Keesokan Harinya Sepulang Sekolah
Ryan berjalan sambil mengambil ponselnya dari saku. Ia mengirim pesan kepada Galang, kakaknya:
[Mungkin aku akan pulang tengah malam. Aku ingin mengerjakan event game-ku.]
Setelah mengirim pesan, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan melangkah menuju warnet.
Waktu berlalu begitu cepat. Ryan yang terlalu asyik bermain game akhirnya tidak sengaja melihat jam di layar komputer.
"Hah... sudah jam setengah dua belas lewat!" serunya kaget.
"Sebaiknya aku segera pulang sebelum Galang memarahiku."
Tanpa membuang waktu, Ryan langsung keluar dari game, mematikan waktu billing, lalu bergegas meninggalkan warnet.
Di tengah perjalanan, tepat di sebuah jalanan sunyi, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak memanggilnya.
"Hei, bocah!"
Ryan spontan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia melihat mereka lagi—para preman yang kemarin sempat ia hajar. Kali ini jumlah mereka lebih banyak, beberapa di antaranya bahkan membawa senjata tajam dan pemukul bisbol.
"Apa kau yakin bocah ini yang menghajarmu semalam?" salah satu dari mereka bertanya, memastikan bahwa Ryan adalah orang yang membuat temannya babak belur.
"Iya! Bocah itu yang membuatku begini!" jawab pria yang wajahnya masih penuh lebam akibat pertarungan semalam.
Mendengar itu, pemimpin kelompok preman tersebut memberi isyarat tangan kepada anak buahnya.
"Baiklah kalau begitu, beri bocah ini pelajaran!" perintahnya tegas.
Seketika mereka semua berlari menyerang Ryan.
Di Tempat Lain
Sementara itu, seorang gadis tengah berdiri di dekat jendela kamarnya, menatap bintang-bintang di langit malam. Dalam pikirannya, ia masih memikirkan kejadian kemarin.
"Siapa dia, orang yang menolongku?" batinnya, membayangkan kembali sosok Ryan.
"Kuharap aku bisa bertemu dengannya lagi."
Gadis itu menghela napas pelan.
"Aku bahkan belum tahu namanya..."
Namun tiba-tiba, lamunannya buyar ketika terdengar suara teriakan dari kejauhan.
"Siapa yang berteriak tengah malam begini?" gumamnya, terkejut.
Seketika, firasat buruk menyelimuti pikirannya.
"Jangan-jangan..."
Pikiran gadis itu langsung tertuju pada Ryan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju sumber suara, hatinya dipenuhi kecemasan.
"Kalau benar dia, berarti dia dalam masalah!"
Ia berlari secepat mungkin, berharap dugaannya salah. Namun, begitu tiba di lokasi, ia melihat sesuatu yang mengejutkan.
Ryan telah menghabisi dua belas orang preman seorang diri!
Gadis itu berdiri di kejauhan, takjub melihat Ryan masih berdiri tegak tanpa luka serius. Tapi saat Ryan hendak mengambil tasnya yang tergeletak di tanah, tiba-tiba salah satu preman yang belum pingsan bangkit diam-diam. Preman itu mengambil pisau di dekatnya dan menyerang Ryan dari belakang!
"Awas!!!" gadis itu berteriak memperingatkan.
Ryan tersadar tepat waktu. Ia berbalik dan menahan serangan preman itu dengan tangannya, lalu melancarkan serangan balik hingga lawannya terhempas jauh.
"Sial, aku lengah..." Ryan mendecak kesal.
Setelah memastikan semua preman tak berdaya, Ryan kembali mengambil tasnya dan berjalan pergi. Saat melewati gadis itu, ia hanya meliriknya sekilas.
Gadis itu berniat menyapanya, tetapi ragu. Namun, saat matanya melihat tangan kanan Ryan yang terluka dan berdarah, tanpa sadar ia segera menghampiri Ryan.
"Tunggu!"
Ryan menoleh, terkejut saat gadis itu menggenggam tangannya dan menatap lukanya dengan penuh kekhawatiran.
Saat itulah Ryan memperhatikan wajah gadis itu lebih dekat.
Dan untuk pertama kalinya—hatinya berdebar.
