-Gabe-
Malam semakin larut ketika aku sampai di kawasan Lowry Hill East di kompleks Aldrich Avenue Mineapollis. Ini adalah tempat tinggal gadis itu---Keana. Aku harus mengecek keadaannya dulu sebelum ke tempat Ramiel di sebelah utara negara bagian ini. Ramiel adalah salah satu anggota The Watcher yang berada di bumi dan merupakan orang yang paling kupercaya di antara para anggota lainnya.
Kupikir Ramiel tidak akan mungkin menipuku atas informasi yang ia berikan padaku beberapa hari lalu. Apalagi, ia sampai berniat menjebakku. Tapi, aku perlu berbicara padanya untuk mencari tahu kenapa ia tidak mengatakan padaku tentang klub malam yang ternyata adalah sarang para iblis itu.
Aku berdiri di seberang jendela kamar gadis itu, setengah melayang di udara. Kulihat ia sedang tertidur lelap. Oke, setidaknya malam ini ia aman. Tidak ada makhluk-makhluk sialan yang mengganggunya saat ini. Pikiranku bertanya-tanya bagaimana acara kencannya dengan cowok tengik itu beberapa jam lalu. Mungkin mereka akan berpacaran. Harus kuakui si tengik itu sangat gigih mendekati gadis tukang marah ini.
Kulihat sekali lagi wajah polos gadis itu yang tersorot sinar bulan dari celah kaca jendela. Ia nampak gelisah. Keningnya berkerut muram dan gerakan dadanya naik turun di balik selimutnya. Ia seperti sedang bermimpi buruk.
Sedetik kemudian, mulutnya membuka dan suara jeritannya keluar. Aku tersentak, secara refleks mendekat ke jendela. Kuharap tidak ada lagi makhluk jelek yang mengganggunya. Hari ini aku sudah cukup lelah berhadapan dengan mereka. Aku ingin beristirahat sejenak, sekedar untuk menarik napas. Rasanya hidupku semakin menyebalkan dari waktu ke waktu semenjak aku menghilangkan kunci yang kujaga. Lucifer dan anak buahnya selalu mencari celah untuk menyerangku.
And it is sucks! Really sucks!
Selama beberapa detik, aku hanya bisa memperhatikannya dari tempatku di luar jendela. Apa aku harus menghampirinya, lalu menenangkannya? Tapi, ia pasti akan beranggapan itu tidak sopan. Aku harus ingat bahwa kami wajib punya batasan sebagai makhluk yang berbeda. Aku bukan manusia.
Dan pintu kamar gadis itu membuka. Ibunya muncul lantas menenangkannya dengan lembut. Kuamati mereka, sedikit merasa lega bahwa ia baik-baik saja, meskipun ini cukup aneh bagiku karena aku ternyata mengkhawatirkannya.
Ia kembali tertidur di bawah rangkulan ibunya. Ini waktu yang tepat untukku kembali. Syukurlah, para iblis itu tidak mendatanginya malam ini. Jadi, dengan cepat aku segera pergi dari tempat ini. Masih banyak hal yang harus kulakukan.
Ketika aku sampai di kediaman Ramiel di Willow River, utara Minnesota---aku terkejut. Rumah Ramiel sangat berantakan. Semua barang-barang di dalam rumah bergaya Victoria dengan pilar-pilar kokoh yang menyangga sudutnya, berhamburan ke sana kemari. Awalnya, aku agak merasa aneh karena Ramiel lebih memilih tinggal di rumah besar daripada di dalam apartemen di pusat kota seperti para anggota The Watcher yang lain saat berada di bumi.
Para The Watcher kebanyakan hidup layaknya manusia. Mereka bersenang-senang dan kadang juga mengacau di suatu tempat hingga menyebabkan aku dan rekan-rekanku yang lain harus sering mengingatkan, bahkan menghukum mereka.
Aku berjalan pelan menyusuri lorong yang membawaku ke tempat perapian. Suara berderak dari lantai kayu yang kupijak menambah suasana mencekam. Rumah ini sudah cukup tua sehingga terkadang selalu terdengar bunyi-bunyi aneh. Mungkin untuk ukuran manusia, bisa dikatakan rumah ini menyeramkan. Di Minnesota sangat jarang untuk menemukan rumah bergaya Victoria klasik seperti sekarang ini.
