Kamar Baru

Selepas subuh

Berna sudah bersiap dengan memakai jas dan dasi. Semua pakaian dan

barang-barangnya juga sudah dia masukkan ke dalam koper. Buku tua bertuliskan

“Ethias” pun tak lupa dia bawa. Tepat pukul delapan pagi, terdengar derap

langkah kaki kuda. Marudi dan Merna langsung disambut oleh Erma.

“Kau tampan

sekali,” puji Merna ketika melihat Berna sudah rapi.

“Sebentar lagi

kau akan punya kamar baru,” sahut Marudi.

“Mari silakan

duduk. Saya sudah siapkan berkas-berkas perjanjian adopsi untuk

ditandatangani,” kata Erma sambil mempersiapkan kursi. Dia lalu membuka sebuah

amplop besar dan mengeluarkan beberapa berkas-berkas dokumen.

Marudi dan Merna

membaca dengan seksama isi dari berkas perjanjian itu. Kemudian mereka

mengangguk dan Marudi mencabut sebuah pena dari saku jasnya. Dengan cepat dia

menandatangani berkas-berkas itu.

“Terima kasih,

Erma,” ucap Marudi.

Erma hanya

mengangguk kemudian dia memasukkan berkas-berkas itu kembali ke dalam amplop.

Kemudian dia memanggil Berna.

“Sekarang, kamu

bagian dari keluarga Rombepayung,” kata Erma sambil tersenyum. Tentunya

senyumannya palsu.

Berna hanya

teridam karena dia bingung harus berekspresi apa.

“Kalau begitu,

kami pamit,” Marudi berdiri dan menyalami Erma. Begitu juga dengan Merna.

“Ayo ucapkan

selamat tinggal pada Erma dan teman-temanmu,” kata Erma sambil memegang bahu

Berna.

“Se...selamat

tinggal teman-teman dan juga, Erma,” ucap Berna dengan nada rendah.

Semuanya terdiam

kemudian Marudi dan Merna berpamitan. Berna pun ikut mereka berdua berjalan

melewati pintu yang disambut oleh seorang kusir yang usianya sudah senja dengan

rambut memutih.

“Biar saya yang

bawa koper Tuan Berna,” kata kusir itu sambil mengangkat koper Berna dengan

sopan.

Mendengar “Tuan

Berna” membuat Erma semakin membenci Berna. Dia merasa iri dengan Berna.

“Ayo naik,” kata

Marudi.

Berna lalu naik

di belakang. Dia baru pertama kali naik kereta kuda dan baru pertama kali pula

merasakan jok yang dibalut dengan kain sutera berwarna merah cerah yang sangat

mewah. Begitu nyaman ketika dia duduk.

“Selamat

tinggal,” ucap Erma sambil melambaikan tangan.

Kusir itu

kemudian mengepakkan tali yang kemudian kedua kuda yang menariknya mulai

berjalan. Kereta pun melaju pelan menyusuri jalanan desa menuju kawasan elite.

Tak sampai setengah jam mereka sampai di sebuah gerbang besar di mana di depan,

berjejer rumah-rumah besar dan mewah milik para bangsawan. Kusir itu meminta

dua orang petugas penjaga gerbang untuk membuka gerbang. Ketika gerbang

terbuka, kereta mulai berjalan kembali. Karena kereta kuda ini kapnya dibuka,

jadi dengan leluasa Berna bisa melihat deretan rumah besar dan mewah di depan.

“Selamat datang

di kawasan elite para bangsawan, Nak,” kata Marudi sambil tersenyum menatap

Berna.

“”A...aku tidak

tahu harus berkat apa,” Berna salah tingah.

“Hahaha, kamu

polos sekali,” Erma tertawa.

“Mulai sekarang,

kamu boleh panggil kami ayah dan ibu,” Marudi mengusap rambut Berna.

“Boleh aku

bertanya sesuatu?” kata Berna.

“Tentu saja,”

balas Marudi.

“Maaf jika

pertanyaanku menyinggung. Tapi apa kalian tidak punya anak?” tiba-tiba jantung

Berna berdetak cepat. Dia takut pertanyaannya bisa membuat marah Marudi dan

Merna.

