Keesokan Harinya
Pagi itu, Bryan membangunkan Ryan dengan sedikit ketakutan.
"Ryan, bangunlah."
Ryan perlahan membuka matanya, merasa pusing sambil memegang kepalanya. Dengan ekspresi kebingungan, ia bertanya,
"Di mana aku?"
Bryan mengerutkan dahi melihat tingkah Ryan.
"Kau di asrama."
Saat itu juga, ingatan tentang kejadian semalam kembali memenuhi kepala Ryan.
"Hee!!!" (Ryan berteriak kaget.)
"Jangan berisik!" ujar Bryan dengan nada kesal. "Ada apa denganmu?"
Ryan menenangkan diri sejenak dan meminta maaf.
"Maaf."
Bryan menghela napas.
"Bangunlah dan bersiap-siap, sebentar lagi bel masuk berbunyi."
"Baiklah."
Ryan pun bangun dan bersiap untuk menghadiri kelas pertamanya. Setelah selesai bersiap, mereka pun berangkat ke kelas bersama.
Percakapan di Jalan
Saat berjalan menuju kelas, Bryan kembali membuka suara.
"Apa semalam kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap Ryan. "Aku mendengar kabar kalau kau mengamuk di istana."
Ryan mengerutkan dahi.
"Benarkah?"
Bryan mengangkat sebelah alis.
"Jangan bilang kau lupa, atau pura-pura tidak tahu?"
Ryan berpikir sejenak, lalu menggeleng.
"Yang aku ingat, aku berhasil ditangkap oleh Albert dan dibawa ke sana."
Bryan mendesah.
"Bukan itu maksudku. Kau juga berhasil mengalahkan Albert."
Mendengar itu, Ryan semakin bingung.
"Tapi yang kuingat, dalam pertarunganku dengannya, aku kalah telak."
Bryan mulai berpikir serius.
"Jangan-jangan waktu itu kau tidak sadarkan diri?"
Ryan mengangguk pelan.
"Mungkin saja... Yang aku ingat terakhir kali adalah saat aku dibawa kembali oleh para pengawal, dan kau membantuku melepaskan ikatanku. Selebihnya, aku benar-benar tidak tahu."
Pernyataan Ryan membuat Bryan semakin penasaran.
"Apa benar dia tidak sadarkan diri waktu itu?" gumamnya dalam hati.
Tiba di Akademi
Saat memasuki halaman sekolah, Ryan menyadari bahwa para siswa menatap mereka dengan pandangan aneh. Beberapa bahkan sengaja menjaga jarak. Bryan yang menyadari hal itu langsung kesal.
"Hei! Ada apa dengan kalian?!" serunya dengan suara lantang. "Kenapa kalian menjauhiku?"
Namun, Ryan dengan tenang memegang tangan Bryan dan menariknya agar terus berjalan.
"Abaikan saja mereka," ujarnya pelan. "Sebaiknya kita bergegas ke kelas."
Bryan mendengus, masih merasa kesal.
"Hmph... Baiklah."
Setibanya di dalam kelas, suasana terasa sangat hening. Semua siswa di kelas itu adalah individu berbakat yang saling bersaing untuk menduduki peringkat pertama di kelas tingkat S.
Bryan menunjuk sebuah meja di belakang mejanya sendiri.
"Lihat, ada meja kosong di belakang mejaku."
Ryan mengangguk.
"Syukurlah, aku tidak turun tingkat."
"Ayo kita ke sana, mungkin itu meja yang sudah disediakan untukmu."
Ryan memperhatikan satu per satu siswa di kelas itu. Ia mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya, tetapi tiba-tiba, perasaan aneh muncul dalam dirinya. Ia merasakan hawa yang sama seperti sebelumnya. Dengan cepat, ia menoleh ke arah sumber hawa tersebut.
"Apakah dia yang waktu itu...?" pikirnya.
Bryan yang melihat perubahan ekspresi Ryan menjadi penasaran.
