Hadiah

Sabtu pagi,

Berna diajak ke halaman belakang rumah yang cukup luas. Di halaman belakang ini

ditanami banyak sekali sayuran dan buah-buahan. Dan juga ada gudang pertanian untuk

memelihara hewan ternak. Ada beberapa orang pria yang bekerja menyirami

tanaman. Dan beberapa pria lagi bekerja mengurus hewan ternak. Termasuk kuda

penarik kereta.

“Anda mau

berkeliling, Tuan?” tanya Remin.

Berna

mengangguk. Remin lalu meminta Berna untuk mengikutinya. Selama berjalan

mengelilingi halaman belakang rumah, Remin menjelaskan bahwa dari dulu keluarga

Rombepayung senang sekali bertani dan beternak. Mereka lebih suka menanam

sendiri untuk kebutuhan dapur dibandingkan harus membeli. Ketika sampai di

pohon jeruk, Remin memetik satu buah dan memberikannya kepada Berna.

“Cobalah, Tuan,”

kata Remin.

Dengan senang

hati Berna mengambil jeruk itu lalu mengupasnya dan memakannya. Tidak ada yang

spesial tapi Berna mengakui rasanya sungguh manis dan segar.

“Mari saya

tunjukkan hewan ternak milik keluarga Rombepayung,” Remin berjalan ke gudang

pertanian dengan pintu ganda yang terbuat dari kayu.

Beberapa pria

yang bekerja segera membukakan pintu. Terlihatlah ada beberapa hewan ternak

yang masing-masing disekat seperti ruangan agar habitat mereka tidak tercampur

dengan hewan ternak lain. Keluarga Rombepayung memelihara ayam, sapi, dan

domba. Tak ketinggalan juga dua ekor kuda yang bertugas untuk menarik kereta.

Berna berjalan

mendekat ke dua ekor kuda yang sedang makan itu. Ternyata jika dilihat dari

dekat, kedua kuda ini begitu gagah dengan warna bulu hitam pekat yang

mengkilap.

“Paman, apa

kuda-kuda ini bisa ditunggangi?” tanya Berna.

“Jangan panggil

aku paman. Tentu ini bisa jika Anda mahir menunggangi kuda,” jawab Remin.

Tangan Berna

lalu mengelus pipi salah satu kuda yang ada di sebelah kanan. Kuda itu hanya

diam dan terus makan. Seketika Berna membayangkan jika dia bisa menunggangi

kuda, dia ingin mengajak Ellie berkeliling desa dengan menaiki kuda. Padahal

besok dia akan bertemu tetapi rasanya waktu berjalan begitu lambat sekali.

“Remin, besok

aku ingin bertemu dengan temanku di taman desa,” ucap Berna sambil berbalik dan

menatap Remin.

“Saya sudah

diberi tahu oleh Nyonya,” balas Remin.

“Tapi aku punya

permintaan kepadamu.”

“Apa itu Tuan?”

“Sebelum sampai

di taman desa, kau turunkan saja aku di jalanan. Biar aku ke sana jalan kaki.

Aku tidak mau terlihat mencolok di depan orang-orang.”

“Soal itu Tuan

tidak perlu khawatir. Saya akan turunkan tuan di sebuah kedai tak jauh dari

taman desa. Saya akan tunggu Tuan di kedai itu.”

“Terima kasih.”

Remin hanya

tersenyum sambil sedikit membungkuk.

Setelah itu, Berna

diajak melihat sebuah kolam yang ada di samping gudang pertanian. Di sini

keluarga Rombepayung memelihara ikan untuk dikonsumsi. Ada banyak sekali jenis

ikan di sini. Bahkan Remin sendiri tidak tahu ikan apa saja.

“Jadi ikan yang

kemarin aku makan berasal dari sini?” kata Berna.

Remin mengangguk

lalu berkata, “Air di kolam ini selalu berganti. Jadi daging ikan akan terasa

lebih gurih dan empuk.”

Setelah pusa

berkeliling halaman belakang rumah, Remin mengajak Berna duduk di bawah pohon

apel sambil menikmati secangkir teh hangat dan beberapa potong biskuit.

“Remin, sudah

berapa lama kau bekerja di keluarga ini?” tanya Berna setelah dia menggigit

biskuit.

“Rasanya hampir

seumur hidup,” jawab Remin dengan senyuman.

“Kau tidak mau

pensiun?”

“Saya lebih suka

bekerja ketimbang harus duduk santai di rumah.”

“Kau punya

istri?”

“Dia sudah

meninggal dua tahun lalu.”

“Maaf aku tidak

bermaksud...,”

“Tak apa. Saya

masih punya dua orang anak lelaki. Walau mereka sekarang sudah memiliki

keluarga masing-masing.”

Berna hanya

mengangguk.

“Tuan sendiri

bagaimana?”

“Entah lah. Aku

tidak tahu siapa orang tuaku. Yang jelas aku dibesarkan di panti asuhan itu.”

Mereka berdua

saling terdiam.

“Remin, bolehkah

aku mengatakan kalau aku tidak menginginkan hidup begini? Maksudku, aku tidak

pernah menginginkan diadopsi oleh keluarga bangsawan,” kata Berna yang memecah

keheningan.

“Terkadang,

hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan. Semua yang kita cintai belum

tentu akan kita dapatkan, Tuan.”

“Beruntung aku

sekarang mendapatkan seorang teman.”

“Dan Tuan akan

bertemu dengannya besok?”

“Ya. Tapi aku

ingin memberinya hadiah.”

“Teman Tuan itu,

laki-laki apa perempuan?”

“Perempuan. Dia

seusiaku.”

“Saya sarankan

lebih baik tuan memberinya sweter dari bulu domba.”

“Aku tidak punya

uang.”

