Bulan November baru saja menjelang, tapi entah kenapa sejak dua hari lalu salju sudah turun dengan lebatnya. Seharusnya musim dingin masih satu bulan lagi, walau begitu aktivitas tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Sekolah kami pun mulai disibukkan dengan kegiatan ekskul yang padat, sebab akhir tahun nanti kami akan mempersiapkan festival sekolah sebelum memasuki liburan pergantian tahun.
Sekolah telah usai sejak pukul tiga sore tadi dan aku masih berkutat dengan anak-anak club drama di ruang teater. Membahas audisi terbuka dan tema drama yang akan kami bawakan nanti. Beberapa dari anggota ada yang tidak setuju dengan pertunjukan Hansel and Gretel.
Anak-anak perempuan ingin membawakan drama Fairytale seperti: Cinderella, Little Mermaid, Rapunzel, Beauty and the Beast dll. Alasan ketidaksetujuan sebenarnya karena dongeng Hansel and Gretel tidak ada adegan kissing yang dinanti-nantikan.
Alasan yang sangat konyol menurutku.
Karena audisi terbuka bisa melibatkan anak-anak luar teater, tentu saja ada peluang besar untuk cewek-cewek populer atau cowok-cowok keren ikut audisi---macam Gabe, Dalton atau Calvin. Tapi menurutku ketiga cowok itu tidak mungkin berminat. Dalton adalah bintang club olahraga, khususnya football---sementara Gabe itu introvert, terkesan dingin dan cuek. Siapa yang menyangka di pesta Halloween dia malah pakai baju biasa bukan kostum cosplay. Lalu, Calvin? Kalian tahu sendiri cowok bermasalah seperti dia tidak mungkin repot-repot ikutan.
Oh ya, ngomong-ngomong soal Gabe dan Calvin. Aku sejak kemarin ingin bertanya pada Gabe kemana cowok itu pergi karena dia tiba-tiba saja lenyap dari pandangan. Tapi, setiap berpapasan bibirku terasa kelu dan tubuhku membeku---dan yang membuatku sebal ada Calvin yang sering datang mengganggu. Cowok itu sepertinya punya daya tahan tubuh yang kuat, sebab seberapa kali aku menghindar dan melakukan gerakan penolakan padanya, tetap saja dia gigih mendekati dan merayuku.
Aku heran. Apa sih yang membuatnya begitu tertarik padaku? Sebaiknya aku tanyakan lagi padanya nanti. Mungkin dia sedang salah minum obat sampai mengira aku jelmaan Selena Gomez atau Kendal Jenner yang membuatnya terpikat.
"Bagaimana dengan Romeo dan Juliet? Aku suka dengan kisah itu," ujar Emilly---salah satu anggota teater yang selalu kebagian peran utama berkat akting dan wajahnya yang jelita.
"Itu sudah terlalu mainstream," sahut Jake Ramsey, ketua club drama ini. "Tidak menarik."
"Bagaimana kalau cerita Beowulf? Legenda kepahlawanan kita," usulku yang sejak tadi berdiam diri.
"Kupikir itu ide yang bagus," Jake tersenyum padaku---mencatat di buku catatannya---lalu memandang ke anak-anak lain. "Ada usul lagi?"
Beberapa anak mengutarakan pendapat mereka. Tapi banyak yang menyetujui usulku. Setelah dilakukan polling untuk sementara legenda Beowulf dan cerita Romeo and Juliet mendapat suara terbanyak.
Pukul lima sore kegiatan rapat pun selesai. Besok kami akan kembali berkumpul, menentukan tema dan mulai bersiap melakukan audisi. Lalu, membagi tim untuk mempersiapkan pentas yang akan diselenggarakan sebentar lagi.
Aku menggosok-gosok tanganku yang terasa dingin. Hari ini aku lupa mengenakan sarung tangan sementara cuaca terasa menusuk-nusuk setiap inci kulitku sampai ke tulang. Aku berjalan menyusuri koridor dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Kututup kepalaku dengan tudung mantel tebalku. Salju tipis masih melayang turun seperti gumpalan kapas dan menutup permukaan bumi.
Beberapa anak teater yang sudah berada di luar melambai padaku saat aku lewat. Aku tersenyum pada mereka. Ketika kulihat sosok Calvin sedang berdiri menyandar di sisi mobil sport-nya yang berwarna oranye---jantungku mencelos.
Oh, tidak. Jangan lagi, batinku jengah.
Calvin tersenyum lebar dengan tatapan berbinar kala melihatku. Tangannya langsung membuka pintu mobil mempersilakanku untuk masuk.
