-11- The Secret

-Keana-

Mobil yang kami naiki terus melaju dengan kecepatan tinggi. Rasa panik semakin menguasai pikiranku. Tidak ada tanda-tanda Gabe akan menghentikan lajunya. Ekspresinya mengerut tegang. Sesekali matanya yang tajam menoleh keluar jendela, tanpa pernah melihat ke arahku sama sekali.

"Kau mau kemana? Turunkan aku! Aku harus pulang!" teriakku untuk kesekian kalinya, namun Gabe tampak bergeming dengan raut tegang dan was-was. "Gabriel!"

Akhirnya ia menoleh, mata birunya melirikku sebentar, lalu kembali memandang keluar jendela dengan siaga.

"Sial mereka masih mengejar!"

Aku tergagap, "Me ... mengejar apa? Apa maksudmu?"

Gabe mengatupkan rahangnya dan membawa mobil kami berbelok ke tikungan menuju jalan utama, membelah kota Mineapolis yang padat. Hujan gerimis sekarang turun dengan lebat. Aku mencengkram jok kulit yang kududuki dengan tegang. Dalam keadaan basah seperti ini, aku berharap Tuhan memberi nyawa cadangan untukku karena gaya mengemudi Gabe yang gila-gilaan. Apa ia berpikir kami sedang syuting film Fast and Furious?

"Apa kau bisa melihat mereka?" tanya Gabe disela napasnya yang memburu.

"Melihat apa?" Aku mengernyit. Perutku bergejolak karena rasa takut yang mencekam.

"Oh, kau belum melihatnya." Ia menatapku, tersenyum samar.

"Melihat apa? Aku tidak mengerti maksudmu."

Ia tidak menjawab. Tangan kanannya mengambil sesuatu dari dalam dasbor mobilnya. Sebuah tabung perak seukuran tongkat estafet dengan panjang sekitar 30 cm.

"Apa kau bisa memanah?"

Apa sih maksudnya?

Aku menggeleng. "Tidak."

"Kalau begitu kau harus belajar nanti," ia memandangku, masih memegang erat tabung perak itu.

"Untuk apa?" Aku menatapnya heran.

"Kau akan tahu."

Ia menekan benda itu---aku tidak terlalu memperhatikannya karena gerakannya terlalu cepat---dan terkejut ketika menyadari bahwa tabung itu adalah sebuah busur panah besar yang terlipat. Mungkin dalam keadaan lain aku akan terkagum-kagum melihatnya, tapi tidak untuk sekarang sebab cara mengemudinya jauh lebih membuatku kagum hingga aku merasa mual.

"Apa kau akan memanah seseorang?"

"Ya," jawabnya pendek bersamaan dengan berkurangnya kecepatan mobil yang kami naiki. Ia memalingkan wajahnya padaku, "apa kau bisa mengemudi?"

Aku tersentak. "Ya, sedikit."

"Kalau begitu, tolong pegang kemudi ini untukku!"

Sebelum aku sempat menjawab, Gabe membuka jendela mobilnya, lalu mengambil sebuah anak panah yang tersimpan di bawah jok. "SEKARANG!"

Ia berteriak padaku. Aku langsung memegang kemudi yang ia lepaskan dan berusaha menjaga laju mobil agar tetap seimbang. Gabe menarik busurnya, lalu memanah sesuatu di langit dengan anak panahnya yang melesat bagai peluru.

Aku sempat melihat kilatan cahaya dan bunga api yang menyebar di langit membentuk sosok tubuh yang terbakar.

"What the hell is that?" tanyaku bergidik.

Gabe mengambil anak panah kedua. "Tetap fokus mengemudi," katanya padaku.

Aku menoleh ke jalan, terkejut karena hampir menabrak pembatas jalan akibat keteledoranku. Gabe melesatkan satu anak panah lagi ke udara dan kilatan api yang memercik kembali mewarnai langit malam. Ia meletakan busur tadi dipangkuannya dan dengan sigap melepaskan tanganku guna mengambil alih mengemudi.

"Apa yang tadi kau panah?" tanyaku penasaran.

