Keesokan harinya, suara ketukan terdengar di pintu kamar Ryan.
"Tok tok tok!"
"Ryan, buka pintunya!" suara Galang terdengar dari luar.
Ryan yang masih setengah sadar hanya bergumam pelan.
"Ryan, bangun woi!"
Dengan mata masih berat, Ryan akhirnya berjalan malas ke pintu dan membukanya.
"Ada apa, Kak? Aku masih ngantuk..." ucapnya, menguap lebar.
"Hari ini libur, kan?" lanjutnya, berbalik hendak kembali ke tempat tidur.
"Ada cewek nyariin kamu di ruang tamu," kata Galang santai.
"Kalau begitu bilang saja aku masih tidur," balas Ryan, kembali menarik selimutnya.
"Kalau tidak salah, namanya Putri."
Dalam sekejap, Ryan langsung melompat dari tempat tidurnya dan berlari ke ruang tamu. Galang hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya.
"Dasar," gumamnya.
Setiba di ruang tamu, Ryan langsung menghampiri Putri.
"Putri? Bagaimana kamu bisa ke sini?" tanyanya heran.
Saat menoleh, wajah Putri tiba-tiba memerah. Dia buru-buru memalingkan wajahnya.
"Ada apa, Putri? Apa ada yang salah denganku?" Ryan bertanya bingung.
Dari belakang, Galang memanggilnya dengan nada menahan tawa.
"Heh, kau melupakan sesuatu," ucapnya sambil memegangi sehelai pakaian.
Ryan menunduk dan langsung menyadari tubuhnya yang hanya berbalut celana pendek. Wajahnya memucat.
"Astaga!"
Dengan panik, dia merebut pakaiannya dari Galang dan berlari ke kamarnya.
"Kenapa Kakak nggak bilang dari tadi?" protesnya.
Galang hanya mengangkat bahu.
Setelah berpakaian, Ryan kembali ke ruang tamu dan duduk di hadapan Putri.
"Jadi, bagaimana kamu tahu rumahku?" tanyanya, masih merasa sedikit malu.
"Asisten ayahku yang memberitahu," jawab Putri.
"Asisten?" Ryan sedikit terkejut.
"Iya."
Dari dapur, Galang menyahut, "Hei, kau nggak buat minuman buat tamu, hah?"
"Oh, iya! Aku buatkan minuman dulu, ya," ucap Ryan, beranjak ke dapur.
"Tidak perlu, kok," tolak Putri.
"Nggak apa-apa, sebentar saja," jawab Ryan, bergegas pergi.
Di dapur, Ryan berdiri terpaku menatap berbagai bahan minuman.
"Hmm... buat minuman apa, ya?"
Tak sengaja, Galang ikut masuk ke dapur.
"Kak," panggil Ryan.
"Ada apa lagi?"
"Aku harus buat minuman apa buat dia?"
"Yang simpel aja. Teh."
"Teh?"
Ryan mengangguk paham, tetapi kembali terdiam, menatap kantong teh di tangannya.
"Kak, gimana cara bikin teh?" tanyanya polos.
Galang menatapnya tak percaya.
"Kau serius nggak pernah bikin teh?"
Ryan menggaruk kepalanya. "Iya, Kak..."
Galang menghela napas. "Taruh kantong teh di cangkir, tuang air panas, tunggu sampai larut. Udah, selesai."
"Simple juga ya... Terima kasih, Kak!"
Ryan pun menyiapkan secangkir teh dan kembali ke ruang tamu.
"Silakan diminum, Putri," katanya, menyodorkan cangkir.
"Terima kasih."
Putri menyesap sedikit tehnya, lalu mendadak terdiam.
"Ryan lupa kasih gula, ya?" pikirnya, menahan tawa.
"Bagaimana tehnya?" tanya Ryan.
"Lumayan," jawab Putri, berbohong demi menjaga perasaan Ryan.
"Syukurlah!" Ryan tersenyum puas.
