, kenapa aku jadi merasa tidak nyaman. Padahal Gabe sama sekali tidak pernah mengolok-olokku. Berbicara pun tidak pernah. Hanya saja aku bisa merasakan Gabe selalu tersenyum jika melihatku, tersenyum mengejek dan aku tidak suka itu.
Jadi seperti biasa, aku langsung memasukan bajuku ke dalam loker, lalu cepat-cepat berjalan ke ruang gym--menjauh dari cowok itu sebelum aku tersandung atau terjatuh atau mengalami kejadian sial yang bisa membuat senyum Gabe semakin lebar.
"Kau sebaiknya tidak perlu bereaksi seperti itu," kata Liz saat kami sampai di ruang gym.
"Memangnya kenapa?"
"Kau kentara sekali menjauhinya. Kupikir Gabe tidak bermaksud untuk mengejekmu." Liz menatapku.
Ia dan Becca memang sudah tahu perihal kejadian di supermarket itu. Dan coba tebak apa reaksi yang kudapatkan? Mereka tertawa terbahak-bahak. Jadi, sudah pasti Gabe berpikiran sama.
"Sudahlah. Aku tidak ingin membahasnya." Aku mengibaskan tangan.
Suara peluit Mr. Bekker mengagetkanku. Semua anak berkumpul dan berbaris di pinggir. Gabe datang. Aku langsung membuang muka. Cowok itu berbaris di deretan belakang paling ujung. Sesekali aku meliriknya sekilas selama kami melakukan gerakan pemanasan sebelum memulai pelajaran.
Hari ini pelajaran bola basket. Anak-anak cowok lebih dulu bermain di tengah lapangan, membagi jadi dua tim. Pertandingan cukup seru dan sengit. Gabe selalu mencetak angka yang membuat anak-anak perempuan nyaris kehilangan pita suara mereka karena terus menerus meneriakan namanya dengan semangat.
Dalam pandanganku, Gabe seperti sedang menari indah. Well, cowok itu bahkan terlihat seperti terbang ketika meloncati Nick si kaki panjang--ya, aku sekelas dengan cowok resek itu--membawa bola ke arah ring. Loncatannya tinggi sekali. Beberapa kali kuamati sepatu yang dikenakannya, mungkin saja dia menaruh pegas di telapaknya. Dan bisa ditebak, tim Gabe menjadi pemenang dengan skor telak 76-42.
Kali ini tim cewek yang bermain. Seperti tadi membentuk dua tim dan aku setim dengan Liz. Beberapa kali aku terkena lemparan bola di wajahku saat rekanku mengopernya kepadaku dan anak-anak cowok tertawa. Belum lagi tersandung atau terkena dorongan yang membuat tubuhku limbung lalu jatuh.
Aku sempat melirik Gabe, dia memandangiku. Ekspresinya seperti sedang menahan tawa. Sementara Nick selalu menunjuk-nunjukku yang memang terbiasa bodoh dalam pelajaran olahraga, terpingkal di bangkunya.
Pertandingan usai yang diakhiri oleh kekalahan timku dan Liz. Karen menatapku kesal dan menyalahkanku atas kekalahan kami.
"Kau bodoh! Seharusnya kau jadi penonton saja!" katanya geram, memelototiku sampai aku bergidik sendiri.
Hei, kenapa dia menyalahkanku? Padahal dia sendiri yang memilih masuk timku tadi. Dia kan tahu aku tak pandai main basket atau voli.
"Sudahlah. Ini kan cuma pertandingan percobaan. Kenapa kau serius sekali sih?" Liz menyela dan duduk di sebelahku.
Aku tak menanggapi Karen yang menatapku tajam. Lagipula dia juga tidak bermain bagus. Apa gunanya menyalahkanku?
Aku mengambil botol minumku di dalam tas dan meneguknya. Baru kusadari lutut dan sikuku berdarah. Sepertinya karena terjatuh saat bermain tadi. Kulihat dari sudut mataku Gabe menghampiri tempat kami dan berhenti tepat di depanku. Aku terkejut dan mendongak, anak-anak yang lain juga sama kagetnya dengan kemunculan Gabe yang tiba-tiba.
"Kau berdarah," katanya menatapku dengan mata biru terangnya yang tajam.
Aku melihat kembali lukaku. Gabe langsung melempar dua buah plester luka ke pangkuanku. Semua orang menatap Gabe tak percaya, seakan cowok itu baru saja melakukan hal yang diluar logika.
"Apa ini?" tanyaku bingung.
"Itu plester untuk lukamu. Kenapa kau selalu saja terlihat bodoh?" katanya tampak kesal. Matanya berkilat, lalu meninggalkan kami yang masih melongo takjub.
Semua anak cewek menatapku dengan sinis dan bertanya-tanya--kenapa Gabe yang cuek dan dingin itu bisa tiba-tiba melakukan hal tadi padaku? Apa Gabe naksir aku? Tiba-tiba aku merona, tapi kemudian tersentak karena ingat ucapan Gabe tadi yang bilang bahwa aku terlihat bodoh. Hei, seharusnya aku menonjoknya tadi bukannya malah merasa geer.
