-9- Confession

"Well, apakah kau mau jujur mengatakan padaku, siapa kau sebenarnya?" aku memandangnya lekat.

Paras Gabe kaku seketika. Tak ada jawaban apapun keluar dari mulutnya. Hanya kilatan matanya yang menyorot tajam dengan rahang terkatup rapat. Aku menunggu tanpa bergerak.

"Kenapa kau ingin tahu?" ia menggeram.

"Tentu saja. Aku melihatmu dalam wujud yang aneh. Apa kau pikir aku tidak penasaran? Jika kau bukan makhluk jahat seperti katamu, seharusnya tidak masalah kan kau mengatakan padaku?" Aku mengendikkan bahu, berusaha terlihat santai.

Ia terdiam lagi. Tatapannya beralih ke langit-langit ruangan, menerawang. Aku masih menunggu. Detik-detik yang berlalu kian menyiksa. Aku tahu kami sudah terlambat beberapa menit untuk pelajaran olahraga dan tentu saja, Mr. Bekker akan berbaik hati memberi kami tugas membereskan Gymnasium sebagai sanksi keterlambatan kami.

"Kurasa tidak ada kewajiban bagiku untuk mengatakan tentang diriku kepadamu," ujarnya setelah lama terdiam.

Aku melengos, merasa pembicaraan ini sia-sia dan membuang waktuku terlalu banyak.

"Setelah apa yang terjadi denganku, kau masih tidak ingin mengatakannya? Kau sangat keterlaluan, Gabe!"

"Siapapun aku, itu bukan urusanmu!" Ia berkeras.

"Oh, baiklah..." aku tertawa sumbang. Wajahku merah padam, "kurasa aku sudah menyia-nyiakan waktuku berbicara denganmu."

"Maaf, Keana. Aku benar-benar tidak bisa mengatakan apapun padamu." Ia menunduk mengamatiku, sendu. Lalu, berjalan pelan melewati bahuku. Namun, sedetik kemudian dia berbalik. "Apa kau memang berpacaran dengan cowok itu?"

Aku mendengus. "Maksudmu Calvin? Kenapa kau bertanya? Kurasa itu bukan urusanmu," balasku ketus.

Dasar makhluk bersayap brengsek!

"Ya, memang bukan urusanku," gumamnya sambil mengangguk.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku jengkel. Tidak mengerti apa yang ada dipikirannya. Ingin sekali aku mematahkan batang hidungnya yang sempurna itu, tapi khawatir ia akan menyihirku atau melakukan sesuatu padaku lagi. Jadi, sebaiknya kuurungkan saja niat baik-ku itu.

"Sebaiknya kau menjauh dariku. Jangan pernah mencoba untuk melakukan hal konyol lagi padaku. Aku akan berpura-pura tidak terjadi apa-apa atas apa yang terjadi kemarin!" kataku marah. Kuhentakkan kakiku ketika berjalan melewatinya.

Sepanjang pelajaran olahraga, aku lebih memilih banyak diam. Untungnya, Mr. Bekker tidak memberi kami hukuman karena telah terlambat mengikuti kelasnya. Namun, sialnya anak-anak lain mencurigai keterlambatan Gabe bersamaku.

Karen bahkan terang-terangan memusuhiku. Beberapa kali ia sengaja melempar bola ke arah kepala dan wajahku ketika kami bermain baseball di lapangan saat aku menjadi pemukul bola dan ia sebagai Pitcher.

"Apa kau tidak apa-apa?" Liz bertanya padaku ketika kami telah menyelesaikan pertandingan. Kepalaku berdenyut akibat terkena lemparan bola gadis itu.

"Kepalaku sakit. Karen memang sudah gila!" geramku.

"Sebaiknya kau obati benjolan di kepalamu. Aku akan menemanimu ke ruang kesehatan." Liz menatapku cemas.

"Terima kasih, Liz. Kau tidak perlu mencemaskanku," aku tersenyum padanya. Kurasa lama-lama aku memang akan mengalami amnesia betulan setelah apa yang terjadi dengan kepalaku ini.

