Tekad

“Sehar, senjata apa saja yang kau bawa?” tanya Ran ketika mereka sedang

dalam perjalanan menuju hutan gelap.

“Aku bawa pisau, dan busur panah,” jawab Sehar.

“Kau mahir menggunakan keduanya?”

“Pisau aku belum

pernah gunakan. Tetapi panah aku cukup mahir karena sering berburu dengan

ayahku.”

Tak perlu waktu

lama, mereka tiba. Sebelum masuk Sehar sempat merasa ragu. Keringatnya mulai

mengalir dari dahi hingga ke leher. Dan kemudian dia menelan ludah karena di

depannya, ada pepohonan besar, tinggi dan jalan setapak memasuki sebuah hutan

yang gelap dan berbahaya.

“Apa kau ragu?”

Ran melirik ke arah Sehar.

Sehar tak

menjawab. Dia malah mengusap keringat yang ada di dahinya.

“Jika kau ragu,

lebih baik kau pulang dan biarkan aku masuk sendirian ke hutan ini,” Ran

langsung melangkahkan kaki.

“Tu...tunggu,”

Sehar mengikuti Ran dari belakang.

Semakin masuk ke

dalam, keadaan semakin gelap. Sehar masih terus mengikuti Ran dari belakang.

Dia menghunus pisaunya dan memegangnya dengan kedua tangan untuk jaga-jaga.

Sementara itu Ran hanya diam sambil memperhatikan Sehar secara diam-diam.

“Sehar, kau

pernah bertarung sebelumnya?” Ran memulai percakapan saat mereka berdua

berjalan semakin dalam ke dalam hutan gelap.

“Belum. Kecuali

melawan babi hutan kecil,” jawab Sehar yang kedua tangannya masih erat memegang

pisau.

“Lalu?”

“Aku berhasil

membunuhnya dengan satu tembakan anak panah.”

“Kau

memakannya?”

“Warga desa kami

tidak memakan babi.”

“Warga desaku

juga.”

“Kenapa kau

bertanya begitu?”

“Karena sebentar

lagi kita akan bertarung melawan hewan yang kita tidak tahu wujudnya

bagaimana.”

Setelah berjalan

satu jam, Ran berhenti. Dia melihat-lihat ke kiri, kanan, depan, belakang, atas

dan bawah. Di sini tempat dia mendengar suara geraman kemarin. Dan di sini juga

ternyata terdapat banyak sekali pohon besar dan tinggi.

“Kau bisa

memanjat pohon?” tanya Ran sambil kepalanya terus menengadah ke atas.

“Itu mainan

sehari-hariku.”

Ran lalu

menurunkan tangan Sehar yang sedang memegang pisau. Sehar paham maksud Ran yang

menyuruhnya untuk memasukkan kembali pisaunya ke dalam sarung. Tak berapa lama,

tiba-tiba terdengar geraman dari arah jam dua. Di mana itu tempat semak belukar

yang tinggi. Dengan refleks Sehar memakai busur panahnya, mengambil satu anak

panah lalu membidik, menarik, dan melepaskan anak panah ke arah suara geraman

itu.

Anak panah

langsung melesat menembus semak belukar. Tetapi tidak terdengar suara apa pun.

Bahkan suara jeritan binatang kesakitan pun tidak terdengar.

“Refleksmu cukup

bagus,” puji Ran.

“Terima kasih.

Aku takut sebenarnya,” Sehar kembali mengusap keringat di dahinya.

“Begini, aku

punya strategi. Tapi aku perlu memastikan satu hal lagi.”

“Apa itu?”

“Kau pegang

pisaumu. Dan tetaplah berada di dekatku.”

“Baiklah.”

Sehar menghunus

pisaunya dan dia lebih dekat di belakang Ran. Sementara itu Ran hanya diam

tenang sambil memegang caping dari anyaman bambunya. Beberapa menit kemudian

suara geraman itu terdengar lagi. Asalnya masih dari dalam semak belukar yang

tinggi itu. Ran kemudian menirukan suara mendesis. Seketika suara geraman itu

semakin terdengar keras. Bahkan Sehar merasa telinganya mau pecah karena dia

ketakutan setengah mati mendengar suara geraman itu.

Mata Ran

langsung berubah menjadi tajam. Lalu dengan cepat, sesosok makhluk besar

seperti serigala berbulu perak, melesat ke arah Ran dan Sehar. Tetapi Ran tak

kalah cepat. Dia segera menghunus katananya. Cakar makhluk itu dan katana milik

Ran saling beradu dan gesekkan antara keduanya sangat nyaring terdengar. Tetapi

makhluk itu kembali melompat dan masuk lagi ke dalam semak-semak.

