Wanita pucat mengerikan itu tertawa melengking, membuat bulu kuduk merinding kala mendengarnya. Mata kuning dengan pupil horizontal hitam segaris---menyerupai mata reptil---membelalak lebar, menunjukan sorot puas dan bengis. Bibir merah kebiruannya tertarik ke belakang yang membentuk sebuah seringaian lebar, memamerkan dua taring panjang menyeramkan. Tangannya yang kaku, pucat dan sedingin es terus mencengkram leherku kian erat dan menarik ke atas hingga kakiku tak lagi menyentuh lantai. Aku benar-benar semakin tak berdaya. Kekuatanku melemah. Tak ada lagi udara yang masuk ke dalam saluran pernapasanku.
Detik-detik yang berlalu membuat pandanganku semakin kabur. Bayangan wajah Mom, Dad dan Keandra berkelebat di benakku. Aku tak sanggup menahan rasa sedih yang menggelegak seiring dengan desakan air mata yang mengalir dari sudut mataku, bahwa sebentar lagi aku akan mati. Tak kusangka aku harus mati dalam usia semuda ini dan ditangan makhluk mengerikan---bukannya diatas tempat tidur yang hangat dalam usia panjang, sebagaimana umur manusia pada umumnya meninggal saat tua.
Ratusan kunang-kunang semakin menusuk penglihatanku. Oh, mungkin inilah saatnya. Selamat tinggal Dad, Mom, Keandra! Aku selalu menyayangi kalian! bisikku dalam hati. Pelupuk mataku perlahan-lahan menutup. Bulir-bulir bening mengalir deras membasahi pipiku.
Terdengar suara pekikan nyaring di telingaku. Aku terjatuh ke lantai. Suara teriakan lain menggema. Teriakan murka dan geraman marah membuatku tersadar.
Apakah aku sudah mati?
Kubuka kedua mataku. Tak ada lagi cekikan yang mencengkram leherku. Aku bisa bernapas lagi. Sekelebat bayangan merah, putih dan putih beradu di tengah ruangan. Kutegakan tubuh dan menyandar ke tembok. Napasku terengah-engah. Otakku mencoba mencerna apa yang sedang terjadi saat ini.
Suara lengkingan jeritan kesakitan memekakan telinga. Aku tersentak dan melihat di ujung sana wanita pucat bertaring yang mencekikku tadi sedang bergumul dengan sosok putih bersayap besar. Aku tidak bisa melihat wajah sosok itu, namun saat suaranya meneriakan namaku, aku mengenalinya. Itu Gabe!
"Keana, lari!" suara merdunya mengalun keras yang membuatku refleks berdiri dan terseok-seok menuruni tangga untuk melarikan diri mengikuti perintahnya.
Si wanita pucat itu terbang ke langit-langit ruangan sambil tertawa terbahak-bahak. Aku menengadah menatapnya dengan bergidik. Gabe cepat-cepat menarik busurnya dan satu anak panah melesat menembus dada wanita itu. Lengkingan jeritan kembali terdengar memenuhi ruangan. Wanita itu terbakar dan meledak menjadi bunga-bunga api di udara.
Saat aku berhasil mencapai pintu depan, makhluk bertubuh merah dengan tanduk di kepala tiba-tiba muncul menghadangku. Seringaian dan geraman marah terdengar dari mulutnya. Aku terkesiap ngeri.
Saat itu kulihat Gabe muncul di belakangku sambil menarik busurnya ke arah makhluk jelek itu. Sebuah anak panah melesat dan menembus udara kosong. Makhluk jelek tadi telah lenyap lebih dulu.
"Tidak semudah itu malaikat bodoh!" Suara makian paraunya terdengar. Kini ia terbang menggunakan sayap kelelawarnya di langit-langit ruangan, di sebelahnya tergantung lampu kristal kesayangan Mom dan kami sedang berdiri di bawah benda itu.