“Tak perlu uang.

Yang perlu Tuan lakukan adalah berjalan ke bangunan cokelat di sebelah sana dan

minta kepada tukang jahit untuk membuatkan sebuah sweter berbulu domba,” Remin

menunjuk ke sebuah bangunan cokelat yang ada dua sebelah selatan rumah.

Selain bahan

pangan, keluarga Rombepayung juga memproduksi pakaian mereka sendiri. Mereka

jarang sekali membeli pakaian di luar kalau memang tidak ada kepentingan

membelinya. Jadi mereka mempunyai tukang jahit sendiri.

Berna lalu

berjalan ke bangunan cokelat yang mirip sebuah rumah kecil. Ketika dia membuka

pintu, terlihat ada seorang pria kurus dengan rambut hampir memutih dan memakai

kacamata sedang mengukur kain di sebuah meja. Sebuah pita pengukur dia kaitkan

di lehernya. Sesekali dia pakai pita pengukur itu di atas bahan kain lalu dia

tandai hasil ukurnya dengan kapur jahit. Pria itu lalu melihat ke arah Berna

yang baru saja menutup pintu.

“Ah, Tuan Berna.

Selamat datang. Perkenalkan, nama saya Jonan. Anda mau dibuatkan baju?” sapa Jonan.

“I...iya,” Berna

malah gugup.

“Baju seperti

apa yang ingin Anda buat?” Jonan mendekati Berna kemudian dia menarik pita ukur

di lehernya.

“Bukan untukku,

tapi untuk temanku,” Berna mengangkat kedua tangannya.

“Hem, sebaiknya

teman Anda suruh datang ke sini. Biar saya ukur.”

“Kebetulan dia

tinggalnya jauh. Aku hanya ingin memberi dia hadiah.”

“Tinggi badannya

berapa, Tuan?”

“Aku tidak tahu.

Tapi dia tingginya sama denganku.”

“Ukuran badan?”

“Aku rasa ideal.

Tidak gemuk dan juga tidak kurus.”

“Laki-laki atau

perempuan?”

“Perempuan.”

“Ah, I see,”

Jonan mengangguk-angguk lalu melanjutkan, “Jadi baju seperti apa yang ingin

Anda berikan untuk teman Anda itu?”

“Aku rasa sweter

dari bulu domba.”

“Ah, pilihan

yang bagus,” Jonan menjentikkan jari sambil mengedipkan satu mata.

Jonan lalu mengukur

Berna. Mulai dari lingkaran dada, pinggang, panjang bahu, lengan dan panjang

badan dari bahu ke pinggang. Setelah itu Jonan mengambil beberapa pola baju

yang terbuat dari kertas karton yang cukup tebal.

“Ini pola

bajunya tuan. Sebentar saya akan ambil bahan kain dari bulu dombanya,” Jonan

lalu masuk ke sebuah ruangan.

Selama Jonan

pergi mengambil bahan kain, Berna melihat-lihat isi ruangan ini yang di

dindingnya dipenuhi oleh pola baju yang digantung. Meja besar untuk memotong

kain, dan ada empat mesin jahit yang digerakkan secara manual dengan kaki.

Sekitar lima menit Jonan keluar sambil menenteng satu gulung bahan yang

berwarna merah muda.

“Tuan, aku

menemukan sisa bahan kain yang terbuat dari bulu domba. Wananya merah muda jadi

cocok untuk teman Tuan,” kata Jonan sambil menggelar sisa bahan kain itu di

atas meja.

“Apa kau bisa

selesaikan dalam sehari? Sebab besok pagi aku akan bertemu dengannya. Tapi jika

tidak bisa, jangan dipaksa,” Berna tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya.

“Sore nanti juga

sudah selesai, Tuan,” balas Jonan dengan tersenyum.

“Tolong buatkan

sweter yang paling bagus,” Berna sedikit membungkuk.

“Tak perlu

membungkuk begitu, Tuan,” Jonan malah merasa tidak enak melihat Berna

membungkuk.

Menjelang sore,

Berna sibuk membaca buku tuanya. Bahkan di bagian tertentu, dia mengulangi

membaca agar lebih memahami. Beberapa kali dia praktikkan ilmu alkemis yang dia

pelajari. Bahkan, dengan kepintarannya, dia berhasil menguasai teknik yang

tidak diajarkan di buku tua itu.

Tak berapa lama,

terdengar seseorang mengetuk pintu. Dengan cepat Berna menyembunyikan buku

tuanya di bawah ranjang dan membuka pintu. Ternyata yang mengetuk adalah Jonan.

Dia tersenyum sambil menyodorkan sebuah sweter berwarna merah muda yang sudah

terlipat rapi.

“Ini sweter yang

Anda pesan, Tuan,” kata Jonan.

Berna mengambil

sweter itu lalu membuka lipatannya. Matanya berbinar karena sweter ini ternyata

jauh lebih bagus dari ekspektasinya.

“Jonan, ini

bagus sekali. Terima kasih,” tiba-tiba Berna memeluk Jonan.

“Itu sudah jadi

tugas saya, Tuan. Membuatkan baju terbaik untuk keluarga Rombepayung.”

Seketika Berna

merasa bersyukur bahwa takdir sudah mempertemukannya dengan keluarga yang

sangat baik. Walau bukan keluarga kandung, tapi dia mulai mencintai semua orang

yang ada di rumah ini. Dia akan menceritakan semuanya kepada Ellie besok. Tak

sabar dia ingin bertemu dan menatap wajah Ellie lagi setelah beberapa hari

tidak bertemu. Pipinya malah memerah ketika dia membayangkan wajah Ellie yang

sedang tersenyum manis.

“Ellie, aku

punya hadiah yang cocok untukmu,” ucapnya dalam hati.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!