"Wow, Gabe perhatian sekali padamu." Liz langsung berkomentar, bola matanya menatap Gabe yang kini duduk di gerombolan anak cowok dengan kagum.
Aku bingung apa harus merasa tersentuh atau kesal. Entahlah, yang jelas perlakuan Gabe tadi memang mengejutkan. Karen menatapku semakin nyalang dan benci. Jika tatapan bisa membunuh pasti aku sudah mati ditatapnya saat ini.
"Sepertinya kau dan Gabe dekat, ya," katanya dengan nada datar yang dibuat-buat.
"Tenang saja, kami tidak sedekat itu," sahutku. Plester yang diberikan Gabe tadi kutempelkan pada lutut dan sikuku.
"Yeah, kuharap begitu." Karen menatapku dengan tatapan intimidasi seolah Gabe adalah miliknya dan tidak boleh ada yang menyentuhnya.
Pelajaran olahraga selesai. Aku dan Liz segera mengganti pakaian kami lalu pergi menuju kelas berikutnya. Tubuhku terasa lelah. Sepertinya efek beberapa kali terjatuh tadi dan baru terasa sekarang.
Aku berjalan pelan menuju gedung dua dimana kelas trigonometri berada. Mr. Oswell sudah duduk di dalam kelas memeriksa kertas-kertas ulangan kami kemarin. Gabe juga sudah hadir lebih dulu duduk di kursinya deretan nomor dua dari belakang di pojok.
Aku menggigit bibirku, menimbang-nimbang apakah harus menghampirinya atau tidak. Tapi, tidak sopan rasanya jika aku tidak mengucapkan terimakasih sama sekali atas plester yang diberikannya padaku tadi.
"Umm ... well, terima kasih atas plestermu tadi, Gabe," kataku pada cowok itu. Ia tengah menulis sesuatu di bukunya.
Seperti ada ribuan kupu-kupu dalam perutku yang terasa bergejolak--Gabe mendongak menatapku--gejolak itu semakin kuat hingga membuatku mulas dan mual secara bersamaan. Perasaan macam apa ini?
"Aku hanya melakukan yang seharusnya. Kuharap kau tidak berpikir macam-macam." Ia melirikku.
"Ya, tentu saja."
Aku segera kembali berjalan ke kursiku dan duduk di sebelah Mary. Kuhembuskan napas kuat-kuat. Rasa tidak nyaman kembali merayapi punggungku. Jawaban dingin Gabe membuat hatiku mencelos. Seharusnya aku tahu akan dapat reaksi seperti itu. Ya, dia cuma tulus ingin memberiku plester karena aku terluka, jadi aku tidak perlu berpikir macam-macam.
Mr. Oswell langsung memulai pelajaran dua menit kemudian. Aku tidak bisa berkonsentrasi selama pelajaran. Otakku blank. Aku tidak tahu apa yang membuat konsentrasiku buyar. Mr. Oswell tampak menyadari bahwa aku tidak terlalu memperhatikannya dan dengan baik hati menyuruhku ke depan kelas--menjawab rumus matematika di papan tulis yang baru saja ia jelaskan.
Tentu saja aku tidak menjawab dengan benar dan secara kebetulan juga, Mr. Oswell menyuruh Gabe untuk membenarkan jawabanku yang salah. Well, terima kasih banyak Mister. Kau telah membuatku semakin terlihat buruk di mata Gabe. Sekali lagi kulihat Gabe tersenyum mengejek padaku. Mungkin kebodohanku adalah hiburan baginya.
"Jadi kau sudah mengerti, Ms. Larson? Caramu tadi salah. Lain kali perhatikan lebih baik, oke?"
"Yes, Mr. Oswell. I'm sorry," ucapku, lalu kembali ke tempat dudukku.
Pukul tiga sore sekolah usai. Sesuai janji, aku bersama Liz dan Becca berencana pergi ke toko penyewaan kostum naik metro menuju Downtown West di Mineapolis. Kami turun di Metro Transit Store lalu berjalan menyusuri Marquette Ave street, melihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang sambil cuci mata.
Suasana Halloween sudah mulai terasa karena banyak gedung-gedung Departemen Store menghiasi bangunan mereka dengan pernak-pernik Halloween. Penjual topeng-topeng seram, kue-kue labu, dan aksesori bertema hantu bertebaran di sekeliling jalan yang kami lewati.
Kami pun singgah sejenak di Starbuck untuk mengisi perut yang agak keroncongan walau jam makan malam masih lama. Aku agak merasa lapar, terutama sehabis pelajaran olahraga tadi yang cukup menguras fisikku. Walau aku memang tak banyak menyumbang poin untuk timku, tapi aku yang paling banyak terjatuh dan itu cukup menguras energi.
Setelah selesai mengisi perut, kami pun berjalan kembali menuju butik penyewaan kostum. Liz bilang pemilik butik ini kenalan ibunya dan koleksi pakaian sewaannya lumayan lengkap. Jaraknya sekitar dua blok dari tempat kami berjalan.
