Gaduh

Di kedai yang cukup ramai, Remin sedang duduk menikmati kopi pahit dan sepotong kue. Dia duduk santai sambil membaca koran di dekat jendela kedai. Begitu serius dia membaca berita yang sedang terjadi belakangan ini. Sesekali dia teguk kopi dan memakan kue itu dengan sendok. Tak berapa lama, Berna datang. Remin terkejut sebab Berna sudah menemuinya ketika waktu jam makan siang. Berna terlihat agak murung ketika dia duduk di depan Remin.

“Kenapa Tuan? Kenapa wajah Anda terlihat murung begitu?” tanya Remin sambil melipat koran.

“Tidak apa-apa, Remin,” jawab Berna.

“Apa pertemuannya lancar?”

Berna hanya mengangguk.

“Ini sudah jam makan siang. Apa Anda ingin makan lagi, Tuna?”

“Aku sudah kenyang. Kau saja yang makan. Kau kan menungguku di sini seharian.”

“Jika aku makan dan Anda tidak makan, itu tidak etis.”

“Kalau begitu kita pulang saja.”

“Baiklah kalau begitu.”

Remin berdiri lalu membayar kopi dan kuenya. Setelah itu dia membawakan tas Berna dan berjalan keluar, membukakan pintu kereta kuda untuk Berna lalu mulai mengemudikan kereta kuda itu menuju rumah.

***

Di suatu siang dengan panas yang terik, Ellie berjalan pulang menuju rumahnya yang sudah tua dan hampir mau roboh itu. Dia membuka pintu dan hanya mendapati ruang tamu yang kosong. Ayahnya, ibunya dan Zaru sedang berada di pasar berjualan sayuran. Ellie langsung melepas tas punggungnya ketika dia masuk ke dalam kamar.

“Besok sudah hari minggu,” kata Ellie ketika dia merebahkan badannya di atas kasur.

Beberapa saat kemudian, dia beranjak mengganti baju kemudian berjalan ke pasar untuk membantu kedua orang tuanya. Sesampainya di sana, Ellie melihat lapak orang tuanya sedang dipenuhi oleh kawanan pembeli. Tak banyak pikir, Ellie bergegas membantu kedua orang tuanya berjualan sayuran. Walau bangnya, Zaru, sempat melarangnya.

“Kau tidak ada PR, Ellie?” tanya Zaru.

“Besok hari libur. Masih bisa dikerjakan besok, kan?” tanya balik Ellie.

“Sebaiknya kau tunggu di rumah saja,” sahut ibunya yang memakai kerudung warna abu-abu.

“Sebaiknya kau pulang,” kata ayahnya yang berkumis tebal.

Ellie tak menghiraukan ucapan ayah dan ibunya. Dia tetap membantu berjualan sayuran hingga sore tiba dan dagangannya habis. Ayahnya segera menutup lapaknya.Sementara ibunya membereskan keranjang-keranjang yang terbuat dari bambu itu dengan cara menumpuknya lalu dia ikatkan di punggungnya menggunakan tali. Ayahnya mengikat kain terpal lalu menggulungnya dan membopongnya. Sementara Zaru membawa sisa sayuran busuk untuk diberikan kepada binatang liar di jalan.

“Ellie, besok temanmu itu akan datang lagi?” tanya ayahnya.

“Iya. Bolehkah aku bertemu dengannya lagi?”

“Tentu boleh, sayang,” sahut ibunya.

“Tapi besok para penagih hutang akan datang,” kata Zaru.

“Tak apa. Ellie kau pergilah. Zaru juga. Biar kami yang urus mereka,” sahut ayahnya.

Ketika hari sudah mulai gelap, Ellie bergegas untuk tidur. Tetapi dia memakai sweter pemberian Berna sebab malam ini udara cukup dingin. Ellie sempat bermimpi sedang berlari di sebuah jalanan yang sepi sampai akhirnya dia terbangun tepat ketika mata hari mengintip di ufuk timur. Samar-samar dia mendengar suara orang

sedang adu mulut. Ellie beranjak kemudian dia membuka sedikit pintu kamarnya dan mengintip di balik pintu.

Terlihat kedua orang tuanya sedang berbicara dengan seorang laki-laki tinggi kurus, memakai jas putih, rambut panjang keriting, pipi tirus dan memakai topi bundar. Di pintu, ada lima orang pria lagi yang berotot. Mereka terlibat cekcok. Ayahnya berkata bahwa dia akan bayar hutangnya sore. Tetapi pria kurus tinggi itu tidak mau tahu. Dia ingin dibayar sekarang juga sebab dia juga disuruh oleh bosnya.

“Segera Anda bayar, Pak,” kata pria kurus tinggi itu.

“Baiklah. Tapi mungkin saya tidak akan bayar penuh,” balas si ayah.

Si ayah berdiri lalu berjalan ke kamarnya dan kembali membawa dua tumpuk uang. Pria kurus tinggi itu langsung menghitungnya dan tiba-tiba dia terlihat marah.

“Ini belum ada setengahnya!” bentak pria kurus tinggi.

“Maaf, tapi sore kami janji akan bayar lunas,” kata si ibu.

Tiba-tiba pria kurus tinggi itu berdiri dengan wajah yang marah.

“Dengar! Kalian sudah telat bayar hutang tiga bulan lebih. Dan kalian meminta keringanan lagi?”

tanya pria kurus tinggi.

“Kami mohon maaf,” si ayah berdiri lalu menundukkan kepala.

Pria kurus tinggi itu lalu menengok ke lima pria rekannya kemudian mengisyaratkan sesuatu.Kelima pria rekannya itu mengangguk dan kemudian mengambil semua barang-barang yang ada di rumah. Si ibu berusaha menghentikan salah satu pria tetapi kemudian dia terjatuh karena kekuatan pria itu jauh lebih kuat.

“Ibu!” teriak Ellie sambil membuka pintu dan berlari mendekati ibunya.

“Ellie, kenapa kamu keluar?” tanya Ibunya sambil berdiri.

“Aku terbangun karena terdengar suara gaduh,” jawab Ellie.

“Bila perlu, aku akan bawa anak ini sebagai jaminan,” sahut pria kurus itu sambil berjalan mendekat dan mengangkat mengangkat Ellie dengan satu tangan.

Ellie berontak tetapi tubuhnya yang kecil tidak bisa melawan pria tinggi kurus.

“Tunggu! Kau boleh ambil barang-barang berharga yang lain. Tapi jangan Ellie, aku mohon. Dia masih anak-anak belum tahu apa-apa,” ayahnya memelas.

“Bukankah anak ini berharga bagi kalian? Bahkan lebih berharga daripada rumah ini dan isinya, kan?” pria kurus tinggi itu tersenyum menyeringai.

“Aku mohon jangan,” kata ibunya.

Tak berapa lama, Zaru keluar karena dia juga terbangun oleh suara gaduh. Melihat adiknya disekap

oleh pria tak dikenal, Zaru berlari tetapi dia dihentikan oleh salah satu dari lima rekan pria kurus tinggi itu.

“Lepaskan! Lepaskan!” teriak Zaru sambil meronta-ronta.

“Aku akan bawa anak gadis ini sebagai jaminan,” kata pria kurus tinggi itu yang kemudian memerintahkan kelima rekannya untuk pergi.

“Ellie!” teriak Zaru.

***

Sama seperti hari minggu sebelumnya, Berna sudah bersiap dengan bekal makanannya. Kali ini dia membawa agak banyak soalnya dia yakin Zaru, Weda dan Nandi juga bakal datang. Dia berjanji akan menolong Ellie. Tetapi dia juga tidak berani bilang kepada Marudi dan Merna soal masalah Ellie. Sebab, ini menyangkut soal uang. Selama jadi anak angkat, belum pernah sepeser pun Berna meminta uang. Tapi bukan berarti dia tidak punya akal. Berna berhasil menguasai teknik transmutasi. Dia bisa mengubah logam menjadi emas.

“Baiklah,” ucap Berna lalu dia menggenggam satu potongan besi.

Ketika dia genggam potongan besi itu dengan kedua tangannya, tiba-tiba cahaya keluar dari balik telapak tangannya. Berna lalu membuka tangannya dan potongan besi itu berubah menjadi emas murni. Seketika Berna merasa kegirangan dan berjingkrak-jingkrak.

“Ini bisa aku jual. Walau dalam buku tertulis seorang alkemis dilarang menjual emas hasil transmutasi, tetapi ini keadaan darurat,” ucap Berna sambil tersenyum lalu tertawa geli.

Tentu saja Berna

tidak bodoh. Dia tahu kalau dia sering menjual emas ke toko, si pemilik toko

pasti akan bertanya anak seumuran Berna dapat dari mana emas-emas itu. Jadi,

berapa pun dihargai emas hasil buatannya, dia akan memberi uang hasil jual

emasnya kepada Ellie untuk membantu membayarkan hutang orang tuanya.

Sejurus kemudian Remin mengetuk pintu sambil berkata bahwa kereta kuda sudah siap. Berna bergegas turun, berpamitan dengan Marudi dan Merna lalu naik kereta kuda. Remin langsung menggoyangkan tali dan kereta kuda pun berjalan. Sesampainya di kedai, Remin memarkirkan kereta kuda. Berna langsung turun dan pamit kepada Remin lalu berjalan kaki ke taman desa.

Seperti biasa, taman sepi. Walau di hari minggu. Berna duduk di ayunan sambil menunggu. Tapi kali ini, sudah satu jam lebih dia menunggu, Ellie belum juga datang.

“Tumben Ellie belum datang. Apa mungkin orang tuanya berurusan sama para penagih hutang? Ah sial aku tidak tahu rumahnya,” Berna memukul pahanya.

Setengah jam kemudian, Ellie belum juga datang. Berna langsung gelisah. Dia berdiri dan mondar-mandir karena bingung dia harus berbuat apa. Tetapi beberapa saat kemudian, dia mendengar seseorang memanggil namanya. Tetapi itu bukan suara Ellie.

“Berna!” teriak seseorang.

Berna lalu melihat ke jalan. Samar-samar dia melihat Zaru berlari mendekat kemudian berhenti dengan napas terengah-engah.

“Zaru, ada apa?” tanya Berna.

Zaru lalu menatap Berna. Air matanya keluar.

“Ellie...,” kata Zaru.

“Kenapa dengan Ellie?”

“Ellie, dia...,” Zaru tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Berna merangkul bahu Zaru lalu berkata, “Kenapa? Apa yang terjadi dengan Ellie? Di amna dia?”

“Ellie...dia...dia dibawa oleh para penagih hutang sebagai jaminan.”

Seketika mata Berna melotot. Tapi kemudian wajahnya memerah karena marah. Berna melepaskan rangkulannya. Dia kemudian menundukkan kepala.

“Zaru, di mana tempat para penagih hutang itu?” tanya Berna dengan tatapan yang sangat tajam.

“Berna, kau mau apa ke sana?”

“Aku ingin buat perhitungan dengan si penagih dan si pemberi hutang.”

“Jangan, itu berbahaya. Mereka mafia di desa ini.”

“Aku bisa atasi.”

“Katakan di mana.”

“Berna,” Zaru kini terlihat ketakutan melihat wajah Berna.

“Kalau kau tidak mau memberi tahu, biar aku yang cari tahu.”

Berna lalu berjalan dengan wajah penuh amarah dan tatapan yang tajam.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!