Karen datang menghampiriku, memasang tampang pura-pura menyesal. "Maaf, Keana. Kepalamu jadi terluka gara-gara aku."

"Kau pasti sengaja, kan!" Liz membentak marah padanya.

Karen menatapnya enggan seraya mendesah. "Tentu saja tidak. Kau tahu, kan temanmu ini tidak pandai olahraga." Tapi, ia tersenyum miring. "Kuharap pukulan keras di kepalamu bisa membuatmu sadar dengan posisimu, Keana Larson."

Aku bangkit berdiri dengan geram. "Ya, terima kasih atas perhatianmu. Kuharap luka di kepalaku tidak membuat rencana kencanku dengan Calvin jadi batal."

Setelah itu, aku berlalu dari hadapannya bersamaan dengan suara peluit Mr. Bekker yang menandakan kelas berakhir. Tawa Liz menggema di belakangku. Puas rasanya bisa membalas.

Gabe berdiri di pinggir lapangan menatapku ketika aku lewat. Aku membuang muka. Persetan dengan semuanya. Persetan dengan Gabe!

o0o

Ketika sekolah usai, aku menyempatkan diri untuk mampir ke ruang teater karena Jake Ramsey menyuruh kami berkumpul. Dia dan Mrs. Alison akan membagi peran yang telah ditentukan pada semua anggota club drama dan anak-anak yang ikut audisi kemarin. Aku tidak berharap banyak tahun ini bisa ikut berpartisipasi. Ya, aku cukup sadar diri saat audisi kemarin aktingku buruk. Menjadi sebatang pohon sudah cukup bagus bagiku.

Meski begitu, tetap saja bagian diriku yang lain terus berdoa sepanjang hari agar aku kebagian peran atau setidaknya bisa tampil di panggung walau hanya dua detik---sekedar tersenyum atau tersorot lampu panggung yang menyenangkan.

Emilly---tentu saja---menjadi pemeran Juliet. Gadis itu tersenyum saat namanya disebut. Orang-orang bertepuk tangan. Tidak ada yang bereaksi heboh atau shock sebab bukan hal aneh jika ia selalu kebagian peran utama dalam drama. Aktingnya bagus, wajahnya rupawan. Tahun lalu, kami membawakan drama Gadis Penjual Korek Api dalam versi modern. Kau tahu ia sukses membuat para penonton menangis menonton adegannya. Itu sungguh menakjubkan. Mungkin aku harus melewatkan cerita bagianku dalam drama itu sebab jujur saja itu bukanlah hal yang menarik untuk diceritakan.

Pembagian peran berlanjut. Seorang cowok kelas senior mendapat peran sebagai Romeo. Emilly tidak tampak kecewa karena lawan mainnya cukup tampan. Kemudian ketika namaku disebut sebagai pemeran Rosaline, karakter cewek cinta pertama Romeo dalam cerita, membuatku terkejut. Bukan hanya aku, semua yang ada diruangan pun nampak shock memandangku tak percaya.

Hei, Keana Larson akhirnya menjadi manusia dalam drama.

"Yang benar saja?"

"Apa aku salah dengar?"

"Apa mereka bercanda?"

Suara-suara sumbang nan menyebalkan terdengar memenuhi ruangan. Tatapan-tatapan tak percaya dan ekspresi merendahkan langsung menyerangku. Oh, aku harus membentuk hatersclub alih-alih fansclub setelah ini karena kuyakin anggotanya pasti membludak.

Tak ada yang bertepuk tangan mendengar namaku disebut. Aku tidak tahu kenapa reaksi mereka seperti itu padaku. Seburuk itukah aktingku?

Jake Ramsey memberikan skenario yang telah diketik rapi padaku. Aku menerimanya dengan antusias. Persetan dengan semua yang tidak menyukaiku, aku terlalu gembira untuk membalas mereka.