Gabe mendengus. Matanya berkilat marah. Lampu kristal itu bergoyang-goyang, lalu meluncur turun ke bawah untuk menimpa kami. Si makhluk jelek tertawa puas dan aku terkesiap ngeri membayangkan lampu itu akan menghantam tubuhku yang tak berdaya dalam beberapa detik lagi.
Kurasakan ada sebuah tangan menarik dan menghentakkan tubuhku. Aku menjerit. Kedua mataku terpejam dan aku merasa seperti tersedot ke dalam gravitasi yang sangat kuat. Kubuka mataku sedetik kemudian, lalu terperangah melihat pemandangan luar biasa di depan sana.
Apa aku sudah mati?
Apa ini di surga?
"Keana, kau tidak apa-apa?" sebuah suara merdu menyadarkan dan membuatku tersentak.
Aku mendongak menatap mata biru Gabe yang memancarkan sinar kehangatan dan kecemasan begitu dalam. Ia berdiri menjulang di sebelahku, tangannya masih menggenggam erat jari-jemariku. Perutku tiba-tiba saja bergejolak hebat. Aku tak sanggup menahan desakan dari dalam tubuh untuk memuntahkan semua isi dari dalamnya.
HOOEEKKK!! HOOEEKK!!
Oke, aku ingat dengan rasa mual dan pusing yang sangat tidak nyaman ini. Pasti tadi Gabe mengajakku berteleportasi.
"Kau tidak apa-apa? Maaf, pasti rasanya tidak nyaman." Ia terlihat merasa bersalah ketika menatapku.
Aku mendongak dan terhuyung-huyung waktu mencoba berdiri tegak. Gabe langsung memegangi bahuku agar tidak terjatuh.
"Apa yang terjadi?" bisikku dengan napas tercekat. Leherku masih terasa sakit bekas cekikan wanita pucat tadi.
"Seperti yang kau rasakan saat ini, maksudku mual yang kau alami---kita berpindah tempat. Teleportasi mungkin kau menyebutnya," jawab Gabe.
"Apa makhluk itu mengejar kita?" tanyaku sedikit cemas.
Ia menggeleng pelan. "Tenang saja. Kita sudah pergi ke tempat yang jauh. Dia tidak akan mengejar untuk saat ini."
"Kita ada dimana?" Aku tak kuasa menahan rasa takjub dan kagum kala menyaksikan pemandangan di hadapanku.
Di bawah sana terlihat bangunan-bangunan kota yang didominasi warna putih juga hijau pepohonan yang menghampar dan begitu kecil, namun sangat cantik.
"Kita di atas bukit Lycabettus Hill. Di bawah sana adalah kota Athena." Gabe memberitahu.
"Maksudmu kita sekarang berada di Yunani?" seruku tercengang. "Wow!"
"Aku terpaksa membawamu ke tempat yang jauh. Maaf." Ia meringis seolah aku akan mengamuk karena ia telah mengajakku ke suatu tempat asing tanpa persetujuanku.
"Gabe, it's really beautiful place!" Aku tersenyum lebar memandang ke pemandangan di bawahku. Kota Athena? Ini benar-benar menakjubkan. "Kau tidak perlu meminta maaf, kecuali soal tadi."
Gabe mendesah. Ekspresinya seketika menegang. "Ya, aku juga minta maaf soal itu. Mereka memang makhluk brengsek!" geramnya, kedua matanya berkilat marah.
"Kenapa mereka berniat membunuhku?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari atas bukit.
"Sepertinya mereka salah paham padamu," sahutnya lirih. "Atau mungkin mereka balas dendam karena aku telah membunuh teman jelek mereka kemarin."
"Tapi, mereka sempat menanyakan sebuah benda padaku. Aku tidak mengerti benda apa itu."
