Api Unggun

Ran memulai lagi perjalanannya menuju barat. Perbatasan antara Kerajaan Mondu dan Ramil masih jauh sekali. Jalan yang dia lalui sebagian besar merupakan padang rumput dan sesekali dia mendaki bukit. Ketika malam tiba, Ran beristirahat di atas bukit dan menggelar kain yang dijadikannya kasur. Sebelum tidur, dia membaca buku tua itu sebentar. Awalnya, Ran tidak paham apa yang ditulis dalam buku tua itu.Terutama mengenai simbol-simbol seperti sihir. Tetapi semakin dia membacanya, Ran perlahan paham. Simbol-simbol itu mewakili bahan, unsur, atau zat tertentu.

“Sepertinya buku ini memang ditujukan untuk orang-orang pintar. Aku bisa menghafal seluruh isinya. Tetapi maksud dari buku ini aku masih bias. Apalagi simbol-simbol yang membingungkan ini,” ucap Ran sambil menutup buku itu kemudian dia tertidur.

Pagi harinya, Ran dibangunkan oleh sinar matahari. Dia bergegas kembali berjalan ke barat. Sesampainya di sebuah sungai, Ran membersihkan diri dan makan buah-buahan sisa perbekalan dari desa Toroto. Kemudian dia melihat padang pasir dari kejauhan. Ran mempercepat jalannya bahkan dia berlari. Tetapi ketika kakinya menginjak pasir yang berbatasan langsung dengan tanah berumput, Ran berhenti.

“Sial! Panas sekali,” ucapnya.

Ran sadar dia tidak bisa lewat. Karena selain udara yang panas, perbekalan dia juga hampir habis. Apalagi air. Jika dia memaksa diri untuk lewat, itu sama saja bunuh diri. Ran kemudian membuka peta. Sepertinya dia harus berjalan ke selatan mencari desa terdekat untuk membawa perbekalan.

Dengan penuh tekad, Ran berjalan ke selatan menyusuri jalan setapak yang sepertinya sering dilalui oleh orang-orang. Tetapi selama tiga hari Ran berjalan, dia tidak berpapasan dengan satu orang pun. Hanya ada beberapa binatang yang dia temui. Itu pun dia buru untuk bahan makanan. Dua jam kemudian setelah dia berjalan di

tengah terik mata hari, Ran sampai di sebuah desa yang terbengkalai. Bangunannya yang terbuat dari kayu hancur seperti baru saja terjadi perang.

“Sepertinya ada yang tidak beres dengan desa ini,” ucap Ran sambil terus berjalan di antara reruntuhan.

Samar-samar, Ran mendengar suara seseorang sedang menyiduk air. Dia mendekati sumber suara itu yang berada di balik sebuah rumah yang hancur. Ran berjalan di sisi kanan rumah kayu dan dia melihat seorang anak lelaki berbadan gemuk sedang berjongkok dan menyiduk air dari sebuah kolam ke sebuah ember bambu.

“Akhirnya kita bisa minum air bersih,” ucap anak lelaki itu.

Ketika anak lelaki itu berdiri dan berbalik, dia kaget melihat Ran. Seketika dia berlari dan menyenggol ember air itu hingga tumpah.

“Ada bandit!” teriaknya sambil berlari.

“Tunggu!” Ran mengejar anak lelaki itu.

Anak lelaki itu terus berlari sangat jauh ke utara bahkan keluar desa yang hancur ini. Hingga tiba di sebuah reruntuhan bangunan yang terbuat dari batu. Bangunan itu mirip seperti sebuah menara persegi yang sudah miring dan dipenuhi lumut hijau. Anak lelaki itu masuk dan naik ke sebuah tangga. Sementara Ran berhenti berlari dan mulai berjalan santai sambil menaiki tangga. Dia tidak menyangka di tengah tanah kosong tang luas di perbatasan antara Ramil dan Kerajaan Mondu terdapat bangunan yang sudah tua.

“Menara apa ini?” tanya Ran.

Ketika dia sampai di lantai tiga, Ran berhenti lalu berjalan ke sebuah jendela yang terbuka yang mengarah ke barat. Ran melihat jauh ke luar di mana terdapat padang pasir dengan angin yang cukup kencang.

“Hijau dan cokelat. Sangat kentara sekali perbedaan antara Ramil dan Kerajaan Mondu,” kata Ran yang langsung menaiki tangga lagi.