Kebanyakan berjenis rumah-rumah bungalow dengan dinding dan lantai kayu yang sederhana menjadi pilihan para penduduk. Aku sudah beberapa kali kemari sejak menetap di negara Bagian ini. Tapi, itu tidak membuat Ramiel dan aku dekat secara harfiah.
"Ramiel?" panggilku waktu kulihat di ruang baca ada seseorang duduk di sana. Perapiannya menyala. Suara derak api melalap kayu bakar menyelimuti suasana sunyi di rumah ini. Orang itu duduk di sofa kulit besar yang menghadap ke perapian tersebut.
Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini. Aku bisa merasakannya.
Aku berdiri diam sejenak, menunggu orang itu berbalik. Tapi, ia tetap tidak bergerak. Akhirnya, kuputuskan untuk menghampirinya.
"Hei, Ramiel? Apa kau tidur?" tanyaku pelan. Tanganku terulur untuk menyentuh bahunya.
Tubuh itu agak dingin dan sedikit kaku. Kudorong ia perlahan untuk membangunkannya, tapi tiba-tiba saja ia jatuh ke samping dengan kepala terkulai ke belakang. Itu Ramiel. Kedua matanya terpejam.
Aku langsung memeriksa tubuhnya. Masih terasa denyut nadinya walau agak melemah. Pelipisnya berdarah dan sebuah pedang panjang menusuk perutnya.
Siapa yang melakukan ini padanya?
Kutepuk-tepuk pipi Ramiel agar ia tersadar, tapi kondisinya begitu lemah. Ia bisa mati jika aku tidak segera menolongnya. Cepat-cepat kubopong ia ke bahuku untuk membawanya ke Angelus Vallis---tempat kaum kami berkumpul di bumi. Mungkin rekan-rekanku di sana bisa membantuku untuk menyembuhkan lukanya.
"Surprise to see you here, Gabriel!" sebuah suara berat dan serak menyapa.
Aku menoleh dan mendapati Lucifer sedang berdiri di sudut ruangan dekat dengan jendela besar yang menghadap ke balkon. Ia menyandar di pinggirannya. Cahaya dari perapian menyinari wajahnya. Matanya yang hitam kelam tampak berkilat. Saat ini ia sedang dalam wujud manusianya, bukan wujud iblisnya yang asli.
Aku menurunkan kembali Ramiel ke sofa tanpa melepaskan sedikit pun pandangan dari iblis itu. Baiklah. Satu pertempuran yang panjang lagi sepertinya harus kutempuh malam ini. Menjengkelkan memang, tapi aku tidak punya pilihan.
"Apa yang kau lakukan di sini, Lucifer?" tanyaku sambil tersenyum. Seluruh tubuhku menegang waspada.
Lucifer mengangkat wajahnya dan menatapku tajam. "Mencari informasi, sama sepertimu."
"Oh, jadi kau yang melukai Ramiel?" tebakku. "Tidak mengejutkan."
Lucifer tertawa. "Dia tidak mau bekerja sama. Tentu saja, itu pelajaran yang pantas untuknya."
"Apa kau masih belum cukup puas dengan pengikut-pengikut setiamu, Luci? Kau tidak bisa memaksa seseorang yang tidak ingin bergabung denganmu," ejekku.
"Ya, kau benar. Tapi, aku tidak berniat mengajaknya bergabung, aku hanya ingin informasi mengenai kunci yang kau hilangkan." Ia tersenyum licik sambil berdiri tegak.
Aku menarik napas. Jadi, berita kunci yang hilang sudah sampai ke telinganya. Itu pertanda buruk. Diam-diam aku merogoh saku belakang celana jinsku. Ada sebuah pedang lipat yang kusisipkan di sana. Aku harus bersiap jika tiba-tiba saja ia menyerang.
"Jadi, apa katanya?" Aku kembali bertanya seraya melirik Ramiel yang masih berbaring tak bergerak di sofa. Kuharap ia masih sanggup bertahan untuk beberapa menit---well, beberapa jam mungkin karena tampaknya pertarungan kami akan sedikit alot.
Lucifer berjalan mendekat perlahan. Tangannya terkepal di samping tubuhnya. Namun, ekspresinya sangat tenang luar biasa walau bisa kulihat sorot matanya nampak was-was kala menatapku.
"Apa yang kuharapkan? Si brengsek itu tidak ingin mengatakannya padaku. Jadi, kutusuk dia dengan pedangku. Itu bisa membuatnya mati. Kau tahu, mati secara perlahan-lahan." Ia menyeringai, lalu dengan gerakan secepat kilat ia telah berada di pinggir sofa dekat Ramiel. Tangannya yang panjang mencabut pedang itu dengan kasar dari tubuh Ramiel. Darah menyembur membasahi lantai kayu dan juga menyiprat ke pakaiannya. Ia tertawa.