"Ada apa, Ryan?" tanyanya.
Ryan menggeleng.
"Tidak ada apa-apa, Bryan."
Bryan mengangkat bahu.
"Kalau begitu, duduklah di bangkumu."
Ryan menurut dan duduk sambil terus memperhatikan orang itu. Perhatiannya yang berlebihan membuat Bryan semakin penasaran.
"Apa kau punya masalah dengannya?" tanyanya.
Ryan berpikir sejenak.
"Aku tidak tahu... Tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh dengannya."
Bryan mendecak.
"Aku juga berpikir hal yang sama. Dia berubah sejak ayahnya meninggal."
"Benarkah?"
"Yah... Aku sih cuma menyimpulkan saja, hahaha."
Tiba-tiba, seorang siswa lain mendekati Bryan dengan ekspresi ceria.
"Yo, Bryan! Apa harimu baik?"
Bryan memutar mata, tidak tertarik berbasa-basi.
"Gak usah sok akrab, langsung saja katakan apa maumu."
Siswa itu terkekeh.
"Aku hanya ingin bilang, semoga kau bisa selamat dari sihir baruku, hahaha!"
Setelah berkata begitu, ia pergi meninggalkan mereka.
Ryan menoleh ke Bryan dengan rasa penasaran.
"Siapa dia?"
"Dia itu John Kath, keturunan bangsawan." Bryan menghela napas. "Dia selalu menjadikanku kelinci percobaan untuk sihir barunya."
Ryan mengernyit.
"Bukankah itu melanggar peraturan akademi?"
Bryan tertawa hambar.
"Sebenarnya itu melanggar aturan... tapi tidak saat jam latihan bersama."
"Latihan bersama?"
"Ya. Segala cara bisa dilakukan di sana, bahkan niat membunuh pun diperbolehkan."
Ryan terkejut.
"Serius? Bukankah itu kejam?"
"Sudah ada sejak lama, jadi lupakan saja."
Bryan mengepalkan tinjunya.
"Tapi kali ini aku akan menghajarnya!"
Ryan menatap Bryan dengan ekspresi kecewa.
"Kali ini?"
Bryan mengangguk.
"Ya, karena aku selalu kalah telak darinya!"
Ryan menggelengkan kepala, lalu pandangannya beralih ke seorang siswi yang baru saja masuk kelas. Perempuan itu berpenampilan seperti ksatria, dengan pedang tergantung di punggung kanannya.
Bryan langsung berseru penuh semangat.
"Stevani!" (matanya berbentuk hati.)
Ryan melirik Bryan dengan datar.
"Nama cewek itu Stevani?"
"Ya! Dia peringkat kedua di kelas ini!" ujar Bryan dengan penuh kekaguman. "Maka dari itu aku tergila-gila dengan kecantikannya!"
Ryan mengangguk pelan.
"Kalau begitu, siapa yang ada di peringkat pertama?" gumamnya sambil mengamati siswa lain.
Bryan menyeringai.
"Kalau yang rank satu sih..."
Sebelum Bryan bisa menjawab, bel masuk berbunyi. Para siswa langsung menuju tempat duduk mereka, sementara seorang guru wali kelas memasuki ruangan.
Kelas Dimulai
Seorang pria bertubuh kekar memasuki ruangan dengan langkah tegap. Wajahnya penuh wibawa, dan sorot matanya tajam, seakan bisa menembus jiwa setiap siswa di kelas itu.
"Selamat pagi, anak-anak." Suaranya dalam dan berkarisma.
Para siswa serempak menjawab, "Selamat pagi, Guru!"
Ryan mengamati pria itu dengan penuh perhatian.
"Jadi ini guru wali kelas di kelas tingkat S?" pikirnya.
Guru itu berdiri di depan kelas dan menyilangkan tangan di dada.
"Perkenalkan, namaku Willard. Aku adalah wali kelas kalian dan juga instruktur dalam latihan bertarung."
