Alasan

Malamnya, Berna tidak bisa tidur. Bukan karena dia terkena insomnia. Melainkan karena hatinya terlalu banyak memproduksi kebahagiaan sehingga otaknya membayangkan pertemuannya dengan Ellie besok. Tetapi dia berusaha untuk tidur. Walau tidurnya tidak nyenyak sehingga dia terbangun selepas subuh ketika matahari belum terbit.

Berna bergegas mandi dan memakai pakaian biasa. Ketika turun untuk sarapan, Marudi dan Merna terkejut karena anak angkatnya tidak memakai pakaian yang sudah disediakan oleh Jonan.

“Sayang, kenapa kamu memakai pakaian biasa?” tanya Merna sambil merangkul bahu Berna.

“Ibu, aku tidak mau ada pembeda antara aku dan Ellie,” jawab Berna.

“Anak yang cerdas,” sahut Marudi.

“Sebelum pergi, kamu sarapan dulu, ya? Ada roti dan selai cokelat,” ucap Merna.

Berna mengangguk lalu menyantap sarapannya bersama kedua orang tua angkatnya. Tak berapa lama seorang pembantu perempuan datang dengan bekal yang ditaruh di dalam kotak kayu yang cukup besar dan dibungkus oleh kain berwarna merah tua.

“Ini bekal yang Anda minta, tuan,” ucap seorang pembantu perempuan itu.

“Terima kasih,” Berna tersenyum manis.

"Ibu yang masak semur daging untuk kalian berdua,” Merna tersenyum menatap Berna.

“Terima kasih, ibu. Maaf awal-awal aku tidak mengakui kalian. Sebab, ini terlalu mendadak untukku.”

“Tak apa. Itu hal yang wajar,” kata Marudi.

Setelah sarapan, Remin sudah siap dengan kereta kudanya. Berna bergegas berpamitan dengan Marudi

dan Merna. Dia membawa tasnya yang berisi bekal makanan dan juga sweter untuk Ellie sebagai hadiah. Ketika Berna naik, Remin langsung memaju kudanya sehingga kereta pun berjalan pelan menuju pintu gerbang rumah dan berbelok ke kanan.

“Tuan, jam berapa Anda selesai bertemu dengan teman Anda?” tanya Remin sambil mengemudikan kereta kuda.

“Mungkin siang atau sore. Apa itu terlalu lama?” Berna bertanya balik.

“Tidak Tuan. Saya hanya ingin memastikan saja agar saya tidak khawatir.”

“Kalau begitu sore saja. Nanti aku sendiri yang akan menemuimu di kedai.”

“Baiklah Tuan,” Remin mengangguk.

Sekitar setengah jam, mereka sampai di kedai yang letaknya di tengah pasar desa. Suasana di hari minggu begitu ramai. Para pedagang menggelar dagangannya di sepanjang jalan utama. Remin berhenti di sebuah kedai lali memarkirkan kereta kuda dan menautkan tali agar kuda tidak ke mana-mana.

“Anda mau langsung ke sana?” tanya Remin setelah membukakan pintu.

“Aku langsung saja,” jawab Berna.

“Kalau begitu saya tunggu di kedai sambil minum kopi dan mengobrol dengan orang-orang.”

Berna lalu berjalan ke taman desa yang jaraknya mungkin lima ratus meter. Sesampainya di sana, keadaan sepi. Berna lalu duduk di ayunan dan menunggu Ellie datang sambil mendekap tasnya. Sudah setengah jam Berna menunggu. Dia malah cemas dan kini wajahnya mulai terlihat sedih. Tetapi tiba-tiba, ada yang menepuk pundaknya.

“Berna,” ucap seseorang yang menepuk pundaknya.

Berna menengok ke belakang dan melihat sosok yang ingin dia temui.

“Ellie, aku kira kamu tidak jadi datang,” Berna bangkit beridir.

“Kita kan sudah janji.”

Tak menunggu waktu lama, Berna membuka tasnya lalu menyodorkan sebuah sweter yang terlipat rapi.

“Ini untukmu,” Berna menunduk malu dengan pipi agak memerah.

“Eh, apa ini?” tanya Ellie yang binung.