Putri kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya kepada Ryan.
"Ini untukmu."
Ryan menerima kotak bekal itu dengan mata berbinar.
"Kamu buatkan aku bekal?" tanyanya antusias.
"Iya."
Ryan membuka kotaknya, dan matanya langsung berbinar melihat nasi goreng dengan lauk ayam goreng renyah.
"Wah! Nasi goreng dengan ayam goreng!" serunya gembira.
"Apa kamu menyukainya?" tanya Putri dengan sedikit cemas.
"Suka banget!"
Ryan langsung menyuap sesuap nasi goreng ke mulutnya. Dia mendadak terdiam.
Melihat reaksinya, Putri mulai panik.
"Jangan-jangan masakanku nggak enak?" pikirnya.
"Maafkan aku kalau—"
"Ternyata... ENAK BANGET!" seru Ryan dengan mata berkaca-kaca.
Putri tertegun, lalu tersenyum lega.
Ryan terus menyantap makanannya dengan lahap.
Tanpa sadar, ia bergumam, "Wah, andai saja kamu istriku, aku bisa makan ini setiap hari..."
Mendengar itu, Putri membelalakkan mata, pipinya merona merah.
Sementara Ryan sendiri tersadar telah mengucapkan sesuatu yang memalukan dan langsung terdiam.
Suasana pun berubah canggung.
Untungnya, suara Galang dari kamar mandi menyelamatkan situasi.
"Ryan! Cepat ke sini!"
"Ah... iya, Kak! Sebentar ya, Putri!"
Putri hanya mengangguk, sementara Ryan bergegas menuju kamar mandi.
Sesampainya di sana, Galang menatapnya tajam sambil menunjuk toilet.
"Ini apa maksudnya?" tanyanya ketus.
Ryan melihat ke dalam toilet dan langsung mengerti.
"Eh... maaf, Kak. Semalam listrik padam, jadi aku buru-buru..."
"Lain kali, siram ta*mu!" bentak Galang.
"Siap, Kak!"
Setelah kembali ke ruang tamu, Putri menatap Ryan dengan serius.
"Ryan..."
Ryan, yang awalnya masih tertawa, langsung menghentikan tawanya melihat ekspresi Putri.
"Ada apa, Putri?"
Putri menghela napas dalam, lalu dengan wajah memerah, ia berkata pelan, "Kamu... mau jadi pacarku?"
Mata Ryan membesar. Jantungnya berdebar kencang.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara aneh di kepalanya.
"Kemarilah..."
Ryan terkejut. Suara itu bergema di telinganya, menyebabkan rasa sakit luar biasa.
"Aaaakh!"
Putri panik. "Ryan! Ada apa denganmu?"
Ryan mencengkeram kepalanya, rasa sakit yang luar biasa menusuk telinganya.
Lalu, seketika, suara itu menghilang.
Ryan mengangkat wajahnya dengan ekspresi bersalah.
"Maafkan aku, Putri..."
Putri mengernyit. "Kenapa?"
"Aku tidak bisa jadi pacarmu."
Air mata langsung mengalir di pipi Putri. Tanpa berkata apa-apa, ia berlari keluar dari rumah.
Galang, yang melihat kejadian itu, langsung mendekat.
"Gila lu, nolak cewek secantik itu mentah-mentah!"
"Dia pasti sedih, kejar dia cepat!"
"Jangan ikut campur, Kak!"
Galang mendecak kesal. "Terserah lu. Pantas aja sampai sekarang lu jomblo!"
Tiba-tiba, suara aneh itu terdengar lagi, tapi kali ini tidak menyakitkan.
"Kemarilah... dan selamatkan gadis itu..."
Ryan terkejut.
"Putri!"
Ia langsung berlari keluar.
Di kejauhan, ia melihat kerumunan orang di jalan.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pada seseorang.
"Katanya, ada penculikan."
Mata Ryan melebar.
"Putri diculik? Ini salahku!"