"Masuk lah! Jangan biarkan pangeran tampan ini menunggumu lebih lama---" katanya yang mau tidak mau membuatku tersenyum.
Aku menghela napas, lalu menurutinya masuk ke dalam mobil---yang kurasa harganya lebih mahal dari harga rumahku---suasana hangat dan nyaman menyambutku begitu di dalam. Jok kulitnya lembut dan empuk sekali---sangat nyaman dan sangat menggodaku untuk tertidur.
Calvin pun segera masuk, lalu membantuku memasang sabuk pengaman walau aku merasa sedikit tak nyaman karena wajahnya terlalu dekat ketika melakukan hal itu.
"Thank you ..." ucapku kemudian.
"Your welcome---" sahutnya dan menyalakan mesin mobil. Suaranya terdengar halus sekali.
"Jadi, kau menunggu sejak tadi?" tanyaku begitu mobil sudah melaju meninggalkan gedung sekolah.
"Tentu saja. Kau tidak lihat aku sudah hampir hipotermia gara-gara menunggumu?" jawabnya, memasang wajah cemberut.
"Aku tidak menyuruhmu untuk menungguku," kataku kejam.
"Setidaknya tunjukan empatimu pada orang yang telah memberimu tumpangan gratis ini."
"Ya, baiklah ... terimakasih," sahutku.
Calvin menyeringai. "Jadi, dimana rumahmu?"
"Di kawasan Lowry Hill di Aldrich Avenue. Empat blok dari sini." Aku menjawab. Mataku sibuk menjelajah ke setiap sudut mobil. Mengamati desain interior mewah yang membuatku kagum. Seumur-umur baru kali ini aku bisa naik mobil sebagus ini.
"Oh, jadi kau tinggal di dekat tempat tinggal Sharon Woodley?"
Aku cuma mengangguk dan menjawab ya tanpa mengalihkan pandangan dari dasbor mobilnya yang sangat mewah. Baru menyadari alasan kenapa cewek-cewek menyukainya selain wajahnya yang tampan.
"Bagaimana? Apa kau sudah mulai menyukaiku?" Calvin memandangku, tersenyum mengejek.
Aku mengendikkan bahuku sekilas. "Ya, mobilmu keren."
Calvin mendengus, lalu tertawa pelan. "Ini cuma satu dari beberapa koleksiku."
"Wow! Jadi ternyata gosip itu benar kalau kau memang cowok tajir," sahutku.
"Kenapa kau selalu menghindariku, Keana? Aku serius padamu." Mata topaz-nya menatapku lekat.
"Aku tidak menyangka kau bisa sebegitu tertariknya padaku. Maksudku, kenapa kau menyukaiku?" Aku mengerutkan alis.
"Entahlah. Bagiku kau cukup menarik---dan aku selalu mengejar apapun yang kumau sampai kudapatkan..."
"Dan mencampakannya begitu kau bosan ..." selaku cepat yang membuat wajahnya mengeras.
"Kau mulai lagi," ia geleng-geleng kepala. Ekspresinya berubah kesal.
"Aku benar, kan?" sergahku.
"Tidak. Kau salah!" tukasnya marah.
"Karen. Kau mencampakannya."
"Aku tidak mencampakannya. Sungguh."
"Lalu, kenapa kau putus dengannya? Dia masih suka padamu."
"Well, ya. Aku memang memutuskannya. Dia itu gila. Sangat posesif. Aku tidak tahan dengan jenis cewek seperti itu."
Aku mendengus dan memalingkan wajah, memandang jalanan yang tertutup salju tebal.
"Jadi, menurutmu aku tidak gila? Bisa saja aku lebih gila dari yang kau bayangkan."
"Tidak. Kau manis, walau sedikit frontal dan---galak," dia tersenyum.
Tak berapa lama kami sampai---merasa lega bisa melihat rumahku yang entah mengapa terasa sangat jauh dalam perjalanan pulang kali ini.
"Kita sudah sampai," katanya.
Aku membuka sabuk pengamanku dan terkejut dengan gerakan kilatnya membantuku melepaskan alat itu dari tubuhku. Wajahku menegang saat ia mencondongkan tubuhnya ke depan wajahku, berniat ingin menciumku.
"Calvin, jika kau tidak ingin batang hidungmu patah, sebaiknya kau urungkan niatmu!" ancamku galak.
Dia tertawa dan memundurkan tubuhnya sambil garuk-garuk kepala. "Tidakkah kau ingin memberikan tanda terima kasih?"