Sekitar 10 menit berjalan, Liz mengajak kami masuk ke dalam sebuah gedung berlantai dua yang persis terletak di persimpangan jalan dekat dengan Nicollet Mall Station. Dari luar butik aku bisa melihat beberapa pakaian cosplay yang dipajang di depan jendela kaca besar menghadap jalan. Suasananya hangat begitu berada di dalam karena diluar udara cukup dingin menggigit.
Seorang wanita berusia sekitar 40-an datang menyambut kami dengan ramah beserta pegawai wanitanya. Liz langsung memperkenalkan kami pada wanita bernama Mrs. Lautner itu.
"Kami mau cari kostum untuk pesta Halloween," jelas Liz padanya.
"Oh, baiklah. Silakan kalian lihat-lihat. Aku punya banyak koleksi. Liz membawa kalian ke tempat yang tepat." Ia tersenyum lebar, mempersilakan kami melihat-lihat ke rak-rak pakaian.
"Aku ingin kostum Wonder Woman dan temanku Annabelle. Apa masih ada?" Liz bertanya, tangannya sibuk memilah-milah baju yang tergantung di rak. "Kau mau pakai apa, Keana?"
Aku yang sedang memilih-milih baju sontak menoleh. "Entahlah, aku masih mencari."
"Oke, silakan kau pilih saja."
"Hei, kalau aku pakai ini kayaknya keren." Becca muncul membawa sebuah baju jubah hitam panjang yang menutupi mata kaki lengkap dengan topi penutup kepala bertanduk. Itu kostum Maleficent. Seorang tokoh karakter film yang diperankan Angelina Jolie.
"Well, ya ... itu pilihan yang bagus," komentarku.
Becca tersenyum lebar di balik pipinya yang chubby. "Kalau begitu aku pakai ini saja," katanya, "aku tidak jadi dengan kostum Annabelle."
Aku masih memilah-milah pakaian, bingung mana yang harus kukenakan. Banyak pilihan sebenarnya dan akhirnya kuputuskan untuk mengenakan kostum peri hitam yang lengkap dengan sebuah bandana berbentuk lingkaran di atas kepala dan sayap.
"Guys, bagaimana dengan yang ini?" Aku menunjukan pakaian itu pada Liz dan Becca.
Mereka langsung memberi komentar setuju, sementara Mrs. Lautner datang membawa kostum Wonder Woman yang dipesan Liz tadi. Becca pun mengatakan ia tidak jadi menggunakan pakaian Annabelle dan memilih Kostum Maleficent saja.
Setelah mendapatkan kostum yang kami inginkan, kami berjalan-jalan sebentar sambil menunggu jadwal Metro yang lewat untuk pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Liz dan Becca mengoceh tentang gosip-gosip yang berembus di sekolah, tentang Gabe dan PR yang belum sempat kami kerjakan.
Pukul enam sore, aku baru sampai rumah. Rasanya tubuhku lelah. Setelah makan malam, aku berencana mengerjakan PR dan langsung tidur.
"Apa kau sudah mendapatkan kostummu?" Mom bertanya sembari menyiapkan makan malam di atas meja. Aku membantunya menata sendok dan garpu dan menjawab iya.
Menu dinner malam ini agak spesial karena Mom memasak Roasted Chicken saus lemon dan mashed potato. Dad pulang ketika meja telah tertata rapi. Kami makan malam sambil mendengarkan Dad bercerita masalah kantornya. Aku hanya menanggapi sekilas dan mempercepat makanku lalu naik ke kamar, tidak lupa kuucapkan selamat tidur pada mereka.
Aku langsung mengerjakan PR matematikaku yang ternyata lebih mudah dari yang kubayangkan sebelumnya. Begitu selesai, aku membereskan bukuku dan memasukannya kembali ke dalam tas. Kuamati lukaku yang ada di siku dan lutut, plester yang diberikan Gabe tadi siang membuatku teringat padanya.
Angin kencang berembus menembus masuk ke dalam jendela kamarku yang terbuka. Aku tersentak, melangkah menuju jendela untuk menutupnya. Bulan purnama keperakan membulat sempurna dan bersinar cukup terang, hanya sedikit bintang yang menemaninya. Udara malam dingin membuatku agak menggigil ketika angin menyapu kulitku yang terbuka. Tanganku yang meraih kenop jendela mendadak berhenti.
Aku bersumpah melihat sesuatu terbang di langit--seperti seekor burung besar dengan sayap yang besar--lalu menghilang dalam sekejap mata. Kuusap mataku berkali-kali seakan aku salah lihat, tapi itu jelas nyata. Aku tidak mungkin salah.
Angin dingin membuatku semakin menggigil, gigiku sampai bergemeletukan. Kupeluk tubuhku dengan kedua tangan, lalu dengan cepat menutup jendela. Entah makhluk apa itu yang kulihat, aku tidak mau terlalu memikirkannya.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Sheril 25
bagus bnget
2022-08-18
0
Feronica Putri Tiwi
bagus ceritanya thor 👍👍
2021-08-23
0
Falife
good job Thor
like for you
salam
Alexa& ananta
light in the dark
story chat lain dunia
2020-09-06
0