"Menurutmu?" Ia melirikku sekilas.

"Berhenti bersikap misterius, Gabe! Kau akan membuatku mati penasaran," gerutuku jengkel.

Ia tergelak. Tapi tatapannya masih was-was. Aku sudah tidak tahu seberapa jauh kami melaju hingga tersadar kami sudah melewati perbatasan kota menuju Rochester.

"Kita mau kemana?"

"Entahlah," bisik Gabe yang membuatku semakin kesal.

"Apa kau sengaja ingin bermain-main denganku?" aku melotot padanya.

"Aku tidak bisa berhenti sekarang. Masih ada yang mengejar kita."

"Siapa yang mengejar kita? Aku tidak melihat siapa pun!"

"Kalau begitu lihat lah ke samping kananmu," ujarnya.

Aku menoleh ke samping kananku dan terkesiap melihat sosok merah mengerikan terbang di dekat mobil kami. Bola matanya yang berwarna kuning menatapku tajam. Mulutnya menyeringai. Sayap hitamnya mengepak-ngepak seperti seekor kelelawar besar.

"Siapa dia? Apa dia temanmu?" Aku tak kuasa menahan keterkejutanku. Makhluk itu terus mengikuti kami di belakang.

Gabe tertawa terbahak-bahak. "Tidakkah kau melihat perbedaan kami? Dia jelek sementara aku rupawan."

Aku mengerjap menatapnya. Baru menyadari fakta bahwa ia sama narsis nya dengan Calvin.

"Lalu, kenapa ia mengejar kita?"

"Well, mengejarku sebenarnya," ia meralat. "Bisa dibilang hubungan kami sudah tidak akur sejak lama."

"Kenapa?"

"Entahlah." Ia mengendikan bahu dengan santai. "Takdir mungkin. Kami sudah tercipta berlawanan, bertolak belakang."

"Jadi kau sengaja menempatkanku diantara pertikaian kalian?" Aku mengernyitkan wajah, merasa kegilaan sudah melingkupi otakku melihat apa yang terjadi sekarang.

"Good question. Kan sudah kubilang tadi kalau aku akan membiarkanmu sedikit terlibat."

"Wow! Terima kasih," sahutku sarkastik.

Makhluk merah tadi terbang mendahului kami. Aku bisa melihat ia melayang-layang di atas langit malam yang masih menumpahkan tetesan air. Makhluk itu menyeringai. Tanduk kecil di kepalanya mengeluarkan api.

"Oh, ini tidak bagus." Gabe bergumam, mengambil kembali busur dan anak panahnya, lalu menyuruhku memegang kemudi seperti tadi.

"Kenapa kau tidak ikutan terbang bersamanya dan berkelahi di atas sana daripada membuat keributan di sini?" gerutuku karena harus melakukan hal merepotkan ini sementara dia memanah.

Gabe mengarahkan anak panahnya tepat sebelum makhluk tadi melempar bola api ke arah mobil kami. Makhluk itu terbakar lalu, meledak menjadi bunga api di udara.

"Apa masih ada lagi yang mengejar?" tanyaku ketika ia menyimpan kembali busurnya menjadi tabung kecil, lalu mengambil alih kemudi.

"Tidak. Hanya tiga yang mengejar kita saat ini."

"Jadi, maksudmu makhluk seperti itu masih banyak?"

"Tentu saja. Anggap saja mereka sama banyaknya dengan jumlah manusia seperti kalian."

Aku berdecak dan merinding tiba-tiba. "Apakah makhluk itu akan membunuhku karena aku bersamamu?"

"Aku tidak akan membiarkannya," sahut Gabe.

"Jadi, dia memang akan membunuhku?" tuntutku cemas. Membayangkan makhluk bermata kuning itu mencekikku ketika aku tidur membuatku bergidik.

"Tenang saja. Mereka tidak punya kepentingan padamu." Ia menatapku lembut dan membawa mobil kami keluar tol menuju pusat kota Rochester.

"Jadi makhluk apa mereka sebenarnya? Dan juga dirimu?" Aku menatapnya lekat.