"Well, terima kasih atas tumpanganmu," kataku cepat.
Dia cemberut, matanya menatap ke belakang tubuhku--ke arah rumahku yang sekelilingnya dicat putih. "Apa aku boleh mampir?"
Seketika tatapanku menajam dan Calvin langsung mengatupkan mulutnya.
"Mungkin lain kali," katanya sambil nyengir lebar.
Aku menghela napas. Merasa sangat berterima kasih telah diantar olehnya dengan selamat.
"Baiklah. Aku masuk dulu. Terima kasih, Calvin. Mobilmu nyaman sekali."
"Yeah, sampai ketemu besok."
"Kau tidak perlu repot-repot mengantarku lagi."
"Kalau begitu aku akan menjemputmu."
"Terserahlah." Aku geleng-geleng kepala dan segera keluar dari mobilnya yang---sialnya---terasa sangat nyaman.
Aku melambai dan dia mengedipkan mata seraya tersenyum sebelum melesat pergi meninggalkanku. Mobilnya melaju kencang menyusuri gang dan berbelok ke kanan, lalu menghilang.
"Kau bersama Calvin Morris?" Terdengar suara nyaring di belakangku.
Aku menoleh dan melihat Sharon sedang berdiri di depan pagar rumahnya, menatapku tak percaya seolah aku baru saja kepergok mencuri sesuatu dari kediamannya.
"Ya, dia cuma mengantarku pulang. Tidak lebih," jawabku berusaha meyakinkan agar dia tidak salah paham. Aku tidak ingin besok menerima serangan laser dari tatapan Karen yang mematikan.
Sharon terlihat melengos. Tentu saja dia tidak akan percaya.
"Wow! What a surprise!"
"Kumohon kau jangan salah paham," kataku lagi.
Sharon tidak menjawab, hanya berdiri bersedekap sambil menyibakkan rambut pirangnya ke belakang bahu.
Aku menghela napas lalu segera masuk ke dalam rumahku. Masa bodoh dengan apa yang dipikirkan gadis itu, aku tak mau terlalu memikirkannya.
Di dalam rumah, kudapati Mom dan Keandra sudah berpakaian rapi mengenakan mantel dan jaket tebal. Terburu-buru memakai sepatu dan menuju pintu.
"Kalian mau pergi kemana?" tanyaku bingung.
"Kami mau ke Saint Paul. Bibimu kecelakaan, Keana ..." sahut Mom dengan ekspresi kecemasan yang dalam.
Aku membelalakan kedua mata, terkejut. "Maksud Mom bibi Rosie?"
"Yeah, dan sekarang dia sedang berada di rumah sakit. Kami pergi dulu, kau jaga rumah, ya ..." Mom langsung bergegas keluar sambil menuntun Keandra dan menutup pintu. Namun sedetik kemudian, ia masuk lagi ke dalam. "Keana?"
Aku yang sedang membuka lemari es, berpaling ke arahnya. "Ya, mom? Kau belum pergi?"
"Mom lupa mengatakan kalau Mom belum sempat memasak makan malam. Bisa kau siapkan sendiri? Dan tolong Mom untuk pergi berbelanja, ya? Daftarnya ada di atas meja makan."
"Baiklah," aku mengangguk. "Bagaimana dengan Dad?"
"Dia akan menyusul sepulang kerja ke rumah sakit. Jadi mungkin malam ini kau akan tidur sendirian." Mom menatapku. "Kau tidak apa-apa, kan?"
"Yeah, jangan khawatirkan aku. Sampaikan salamku pada bibi Rosie. Kuharap dia cepat sembuh."
"Baiklah, Mom pergi. Jaga dirimu."
"Ya, kau juga. Hati-hati berkendara."
Mom segera menutup pintu. Tak berapa lama terdengar suara mesin mobilnya menyala. Aku berjalan ke meja makan dan mengambil daftar belanja yang sudah ditulisnya tadi. Lalu, naik ke kamarku mengganti pakaianku dengan baju berbahan wool lengan panjang, setelah itu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Perutku sudah keroncongan sejak tadi.
Aku memasak pasta salad yang cukup mudah dalam membuatnya. Rasanya lumayan enak ketika aku memakannya sebagai menu makan malamku. Kucuci peralatan makanku begitu selesai, lalu berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan membasuh wajahku yang terlihat sembab dan lelah.