Para siswa berbisik di antara mereka sendiri, membicarakan kehebatan Willard.
"Dia itu instruktur terbaik di akademi ini."
"Dengar-dengar, dia bisa mengalahkan seratus prajurit sekaligus dalam duel!"
"Tidak heran kalau dia dipercaya untuk melatih kita."
Willard menepuk kedua tangannya sekali, menarik perhatian seluruh kelas.
"Baiklah, cukup dengan perkenalannya. Hari ini kita akan langsung masuk ke sesi latihan. Semua siswa tingkat S harus membuktikan bahwa mereka layak berada di sini."
Para siswa mulai bersemangat, termasuk Bryan yang langsung berseru,
"Yes! Aku bisa menghajar si John hari ini!"
Ryan menghela napas, merasa tidak begitu tertarik dengan latihan tempur.
Willard melanjutkan, "Latihan hari ini adalah pertarungan satu lawan satu. Kalian akan dipasangkan secara acak. Pertarungan ini bertujuan untuk menguji kemampuan serta meningkatkan pengalaman bertarung kalian."
Para siswa semakin antusias.
Willard lalu mengangkat tangan dan sebuah kertas besar muncul di udara, menampilkan daftar pasangan duel.
Ryan melihat namanya tertera di sana.
"Hmm... Aku melawan siapa?"
Bryan yang berdiri di sebelahnya menelan ludah saat membaca daftar itu.
"Ryan... kau melawan peringkat pertama."
Ryan mengernyit.
"Siapa peringkat pertama?"
Sebelum Bryan bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam panjang berdiri di hadapan mereka. Matanya tajam dan penuh ketenangan.
"Kau Ryan?"
Ryan menatap pemuda itu.
"Ya."
Pemuda itu menatap Ryan tanpa ekspresi.
"Namaku Vincent. Aku akan menjadi lawanmu."
Seketika, suasana di sekitar mereka menjadi tegang. Semua siswa yang mendengar nama itu langsung terdiam.
"Dia... Vincent si 'Shadow Phantom'!"
"Ryan pasti tamat! Tak ada yang bisa mengalahkan Vincent!"
Bryan menepuk bahu Ryan dengan ekspresi prihatin.
"Ryan... aku akan berdoa untukmu."
Ryan tetap tenang dan hanya tersenyum tipis.
"Sepertinya aku akan mendapatkan pengalaman berharga hari ini."
Vincent menatap Ryan sejenak sebelum berjalan pergi.
Willard kemudian berseru, "Semua siswa, menuju arena latihan sekarang!"
---
Di Arena Latihan
Arena latihan akademi adalah lapangan luas yang dikelilingi oleh pilar-pilar besar. Para siswa sudah mengambil posisi di sekitar arena, menunggu giliran bertarung.
Ryan dan Vincent berdiri di tengah arena, saling berhadapan.
Willard mengangkat tangan.
"Pertarungan dimulai... sekarang!"
Dalam sekejap, Vincent menghilang dari pandangan Ryan.
"Cepat!"
Ryan dengan refleks melompat ke samping, dan tepat saat itu, sebuah bayangan melintas di tempatnya berdiri sebelumnya.
"Aku bahkan tidak melihat serangannya!"
Vincent muncul di belakang Ryan dengan tangan terangkat, siap menyerang.
Ryan menoleh dan mencoba menghindar, tetapi Vincent lebih cepat.
"Shadow Strike!"
Sebuah bayangan menyerang Ryan dari berbagai arah. Ia mencoba bertahan, tetapi tubuhnya terkena beberapa serangan dan terpental ke belakang.
"Kuh... Kuat sekali!"
Vincent menatap Ryan dengan tenang.
"Kau belum menunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, bukan?"
Ryan terdiam. Kata-kata Vincent terdengar seperti tantangan.
"Aku harus bertarung dengan serius."
Ryan menarik napas dalam dan menatap Vincent dengan penuh tekad. Aura di sekelilingnya mulai berubah.