Angin kencang bertiup. Kupeluk tubuhku dengan kedua tangan. Matahari bersinar cukup cerah dan terlihat sudah agak bergulir ke barat. Awan tipis-tipis menggantung di cakrawala yang berwarna biru terang, seberkas warna jingga membias di sana. Aku tidak tahu secara pasti berapa jam perbedaan waktu di Athena dengan negara Bagian Minessotta. Seingatku ketika di rumah tadi masih pukul sepuluh atau sebelas pagi. Cuaca di sini terasa lebih hangat dari kota Mineapollis yang selalu bersuhu dingin meskipun sedang musim panas.
Kupandangi kaus panjang tipis usang yang membalut tubuhku. Tersadar bahwa aku tidak memakai jaket, lalu terhenyak melihat celana panjang training hitam serta sandal boneka kesayangan yang selalu kupakai setiap berada di dalam rumah. Sungguh perpaduan yang sempurna untuk berjalan-jalan ke luar negeri.
"Kau tidak apa-apa?" Gabe ternyata mengamatiku dari sudut matanya.
Aku menggigit bibir. "Entahlah. Kupikir aku terlihat sangat berantakan."
Gabe melepaskan jaket kulitnya dan menyampirkannya ke tubuhku. "Pakailah. Setidaknya ini akan membuatmu sedikit nyaman. Cukup berangin di sini," katanya.
Aku mengembuskan napas dan merapatkan jaket kulitnya ke tubuhku. Aroma manis perpaduan bunga-bungaan yang harum menyejukkan indera penciumanku. Secara tak sadar aku menghirupnya dalam-dalam. Jadi, begini aroma tubuh seorang malaikat? Wangi sekali.
"Jadi, benda apa yang mereka cari?" tanyaku penasaran, masih menghirup aroma manis itu.
Gabe mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Wajahnya berubah kelam. Tatapannya tertuju pada bangunan-bangunan kecil di bawah sana.
"Sebuah kunci."
"Kunci?" ulangku tak mengerti.
Ia mengernyit, terlihat gelisah dan tak nyaman dengan pertanyaanku. "Ya, ceritanya panjang. Aku tidak tahu apakah harus menjelaskan semuanya padamu atau sebaiknya tidak. Aku tidak ingin kau terlibat lebih jauh lagi," katanya gusar.
"Apa kau pikir dengan kau tidak menjelaskan apa-apa padaku, makhluk-makhluk menyebalkan itu tidak akan membunuhku lagi?" tukasku jengkel.
Gabe mengepalkan tinjunya. "Sebaiknya kita pulang."
Aku menggeleng.
Selain karena aku takut untuk pulang ke rumah, tempat ini sangat cantik. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan emas bisa berkunjung ke luar negeri tanpa perlu repot-repot menggunakan visa dan paspor. Ini kesempatan langka. Jujur saja, aku belum pernah ke Eropa. Sejauh-jauhnya aku pergi keluar negeri adalah ke rumah nenekku dari sebelah Dad, di Kanada. Dan negara itu jaraknya hanya selemparan batu dari Minesotta. Kupikir itu tidak masuk dalam hitungan.
"Aku tidak mau pulang. Bagaimana kalau makhluk-makhluk jelek itu datang dan mencoba mencekikku lagi?"
"Aku akan menjagamu."
"Menjagaku? Yang benar saja." Aku mendengus.
"Lihat keadaanmu. Kau sangat kacau," protesnya. "Berani bertaruh. Kau juga belum mandi, kan?"
Aku mendelik kesal karena tebakannya benar. Sebaliknya, ia **** senyum. Ekspresinya menunjukan kemenangan.
"Aku tidak akan pulang sebelum kau menjelaskan semuanya padaku!" Kuhentakkan kakiku sambil merengut, lalu berjalan menyusuri jalan setapak menurun yang membawaku ke bawah bukit.
"Kau bahkan tidak bawa dompet." Gabe berteriak di belakangku.
Dia benar, aku sama sekali tidak membawa apa-apa selain berpakaian kumal dan acak-acakan. Tapi, itu tidak menghentikan niatku untuk menghentikan langkah.