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju hutan tempat ia dan Putri bertemu sebelumnya.
Di sana, seorang pria misterius berdiri dengan pedang menempel di leher Putri yang pingsan.
"Kau datang juga," katanya dengan senyum sinis.
Ryan mengepalkan tangan.
"Lepaskan dia!"
Ryan berdiri dengan napas tersengal di hadapan pria misterius itu. Pedang yang terhunus di leher Putri membuatnya semakin waspada.
"Apa maumu?" tanya Ryan dengan suara penuh amarah.
Pria itu menyeringai. "Aku hanya ingin mengantarmu ke tempat yang seharusnya."
"Tempat yang seharusnya?" Ryan mengernyit.
Pria itu tak menjawab, hanya mengangkat tangan kirinya. Seketika, udara di sekitar mereka berubah. Bayangan gelap mulai merayap di tanah, mengelilingi Ryan dan Putri.
"Apa-apaan ini?" Ryan bergumam, merasa ada sesuatu yang tak beres.
Tiba-tiba, Putri yang tadinya tak sadarkan diri mulai menggeliat pelan. Matanya sedikit terbuka, melihat Ryan berdiri di sana dengan wajah khawatir.
"Ry... an..." suaranya lemah.
Ryan semakin panik. "Jangan khawatir, aku akan menyelamatkanmu!"
Namun, sebelum ia bisa bergerak, pria itu mengibaskan tangannya, dan bayangan hitam menyerang Ryan dari segala arah.
"Brakk!"
Ryan terpental ke tanah, dadanya terasa sesak.
"Kau tidak punya pilihan, Nak," suara pria itu terdengar samar. "Ikuti aku, atau gadis ini mati."
Ryan mengepalkan tangannya. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?"
Tiba-tiba, dari dalam dirinya, suara aneh kembali berbisik.
"Kendalikan... kekuatanmu..."
Sekejap, Ryan merasakan sesuatu mengalir dalam tubuhnya. Tangannya terasa panas, seolah ada energi yang ingin keluar.
Pria itu mengernyit. "Hoo... jadi kau mulai terbangun?"
Ryan menatap tangannya yang mulai bercahaya samar.
"Apa ini...?"
Tanpa sadar, dia mengepalkan tangannya dan energi itu semakin kuat. Angin di sekitar mulai berputar.
Pria itu menyipitkan mata. "Menarik... tapi belum waktunya."
Dalam sekejap, bayangan hitam menyelimuti dirinya dan Putri, lalu mereka menghilang begitu saja.
Ryan terkejut. "PUTRI!"
Ia berlari ke arah di mana mereka tadi berdiri, tetapi hanya menemukan tanah kosong.
"Tidak... tidak mungkin..." Ryan jatuh berlutut, matanya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.
Dari kejauhan, suara angin berbisik di telinganya.
"Kau harus menemukannya... sebelum terlambat..."
Ryan mengepalkan tinjunya.
"Aku akan menyelamatkanmu, Putri... Apa pun yang terjadi!"
Ryan masih berlutut di tanah, napasnya memburu. Jantungnya berdegup cepat, kepalanya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi amarah serta ketakutan.
"Putri..."
Tiba-tiba, suara aneh kembali berbisik di kepalanya.
"Buka dirimu... lepaskan segalanya..."
Ryan mengangkat kepalanya perlahan. Matanya mulai berkilat aneh, bukan lagi warna normalnya—melainkan cahaya putih bersinar terang.
Tubuhnya bergetar hebat, dan tanpa sadar, udara di sekelilingnya mulai berputar kencang. Daun-daun beterbangan, tanah retak, dan langit tampak sedikit bergetar.
Dari dalam dadanya, sesuatu yang panas mulai merambat ke seluruh tubuhnya. Emosinya meluap-luap.
"Kau mengambilnya dariku..."