Untung hari ini tidak ada PR, jadi aku bisa sedikit santai. Kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul tujuh malam lewat sepuluh, waktunya berbelanja. Kuambil mantel tebal yang tadi kugunakan ke sekolah, lalu memakai sepatu boots-ku.
Salju tipis masih tetap turun membasahi jalan. Aku melangkah hati-hati pada jalanan yang membeku di sekitarku agar tak terpeleset jatuh. Saat melewati rumah Sharon, kepalaku secara refleks menoleh. Gadis itu tidak ada lagi di luar. Kurasa ia sudah berada di dalam. Siapa yang mau berdiri lama-lama dalam cuaca dingin seperti ini di luar?
Tak berapa lama, aku sampai di Supermarket tempatku biasa berbelanja dan bertemu Gabe hampir sebulan lalu. Segera kuisi keranjangku dengan barang-barang yang tertera di daftar belanja. Sesekali mataku menatap ke sekeliling, siapa tahu bertemu dengan Gabe seperti waktu itu.
Kasir yang melayani ternyata masih cewek yang dulu. Hanya saja warna rambutnya berubah. Seingatku kemarin, warnanya merah tembaga sementara hari ini rambutnya yang pendek berwarna oranye tua.
Ia juga terlihat masih mengenaliku saat aku meletakan barang-barang belanjaanku di hadapannya. Ia tersenyum miring dengan permen karet dimulutnya yang sesekali ditiupnya menjadi balon.
"Kau tidak membeli sesuatu yang penting?" celetuknya dengan tatapan jail.
"Apa?" tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Kau tahu ... alat pengaman. Apa kau malu karena ada cowok tampan di sebelahmu waktu itu?" ia berkata lagi.
Aku menggeleng. "Tidak. Aku memang tidak bermaksud membelinya. Itu hanya sebuah kesalahan," tegasku merasa jengah.
Gadis itu tersenyum. "Ya, baiklah." ia segera memberikan belanjaanku yang telah selesai dibayar.
Aku langsung mengambilnya dan keluar dari tempat ini.
Salju turun lebat begitu aku berada di luar. Kututup kepalaku dengan tudung mantelku. Angin kencang berembus. Gigiku bergemeletukan menahan hawa dingin yang menyerang. Seperti berada di Alaska atau Kutub Utara rasanya.
Selanjutnya aku berbelok ke kiri menuju kompleks perumahanku. Suasana sunyi sekali. Lampu jalan didepan tampak berkedip-kedip dan menyala redup, memberi pertanda sebentar lagi akan putus. Mobil-mobil yang terparkir di sisi jalan, sudah terkubur dalam timbunan salju.
Aku berjalan pelan, memicingkan mata---menatap lurus pada sosok yang berdiri di ujung jalan---lalu membeku. Langkahku terhenti seketika dan bulu kudukku meremang.
Aku melihatnya---Entah apa yang kulihat---seorang cowok sedang berdiri dengan sayap besar mengembang di punggungnya. Cowok itu sepertinya sadar dengan keberadaanku yang hanya bisa mematung tak bergerak.
Dia menatapku tajam. Walau saat ini sedang turun salju lebat dan dalam keadaan cukup gelap, aku masih bisa melihat matanya yang berwarna biru terang.
Untuk sepersekian detik kami berdua hanya bisa mematung. Aku mengenalnya. Dia adalah Gabe--Gabriel Axton White. Tapi, kenapa ... kenapa dia punya sayap? Siapa dia? Makhluk apa dia?
Oh, Tuhan! Apa aku sedang berhalusinasi? Apa aku tadi salah minum obat? Sungguh. Kenapa aku tidak bisa berpikir jernih?
"Ka ... kau?" hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.
Gabriel atau siapapun dia yang mirip Gabriel, tapi bersayap--terlihat canggung. Aku bisa melihat kilatan matanya yang menatapku. Sedetik kemudian, dia terbang. Kedua sayap putih besarnya mengepak di udara seperti seekor burung raksasa, lalu menghilang.
"What the ..."
Kurasa kepalaku pusing tak karuan. Mual dan mataku berkunang-kunang. Sepertinya aku sudah tidak waras. Pemandangan tadi membuat pandanganku berputar. Hitam, gelap dan aku tak sadar apa-apa lagi. Aku pingsan.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Muse
Kira² Keana mimpi apa semalem yaa... bisa ketemu malaikat ganteng bersayap pula...dia pasti shock bgt tuch...
2023-11-12
0
Chuayo
bagusss bangetttt 😍😍
2021-02-25
0
PECINTA CEO
aku tahu kau apa.half angel
2021-01-05
0