Ran sampai di lantai tujuh di mana ada sebuah pintu ganda yang terbuat dari kayu yang sudah rapuh. Dia berjalan perlahan dan berhenti lalu mendekatkan telinganya ke pintu kayu itu. Ran dengan jelas mendengar percakapan beberapa orang yang suaranya menggema. Tanpa pikir panjang, Ran membuka pintu itu. Seketika semua orang yang ada di dalam ruangan ketakutan.

“Tolong jangan ganggu kami,” kata seorang pria kurus dengan pakaian yang lusuh.

“Ambil saja semua barang-barang kami tapi jangan sakiti kami,” sahut seorang wanita berambut panjang yang sedang menggendong bayi.

Semuanya ketakutan sementara Rana hanya diam berdiri sambil menatap mereka semua yang berjumlah sepuluh orang itu. Termasuk anak lelaki gemuk tadi. Mereka terlihat sangat menyedihkan.

“Aku tidak akan menyakiti kalian. Tadi aku melewati sebuah desa yang hancur dan melihat anak lelaki gemuk itu sedang menimba air ke dalam ember bambu. Tetapi dia malah lari ketika melihatku,” Ran menjelaskan.

“Jadi kau bukan anggota bandit itu?” tanya anak lelaki gemuk itu.

“Bandit?” Ran kebingungan.

“Ada sekelompok bandit yang kebetulan lewat ke desa kami. Mereka lalu merusak rumh-rumah kami karena kami tidak bisa memberi mereka uang.”

“Desa seluas itu hanya dihuni sepuluh orang?”

“Tidak,” kata seorang pria tua, “Total orang yang tinggal di desa Maranti ini tiga tujuh puluh orang. Hanya saja kami tercerai berai kabur ke segala arah.”

Ran lalu melihat ke sebuah bak besar yang airnya sudah hampir habis di ujung ruangan.

“Apa tidak ada sumber air lagi? Sepertinya aku juga butuh air untuk melanjutkan perjalanan ke selatan,” tanya Ran.

Seketika semua orang terkaget-kaget.

“Kau mau ke selatan? Itu berarti kau akan melewati hutan Wulung,” kata pria tua itu.

“Jadi di sana ada hutan?” Ran memandang pria tua itu.

“Ya. Nama hutannya Wulung. Dan kelompok bandit itu pergi ke sana. Tetapi kami masih ketakutan untuk keluar. Itulah sebabnya Amandi ketakutan melihatmu ketika mengambil air di desa.”

“Sepertinya kalian sangat membutuhkan air bersih. Aku akan mengambilkannya untuk kalian.”

“Sungguh?” tanya hampir semua orang dengan mata yang berbinar.

Ran mengangguk.

“Kau berasal dari mana?” tanya pria yang memakai kacamata.

“Aku berasal dari Kerajaan Desa Tebing.”

“Kau seorang pendekar?” tanya perempuan yang sedang menggendong bayi.

“Aku seorang ronin. Samurai tak bertuan.”

“Kerajaan Desa Tebing itu di ujung timur. Jauh sekali kau mengembara,” kata pria tua.

“Aku sedang mencari seseorang bernama Garun.”

“Belum pernah kami dengar nama itu,” pria berkacamata menggelengkan kepala.

“Tak apa. Baiklah aku akan membawakan kalian air bersih. Kalian tunggu di sini.”

Ditemani oleh Amandi, Ran kembali ke desa Maranti. Kini Amandi berjalan dengan penuh riang gembira karena dia merasa tenang. Sesampainya di sumber air, mereka berdua langsung mengisi ember bambu dengan air.

“Apa tidak ada sumber air lagi di sini?” tanya Ran setelah mengisi penuh ember bambu dengan air.

“Semua sumur diuruk oleh para bandit. Untunglah masih ada sumber air di kolam ini yang tertutup bilik bambu jadi tidak diketahui oleh mereka,” jawab Amandi.

Kini, bak besar sudah dipenuhi oleh air bersih. Perempuan yang menggendong bayi itu langsung memandikan bayi yang ternyata berjenis kelamin laki-laki itu. Dia menimang lalu mulai membasuh perlahan dengan air. Sebagian lagi mulai memasak. Dan sebagian lagi minum karena sudah kehausan.

“Aku tidak bisa lama-lama di sini,” ucap Ran sambil memakai jubah cokelatnya.