Ryan tiba-tiba berdiri, tubuhnya dikelilingi oleh aura putih yang semakin lama semakin pekat. Wajahnya bukan lagi wajah seseorang yang sadar penuh—melainkan seseorang yang kehilangan dirinya dalam kekuatan yang mengamuk.
Dia menoleh ke arah di mana Putri dan pria misterius itu menghilang. Seketika, tubuhnya menghilang dalam sekejap, hanya meninggalkan ledakan udara di tempatnya berdiri.
Di sebuah tempat yang tersembunyi, pria misterius itu berdiri di dekat Putri yang masih pingsan.
Namun, mendadak, dia merasakan sesuatu yang sangat berbahaya mendekat.
"DUG!"
Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar hebat, lalu terdengar suara seperti ledakan dari kejauhan.
Mata pria itu menyipit. "Dia benar-benar kehilangan kendali..."
Dalam sekejap, angin kencang menerjang tempat itu, diikuti dengan suara gemuruh yang mengguncang tanah.
Dan di tengah kepulan debu, sosok Ryan berdiri dengan mata bersinar tajam.
Namun, dia tidak mengatakan apa pun. Hanya suara nafasnya yang terdengar berat dan dalam.
Pria misterius itu menyeringai. "Jadi begini bentukmu saat emosimu menguasaimu?"
Ryan tidak merespons. Perlahan, dia mengangkat tangannya.
Sekejap, energi putih yang menyelimutinya mulai berputar cepat, membentuk pusaran yang semakin besar.
Pria itu menyipitkan mata. "Menarik... Tapi kalau kau bertindak tanpa kendali, kau hanya akan—"
Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Ryan menghilang dan tiba-tiba muncul tepat di hadapannya, dengan tangan kanan terangkat tinggi.
"BRAKKK!!!"
Tanah di sekitar mereka langsung hancur akibat pukulan keras Ryan.
Pria itu sempat menghindar ke belakang, tetapi ledakan energinya terlalu besar.
"GILA... Anak ini...!" pikir pria itu sambil melompat mundur.
Namun, Ryan tak memberi kesempatan. Dalam sekejap, tubuhnya kembali menghilang dan muncul tepat di belakang pria itu.
"DUGG!!!"
Satu pukulan telak menghantam punggung pria itu, membuatnya terpental jauh hingga menabrak beberapa pohon besar.
Namun, Ryan masih belum puas. Dia melangkah maju dengan mata kosong, emosinya mengendalikan seluruh gerakannya.
Tapi tiba-tiba...
"Ryan..."
Sebuah suara lembut terdengar samar.
Ryan berhenti sejenak. Tubuhnya sedikit bergetar, seolah ada sesuatu yang berusaha menahannya dari dalam.
Lalu suara itu terdengar lagi.
"Ryan... tolong hentikan..."
Seketika, mata Ryan yang bersinar mulai meredup. Napasnya menjadi lebih tenang.
Tangannya yang tadinya terkepal kuat perlahan mulai melemah.
Suara itu... suara yang ia kenal.
"Putri...?"
Dan dalam satu kedipan mata, tubuh Ryan melemas, lalu jatuh tak sadarkan diri.
Pria misterius itu bangkit perlahan, wajahnya berdebu dengan sedikit darah di sudut bibirnya.
Dia menatap tubuh Ryan yang kini terbaring tak berdaya.
"Hah... hah... benar-benar di luar dugaan," katanya sambil mengusap dagunya. "Tapi... ini baru permulaan."
Dia lalu menatap Putri, yang kini berdiri dengan mata berkaca-kaca, menatap Putri dengan penuh kekhawatiran.
"Kita lihat nanti," pria itu berbisik pelan sebelum akhirnya menghilang dalam bayangan.
Kini, hanya ada Putri dan Ryan di tempat itu.
Ryan berlutut, lalu menggenggam tangan Putri dengan erat.
"Putri... kau baik-baik saja?"
Putri tak merespons. Wajahnya tenang, tetapi tubuhnya tampak lelah, seperti baru saja melewati pertarungan yang luar biasa.