Aku duduk di sudut ruangan membaca naskah yang harus kuhapal. Ya, peran Rosaline sebenarnya bukan peran besar. Aku pun hanya akan tampil dua kali dalam drama nanti sebagai cinta pertama Romeo. Tapi, rasanya sangat membahagiakan. Dan kurasa reaksi orang-orang disekelilingku berlebihan, seolah aku yang berperan menjadi Juliet. Tidak bisakah mereka ikut merayakan keberhasilanku bertransformasi dari sebatang pohon menjadi seorang manusia?

Setelah pembagian peran telah diumumkan---diiringi gumaman kekecewaan beberapa anak yang tidak kebagian---Mrs. Alison menutup pertemuan hari ini dan memberi semangat pada kami untuk berlatih sebaik-baiknya.

Aku menghampiri Jake dan Mrs. Alison sebelum pulang untuk mengucapkan terima kasih karena telah memberiku kesempatan.

"Terima kasih, Jake! Terima kasih, Mrs. Alison. Kalian telah memberi saya kesempatan untuk berpartisipasi."

"Tentu saja. Semoga kau bisa tampil dengan baik. Jangan mengecewakan kami." Mrs. Alison tersenyum padaku.

"Ya, aku akan berusaha," kataku seraya mengangguk.

Aku keluar dari dalam ruangan dengan langkah riang. Sudah pukul lima sore dan gerimis kecil menyambutku ketika aku melangkah menyusuri halaman sekolah menuju gerbang. Kurapatkan coat yang membalut tubuhku karena angin dingin berembus kencang.

Langit tampak cemberut. Sementara dedaunan kering berwarna merah kecoklatan terus berguguran di sepanjang jalan yang kulewati. Aku menarik napas dalam-dalam, menghisap seluruh energi positif di sekelilingku yang rasanya menyegarkan.

Mood-ku yang semula jelek---gara-gara Gabe---kini jadi lebih baik. Aku akan berperan sebagai Rosaline dan sudah tak sabar mengabarkannya pada Mom dan Dad. Selama ini, mereka tak terlalu mendukungku di kelas drama. Kurasa mereka tahu kalau aku kurang berbakat dan kuharap aku bisa tampil baik nanti.

Sebuah mobil Range Rover biru metalik berhenti di dekatku. Aku menoleh heran dan tercekat ketika melihat sosok pengemudinya.

"Masuklah!" kata Gabe dari dalam mobil.

Aku membeku. Jantungku seketika berdebar kencang. Kenapa dia menyuruhku naik ke mobilnya? Apa yang dia inginkan dariku?

Percakapan mengesalkan tadi pagi kembali terputar di otakku yang beku. Mendadak mood-ku berubah.

"Kukira kita sudah tidak ada urusan, Mr. Axton White!" sahutku ketus.

Gabe turun dari dalam mobilnya, membuat perhatian beberapa orang yang berjalan di dekat kami teralihkan. Aku menatap malas padanya dan melanjutkan langkah menuju rumahku yang masih berjarak empat blok dari sini. Cukup lumayan untuk berjalan kaki.

"Oke, maafkan aku atas perkataanku tadi pagi, Keana." Ia berjalan cepat menyusul langkahku.

Aku diam saja tidak memperdulikannya. Ya, aku marah.

Langkahku ternyata sia-sia karena kaki panjang Gabe lebih cepat mendahuluiku dan membuatku terpaksa menghentikan langkah.

"Jadi, kau mau apa?" Aku bersidekap. Tiba-tiba saja berharap Calvin ada di sini menyelamatkanku dari makhluk bersayap menyebalkan ini.

Gabe menghela napas, lalu tersenyum. Aku benci melihatnya tersenyum. Sungguh. Karena aku takut kemarahanku pudar karena senyumannya yang sangat mempesona itu. Aku mengalihkan pandangan, menatap tong sampah yang berjarak dua meter dari tempatku berdiri. Setidaknya tong sampah bisa menjaga mood ku agar tidak berubah.

"Kurasa aku berhutang penjelasan dan permintaan maaf padamu," katanya dengan suara yang merdu.