Gabe memandang keluar jendela. Ketegangan di wajahnya berkurang tapi ia tetap hati-hati membalas tatapanku. "Mereka adalah anak buah Lucifer. Kau tahu Lucifer, kan?"

"Ya. Aku pernah mendengar tentang cerita dongeng itu." Aku mengangguk.

Gabe tersenyum mengejek. "Itu bukan dongeng, Keana. Lucifer itu nyata."

"Lalu kau?" aku menggigit bibir.

"Menurutmu?" Ia mencengkram stirnya. "Apa kau masih belum bisa menebak siapa diriku sebenarnya?"

Aku mengembuskan napas, mengingat-ingat ucapannya sejak tadi. Aku malas untuk menebak-nebak sebenarnya, tapi kelihatannya Gabe senang membuatku tersiksa rasa penasaran.

"Apa kau seorang malaikat? Well, setahuku malaikat dan iblis tidak pernah berhubungan baik."

"Exactly!" sahutnya, tersenyum lebar.

Aku menganga, menatapnya dengan mata terbelalak. Jadi, Gabriel adalah malaikat?

"Kenapa kau berada di sini? Bukankah malaikat seharusnya berada di surga? Apa kau sedang mencoba menjadi manusia?"

Aku benar-benar merasa konyol. Sungguh. Di jaman seperti ini ada seorang malaikat yang bersekolah di sekolahmu. Lalu, hidup layaknya manusia. Aku pasti sudah gila. Atau mungkin Gabe seorang malaikat gila.

"Pertanyaan bagus. Tapi akan kujawab pertanyaanmu nanti. Kupikir seharusnya sudah waktu makan malam. Apa kau tidak lapar?"

Aku tersentak dan menatap jam digital yang tertera pada dasbor. Sudah hampir setengah delapan malam dan baru kusadari jam makan malam sudah lewat. Pasti Mom sedang mencemaskanku saat ini sebab aku belum pulang sejak tadi. Aku mengambil ponselku di dalam tas dan kecewa karena ponselku mati kehabisan baterai.

"Aku akan mengantarmu pulang dengan selamat. Jangan khawatir." Gabe memandangku, seolah mengetahui apa yang kupikirkan.

"Apa kau juga bisa membaca pikiran seseorang?" Aku menatapnya.

"Tidak. Kau jangan khawatir. Aku tidak punya kemampuan seperti itu."

Aku menarik napas lega. "Jadi, apa lagi yang bisa kau lakukan selain menghilangkan ingatan seseorang? Apa kau bisa mencabut nyawa manusia? Well, maksudku sebagai Grim Reaper?"

Ia tertawa, lalu menghentikan laju mobilnya ke sebuah restoran Italia di sisi jalan. Gerimis masih menyambut kami ketika keluar dari dalam. Aku merapatkan coat-ku dan menutup kepalaku menggunakan tangan. Gabe berjalan santai di sebelahku, membiarkan tetesan air membasahi tubuhnya.

Seorang pelayan berseragam menyambut kami ketika berada di dalam. Gabe meminta pelayan untuk memberikan kami sebuah meja pribadi yang agak jauh dari para pengunjung lain. Pelayan wanita itu mengangguk dan mengantar kami ke sebuah meja di sudut dengan dua sofa besar berwarna hijau lumut. Gabe memberi beberapa uang Dollar sebagai tip untuknya. Pelayan itu tersenyum dan mengedipkan mata pada Gabe.

Kami duduk berhadap-hadapan. Dinding-dinding ruangan dilapisi kertas wallpaper merah dan hijau tua bernuansa klasik. Pelayan wanita tadi datang kembali membawa buku menu untuk kami berdua.

"Kau pesan apa?" tanya Gabe padaku.

Aku menutup buku menu itu dan menjawab, "Tortellini dengan keju mozarella kurasa."

Pelayan itu mencatat di note kecil yang dibawanya, lalu berpaling pada Gabe dengan penuh minat.

"Dan kau?" Ia bertanya dengan nada selembut mungkin.

"Well, kurasa dua gelas soda cukup sebagai minumannya," kata Gabe.

"Kau tidak memesan makanan?" pelayan itu bertanya lagi.