Aku terus berjalan cepat menuruni jalan setapak yang membentuk tangga kecil dan agak berkelok. Matahari terasa sedikit menyorot lembut kulitku walau suhu lumayan terasa dingin dan berangin. Aku sangat menyukai tempat ini. Cantik dan lebih hangat.
Beberapa saat kemudian, aku menoleh ke belakang. Gabe terlihat sedang berjalan menyusulku.
Saat berhasil melewati tangga terakhir, aku duduk di salah satu kursi kayu panjang bercat hijau di sisi jalan setapak yang memanjang sepanjang kaki bukit. Beberapa turis yang hendak menaiki tangga ke atas, melirikku dengan penasaran. Mungkin mereka merasa aneh melihat penampilanku yang kacau.
Kurapikan rambut cokelatku yang awut-awutan, lalu menguraikan sebagian ke depan wajah. Aku menunggu sambil bersidekap. Gabe berjalan ringan ke arahku. Ia mengenakan kaus turtleneck warna cokelat muda dan celana jins hitam yang membuatnya terlihat sangat tampan. Apapun yang dikenakannya selalu serasi membungkus tubuhnya tanpa cela. Ia bagaikan wujud Dewa Yunani sungguhan. Berbanding terbalik denganku yang terlihat menyedihkan saat ini.
"Kau keras kepala sekali," gerutunya lantas berdiri di hadapanku.
Aku menengadah, menatapnya kesal. "Aku hanya menuntut penjelasan darimu. Aku hampir mati tadi dan kupikir itu karena kau."
"Apa yang ingin kau ketahui?" balasnya tak kalah jengkel.
"Semuanya. Kurasa aku berhak mengetahui apa yang kau sembunyikan. Mengingat kau yang membuatku terlibat."
Gabe mendesah panjang. Wajahnya kelihatan lelah, lalu ia duduk di sebelahku. Sorot matanya tampak was-was ketika membalas tatapanku.
"Darimana aku harus memulai?" tanyanya dengan suara tak sabar namun masih terdengar sangat merdu di telingaku.
"Kenapa kau dan makhluk mengerikan itu berseteru? Kenapa ia ingin membunuhku? Dan kunci apa yang kau maksud tadi?" Aku langsung memberondong pertanyaan yang telah menggenang di otakku.
Gabe menarik napas. Kedua alis hitamnya bertaut. Bibirnya terkatup ke dalam. Sejurus kemudian, ia tersenyum memesona---lantas menjawab, "Apa kau pernah mendengar cerita tentang Azazel? Messias? All seeing eye?"
Aku mengernyit sejenak. "Ya, aku pernah mendengar tentang cerita-cerita mereka. Azazel, Lucifer yang disebut The Fallen Angel. Tapi, apa hubungan mereka dengan All Seeing eye?"
"Dahulu kala, Lucifer adalah pemimpin kami di Surga. Dia adalah sosok yang pemberani, cerdas dan sangat kuat. Nama aslinya Azazel. Tapi, ia memilih memberontak ketika bangsa kalian diciptakan. Ia dikutuk menjadi makhluk terkutuk karena itu. Hingga akhirnya ia menjadi musuh kami selama beribu-ribu abad. Kami selalu melaksanakan tugas kami untuk menjaga kalian dari makhluk itu.
"Hingga suatu ketika, muncul sebuah kabar bahwa ada makhluk dari bangsa kalian, seorang manusia yang memiliki kemampuan tak biasa. Bisa menyebabkan kerusakan di muka bumi, namun sangat kuat dan pandai. Kami menemukannya saat itu di daerah Mesir. Ia memang manusia yang ... sangat berbeda. Lucifer mendengar tentang manusia itu dan berniat ingin mengajaknya bergabung. Lalu kami, maksudku---bangsa kami dan bangsa iblis berperang selama ratusan tahun. Hingga peperangan panjang itu dimenangkan oleh bangsa kami.