Aku mengusap leherku dengan gugup. "Kau tidak perlu repot-repot untuk menjelaskan sesuatu padaku. Aku sudah tidak tertarik. Tapi, aku terima permintaan maafmu."

"Apa kau marah?" ia menatapku lekat.

Oh, mata biru itu. Kenapa dia punya mata seindah itu? Tuhan, makhluk apa yang sedang berdiri dihadapanku ini? Kenapa dia sempurna sekali saat tidak bersayap?

"Apa aku kelihatan marah?" balasku dingin. Ya, tetap seperti itu. Jual mahal.

"Iya. Jelas sekali," ia **** senyum, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya saat melihatku cemberut. "Masuklah! Aku akan mengantarmu pulang berhubung pacarmu tidak menjemputmu hari ini."

"Maksudmu Calvin? Aku tidak berpacaran dengannya," protesku.

Ia tergelak. "Tapi gosip di sekolah bilang kalian berpacaran dan kau sedang berusaha menggodaku untuk berselingkuh dari pacarmu."

"Yang benar saja," gerutuku sambil menyeringai. Pantas saja Karen sengaja melempar bola ke kepalaku saat pelajaran olahraga tadi. Mungkin ia percaya dengan gosip murahan itu.

Gabe membukakan pintu mobil untukku. Aku ragu-ragu sejenak dan akhirnya memilih masuk ke dalam.

Aku memasang sabuk pengamanku cepat-cepat, walau kupikir Gabe tidak akan senakal Calvin yang akan mencuri kesempatan untuk memasangkannya padaku. Lalu, mengamati interior mobilnya yang tidak semewah mobil Calvin, sementara Gabe duduk di kursi kemudi, memasang sabuk pengamannya lalu menjalankan mobil. Hening sesaat. Aku tidak tahu harus memulai percakapan darimana. Otakku beku.

"Apa kau tidak akan bertanya apa-apa padaku?" Gabe akhirnya buka suara dan menatapku sekilas.

Aku menarik napas panjang. "Jika aku bertanya apa kau akan menjawabnya? Selama ini kau selalu mengelak dan kau benar, itu bukan urusanku."

"Kau masih marah," ia menebak, tersenyum mengejek.

"Sudahlah. Aku tidak akan membahasnya lagi."

"Maafkan aku, karena ada sesuatu yang tidak boleh kuceritakan padamu."

"Ya, aku tidak akan memaksa," sahutku, memalingkan wajah ke jendela, menatap gerimis yang menari-nari di luar membasahi jalan.

"Tapi, aku telah berpikir bahwa mungkin tidak apa-apa jika membiarkanmu sedikit terlibat."

"Apa maksudmu?" Aku refleks menoleh dengan terkejut.

Dia tidak menjawab. Sorot matanya terlihat tegang. Kedua tangannya mencengkram stir dengan kuat. "Aku akan jujur padamu, Keana."

Aku menelan ludah, mendadak suasana dalam mobil terasa begitu menegangkan dan aku tidak berani memandang langsung padanya. Rasa takut menjalari punggungku.

"Aku bukan manusia ..." ia berbisik lirih.

Tubuhku menegang. Walau selama ini sudah bisa kutebak dia memang bukan manusia, tapi aku tak menyangka rasanya semengerikan ini mendengar langsung dari mulutnya.

"Ja ... jadi, kau siapa?"

Ia mengabaikan pertanyaanku dan membawa mobil kami berbelok ke kiri. Aku tersadar, bahwa kami sudah bukan berada di jalur menuju rumahku. Apalagi, Gabe menambah laju kecepatannya. Rasa panik menderaku seketika.

"Hei, ini bukan jalan ke rumahku. Kau mau membawaku kemana?" teriakku.

"Maaf, mungkin aku harus menyita waktumu sebentar, Keana." Gabe menatapku tajam.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Muse

Muse

wadaauww mau dibawa kemana itu si Keana...

2023-11-12

0

Chuayo

Chuayo

tambah seruuuuuuu

2021-02-25

0

Martina Krista

Martina Krista

Hai thor...
aq boomlike + 5rate spy tmbah semangat...
jangan lupa feedback ke novelku
- de luminous
- the second throne
mari saling mendukung...