Ryan menggigit bibirnya. "Maafkan aku... ini semua salahku..."
Air matanya jatuh, menetes di pipi Putri.
Namun, saat air mata itu jatuh, Putri tiba-tiba menggenggam tangannya dengan lemah.
Ryan terkejut. "Putri?"
Perlahan, Putri membuka matanya sedikit dan tersenyum lemah.
"Kau... baik-baik saja?"
Ryan mengangguk cepat, masih menangis. "Bodoh! Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!"
Putri tertawa kecil, lalu kembali menutup matanya.
Ryan menatapnya dengan perasaan campur aduk.
"Aku akan membawamu pulang..." bisiknya sambil mencoba mengangkat tubuh Putri yang tak sadarkan diri.
Dengan sekuat tenaga, Ryan pun membawa Putri kembali ke tempat yang aman, sementara di kejauhan, bayangan mengawasi mereka dari balik pepohonan.
Dan tanpa mereka sadari, ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dalam perjalanan pulang, Ryan masih menggendong Putri yang pingsan. Napasnya sedikit terengah, tetapi dia terus berjalan tanpa henti.
"Maafkan aku..." gumam Ryan lirih.
Dia menatap wajah Putri yang terlihat begitu damai meski tubuhnya lemah. Ada perasaan bersalah yang begitu dalam menghantuinya.
"Andaikan saja kamu tidak pernah bertemu denganku… mungkin hidupmu akan lebih baik," lanjutnya.
Tiba-tiba, suara lembut menyela pikirannya.
"Semuanya itu tidak benar," ujar Putri pelan.
Ryan terkejut. "Kamu sudah siuman?" tanyanya sambil menatapnya.
"Iya..." Putri membuka matanya perlahan, lalu tersenyum kecil.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Iya, aku sudah mulai baik," jawabnya lemah.
Ryan sedikit lega, tetapi tetap khawatir. "Apa kamu sudah bisa berjalan?" tanyanya.
Putri tersenyum usil. "Tidak bisakah kamu menggendongku sampai rumah?" godanya.
Ryan tertawa kecil. "Hahaha… Sepertinya aku harus melakukan hal merepotkan lagi."
"Hahaha." mereka tertawa bersama.
Suasana hening beberapa saat, hanya ada suara langkah Ryan di jalan yang sepi.
Lalu Ryan kembali berbicara, suaranya penuh rasa bersalah. "Maafkan aku, Putri."
"Maaf untuk apa?" tanya Putri, bingung.
"Maaf karena aku… kamu jadi begini."
Putri terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tidak masalah. Bahkan, mati pun tidak masalah buatku..."
Ryan terkejut mendengar jawabannya. "Tapi—"
Mata Putri menatapnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan. "Maka dari itu… aku sudah siap menerima semua risikonya yang akan datang kepadaku."
Ryan terdiam.
"Asalkan aku bisa bersamamu," lanjut Putri dengan suara lembut, tetapi penuh keyakinan.
Hati Ryan terguncang mendengarnya. Dia tidak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba, Putri mengeratkan pegangannya pada Ryan, membuatnya sedikit tercekik.
"Pu… Pu… Putri, kau—"
Putri tersipu, lalu menatapnya dalam. "Kamu mau jadi pacarku?" tanyanya dengan wajah merah.
Ryan terdiam sejenak, lalu malah tertawa.
"Hahaha!"
Putri mengerucutkan bibirnya. "Ih! Kenapa kau malah tertawa?" tanyanya kesal.
Ryan mengangkat bahunya. "Maaf, maaf…"
Lalu, mereka berdua terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa bersama.
"Hahaha!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Filanina
kenapa lompat2 ceritanya. Bukannya tadi Ryan ingin memastikan keselamatan kakak dan ibunya?
2025-02-22
1
Gagigugego
apa masih ada cewek nembak duluan?
2025-02-18
2
Gagigugego
apa ini?
2025-02-18
0