“A...apa itu

tadi?” mata Sehar melotot dan tangannya bergetar setelah dia melihat makhluk

besar itu. Walau hanya sekilas.

“Makhluk itu

lebih besar daripada perkiraanku,” kata Ran dengan tatapan yang tenang.

Tiba-tiba Sehar

terduduk ketakutan. Dia lalu memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Dia

mulai menangis karena saking takutnya.

“Aku mau

pulang,” rintih Sehar sambil menangis.

Ran sedikit

kecewa dengan Sehar. Dia sudah percaya kepada anak ini. Sebab Sehar memiliki

rasa yang sama dengannya. Yaitu dendam.

“Mana rasa

dendammu,” kata Ran sambil membelakangi Sehar.

“Apa maksudmu?”

Sehar bingung.

“Bukankah kau

mau membalaskan kematian ibumu?”

“Iya. Tapi

lawannya binatang raksasa. Aku tak bisa.”

“Seberapa pun

kuat lawanmu, jika tekad dan dendammu sudah memuncak, kau akan berani

melawannya meskipun kau akan kalah.”

“Apa gunanya

tekad kalau nanti akan kalah?”

“Tekadmu tidak

diukur dari hasilnya. Tapi bagaimana kuat kau menjalankan tekad itu.”

Sehar lalu

terdiam.

“Coba ingat lagi

apa yang dilakukan makhluk itu kepada ibumu.”

Sekali lagi,

Sehar terdiam. Otaknya tiba-tiba memutar balik ingatannya bersama ibu

tercintanya. Hingga meninggal diserang oleh hewan yang sekarang berada dekat di

sekitarnya. Ini adalah kesempatan untuk membalaskan perbuatan hewan tersebut

terhadap ibunya.

“Baiklah,” Sehar

mencoba bangkit.

Ran lalu

tersenyum tipis melihat tekad Sehar.

“Aku akan

jelaskan strategiku. Kau memanjatlah ke atas pohon. Cari sudut pandang yang

tepat untuk membidik anak panah,” jelas Ran.

Sehar

mengangguk. Dia langsung memanjat ke salah satu pohon dengan berpegangan ke

ranting-rantingnya. Ketika dia memanjat setinggi sepuluh meter, Sehar berpijak

ke ranting yang paling besar dan bersiap dengan busur panahnya.

“Jadi, apa yang

harus aku lakukan?” tanya Sehar ketika dia berdiri tegar dan kedua tangannya

bersiap dengan busur panah.

“Aku akan beri

tanda jika saatnya tiba untukmu membidik.”

“Bagian apa yang

harus aku bidik?”

“Kaki. Kau bisa

kan?”

Sehar mengangguk

lalu menjawab, “Aku coba.”

Ran lalu kembali

menirukan suara mendesis. Tak berapa lama suara geraman itu terdengar lagi.

Sehar langsung bersiap dengan busur panahnya. Ran terdiam tenang. Ketika suara

geraman itu semakin jelas terdengar, dengan cepat makhluk itu melesat lagi dan

Ran pun tak kalah cepat menghunus katananya dan beradu dengan cakar makhluk

itu.

Kali ini,

makhluk itu tidak masuk ke dalam semak lagi. Tetapi dia berbalik dan melihat

Ran dengan tatapan yang mengerikan. Tubuhnya setinggi dua meter lebih. Mirip serigala.

Bulunya perak, matanya merah menyala, di dalam mulutnya, keluar asap berwarna

merah. Taringnya panjang seperti singa, dan cakarnya, tebal dan tajam seperti

pisau.

“Besar sekali,”

ucap Sehar dalam hati.

Makhluk itu lalu

melesat menyarang Ran dengan cakar sebelah kanannya. Tetapi Ran melompat dan

mengayunkan katananya secara horizontal yang mengenai taring makhluk itu.

Seketika makhluk itu terpental ke belakang dan menghantam pohon besar.

Ran lalu

mengangkat tangan pertanda Sehar harus membidik. Dengan sigap Sehar membidik ke

arah kaki makhluk itu. Anak panah pun melesat tetapi sayangnya meleset.

“Sial!” teriak

Sehar.

“Kita coba

lagi,” kata Ran.

Makhluk itu

bangkit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian makhluk itu melihat ke

arah Sehar dan berlari melewati Ran dan dengan cepat memanjat ke atas pohon.