Gabe menggeleng, lalu tersenyum padaku. "Tidak. Aku tidak lapar. Mungkin temanku di sana yang sedang kelaparan."

Aku secara refleks menggeleng, tapi bunyi perutku mendadak tidak bisa diajak berkompromi. Gabe tergelak mendengar suara keroncongan yang ditangkap telinganya.

"Satu porsi Pannacotta kurasa lezat sebagai hidangan penutupnya." Ia menambahkan di sela tawanya yang menyebalkan.

Aku merengut. Pelayan itu mencatat pesanan kami, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gaya menggoda.

"Kau bisa memanggilku jika kau ingin pesan kembali." Ia tersenyum pada Gabe dan melirikku sekilas.

"Ya, tentu saja." Gabe membalas senyumnya dengan sebuah senyuman menawan.

Pelayan itu dengan gugup berjalan meninggalkan kami. Kuharap ia tidak pingsan di dapur karena senyuman mempesona yang dikeluarkan Gabe untuknya.

"Kenapa kau tidak makan?" Aku menatapnya, berusaha untuk meneruskan pembicaraan kami yang sempat terpotong.

Gabe menyandar di kursinya, mata birunya menatapku lekat. Aku spontan menunduk, memainkan jari-jariku di bawah meja. Siapa yang bisa tahan ditatap sebegitu rupa oleh malaikat mengagumkan ini?

"Aku tidak makan makanan kalian," katanya yang membuatku kembali mendongak.

"Lalu, apa yang kau makan selama ini?" otakku tiba-tiba teringat dengan kegiatannya di kantin sekolah setiap hari, yang selalu membiarkan makanannya utuh tak tersentuh. Walau seingatku pernah melihatnya makan buah apel saat itu. "Buah-buahan?"

Gabe menggeleng.

"Apa kau meminum darah?" Bola mataku membulat ketika mengucapkan kata itu. Merasa konyol, namun penasaran.

Ia tertawa. "Apa aku seorang vampir yang meminum darah? Tentu saja tidak."

"Lalu, apa yang kau makan selama ini?"

"Kami tidak makan seperti kalian. Kami tidak punya rasa lapar, maksudku nafsu makan dan juga kami tidak perlu makan untuk bertahan hidup."

Aku mendelik. "Wow! Menarik sekali!"

"Tentu saja. Kami makhluk yang berbeda dari kalian," ia mengendikan bahu.

"Lalu, bagaimana cara kalian bertahan hidup dengan tanpa makan?"

"Kami menyerap cahaya sebagai penambah energi kami karena seperti itulah kami tercipta."

Aku mengurut-urut pangkal hidungku, merasa pembicaraan ini semakin berat untuk diterima akal sehatku.

"Jelaskan lagi tentang dirimu," gumamku. "Kenapa kau kemari? Membaur dan menyamar jadi manusia? Ini bukan duniamu, kan?"

"Kau benar. Duniaku berbeda, tapi kita selalu bersinggungan karena kami bertugas untuk melindungi kalian." Ia mencondongkan tubuhnya. "Bukankah menarik?"

Aku hendak bertanya, tapi pelayan wanita tadi datang membawakan pesanan kami. Ia menata makanan dan minuman di atas meja. Lalu, berbalik menghadap Gabe.

"Apa kau sudah ingin memesan makanan?"

Gabe membalas senyuman wanita itu dan menggeleng. "Tidak, tapi aku akan memanggilmu jika kami butuh sesuatu."

"Oh, baiklah." Pelayan itu tersipu sambil menyelipkan kembali rambutnya ke belakang telinga dan berlalu meninggalkan kami.

Aku menghela napas, kemudian menyendokkan Tortellini ke dalam mulutku. Gabe mengamatiku saat aku makan dalam diam.

"Apa kau mau mencobanya? Ini enak sekali," kataku.

Ia tersenyum. "Tidak. Aku tidak penasaran."

"Ya, kau kan tidak punya nafsu makan," sahutku sambil mendesah, "tapi aku pernah melihatmu makan buah apel. Kenapa kau memakannya?"