2020-07-11

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 -1- New Student
3 -2- Supermarket
4 -3- Dress Code
5 -4- Halloween Party
6 -5- Something About Gabe
7 -6- Who is he?
8 -7- Collapse
9 -8- Still Remember
10 -9- Confession
11 -10- Decided
12 -11- The Secret
13 -12- Two Strangers
14 -13- Lycabettus Hill
15 -14- Athena
16 -15- The Demon Soldiers
17 -16- First Date
18 -17- Losing Key
19 -18- Misserable Longing
20 -19- Angelus Vallis
21 -20- The Watcher
22 -21- My Feeling
23 -22- Eagle Mountain
24 -23- Azazel
25 -24- Where Are You?
26 -25- The Key
27 -26- Accident
28 -27- Hospital
29 -28- Bad Destiny
30 -29- Runaway
31 -30- The Angel Comes
32 -31- Reason
33 -32- At School
34 -33- Jealousy
35 -34- The Henox Book
36 -35- Suffered
37 -36- Sadness
38 -37- A Promises
39 -38- a Time Goes By
40 -39- Sweet Kiss
41 -40- a Moment Like This
42 -41- Showtime
43 -42- a Planning
44 -43- The Truth
45 -44- Dissapoinment
46 -45- a Place to Hide
47 -46- The F*cking Explanation
48 -47- It's a Trap
49 -48- No Way Out
50 -49- Shit of Betrayal
51 -50- Second Life (FIN)
52 -Epilogue-
53 MENGENAI SEQUEL!!!
54 Plagiat Cerita The Fallen Angel
55 Kapan Sequel dipublish?
56 Pengumuman Terbit
57 Open PO Dibuka
58 Cek Ombak Sebelum Season 2
59 Bab 1 New Life (Season 2)
60 Bab 2 Gossip Girls (season 2)
61 Bab 3 Summer Class (Season 2)
62 Bab 4 - Bad Worries
Episodes

Updated 62 Episodes

1
Prolog
2
-1- New Student
3
-2- Supermarket
4
-3- Dress Code
5
-4- Halloween Party
6
-5- Something About Gabe
7
-6- Who is he?
8
-7- Collapse
9
-8- Still Remember
10
-9- Confession
11
-10- Decided
12
-11- The Secret
13
-12- Two Strangers
14
-13- Lycabettus Hill
15
-14- Athena
16
-15- The Demon Soldiers
17
-16- First Date
18
-17- Losing Key
19
-18- Misserable Longing
20
-19- Angelus Vallis
21
-20- The Watcher
22
-21- My Feeling
23
-22- Eagle Mountain
24
-23- Azazel
25
-24- Where Are You?
26
-25- The Key
27
-26- Accident
28
-27- Hospital
29
-28- Bad Destiny
30
-29- Runaway
31
-30- The Angel Comes
32
-31- Reason
33
-32- At School
34
-33- Jealousy
35
-34- The Henox Book
36
-35- Suffered
37
-36- Sadness
38
-37- A Promises
39
-38- a Time Goes By
40
-39- Sweet Kiss
41
-40- a Moment Like This
42
-41- Showtime
43
-42- a Planning
44
-43- The Truth
45
-44- Dissapoinment
46
-45- a Place to Hide
47
-46- The F*cking Explanation
48
-47- It's a Trap
49
-48- No Way Out
50
-49- Shit of Betrayal
51
-50- Second Life (FIN)
52
-Epilogue-
53
MENGENAI SEQUEL!!!
54
Plagiat Cerita The Fallen Angel
55
Kapan Sequel dipublish?
56
Pengumuman Terbit
57
Open PO Dibuka
58
Cek Ombak Sebelum Season 2
59
Bab 1 New Life (Season 2)
60
Bab 2 Gossip Girls (season 2)
61
Bab 3 Summer Class (Season 2)
62
Bab 4 - Bad Worries

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!