Sehar tahu dia akan diserang oleh makhluk itu. Sehar malah berteriak ketakutan.

Tetapi dengan cepat tiba-tiba Ran muncul di depan Sehar dan ketika makhluk itu

menyerang dengan cakar kirinya, Ran langsung menahan dengan katananya.

“Sehar, lompat!”

kata Ran.

“Tapi ini

terlalu tinggi,” Sehar ragu.

“Lompat saja.”

Sehar berteriak

lalu dia melompat. Sekitar satu meter sebelum menghantam tanah, tiba-tiba Ran

melesat dan menangkap Sehar lalu berlari bersembunyi di balik semak-semak.

“Bagaimana bisa

kau berpindah tempat dengan cepat?” tanya Sehar ketika mereka bersembunyi.

“Aku belajar

mengendalikan aliran tenaga dalam,” jawab Ran.

“Lalu, bagaimana

rencana kita selanjutnya?”

Ran mulai

berpikir. Sepertinya jika Sehar di atas pohon sekalipun, makhluk itu akan bisa

menyerang.

“Begini saja.

Kau bersembunyi di balik semak-semak ini. Jika aku memberi tanda, kau menembak

dengan panah. Setelah menembak, kau cari tempat lain untuk membidik. Pokoknya

setelah menembak, kau cari tempat berbeda-beda tetapi masih di dalam

semak-semak.

“Baik,” Sehar

mengangguk.

Setelah Sehar

bersembunyi, Ran keluar dari semak-semak. Dia lalu melempar caping yang terbuat

dari anyaman bambunya ke tanah. Makhluk itu melihat Ran dan menggeram. Badannya

bergetar lalu berlari menyerang dengan cakar kanannya. Ran menghunus katananya

dan menahan. Tetapi dia langsung melompat lalu menebas taring makhluk itu

hingga terpental.

Setelah Ran

mendarat di tanah, dia mengangka tangan. Sehar langsung membidik dan anak panah

pun melesat. Kali ini tembakannya tidak melesat. Anak panah itu tepat menancap

di kaki belakang sebelah kanan makhluk ini yang membuat makhluk itu menggeram

kesakitan.

“Bagus!” ucap

Ran sambil mengangkat jempol.

“Yes!” Sehar

mengepalkan tangan kanannya.

Sehar lalu

berjalan secara sembunyi-sebunyi ke tempat berbeda.

Makhluk itu kini

berjalan tertatih-tatih. Tetapi dia masih bisa berlari dan menyerang Ran dengan

cakar kirinya. Tetapi sekali lagi Ran menahan. Dia lalu memutar ke kanan sambil

menebaskan katananya. Tetapi makhluk itu menahan dengan cakar kanannya. Ran lalu

melompat ke belakang. Makhluk itu juga melompat dan menyerang dengan cakar

kanannya. Ran menghindar ke kanan lalu berlari dengan cepat ke belakang makhluk

itu. Dia memasukkan katananya ke dalam sarung lalu menarik ekor makhluk itu dan

membantingnya.

Sehar langsung

membidik ketika Ran mengangkat tangan kanannya. Anak panahnya melesat dan

mengenai kaki belakang sebelah kiri. Sehar langsung mencari tempat lain untuk

membidik.

Makhluk itu

berdiri tetapi tidak bisa karena kedua kaki belakangnya kini sudah tertancap

anak panah. Tetapi secara tiba-tiba, anak panah itu keluar sendiri dan luka di

kedua kaki belakang makhluk itu tiba-tiba kembali sembuh.

“Apa?” ucap Ran.

“Kenapa bisa?”

Sehar matanya melotot.

Kini makhluk itu

menggeram lalu melolong dengan sangat keras. Bulunya yang perak berbuah menjadi

hitam pekat. Tubuhnya menyusut dan berubah menjadi manusia serigala yang

tingginya sama seperti Ran.

“Makhluk apa dia

itu?” tanya Ran dalam hati.

Manusia serigala

itu menatap tajam ke arah Ran. Sepertinya, dia berubah ke wujud aslinya. Dan

Ran merasa manusia serigala itu jauh lebih kuat.

“Baiklah, kita

mulai pertarungan yang sesungguhnya,” kata Ran sambil bersiap dengan katananya.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Abri Yanto

Abri Yanto

makin seru Thor ok dilanjut

2024-05-07

0

Lauraaa♑️

Lauraaa♑️

Saya sudah menunggu lama, cepat update lagi thor, please! 😭

2024-02-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!