"Karena aku tidak ingin terlihat mencurigakan. Dan saat itu kau terus memperhatikanku. Apa kau tidak ingat?"

Kurasa wajahku sekarang sudah merah padam. Aku meneguk sodaku dengan canggung dan membuang pandang ke tempat lain. Gabe menatapku dengan senyuman mengejek.

"Well, aku hanya penasaran karena kau tidak pernah memakan makananmu." Aku membela diri. "Jadi, bagaimana rasanya ketika kau memakan sesuatu?"

"Tidak terasa apa-apa dimulutku dan tidak berefek apapun untuk tubuhku," jawabnya.

Aku menghabiskan Tortelliniku dalam sekejap, lalu mengambil Pannacotta yang dipesan Gabe tadi untukku dan mulai memakannya.

"Apa setelah ini kau akan berusaha menghapus ingatanku lagi?"

"Jika aku bisa aku akan melakukannya." Ia menghela napas.

Aku terkesiap. "Kenapa kau melakukan itu padaku? Aku akan menjaga rahasiamu tetap aman."

"Aku harus, Keana. Tidak boleh ada manusia yang mengetahui keberadaan kami. Menjadi terlihat itu sesuatu yang membahayakan. Untuk kami dan dirimu sendiri." Ia menjelaskan dengan ekspresi serius.

"Membahayakanku?"

"Yep. Kau ingat dengan makhluk jelek yang sudah kulenyapkan tadi?"

Aku bergidik. Teringat bagaimana mata kuning itu menatapku tajam. "Kenapa aku bisa melihatnya?"

"Karena aku membuatmu bisa melihatnya."

"Apa kalian selalu seperti itu? Berseteru?"

"Ya. Bisa dibilang dari awal kami diciptakan, kami sudah berseteru."

Aku menarik napas dan menghabiskan Pannacottaku yang masih tersisa, kemudian meminum sodaku. Gabe menawarkan sodanya ketika dilihatnya aku masih kehausan. Aku menerimanya dengan malu-malu.

"Apa nanti dia akan mengejarku?" Aku menatapnya cemas.

"Tidak. Tenang saja. Aku akan melindungimu," ia menjawab. "Seharusnya kau tidak melihatku malam itu."

"Ya, seharusnya ..." bisikku, "tapi aku bertanya-tanya kenapa aku masih mengingat tentangmu walau kau sudah menghapus ingatanku."

"Pertanyaan yang sama. Aku pun merasa kau aneh. Aku sudah dua kali mencoba menghapus ingatanmu tentang rahasiaku tapi tidak berhasil." Ia mengatupkan mulutnya.

"Kenapa kau tidak mencobanya lagi? Kupikir lebih baik aku tidak mengetahui apa-apa tentangmu." Aku menelan ludah saat mengatakan itu.

"Jika kau berkenan untuk membiarkanku melakukan yang ketiga kali." Ia **** senyum.

Aku mengerutkan alis mengamati reaksinya. "Kenapa?"

"Setiap manusia mempunyai daya ingat yang berbeda-beda. Di dunia ini, bukan hanya kau yang terkadang bisa melihat kami, dan kami cukup baik untuk menghapus ingatan mereka mengenai apa yang mereka lihat tentang kami. Dan kemudian kau melihatku malam itu. Aku mencoba, tapi ternyata tidak berhasil," katanya dengan wajah berkerut.

"Aku terkejut saat kau menanyakan siapa aku sebenarnya. Aku mencoba untuk kedua kali. Kupikir rekanku yang lain bisa membantuku untuk menghilangkan ingatanmu, tapi aku tahu kau adalah tanggung jawabku dan mereka tidak bisa ikut campur mengenai apa yang kuperbuat."

Aku ingat saat ia membawaku ke sebuah tempat indah dan bertemu dengan teman-teman bersayapnya yang tampan.

"Apa waktu itu kau membawaku ke surga?"

Ia tertawa keras sampai pengunjung lain menatap kami dengan heran.

"Kau harus mati terlebih dahulu jika kau ingin masuk ke dalam surga. Itu pun jika kau beruntung. Karena kalian harus menebus dosa kalian di neraka baru bisa masuk ke dalamnya," ia masih tertawa.