“S...sweter merah muda dari bulu domba.”

Ellie mengambil sweter itu lalu membuka lipatannya dan melihatnya secara seksama. Seketika matanya berbinar karena baru pertama kali dia memegang sweter sebagus ini.

“Berna, sweter ini bagus sekali. Sungguh ini untukku?” tanya Ellie seolah dia tidak percaya sweter tersebut untuknya.

“Tentu saja ini untukmu. Sweter itu dibuat oleh tukang jahit keluarga Rombepayung.”

“Sekarang kamu sudah jadi bagian keluarga bangsawan,” Ellie tersenyum manis.

“Sebenarnya aku hanya anak angkat. Tidak ada yang istimewa, Ellie.”

“Kau harus bersyukur. Ini takdirmu.”

Berna mengangguk dengan tersenyum.

“Aku bawa apa dalam tasmu?” Ellie menunjuk ke tas Berna.

“Ah, aku bawa makanan,” jawab Berna sambil mengeluarkan makanan yang dibungkus kain warna

merah tua.

“Makanan bangsawan,” mata Ellie kembali berbinar.

“Kau mau mencobanya?”

Ellie mengangguk.

Berna mengajak Ellie duduk di tanah dan membuka bungkusan makanan itu. Terlihat rantang yang terbuat dari kayu. Berna membuka rantang itu dan dia tak menyangka isinya banyak sekali. Dan juga ada satu termos yang berisi teh hangat.

“Wah, banyak sekali.”

Ellie mencoba semur daging dan seketika matanya berbinar sambil sedikit berurai air mata. Dia terharu karena baru kali ini makan makanan seenak ini.

“Ini enak sekali,” ucap Ellie sambil mengunyah.

“Telan dulu baru bicara,” Berna tertawa kecil.

“Berna, apa kau tidak malu sekarang berteman denganku?”

Berna menelan makanannya lalu menjawab, “Aku ingin berteman dengan siapa pun. Aku ingin dianggap oleh siapa pun.”

“Sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Keluarga bangsawan itu sekarang menganggapmu ada.”

“Iya. Tapi entah kenapa aku lebih suka berteman denganmu, Zaru, Weda dan Nandi.”

“Kamu ini aneh.”

Berna hanya tersenyum.

Setelah Berna dan Ellie kenyang, tak disangka-sangka Zaru, Weda dan Nandi datang. Mereka langsung menghampiri Berna dan Ellie.

“Wah wah wah, kalian makan tidak mengajak kami,” kata Zaru dengan tatapan tajam ke arah Berna.

“Silakan kalian cicipi makanannya,” Berna mengangkat satu rantang yang berisi goreng ikan pedas manis.

“Serius kami boleh mencicipinya?” tanya Nandi.

“Hus! Tunggu perintah dari Zaru dulu,” Weda menepuk kepala Nandi.

Zaru diam sejenak melihat makanan itu. Dia kemudian mengambil satu potong daging ikan dan mulai memasukkannya ke dalam mulut. Seketika matanya melotot karena terkejut. Zaru juga sama seperti Ellie. Dia baru pertama kali makan makanan seenak ini.

“Enak,” kata Zaru dengan nada pelan.

“Aku mau coba,” Weda mencomot satu potong daging.

“Aku juga mau coba,” Nandi juga mencomot satu potong daging.

Ketika Weda dan Nandi mengunyah, tiba-tiba mata mereka berdua berbinar.

“Ini enak sekali,” ucap Weda dan Nandi hampir secara bersamaan.

“Syukurlah kalau kalian menyukainya,” Berna tersenyum lebar.

“Semua orang bakal suka kalau makanannya seenak ini,” ucap Weda sambil mencomot satu potong

daging lagi.

“Benar apa yang dikatakan oleh Weda,” Nandi juga mencomot satu potong daging lagi.

“Aku tidak menyangka kau sekarang diadopsi oleh keluarga bangsawan.”

“Kau orang kaya sekarang,” sahut Nandi.

“Jangan memujinya,” Weda menepuk kepala Nandi lagi.

“Aduh! Iya maaf,” Nandi mengusap kepalanya karena merasa sakit setelah ditepuk oleh Weda.