Ryan berdiri tegak, merasakan denyut adrenalin dalam tubuhnya. Napasnya mulai teratur, dan ia fokus pada lawannya.
"Aku harus membaca pola serangannya."
Vincent menatap Ryan tanpa ekspresi, lalu menghilang lagi dalam bayangan.
"Shadow Phantom Mode."
Seketika, bayangan Vincent menyebar ke seluruh arena, bergerak dengan kecepatan luar biasa. Para siswa yang menonton menahan napas.
"Dia menggunakan teknik itu... Ryan tidak akan bisa menang!"
"Tidak ada yang bisa melawan Vincent dalam kecepatan dan bayangan!"
Ryan tetap tenang dan mengaktifkan indranya. Ia menutup mata sejenak, merasakan perubahan udara di sekelilingnya.
"Dia datang dari... kiri!"
Ryan segera melompat ke belakang dan menangkis serangan Vincent yang tiba-tiba muncul dari bayangan. Tubuhnya masih terdorong ke belakang akibat dampak serangan, tetapi kali ini ia tidak terkena pukulan telak.
"Dia menghindarinya?! Vincent jarang menemukan lawan yang bisa bereaksi secepat itu!"
Vincent menyipitkan mata.
"Menarik."
Ia kembali menyerang, bayangannya menyelimuti arena, menciptakan ilusi bahwa dirinya ada di mana-mana.
Ryan mengambil posisi bertahan, tetapi kali ini, sesuatu dalam dirinya berubah. Tubuhnya bergerak dengan lebih alami, seakan insting bertarungnya terbangun.
"Aku tidak bisa hanya bertahan. Aku harus menyerang balik!"
Saat salah satu bayangan Vincent mendekat, Ryan melompat ke arah yang berlawanan dan melepaskan serangan kejutan.
"Impact Strike!"
Tinju Ryan menghantam udara, menciptakan tekanan kuat yang membuat bayangan di sekelilingnya bergetar. Dalam sekejap, Vincent muncul kembali, terpaksa keluar dari mode bayangannya.
Para siswa terkejut.
"Dia memaksa Vincent keluar dari bayangan?!"
Vincent berdiri tegak, menatap Ryan dengan tatapan yang lebih serius.
"Tidak buruk."
Ryan tersenyum.
"Aku belum selesai."
Dalam sekejap, Ryan menyerang dengan cepat. Tubuhnya terasa lebih ringan, dan insting bertarungnya semakin meningkat. Ia mulai melancarkan serangan balik, mendaratkan beberapa pukulan ke arah Vincent.
Namun, Vincent bukan lawan yang mudah.
"Shadow Counter."
Bayangan di sekitar Vincent bergerak dengan sendirinya, menangkis serangan Ryan dan melancarkan serangan balasan.
Ryan mundur beberapa langkah, merasakan nyeri di tubuhnya akibat serangan tersebut.
"Teknik ini... dia menggunakan bayangan untuk bertarung bersamanya!"
Vincent tidak memberi Ryan kesempatan untuk berpikir lebih lama. Ia melesat maju dengan kecepatan penuh.
"Shadow Blade!"
Sebuah bilah bayangan terbentuk di tangannya, mengarah langsung ke Ryan.
Ryan merasakan bahaya yang nyata.
"Aku harus menghindar!"
Namun, saat Ryan mencoba melompat ke belakang, bayangan di lantai menahannya.
"Sial! Aku terperangkap!"
Vincent mengayunkan pedangnya, dan dalam sepersekian detik sebelum serangan itu mengenainya, sesuatu terjadi.
"Boom!"
Sebuah gelombang energi meledak dari tubuh Ryan, melepaskannya dari cengkeraman bayangan. Ia menghindari serangan Vincent dengan sangat tipis.
Mata Vincent membesar sejenak.
"Apa itu tadi?"
Ryan juga terkejut. Tangannya bergetar, merasakan sisa energi yang baru saja meledak.