Aku menggeram menyaksikan hal itu. Kelopak mata Ramiel bergerak-gerak sedikit, tapi masih tetap terpejam. Ia bisa mati sebentar lagi. Pedang itu mengandung racun. Lucifer dan anak buahnya juga memiliki senjata andalan yang mereka gunakan untuk melawan kami.
"Berhenti, Lucifer! Kau bisa membunuhnya!" bentakku tak kuasa menahan amarah.
Lucifer terbahak-bahak sambil mengangkat pedangnya yang bernoda darah ke depan wajah. Senyuman mengejek tersungging di bibirnya.
"Jadi, apa yang kau lakukan di San Fransisco beberapa jam lalu? Kau mengacau di tempat anak buahku, Gabriel. Kau tahu kau melanggar kesepakatan!" Ia menurunkan pedangnya ke bawah. Matanya berkilat menyeramkan di sinari cahaya dari perapian yang menyala.
Kugenggam erat-erat pedang lipat yang berada di tanganku. "Aku hanya ingin mencari kunciku di sana. Aku tidak tahu tempat bodoh itu adalah sarang kalian."
"Well, well, well ... tampaknya Ramiel mempermainkanmu." Ia mendengus. "Kau harus berterima kasih padaku karena telah memberinya pelajaran." Ia menusukkan kembali pedang itu---kali ini ke dada Ramiel.
Aku menahan napas mendengar suara pedangnya menembus paru-paru Ramiel. Pria itu akhirnya harus mati mengenaskan dan aku tidak bisa menolongnya.
"Kau brengsek, Luci!" teriakku. Kuputar pedang yang berada di genggamanku hingga pedang itu membesar dan aku langsung menerjangnya.
Lucifer menahan seranganku yang sangat tak terduga dengan cepat. Suara berdenting pedang beradu menggema di udara. Ia berputar dan mengayunkan pedangnya ke arahku. Bahuku sobek terkena sabetannya. Rasa perih menyerang dan kubalas ia dengan tusukan di pinggangnya. Ia menggeram, lalu menendangku ke belakang. Aku terpental membentur dinding di belakangku. Dinding itu roboh sementara Lucifer memeriksa lukanya.
"Kau tidak bisa membunuhku, Gabriel," geramnya. Darah kehitaman mengucur dari balik pakaiannya.
"Oh, benarkah?" Aku mengambil busur panahku dari dalam jaketku. Lalu, langsung membidikkannya pada Lucifer.
Lucifer yang sudah menduga seranganku serta merta berkelit dan menghilang. Sedetik kemudian, ia muncul di hadapanku sambil menghunus pedangnya ke arah dadaku. Aku cepat-cepat terbang ke sisi lain ruangan. Ia menggeram dan menerbangkan beberapa barang di dalam ruangan untuk menyerang. Aku berhasil berkelit. Lalu, kembali menembakkan panahku. Lucifer mendengus, mengibaskan tangannya hingga panah yang kutembakkan terpental ke tempat lain.
"Nice try, Gabriel! Tapi, kau tahu aku tidak akan semudah itu kalah darimu," ejeknya.
Aku tersenyum miring. "Oh, yeah?"
Ia mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi mengancam. "Aku senang bertemu kau di sini. Ini memudahkanku untuk merebut kuncimu tanpa perlu bersusah payah mencarimu."
"Kita lihat saja nanti," aku menyahut dingin, kembali menembakkan panahku padanya.
Panah itu meluncur deras. Dengan gerakan cepat, Lucifer terbang menghilang. Aku menengadah, mengawasi setiap sudut ruangan secara seksama.
"Berhenti main-main, Luci! Aku tidak punya waktu meladenimu. Kau akan ... oh, shit!" umpatku ketika melihat makhluk-makhluk jelek anak buah Lucifer muncul tiba-tiba di tengah ruangan. Mereka berjumlah tiga orang dan berwujud merah dengan sayap kelelawar dan mata kuning terang menyebalkan.
"Bunuh malaikat tengik itu dan ambil kunci yang ada padanya!" Suara Lucifer terdengar menggema di dalam ruangan. Namun, wujudnya masih belum terlihat.