"Kami membawa manusia itu ke suatu tempat di bumi ini. Menguncinya atau bisa dibilang mengurungnya sampai sekarang. Secara bergantian bangsa kami menjaga kunci tempat ia dikurung agar ia tidak bisa keluar. Masing-masing selama seribu tahun untuk menjaga kunci itu agar tidak jatuh ke tangan Lucifer dan teman-temannya. Manusia itulah yang dijuluki All seeing eye."
Aku terdiam mendengar ceritanya. Gabe menghela napas panjang. Ketegangan dan kesedihan terpancar dari raut wajahnya. Beberapa wisatawan yang melintas di depan kami, memperhatikanku dengan aneh, sedangkan menatap Gabe dengan kekaguman. Apakah aku terlihat begitu mengerikan saat ini?
"Apakah kunci yang dimaksud kedua makhluk tadi adalah kunci itu?" tanyaku tak sabar karena ia masih saja terdiam.
Gabe mengangguk, tatapannya menerawang ke pepohonan Dogwood yang tumbuh di seberang jalan setapak di depan kami.
"Wow!" seruku tak percaya.
"Aku membuat kesalahan. Saat ini adalah giliranku yang menjaga kunci itu. Tapi, aku---" ia menggelengkan kepala. Matanya terpejam dengan ekspresi muram, "menghilangkannya. Aku sudah berusaha mencari tapi masih belum menemukan benda itu. Jadi, aku harus bertanggung jawab atas apa yang kulakukan."
Aku menutup mulutku dengan ngeri. "Lalu, kenapa makhluk-makhluk itu ingin membunuhku? Apa mereka tahu kunci itu hilang?"
"Tidak. Mereka masih belum mengetahuinya. Itulah mengapa mereka terus mengejarku dan berpikir bahwa mungkin kau terlibat dalam penyimpanan benda itu."
"Apa yang akan terjadi jika makhluk itu terlepas dari tempatnya dikurung? Apa sangat berbahaya?" bisikku, melirik sepasang remaja Asia yang melintas dan tengah menatap kami ingin tahu. Kurasa penampilanku yang berantakan terlihat mencolok, atau mungkin saja ketampanan Gabe yang menarik perhatian. Entahlah. Karena orang-orang terus memperhatikan kami ketika lewat.
"Lebih dari berbahaya. Ia bisa menyebabkan kiamat di bumi ini. Itulah sebabnya, Lucifer sangat tertarik untuk menjadikannya sebagai sekutu. Ia bahkan mati-matian mengerahkan kekuatannya demi manusia itu."
"Apa Lucifer benar-benar ingin menghancurkan dunia ini?" tuntutku tak mengerti.
"Memang itulah tujuannya di muka bumi ini. Membuat kekacauan. Memusnahkan kehidupan kalian. Ironisnya banyak manusia yang juga bersekutu dengannya dan berharap kebebasan Messias atau All seeing eye. Mereka menjual jiwa mereka dan membentuk organisasi."
"Maksudmu semacam Iluminati?" suaraku tercekat. Kedua bola mataku membelalak lebar.
Gabe mengangkat bahu. "Ya, semacam itulah."
Aku memeluk bahuku dengan kedua tangan. Tiba-tiba merasa menggigil mendengarnya. "Kupikir organisasi semacam itu hanya sekedar propaganda."
"Dan kau pastinya berpikir bahwa Lucifer dan semacamnya hanya dongeng, kan?" ejeknya sambil geleng-geleng kepala.
Aku meringis, tak bisa kubayangkan betapa mengerikannya jika itu terjadi.
"Mereka ingin mewujudkan New World Order. Dunia baru dengan kesenangan, tanpa peraturan, agama atau apapun itu. Hanya manusia-manusia terpilih menurut mereka yang berhak bergabung dalam dunia itu. Sisanya, mereka akan memusnahkan secara massal. Maka dari itu, kami berusaha mencegah hal itu terjadi pada kalian."
Aku bergidik. Rasanya sangat sulit dipercaya. Dunia ini benar-benar sudah gila. "Mengerikan sekali ..."