Aku mengangkat kedua alisku. "Wow. Mungkin aku harus banyak melakukan kebaikan setelah ini."

Ia mengangguk. "Ya, kau harus."

"Jadi, kenapa kau tidak mencoba menghilangkan ingatanku untuk ketiga kali?"

"Aku tidak ingin melukaimu," gumamnya. Aku menatapnya penasaran sehingga ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Karena jika aku gagal untuk ketiga kali, kau bisa ... well, kehilangan akal sehatmu atau bisa dibilang gila."

"What?!" Aku spontan mendelik dan menegakkan tubuhku. "Bagaimana bisa?"

"Begitulah cara kerjanya. Kami tidak bisa bermain-main dengan kekuatan kami pada kalian," jawabnya.

Aku menganga. "Kuharap kau akan menghentikan niatmu untuk menghilangkan ingatanku lagi."

"Akan kuusahakan." Ia terkekeh.

Aku mengembuskan napas panjang. Kepalaku terasa pusing dengan pembicaraan yang sangat tidak masuk akal ini.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak baik-baik saja," dengusku sambil mengisap sodaku yang tersisa. Makanan di meja sudah habis kusantap, tapi aku masih belum ingin mengakhiri pembicaraan kami sekarang. "Apa lagi yang kau bisa lakukan selain terbang dan menghapus ingatan seseorang?"

Dia kembali menyandar ke belakang kursinya sambil tersenyum tipis. Tangan kirinya meraih tanganku, aku tersentak tapi ia menggenggamnya dengan erat. Lalu, tangan kanannya menjentikan jarinya sebanyak dua kali dan ... aku ternganga takjub.

Semua orang bahkan debu-debu yang beterbangan di udara mendadak terhenti. Tidak ada yang bergerak termasuk jarum pada jam besar yang tergantung di dinding berhenti berdetak. Aku menatapnya terperangah. Dia tersenyum.

"Kau bisa menghentikan waktu?" seruku terpana. Aku mengangkat sendok yang ada di meja dan melepasnya. Benda itu melayang tak bergerak, lalu Gabe menjentikan jarinya lagi. Sendok itu seketika jatuh ke bawah bersamaan dengan gerakan orang-orang disekeliling kami.

Aku mengambil sendokku yang terjatuh dan membelalakan mata. "Wow. Kau keren sekali! Kau seperti seorang mutan! Bisa kau lakukan sekali lagi?"

"Oh, tidak." Ia cepat-cepat menggeleng. "Aku tidak boleh sering-sering menghentikan waktu di bumi."

"Kenapa?" tanyaku heran.

Ia mendesah. "Sepertinya akan menghabiskan waktu sepanjang malam jika kita terus bicara mengenai diriku. Aku harus mengantarmu pulang. Sudah malam. Orangtuamu akan mencemaskanmu," katanya yang membuatku kecewa. Ia mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan untuk membayar menu kami.

Aku membuka dompetku, tapi ia menahannya. Pelayan wanita yang mengantar pesanan kami tadi cepat-cepat mendatangi Gabe sambil membawa nota pembayaran. Gabe memberi beberapa lembar Dollar padanya.

"Simpan kembaliannya untukmu," katanya, tersenyum.

"Terima kasih, sir." Pelayan itu tersipu dan meninggalkan kami dengan langkah canggung.

"Kau bisa membuatnya terkena serangan jantung," kataku sambil mengamati pelayan itu.

"Benarkah?"

Aku cuma geleng-geleng kepala. "Apa itu termasuk keahlianmu juga? Membuat orang-orang terpesona padamu?"

Gabe mengangkat sebelah alisnya seraya menatapku lekat. "Baiklah, akan kutunjukkan kemampuanku yang lain. Kumohon kau jangan terkejut."

Ia berjalan mendekat, lalu memegang kedua tanganku. "Pejamkan matamu!" perintahnya dan aku menurut sambil menahan napas.

Sedetik kemudian, kami lenyap dari tempat itu tanpa ada yang menyadarinya.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

purnama sari

purnama sari

Wow... Imajinasi tingkat tinggi. Menakjubkan.