Aku mengembuskan napas keras-keras waktu tiga makhluk merah sialan itu mulai menerjang ke arahku. Kutembakkan panahku secepat kilat dan berhasil menembus kepala salah satu dari mereka. Ia terbakar sementara dua yang lain melolong marah.
Mereka berhasil mendekat, lalu yang bertanduk paling besar mencekik dan menarikku ke udara. Tangannya yang besar dan berbulu mencengkram dadaku untuk mengambil kunci yang kusimpan. Dari sudut mata, Lucifer muncul di dekat jendela sambil tertawa puas.
Aku menggeram, mengayunkan kakiku kuat-kuat dan menendang makhluk merah yang mencekikku. Ia terjatuh ke belakang. Temannya yang lain melemparkan bola api dari tanduknya padaku. Aku bangkit dan balas menembakkan panahku padanya. Ia menggelepar, lalu terbakar. Api yang ia lesatkan membakar lemari kayu di dekatku.
Aku menembakkan lagi panahku pada makhluk merah yang tersisa. Panahku berhasil menancap mulus di antara kedua matanya. Ia pun lenyap terbakar menjadi abu. Setelah itu, aku terbang menuju Ramiel. Ia kelihatan masih hidup. Sekujur tubuhnya mulai membiru pertanda racun di pedang Lucifer mulai menyebar. Denyut nadinya terasa sangat lemah. Mustahil ia akan bertahan jika aku tidak segera membawanya pergi sekarang.
"Tidak semudah itu, Gabriel ..." Lucifer berkata tepat di belakangku.
Pedangnya terhunus di leherku. Aku menahan napas dan menghentikan gerakanku. Kemudian, pelan-pelan berbalik menghadapnya.
"Hei, tidakkah kau pikir kita terlalu banyak berperang? Apa kau tidak lelah?" kataku, berusaha mengalihkan perhatiannya.
Ia tidak menjawab. Matanya berpusat pada kunci yang kusimpan di balik jaketku. Lalu, ia mengulurkan sebelah tangannya yang lain sembari tersenyum. "Gimme the keys!"
Aku mendengus. "In your dream ..." lalu, bergegas untuk terbang menghilang. Tapi, rupanya iblis brengsek itu telah membaca pergerakanku. Sebuah bola api mengenai bahuku dan membuat jaketku terbakar waktu aku bergerak untuk terbang. Cepat-cepat kutepuk api-api itu hingga padam.
Lucifer tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung menyergap. Kurasakan kunci yang kusimpan bergetar hebat saat Lucifer menariknya dengan paksa agar keluar dari tempatnya tersimpan.
Kusentakkan tanganku padanya. Salah satu kunci itu terjatuh. Suara berdenting terdengar ketika benda itu berbenturan dengan lantai kayu dan bergetar hebat. Aku cepat-cepat berusaha merebutnya, tapi Lucifer lebih dulu mengambilnya. Ia menggenggam kunci itu dengan sorot kemenangan.
"Oh, malam ini sungguh malam yang penuh keberuntungan untukku, Gabriel," katanya dengan nada pongah. Ia mengangkat sebelah tangannya dan menerbangkan sebuah meja kaca di tengah ruangan ke arahku.
Aku kembali terpental dan meja itu jatuh menimpaku. Lucifer menyeret pedangnya, kemudian melesat terbang menuju tempatku terjatuh. Ia berusaha untuk merebut satu kunci yang masih tersisa.
Sial!
"Selamat tinggal, Gabriel!" serunya sambil mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi dan mengarahkan tepat ke jantungku.
Aku menahan napas. Sedetik lagi pedang itu akan mengenaiku. Kujentikkan jariku dua kali dan seketika semua gerakan terhenti. Aku langsung menghindar dan terbang menuju Ramiel. Aku tidak bisa menghentikan waktu lebih lama untuk menahan Lucifer. Ia bisa mematahkannya dalam sekejap. Dan begitu aku berhasil mencapai Ramiel, segera kubopong ia ke bahuku bersamaan dengan waktu yang kembali berjalan. Kulihat melalui ekor mata---Lucifer berbalik untuk kembali menyerang.
Dengan terengah-engah, aku langsung berteleportasi meninggalkan tempat ini.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Muse
tegaang...
2023-11-12
0
Sheril 25
Jane mbok ambil kunci dulu Gabe..
😔🤔
2022-08-21
0
Rf°Tri Nur Halimah
gabe bsa kalah jg ya
2020-10-06
0