“Kami dulu

punya. Tetapi dia meninggal karena sakit,” jawab Merna.

“Maaf membuat

kalian teringat anak kalian,” Berna menundukkan kepala.

“Tak apa, Nak.

Wajar kau bertanya begitu,” kali ini Marudi memeluk Berna.

Mereka lalu

sampai di sebuah pintu gerbang rumah mewah dengan cat warna kuning krem. Pintu

gerbang itu dibuka oleh seorang tukang kebun yang memakai topi bundar. Lalu kereta

kuda itu melewati taman bunga yang terdapat air mancur dengan patung seperti

seorang peri berwarna hitam.

Kereta kuda itu

berhenti di depan pintu ganda depan rumah. Tak berapa lama pintu itu dibuka

oleh dua orang pembantu yang berpakaian hitam dengan celemek warna putih.

“Selamat datang

kembali Tuan dan Nyonya,” sapa mereka hampir bersamaan.

Kusir itu turun

dan membuka pintu kereta kuda.

“Silakan turun,”

ucapnya dengan sopan.

Setelah turun,

Berna diajak masuk dan begitu berbinar matanya melihat ruang keluarga yang

besar dan megah. Di atasnya tergantung lampu gantung besar yang berkilau

cahayanya. Seperti melihat berlian yang menggantung di langit-langit. Selain

itu, Berna juga mencium bau harum dari rumah ini yang semerbak. Harum yang

belum pernah dia cium sebelumnya.

“Kamarmu ada di

atas,” kata Marudi sambil berjalan menaiki tangga yang ada di depan.

“Sayang, aku mau

masak dulu bersama para pembantu kita,” ucap Merna sambil berjalan ke dapur

bersama dua pembantu tadi yang membuka pintu.

“Baiklah,

sayang,” balas Marudi.

“Kopernya biar

saya yang bawa,” sahut si kusir sambil berjalan mendekati tangga.

“Tak apa, Paman.

Biar aku saja yang bawa,” Berna mengambil kopernya.

Marudi tersenyum

kemudian dai berkata, “Kau istirahat saja, Remin.”

“Tapi saya masih

kuat bawakan koper Tuan Berna ke atas.”

“Sudah, kau

istirahat. Terima kasih untuk hari ini.”

Remin mengangguk

lalu dia pamit untuk beristirahat di kamarnya.

“Ayo Berna kita

ke kamarmu,” ajak Marudi.

Mereka berdua

lalu sampai di sebuah pintu. Ketika Marudi membukanya, terlihat sebuah ruangan

besar yang terdapat ranjang, lemari, meja belajar, dan jendela yang langsung

menghadap ke halaman depan rumah.

“Mulai hari ini,

ini adalah kamarmu,” Marudi memegang pundak Berna.

Berna tak mampu

bekata-kata lagi. Dia begitu terpesona dengan kamar barunya yang mewah. Bahkan

ketika dia duduk di kasur, dia merasakan seperti di awan. Sangat empuk dan

nyaman.

“Kamu bisa

simpan pakaian di lemari pakaian dan barang-barangmu di meja belajar. Kalau mau

main ke luar, izin dulu sama Vesta, tukang kebun tadi yang buka pintu gerbang,”

Marudi lalu pamit dan menutup pintu kamar.

Berna langsung menyimpan

pakaiannya di lemari pakaian. Dan barang-barang pribadinya di laci meja

belajar. Buku tua alkemisnya dia simpan rapi di bawah ranjang. Kemudian dia

teringat dengan Ellie. Hari minggu masih beberapa hari lagi. Berna pun berpikir

untuk memberi hadiah untuk Ellie.

“Mungkin, Zaru,

Weda dan Nandi akan mau berteman denganku kalau mereka melihat keadaanku

sekarang,” ucap Berna.

Jam makan siang

sudah tiba. Pintu kamar Berna tiba-tiba ada yang mengetuk. Ternyata itu Marudi

mengajak untuk segera ke ruang makan. Berna bergegas turun setelah dia berganti

baju. Ketika masuk ke ruang makan, Berna kembali terpesona dengan megah dan

mewahnya meja, kursi, dan alat-alat makan yang ada di atas meja. Di sana sudah

ada Marudi dan Merna yang sedang duduk siap untuk makan siang.