“Kau mau ke mana?” tanya pria tua.

“Aku akan pergi ke Ramil.”

“Mustahil pergi ke sana. Daerahnya sangat berbahaya untuk dilalui seorang diri.”

“Untuk itulah aku pergi ke selatan mencari perbekalan dan informasi bagaimana caranya melewati perbatasan itu.”

“Bawalah air dan

makanan dari kami.”

“Kalian baik-baik saja. Bangun kembali desa kalian. Para bandit itu aku yakin tidak akan kembali lagi,” Ran memberikan saran sebab dia juga pernah merasakan posisi mereka ketika Kerajaan Desa Tebing digulingkan oleh para pemberontak hingga hancur.

Setelah mengisi perbekalan, Ran melanjutkan perjalanan ke selatan. Berjalan tiga hari, dia tiba di sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Ran sudah mengira bahwa ini adalah hutan Wulung. Dengan tenang Ran berjalan masuk menyusuri jalan setapak. Tak berapa lama dia melewati pohon bambu yang menjulang tinggi. Kemudian dia melewati pepohonan tinggi besar yang daunnya cukup rindang.

“Sebaiknya aku istirahat di sini sehari,” cap Ran.

Ran membuat semacam tenda dari kayu dan daun kering. Ketika malam saat matanya terpejam, Ran mendengar suara kaki yang melompat dari satu ranting ke ranting lainnya. Seketika ada batang pohon besar yang jatuh tepat di atas tenda. Dengan cepat Ran menghindar. Dia lalu melihat ke atas. Di antara ranting-ranting pepohonan tinggi besar, samar-samar dia mendengar suara cekikikan.

“Pasti mereka bandit yang menyerang desa Maranti,” kata Ran dalam hati. Dia lalu memakai caping yang terbuat dari anyaman bambunya dan bersiap menghunus katananya.

Ketika cahaya bulan menyinari gelapnya malam, dengan jelas Ran melihat ada beberapa orang pria sedang berdiri di atas ranting pohon besar. Salah satu orang meloncat sambil melayangkan serangan dengan senjata pisau sabitnya. Tetapi dengan sekali hunusan katana, yang meloncat itu terpental dan berguling-guling di tanah hingga membentur pohon.

“Ada yang mau menyerangku lagi?” tanya Ran.

Cahaya bulan mulai meredup lagi. Mereka lalu pergi. Ran memasukkan katananya ke dalam sarungnya kemudian dia berjalan mencari tempat yang aman untuk beristirahat.

***

Jauh di sebelah utara hutan Wulung sekitar lima kilometer, terdapat sekelompok pria berbaju serba hitam sedang menyalakan api unggun. Mereka berpesta sambil minum-minum. Tak berapa lama ada beberapa orang pria datang ke seorang pria berotot dan berbadan besar di mana dua buah sabit terselip di pinggangnya. Matanya sipit, kulitnya putih, kepala botak, dan ada bekas luka di pipi kirinya.

“Dera, ada seseorang yang masuk ke hutan Wulung,” kata salah seorang pria sambil berlutut.

“Siapa dia?” tanya Dera.

“Entahlah. Tadinya kami ingin merampas barang-barangnya. Tapi sepertinya dia bukan orang biasa. Sebab dia mengalahkan Wandi hanya dengan satu hunusan pedang.”

“Dera lalu tersenyum lalu berkata, “Dia seorang ahli berpedang.”

“Apakah kita tinggalkan dia? Aku lihat dia tidak punya barang bawaan yang berharga.”

“Rasanya ada satu barang berharga yang dia miliki.”

“Apa itu?”

“Pedangnya.”

“Ah, aku paham.”

Tiba-tiba ada seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun dengan rambut lurus ke atas, memakai bandana dab berbadan kurus mendekat sambil membawa botol minuman.

“Ini minumannya, Dera,” ucap anak lelaki itu sambil meletakkan botol minuman.

“Nanti kalau kau sudah dewasa, kau harus mencoba minuman ini, Shukar,” kata Dera.

Dera meneguk botol itu sampai habis setengah.

“Hey kalian semua. Malam ini kita berpesta. Setelah mengobrak-abrik desa Maranti, besok kita akan hajar seseorang yang ahli berpedang,” teriak Dera

Seketika semuanya bersorak, bersulang, dan berdansa sambil minum-minum.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!