2020-06-13

0

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

wooooow amazing

2020-05-05

0

Risna Ny

Risna Ny

sukaaaak thor ceritanya seruuu

2020-05-03

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 -1- New Student
3 -2- Supermarket
4 -3- Dress Code
5 -4- Halloween Party
6 -5- Something About Gabe
7 -6- Who is he?
8 -7- Collapse
9 -8- Still Remember
10 -9- Confession
11 -10- Decided
12 -11- The Secret
13 -12- Two Strangers
14 -13- Lycabettus Hill
15 -14- Athena
16 -15- The Demon Soldiers
17 -16- First Date
18 -17- Losing Key
19 -18- Misserable Longing
20 -19- Angelus Vallis
21 -20- The Watcher
22 -21- My Feeling
23 -22- Eagle Mountain
24 -23- Azazel
25 -24- Where Are You?
26 -25- The Key
27 -26- Accident
28 -27- Hospital
29 -28- Bad Destiny
30 -29- Runaway
31 -30- The Angel Comes
32 -31- Reason
33 -32- At School
34 -33- Jealousy
35 -34- The Henox Book
36 -35- Suffered
37 -36- Sadness
38 -37- A Promises
39 -38- a Time Goes By
40 -39- Sweet Kiss
41 -40- a Moment Like This
42 -41- Showtime
43 -42- a Planning
44 -43- The Truth
45 -44- Dissapoinment
46 -45- a Place to Hide
47 -46- The F*cking Explanation
48 -47- It's a Trap
49 -48- No Way Out
50 -49- Shit of Betrayal
51 -50- Second Life (FIN)
52 -Epilogue-
53 MENGENAI SEQUEL!!!
54 Plagiat Cerita The Fallen Angel
55 Kapan Sequel dipublish?
56 Pengumuman Terbit
57 Open PO Dibuka
58 Cek Ombak Sebelum Season 2
59 Bab 1 New Life (Season 2)
60 Bab 2 Gossip Girls (season 2)
61 Bab 3 Summer Class (Season 2)
62 Bab 4 - Bad Worries
Episodes

Updated 62 Episodes

1
Prolog
2
-1- New Student
3
-2- Supermarket
4
-3- Dress Code
5
-4- Halloween Party
6
-5- Something About Gabe
7
-6- Who is he?
8
-7- Collapse
9
-8- Still Remember
10
-9- Confession
11
-10- Decided
12
-11- The Secret
13
-12- Two Strangers
14
-13- Lycabettus Hill
15
-14- Athena
16
-15- The Demon Soldiers
17
-16- First Date
18
-17- Losing Key
19
-18- Misserable Longing
20
-19- Angelus Vallis
21
-20- The Watcher
22
-21- My Feeling
23
-22- Eagle Mountain
24
-23- Azazel
25
-24- Where Are You?
26
-25- The Key
27
-26- Accident
28
-27- Hospital
29
-28- Bad Destiny
30
-29- Runaway
31
-30- The Angel Comes
32
-31- Reason
33
-32- At School
34
-33- Jealousy
35
-34- The Henox Book
36
-35- Suffered
37
-36- Sadness
38
-37- A Promises
39
-38- a Time Goes By
40
-39- Sweet Kiss
41
-40- a Moment Like This
42
-41- Showtime
43
-42- a Planning
44
-43- The Truth
45
-44- Dissapoinment
46
-45- a Place to Hide
47
-46- The F*cking Explanation
48
-47- It's a Trap
49
-48- No Way Out
50
-49- Shit of Betrayal
51
-50- Second Life (FIN)
52
-Epilogue-
53
MENGENAI SEQUEL!!!
54
Plagiat Cerita The Fallen Angel
55
Kapan Sequel dipublish?
56
Pengumuman Terbit
57
Open PO Dibuka
58
Cek Ombak Sebelum Season 2
59
Bab 1 New Life (Season 2)
60
Bab 2 Gossip Girls (season 2)
61
Bab 3 Summer Class (Season 2)
62
Bab 4 - Bad Worries

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!