Berna menjelaskan, “Yang kaya itu orang tua angkatku. Sementara aku masih sama seperti yang dulu.”

Berna dan Zaru lalu saling menatap. Setelah beberapa saat, Zaru menutup mata kemudian dia berbalik untuk pergi.

“Kakak, kau mau ke mana?” tanya Ellie.

Zaru berhenti kemudian dia melirik ke belakang dan berkata, “Ellie, minggu depan penagih hutang akan datang lagi. Aku harus membantu ayah dan ibu berjualan di pasar agar bisa membayarkan hutang.”

“Biar aku bantu,” kata Berna sambil bangkit berdiri.

“Kami bisa atasi masalah keluarga kami sendiri. Orang luar lebih baik diam saja,” tepis Zaru kemudian dia pergi.

“Ayo Nandi kita bantu Zaru,” kata Weda.

“Ta...tapi,” Nandi melihat Berna tapi kemudian dia juga pergi.

Setelah kepergian mereka bertiga, Ellie lalu menatap Berna dengan senyum manis.

“Terima kasih kau mau membantu,” kata Ellie.

“Aku memang ingin membantu.”

“Berteman denganku saja, itu sudah membantu. Lebih baik, kita tidak usah ikut campur masalah keluarga. Hubungan kita cukup berteman saja.”

“Tapi....”

Ellie menggelengkan kepala lalu berkata, “Berna, tidak semua masalah bisa kita bantu. Terkadang kita cukup tahu dan jadi pendengar. Tidak perlu ikut campur.”

Berna lalu terdiam sambil menundukkan kepala dengan wajah yang sedih.

“Hei, tak perlu sedih. Berbanggalah. Kini kamu sudah diakui. Apalagi yang kamu inginkan?”

“Hanya satu yang aku inginkan dan masih belum tercapai.”

“Apa itu?”

“Diakui oleh Zaru.”

“Bukankah kamu punya banyak teman di panti asuhan?”

“Mereka tidak pernah menganggapku.”

“Bukannya Zaru juga sering merundungmu?”

“Tapi alasan mereka berbeda dengan alasan teman-teman dan Erma si pengasuh.”

“Alasan?”

“Itu karena aku jadi anak yang pintar. Mereka iri. Tetapi aku juga tidak pernah meminta menjadi anak yang pintar. Aku pun tidak pernah meminta menjadi anak adopsi keluarga bangsawan Rombepayung.”

“Jadi selama ini kau hanya ingin teman yang tulus?”

Berna mengangguk.

“Kalau begitu,” tiba-tiba Ellie memeluk erat Berna sambil memejamkan mata.

“Ellie, apa yang kau lakukan?” Berna merasa malu dan kaget.

“Izinkan aku menjadi temanmu yang tulus.”

“Ellie,” Berna terdiam tapi kemudian, dia juga memeluk Ellie.

“Aku berjanji akan membantumu Ellie. Terserah kau mau bilang apa. Aku akan tetap membantumu. Karena kau orang satu-satunya dan pertama yang menganggapku bahkan memujiku.”

Entah kenapa, Berna merasakan sesuatu terjadi pada Ellie. Di bahunya, terasa basah. Ellie menangis di dalam pelukannya. Tangisannya sangat dalam sekali. Tanpa ditanya pun, Berna sudah paham bahwa Ellie memendam rasa sedih sudah lama.

“Keluarkan semua, Ellie,” ucap Berna sambil terus memeluk Ellie.

Ellie menangis hebat. Air matanya terus mengalir.

“A...aku tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Keluargaku terlilit hutang dari orang paling jahat di desa. Minggu depan, penagih hutang akan datang. Dan jika tidak bisa dibayar, kami semua akan diusir,” kata Ellie sambil menangis tersedu-sedu.

“Ellie,” Berna semakin erat memeluk Ellie, “Percayalah, aku akan membantumu.”

Kemudian Ellie melepaskan pelukannya dan Berna menghapus air mata yang membasahi pipi Ellie.

“Terima kasih,” Ellie tersenyum manis.

Berna pun tersenyum. Mereka lalu berpisah dan berjanji akan bertemu lagi minggu depan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!