"Siapa dia?"
"Apa aku mengenalnya?"
"Maaf, kamu siapa?" Ryan akhirnya bertanya.
Gadis itu menatapnya serius.
"Sebelum lukamu semakin parah, lebih baik kita obati dulu."
"Terima kasih, tapi itu tidak perlu," Ryan menolak halus.
Namun gadis itu tidak menyerah.
"Tidak apa-apa! Ayo ke rumahku, aku akan mengobatimu."
"Tapi..."
Ryan hendak menolak lagi, tetapi gadis itu sudah menarik tangannya.
"Tidak ada tapi-tapian! Ikut aku saja!"
Ryan tidak punya pilihan selain mengikuti gadis itu.
Di Rumah Gadis Itu
Begitu tiba di depan rumahnya, Ryan tertegun.
"Apa benar ini rumahnya...?"
Rumah besar dan mewah berdiri megah di hadapannya. Gadis itu menyadari Ryan yang melamun dan menegurnya.
"Kenapa diam? Ayo masuk!" katanya sambil menarik tangan Ryan masuk ke dalam halaman.
Saat melewati pagar, Ryan melihat seorang satpam yang tertidur pulas di pos jaga.
"Apa dia satpam di sini?" pikirnya.
"Kamu mengatakan sesuatu?" tanya gadis itu.
"Ah, tidak..." Ryan menggeleng cepat.
Begitu masuk ke dalam rumah, Ryan makin terkejut melihat kemewahannya.
"Wuah... baru kali ini aku masuk rumah semewah ini."
Tanpa sadar, ia mulai mengkhayal.
"Kalau aku bisa berpacaran dengannya, pasti aku bisa hidup mewah..."
Namun, ia segera menggelengkan kepala.
"Astaga, apa yang kupikirkan ini? Fokus, Ryan! Kau ke sini cuma untuk diobati!"
Gadis itu menyuruhnya duduk.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil kotak obat."
Ryan menurut. Saat gadis itu pergi, ia kembali melirik isi rumah itu dengan kagum.
Tak lama kemudian, gadis itu kembali membawa kotak obat dan air hangat.
"Maaf membuatmu menunggu."
"Ah, tidak apa-apa." Ryan tersenyum.
Gadis itu tersipu malu melihat senyum Ryan. Ia berusaha tetap fokus dan menaruh perlengkapannya di meja.
"Coba ulurkan tanganmu, aku ingin melihat lukamu."
Ryan mengulurkan tangannya. Namun, saat gadis itu mencoba menggulung lengan bajunya, Ryan tiba-tiba meringis kesakitan.
"Aww..."
Gadis itu panik.
"Maaf!" katanya cemas.
Saat itu, mereka saling menatap. Sejenak, suasana menjadi canggung. Keduanya segera membuang muka, salah tingkah.
"H-haa... aku akan membersihkan darahnya dulu," ujar gadis itu, tersipu malu.
"A-ah, iya!" Ryan ikut panik.
Namun, ketika gadis itu hendak membersihkan luka Ryan, matanya membelalak.
"Lho...?!"
Luka di tangan Ryan sudah menutup, seolah tidak pernah ada.
"Apa... apa yang terjadi?!" Gadis itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kenapa lukamu bisa sembuh begitu saja?!"
Ryan hanya tersenyum kecil.
"Aku sudah bilang, tidak perlu diobati, kan?"
Gadis itu masih kebingungan, tetapi Ryan sudah bangkit berdiri.
"Terima kasih sudah mau mengobatiku. Aku pamit pulang."
Saat Ryan hendak membuka pintu, gadis itu memanggilnya.
"Tunggu!"
"Hm?"
"Nama kamu siapa?"
Ryan terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Namaku Ryan."
"Aku Putri Amelia Sari. Panggil saja Putri," katanya tersenyum manis.
Hati Ryan berdebar hebat melihat senyuman itu.
Setelah mereka bertukar kontak, Ryan akhirnya pamit.
Keesokan harinya, saat Ryan berjalan menuju sekolah, ia bertemu dengan sosok yang ada dalam mimpinya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Filanina
kata hati harusnya bedain sih. kalau ga cetak miring, petik 1 saja.
2025-02-21
0