“Ayo kita makan

siang,” ajak Marudi.

Dengan malu-malu

Berna duduk dan di depannya sudah ada satu buah piring yang diletakkan secara

terbalik. Sendok dan garpu ada di sisi kiri dan kanan piring yang terbalik itu.

Tak berapa lama seorang pembantu perempuan datang dan membalikkan piring itu

dan mengisinya dengan satu centong nasi.

“Apa Anda mau

tambah nasi lagi, Tuan?” tanya pembantu perempuan itu.

“Sudah cukup

nanti aku sendiri yang ambil kalau tambah,” Berna mengangkat tangan.

“Ayo kau pilih

lauk yang kamu suka,” kata Merna dengan senyuman hangat.

Seketika Berna

bingung. Di depannya banyak sekali makanan enak dan mewah. Semur daging sapi,

ikan bakar, sup sayuran, dan buah-buahan segar. Karena Berna lama berpikir, Merna

menciduk semur daging sapi dan menuangkannya di atas nasi milik Berna.

“Makan yang

banyak,” ucap Marudi.

Berna mengambil

sendok lalu menciduk nasi dan sedikit potongan daging. Kemudian dia masukkan ke

mulutnya. Ketika nasi dan potongan daging yang berpadu dengan kuah itu memenuhi

mulutnya, Marudi merasa bahagia. Belum pernah dia makan makanan seenak ini.

“Enak,” ucap

Berna sambil terus mengunyah.

Marudi dan Merna

yang mendengarnya merasa senang.

“Senin depan,

kau akan mulai bersekolah, Nak,” kata Marudi setelah dia menelan makanannya.

“Aku akan pergi

ke sebuah sekolahan?”

“Tidak, tetapi

guru akan datang ke rumah,” Merna menggelengkan kepala.

“Jadi aku tidak

akan bertemu banyak teman?”

“Kau bisa

berteman dengan anak-anak di kawasan ini,” jawab Marudi.

Berna terdiam

dan melanjutkan makannya. Marudi dan Merna pun tak berkata-kata lagi. Mereka

tahu Berna harus lebih beradaptasi lagi di lingkungan barunya. Terlebih lagi,

lingkungan barunya ini sangat berbeda jauh daripada lingkungan sebelumnya.

“Aku punya

teman,” kata Berna setelah beberapa saat mereka tidak bicara dan hanya lanjut

makan.

“Di mana

teman-temanmu?” tanya Marudi.

“Di desa. Apa

aku boleh bertemu dia di hari minggu?”

“Boleh. Nanti

Remin yang akan mengantarmu,” sahut Merna.

“Tak apa. Aku

bisa jalan kaki ke sana,” timpa Berna.

“Sayang, jalan

kaki ke sana itu memakan waktu. Tak apa. Biar Remin yang akan mengantarmu

bertemu temanmu itu,” Merna tersenyum dan menatap Berna.

Berna tak bisa

beralasan lagi. Tetapi dia juga tidak mau terlihat mencolok apalagi di depan

Ellie. Dia ingin dikenal Ellie sebagai Berna yang dulu, bukan Berna yang

sekarang. Dia tidak mau ada batas antara dirinya dengan Ellie.

“Ayah, Ibu, apa

aku boleh bawa hadiah untuk temanku?” pinta Berna.

“Tentu sayang,

kau mau kasih hadiah apa dia?” tanya Merna.

“Cukup bawakan

makanan ini. Aku ingin makan bersama dia di taman desa.”

“Nanti pembantu

akan menyiapkannya untukmu dan temanmu itu,” kata Marudi.

“Terima kasih,”

Berna mengangguk dan sedikit membungkuk walau dia sedang duduk.

Hati Berna

berasa seperti bunga yang bermekaran. Bahkan dia tak sabar ingin segera bertemu

Ellie. Dan juga dia berharap bertemu dengan Zaru, Weda, dan Nandi.

“Ellie, tak

sabar rasanya ingin bertemu denganmu,” ucap Berna dalam hati.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!