"Tentu saja---dan jika aku belum bisa menemukan benda itu, maka bisa dipastikan kemungkinan terburuk akan terjadi. Peperangan yang melelahkan, kehancuran dan penderitaan tak terelakan."
"Kenapa kalian tidak berusaha membunuh manusia itu jika kehadirannya hanya membuat dunia ini hancur?"
Gabe mendengus. "Kami bukan makhluk yang ditakdirkan untuk membunuh All seeing eye. Seseorang dari kalian lah yang bisa membunuhnya."
Aku menunduk menatap ujung kepala boneka yang bertengger di sandalku. Kepalaku pusing. Aku tidak bisa membayangkan dunia seindah ini akan dihancurkan oleh makhluk-makhluk jahat itu.
"Apa sudah cukup bagimu untuk bertanya lagi?" Gabe menepuk pelan bahuku. Mata birunya sungguh meneduhkan.
Aku mendesah. "Masih ada lagi pertanyaan yang membuatku penasaran mengenai penyamaranmu. Kenapa kau kemari menjelma sebagai murid high school?"
Sekonyong-konyong ia tertawa mendengar pertanyaanku. "Sebenarnya hanya sekedar iseng. Waktu itu kupikir, menjadi seorang murid high school akan terasa menyenangkan. Well, aku penasaran---lagipula penyamaranku hanya untuk sementara. Aku harus pergi jika urusanku telah selesai."
"Kau akan pergi?" seruku kaget. Ada nada sedih dalam suaraku yang sangat kentara.
Ia mengangguk dan memiringkan kepalanya. Lalu, tersenyum kecil memandangku. "Aku tidak mungkin selamanya jadi anak sekolah, kan. Apa kau sedih dengan kepergianku?"
Aku menunduk dalam-dalam. "Jika kau pergi apa kita akan bertemu lagi?"
"Mungkin aku bisa menemuimu sesekali," gumamnya. "Kau tahu, ini adalah kali pertamaku berinteraksi dengan manusia begitu intens. Kau---telah mengetahui rahasiaku bahkan yang terdalam. Kuharap aku tidak mendapatkan masalah nantinya."
"Apa kau akan masuk neraka jika aku mengetahui rahasiamu terlalu banyak?"
Ia tergelak. "Apa kau mau masuk neraka bersamaku?"
Aku berdecak. "Kau sendiri saja. Aku lebih memilih masuk surga."
"Kalau begitu kau harus mati terlebih dahulu."
"Ya. Itu pasti," sahutku. "Jangan bilang kau yang akan mencabut nyawaku nantinya."
"Tidak. Temanku yang melakukan tugas itu." Ia tersenyum geli.
"Benarkah? Apa kau bisa bertanya padanya di usia berapa ia akan mencabut nyawaku?"
"Hei, itu ilegal. Kami tidak boleh memberitahu kematian seseorang," protesnya.
Aku nyengir sambil menggaruk kepalaku. Hari sudah semakin sore di kota ini. Aku merasa waktu berlalu begitu cepat.
"Sebaiknya kita kembali."
"Aku tidak mau pulang. Kau sudah membawaku jauh-jauh kemari dan kita melewatkannya begitu saja?"
"Apa kau yakin ingin berkeliling Athena dengan keadaan seperti itu?" Ia mengernyit, memandangku dengan takjub.
"Tidak masalah." Aku bangkit berdiri dengan acuh. Lalu, kembali menuruni jalan setapak di depanku.
Gabe terlihat geleng-geleng kepala dan berjalan cepat menghampiriku. Tangannya yang hangat menggandengku menyusuri jalan.
"Baiklah. Aku akan menurutimu kali ini."
Aku tersenyum lebar padanya. Wajahku pasti sudah merona bahagia. "Terima kasih," bisikku.
Dia hanya memutar bola mata. "Sama-sama."
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Muse
Ngeri juga yaa..
2023-11-12
0
Ratna Sintadewi
aaaaa gabe aku padamu
2021-01-14
0
PECINTA CEO
benih 2 lope lope tumbuh cuy
2021-01-05
0