"Aku... melepaskan sesuatu?"
Willard, yang mengamati dari jauh, tersenyum tipis.
"Sepertinya anak ini mulai menyadari kekuatannya."
Vincent menatap Ryan dengan lebih serius.
"Sepertinya aku tidak bisa menahan diri lagi."
Ia mengangkat tangannya, dan bayangan di arena mulai bergerak sendiri, menciptakan formasi yang jauh lebih berbahaya.
Ryan merasakan tekanan yang luar biasa.
"Aku harus bertahan!"
Pertarungan belum selesai.
Ryan berdiri dengan napas berat. Pertarungan sejauh ini sudah membuatnya cukup lelah, tetapi ia masih harus menghadapi teknik bayangan Vincent yang semakin berbahaya.
Bayangan mulai bergerak sendiri, membentuk sosok-sosok hitam yang tampak seperti klon Vincent. Mereka melangkah maju bersamaan, mengelilingi Ryan dari segala arah.
"Klon bayangan...? Tidak, ini lebih dari itu."
Ryan dapat merasakan tekanan dari setiap bayangan yang mendekat. Mereka bukan hanya ilusi—mereka benar-benar bisa menyerang.
"Jika aku bertahan, aku akan terkepung."
Ryan mencoba menghindar, tetapi serangan datang dari segala arah. Sebuah tinju bayangan mengenai perutnya.
"Ugh!"
Ia tersentak mundur, tetapi belum sempat bernapas, tendangan lain menghantam rusuknya dari samping.
"Kkh... Dia bahkan belum bergerak dari tempatnya."
Vincent masih berdiri di tempatnya, memperhatikan dengan tenang.
"Kau mulai lelah?" tanyanya dengan nada santai.
Ryan menggeram dan mencoba menyerang, tetapi serangannya hanya menembus bayangan kosong.
"Sial! Yang mana yang asli?"
Sebelum ia bisa menemukan jawabannya, serangan lain menghantam punggungnya. Kali ini, lebih kuat.
Ryan tersungkur ke tanah, menahan nyeri yang menjalar di tubuhnya.
"Aku... Tidak bisa bergerak..."
Vincent berjalan mendekatinya.
"Kau masih punya banyak celah, Ryan. Tapi aku akui, kau punya potensi."
Ryan mencoba berdiri, tetapi lututnya gemetar. Ia mengepalkan tinjunya, berusaha melawan rasa sakit.
"Aku... Belum kalah!"
Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, bayangan Vincent menyelimuti tubuhnya.
"Dark Bind."
Tiba-tiba, tubuh Ryan terasa berat. Bayangan itu membelenggunya, membuatnya tak bisa bergerak.
"Apa... Ini...?"
Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya seakan ditarik ke bawah, seperti tenggelam dalam lumpur hitam.
"Dan ini akhir dari pertarungan kita."
Vincent mengangkat tangannya, lalu menjentikkan jari.
Dalam sekejap, tekanan dari bayangan semakin kuat, dan Ryan jatuh tersungkur ke tanah.
"Kau kalah."
Keheningan menyelimuti arena.
Para siswa yang menyaksikan terdiam.
Beberapa dari mereka menggelengkan kepala, sementara yang lain tampak kagum melihat kehebatan Vincent.
Willard yang menonton dari kejauhan mendesah pelan.
"Seperti yang kuduga..."
Ryan masih berusaha bangkit, tetapi tubuhnya tidak mau menurut.
Vincent menatapnya sebentar, lalu berbalik pergi.
"Latih dirimu lebih baik lagi, Ryan. Aku menantikan pertarungan kita berikutnya."
Dengan kata-kata itu, Vincent meninggalkan arena.
Ryan menatap langit, napasnya masih berat.
"Aku... Kalah..."
Namun, alih-alih merasa putus asa, di dalam hatinya ada sesuatu yang mulai tumbuh.
Keinginan untuk menjadi lebih kuat.
"Aku tidak akan kalah lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments