Selamat Jalan

Berna berusaha merangkak ke sebuah pohon. Kemudian dia sandarkan punggungnya di pohon itu dan

membalut kedua kakinya dengan kain. Keringatnya bercucuran ketika dia harus menahan sakit.

“Membangkitkan orang mati ternyata konsekuensinya sangat besar. Aku bisa saja tertelan tadi sebagai tumbal,” ucap Berna.

Berna menenangkan dirinya sendiri. Sebab dia paham jika keadaan panik, dia tidak bisa berpikir secara jernih. Setelah merasa lebih tenang, Berna membuka kembali buku tua itu lalu membaca kembali tentang hal-hal tabu soal alkemis. Salah satunya tentunya adalah membangkitkan orang yang sudah mati. Ada bagian yang hilang dari tulisan tersebut. Berna lalu menempelkan ujung jarinya di bagian tulisan yang hilang tersebut. Perlahan muncul sebuah tulisan yang membuat mata Berna tak berkedip.

“Untuk membangkitkan orang sudah mati, dibutuhkan pertukaran yang setara,” Berna membaca tulisan tersebut.

Sekarang, Berna paham bahwa untuk membangkitan Ellie, dia harus berkorban nyawanya. Itulah sebabnya kedua kakinya hilang karena dia tidak memenuhi salah satu syarat. Dia juga mengatakan dirinya bodoh. Sebab, selama ini dia melakukan reaksi transmutasi juga harus dengan pertukaran yang setara. Dalam artian, antara bahan dan hasil reaksinya harus setara. Mungkin, Berna ada kesalahan dalam prosesnya. Padahal, bahan-bahan yang dibutuhkan sudah pas. Di awal-awal buku itu pun sempat tertulis bahwa untuk melakukan reaksi transmutasi, dibutuhkan pertukaran yang setara. Itu disebut dengan hukum pertukaran setara.

Berna memukul batang pohon tempat dia bersandar lalu berkata, “Sial! Semua kejadian ini membuatku buta. Aku melewatkan hal yang penting dalam ilmu alkemis.”

Selama tiga hari, Berna berjalan dengan merangkak menggunakan kedua tangannya. Bahkan untuk mencari makan dan minum, dia harus merangkak. Tetapi Berna tidak tinggal diam. Dia berpikir bagaimana caranya agar kakinya bisa kembali normal. Sementara itu jenazah Ellie dia awetkan dan disimpan di ruangan bawah tanah yang sudah dia buat sebelumnya.

Ketika tengah malam, Berna selalu mendengar lolongan suara serigala. Seketika dia mempunyai ide jika dia bisa mengembalikan kakinya dengan melakukan pertukaran setara dengan serigala. Berna lalu membuat jebakan binatang tak jauh dari ruangan bawah tanah. Sesuai perkiraan, ada satu ekor serigala yang terjerembap dan tak

berdaya lagi. Bukan mati tetapi terkena bius.

“Gotcha!” ucap Berna.

Bergegaslah Berna membuat lingkaran transmutasi. Dia meletakkan serigala yang sedang pingsan karena bius itu di tengah lingkaran transmutasi. Sementara dia bersiap dengan duduk lalu menempelkan kedua telapak tangannya dan setelah itu meletakkan kedua telapak tangannya di tanah. Seketika lingkaran transmutasi itu bercahaya. Kaki Berna terlihat kembali utuh tetapi berbulu. Berna langsung menghentikan proses tetapi tidak bisa. Sehingga dia kini menjadi manusia serigala berbulu perak.

“Sial! Aku tidak bisa mengendalikan diriku,” kata Berna dalam hati.

Ternyata, sifat serigala lebih dominan dalam dirinya. Ini sama seperti tubuh Berna yang dicangkok dengan serigala. Kadang, sifat serigala tersebut yang lebih dominan. Apalagi ketika emosinya tidak stabil. Ditambah proses transmutasi yang tidak sempurna, sehingga ketika sifat serigalanya menguasai dirinya, ukurannya membesar. Berna pun sudah tidak bisa melakukan teknik alkemis lagi. Dia hanya bisa memperkuat cakarnya.

Setelah itu, kadang ada warga desa Toroto yang sedang mencari bahan makanan ke hutan itu tak sengaja bertemu Berna. Namun ketika melihat manusia, sifat serigala menguasai dirinya dan menyerang warga sekitar. Termasuk ibunya Sehar. Berna tidak bisa mengendalikan dirinya ketika sifat serigala menguasainya. Beberapa kali juga Berna melawan orang yang ahli bela diri yang kebetulan lewat. Termasuk Ran yang berhasil mengalahkannya.

***

Sehar masih menodongkan pisaunya ke arah Berna dengan kedua tangannya. Tetapi Ran malah terdiam. Entah kenapa, dia melihat masa lalu Berna dengan jelas.

“A...aku akan membunuhmu,” ucap Sehar sambil berjalan mendekat dan hendak menusukkan pisaunya ke leher Berna.

Ketika hendak menusuk, tiba-tiba Ran menepuk pundaknya. Sehar langsung menengok ke arah Ran.

“Sehar, aku ingin kau pejamkan mata,” kata Ran.

“Kenapa?” Sehar kebingungan.

“Pejamkan matamu.”

“Baik,” Sehar memejamkan mata diikuti Ran yang juga memejamkan mata.

Seketika Sehar seperti melihat sosok seorang anak laki-laki. Dia menyaksikan masa lalu Berna hingga akhirnya bisa sampai di desa Toroto. Kemudian Sehar membuka mata dan menatap Berna yang sedang sekarat. Tak lama kemudian Sehar menjatuhkan pisaunya ke tanah dan kemudian menunduk.

“Aku tidak bisa membunuhmu,” kata Sehar.

“Kenapa?” tanya Berna.

“Apa yang kau lakukan terhadap ibuku bukan sepenuhnya olehmu, kan?”

Berna terdiam.Kemudian Ran mendekati Berna dan berjongkok.

“Di mana ruangan bawah tanah itu?” tanya Ran.

Berna terbatuk dan mengeluarkan darah lalu menjawab, “Tak jauh dari sini,” sambil menunjuk ke arah timur.

Ran lalu menggendong Berna di punggungnya lalu mulai berjalan ke arah timur. Sehar keheranan dengan sikap Ran.

“Mau ke mana kau, Ran?” Sehar mengikuti Ran dari belakang.

“Aku akan mengantarnya ke ruangan bawah tanah,” jawab Ran.

Selama dua puluh menit mereka berjalan, mereka berhenti di sebuah pohon besar. Ran menurunkan Berna tepat di bawah pohon kemudian Berna meletakkan telapak tangannya kemudian tanah di sekitarnya terbuka dan terlihatlah sebuah tangga.

“Mari aku bantu,” Ran merangkul Berna dan berjalan turun ke ruangan bawah tanah.

Di ruangan ini, hanya diterangi oleh lampu minyak. Sempit tapi penuh dengan barang-barang. Tepat di depan dekat tempat tidur yang terbuat dari tanah, terdapat peti mati. Ran menuntun Berna mendekat ke peti itu dan melihat sosok gadis yang terlihat segar di balik kaca.

“Cantik sekali,” kata Sehar.

“Ellie, maafkan aku,” air mata Berna berlinang.

“Aku masih tidak percaya kau hidup selama tiga puluh dua tahun,” kata Ran.

“Dan kenapa kau baru sekarang menyerang warga desa Toroto?” sahut Sehar.

“Pertanyaannya harusnya dibalik. Kenapa warga desa Toroto baru sekarang masuk ke dalam hutan ini untuk mencari bahan makanan?” balas Berna.

“Harus aku akui kami mengalami musim yang sulit. Banyak hasil panen yang gagal. Jadi mulai mencari bahan makanan ke hutan ini,” Berna memalingkan wajah.

“Aku tidak akan berontak. Sepertinya sifat serigala yang ada dalam tubuhku tidak bereaksi lagi.Jadi sekarang kalian bebas melakukan apa pun kepadaku,” kata Berna tetapi kemudian dia malah terbatuk dan memuntahkan darah.

“Bertahanlah,” Ran berusaha membaringkan Berna di tempat tidur.

“Harusnya aku tidak perlu dikasihani.”

“Gunakan teknik alkemismu,” Ran memegang tangan Berna.

“Aku tidak bisa.Semenjak aku dan serigala ini bersatu, yang bisa aku lakukan hanya memperkuat cakarku.”

“Tapi lukamu ketika bertarung dengan Ran sembuh dengan cepat,” kata Sehar.

“Sama seperti seorang dokter. Ketika badannya sehat, dia bisa mengobati lukanya sendiri. Tetapi ketika sedang sekarat, untuk menjahit lukanya saja dia tidak bisa,” balas Berna.

Berna lalu melihat ke arah Ran. Dia merasa, Ran bukan orang sembarangan. Walau dia tahu ada dendam yang sangat besar dari diri Ran, tetapi Berna melihat Ran adalah orang yang sangat amanah.

“Aku ada permintaan terakhir,” kata Berna.

“Apa?” tanya Ran.

“Kau ambil buku tua yang bertuliskan Ethias di rak meja itu. Jangan sampai jatuh ke tangan orang yang salah,” jawab Berna.

Ran menengok ke belakang. Dia melihat meja di mana di atasnya terdapat buku tua dengan sampul yang tebal itu.

“Aku wariskan buku itu padamu,” Berna kembali terbatuk.

Kemudian Berna meminta Ran untuk membuka peti mati itu dan mengangkat jenazah Ellie untuk dibaringkan di sampingnya. Ran memenuhi permintaan Berna. Setelah dibaringkan di samping kirinya, Berna melirik ke arah Ellie yang sudah terpejam selama tiga puluh dua tahun itu.

“Ellie, terima kasih. Maaf karena aku, kau harus meregang nyawa,” air mata Berna kembali berlinang.

Sehar yang menyaksikan malah memalingkan wajah karena dai tidak tahan melihat adegan haru ini.

“Ellie, sebenarnya aku malu bertemu denganmu di alam sana. Tetapi asal kau tahu, kau selalu akan jadi yang pertama dalam hidupku. Jika kita bertemu di sana, aku mohon jangan marahi aku,” Berna tersenyum kemudian dia perlahan memejamkan mata dan tidak akan pernah terbuka untuk selamanya.

“Ran?” Sehar menoleh ke arah Ran dengan panik.

“Ada apa?” tanya Ran dengan tenag.

“Di...dia....”

“Sudah meninggal.”

Ran kemudian menguburkan Berna dan Ellie di ruangan bawah tanah ini. Setelah itu dia mengambil buku tua itu dan membacanya sedikit.

“Ini buku yang sangat berbahaya kalau jatuh ke tangan orang yang salah,” kata Ran sambil menutup buku itu.

“Apa yang akan kau lakukan dengan buku itu?” tanya Sehar.

“Aku akan menyimpannya dan mempelajarinya.”

Setelah itu, Ran dan Sehar bergegas pergi untuk kembali ke desa Toroto. Sampai di sana, mereka berdua langsung disambut oleh warga terutama kepala desa.

“Kalian selamat?” tanya kepala desa.

“Kami selamat dan sudah membunuh makhluk buas itu,” jawab Sehar.

“Hei, kau tidak mati?” tanya salah satu pria.

“Kalau mati aku tidak akan berada di sini sekarang,” Sehar cemberut.

Seketika semuanya tertawa. Pak kepala desa lalu mengucapkan banyak terima kasih kepada Ran. Sesuai janji, Ran bakal diberi perbekalan berupa makanan dan uang sebagai bekal perjalanannya ke daerah padang pasir, Ramil.

Esok paginya, Ran sudah bersiap. Dia sudah memakai jubahnya, caping yang terbuat dari anyaman bambu, juga tas yang berisi perbekalan dan juga buku tua itu. Dia diantar oleh kepala desa, Sehar dan warga desa Toroto.

“Selamat jalan,” ucap semua warga.

“Semoga kau selamat sampai tujuan, anak muda,” kepada desa tersenyum.

Ran hanya mengangguk sambil tersenyum. Tetapi tiba-tiba Sehar mendekati Ran dan membisikkan sesuatu.

“Ran, setelah kau baca buku itu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Sehar sambil berbisik.

“Aku akan membakarnya setelah aku pelajari semuanya,” jawab Ran.

“Itu kan buku yang langka.”

“Aku diajari bagaimana caranya mengingat buku yang sudah aku baca. Jadi aku bisa menuli sulang buku itu suatu hari nanti tanpa ada tambahan atau pengurangan.”

“Kau memang hebat,” Sehar mengangkat jempol tangan kanannya sambil mengedipkan satu mata

kiri.

Ran lalu menengok ke belakang dan melambaikan tangan. Semua warga membalas lambaian tangan Ran. Dan kini, Ran melanjutkan perjalanannya ke Ramil untuk mencari Garun.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!