Air Mata

Salino dan Berna saling memandang dengan ekspresi tatapan masing-masing. Berna tatapannya tajam. Sementara Salino tatapannya santai namun dia tetap waspada. Sebab Salino baru pertama ini bertarung dengan lawan yang menggunakan kekuatan aneh.

“Bocah sialan. Dari mana dai pelajari jurus itu?” tanya Salino dalam hati.

“Tak penting aku belajar ilmu ini dari mana,” sahut Berna seolah dia tahu apa yang Salino pikirkan.

Salino hanya tertawa.

Sementara itu Zaru yang mengintip di balik dinding luar ruangan hanya bisa melihat. Tetapi dia juga tetap waspada siapa tahu ada anak buah Bossman yang datang dari belakang.

“Hei bocah, aku punya senjata,” ucap Salino sambil menghunus sebuah pedang dari balik punggungnya.

Pedang itu kecil, lancip, pipih, dan panjangnya sama dengan panjang tangan Salino. Dia lalu memutar-mutar pedang itu dengan tangan kanannya. Salino lalu berlari sambil menyerang dengan cara menusukkan pedang itu ke depan. Berna lalu meletakkan kedua telapak tangannya sehingga lantai di depannya pun terangkat dan membentuk seperti tembok yang membuat serangan pedang Salino menghantam tembok itu. Anehnya, pedang Salino menembus setengah tembok yang dibuat Berna.

“Tidak hanya pedangnya, tetapi tangannya kuat sekali. Andai saja aku terlambat sedikit saja, tubuhku pasit tertusuk oleh pedangnya,” gumam Berna dalam hati.

Tiba-tiba Salino sudah berada di sebelah kiri Berna sambil menebaskan pedangnya. Berna melompat ke kanan sambil meletakkan telapak tangan kanannya ke lantai. Lantai terangkat lagi dan membentuk tembok. Pedang salino menghantam tembok itu hingga menancap. Dia lalu menariknya. Tiba-tiba, Berna ada di atas sambil mengayunkan tangan kanan dan menjentikkan jari. Percikan api pun muncul dan Salino dengan cepat menghindar sehingga api itu meleset.

Saat Berna mendarat di lantai, dia tempelkan kedua telapak tangannya seperti orang yang sedang meminta maaf. Berna lalu berteriak dan tiba-tiba lantai di sekitar tempat Salino berdiri terangkat seperti membentuk tangan raksasa yang mengepal dan hendak menelan Salino. Dengan cepat Salino melompat untuk menghindar tetapi Berna menjentikkan jari kanannya. Percikan api lalu menyambar ke arah Salino yang tidak bisa menghindar karena dia sedang berada di atas udara. Salino hanya menyilangkan kedua tangannya dan seketika tubuhnya terbakar lalu terjatuh ke lantai.

“Berhasil,” gumam Zaru yang memperhatikan pertarungan mereka di balik tembok.

Tetapi entah kenapa, Salino selamat dan hanya terkena luka bakar di wajah sebelah kanannya. Sementara pakaiannya, hanya compang-camping terkena api.

“Harus aku akui jurusmu itu hebat sekali, bocah,” ucap Salino sambil meraba wajah sebelah kanannya yang terkena luka bakar.

“Ini masih belum seberapa,” balas Berna.

Salino lali mengayun-ayunkan pedangnya sambil melompat-lompat kecil. Ketika lompatan kelima, dia menghilang dengan cepat dan muncul tepat di hadapan Berna sambil menebaskan pedangnya. Berna tidak bisa menghindar sehingga dadanya terkena sayatan dan dia terhempas ke belakang lalu berguling di lantai hingga menghantam tembok.

“Soal kecepatan, aku jauh lebih cepat daripada kau hahaha,” Salino tertawa.

Berna berasa kesakitan dan merintih. Dadanya mengeluarkan darah. Dia mencoba bangkit di antara reruntuhan tembok. Kemudian dia berlutut dan meletakkan telapak tangan kirinya ke luka di dadanya. Perlahan luka di dadanya mulai kembali merapat dan sembuh tanpa bekas bilur.

“Dia bisa sembuh dengan cepat?” tanya Salino dalam hati.

Kini Berna merasa seperti hidup kembali. Dia lalu berdiri dan menatap ke arah Salino. Berna berpikir jika adu fisik, dia pasti kalah. Selain perbedaan postur tubuh, juga ada perbedaan keahlian bertarung. Salino sangat mahir menggunakan pedang. Sementara Berna, dia belum pernah sama sekali belajar ilmu bela diri. Jadi, dia lebih banyak menggunakan otaknya ketimbang ototnya.

“Ada apa bocah? Apa kau akan menyerah?” tanya Salino.

“Tentu tidak akan!” balas Berna.

“Jujur, aku semakin tertarik dengan jurus yang kau kuasai. Jika aku juga bisa mempelajarnya, aku bisa jadi manusia abadi.”

“Tidak ada yang abadi jika kita masih memiliki jiwa.”

“Dasar keras kepala.”

Salino lalu melesat lagi dan secara cepat sudah berada di samping kanan Berna. Salino menyerang Berna dengan menusukkan pedangnya. Berna lalu menahan ujung pedang Salino dengan telapak tangan kanannya. Awalnya, Salino mengira telapak tangan kanan Berna akan terluka. Tetapi tidak. Telapak tangan Berna seperti diselimuti oleh sarung tangan yang terbuat dari logam yang kuat sehingga pedang Salino tidak bisa melukai bahkan menembusnya.

“Ilmu alkemis juga bisa mengubah suatu bentuk ke bentuk lain. Aku bisa mengubah serpihan lantai marmer ini menjadi logam. Itu disebut dengan transmutasi,” kata Berna sambil mencengkeram erat ujung pedang Salino dan melemparnya jauh ke depan.

Salino terlempar tetapi dia bisa menyeimbangkan badannya dan mendarat dengan kedua kakinya. Berna lalu berlari sambil mengepalkan telapak tangan kanannya. Logam yang menyelimuti tangannya, kini menyelimuti seluruh tangannya hingga ke pundak. Dia lalu melayangkan pukulan tangan kanan. Tetapi dengan mudah Salino menghindar ke kanan dan menebaskan pedangnya. Berna tidak sempat menghindar dan dia terhempas hingga terguling-guling di lantai.

“Semoga berhasil,” ucap Berna sambil menahan sakit di pinggang sebelah kirinya karena terluka oleh pedang Salino.

“Hahaha! Ternyata hanya jurus kau saja yang hebat. Tetapi soal teknik bela diri, kau masih nol,” sahut Salino.

Tiba-tiba logam yang menyelimuti tangan Berna sekarang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga membentuk baju zirah untuk perang dengan warna perak. Motifnya pun sangat bagus sekali seperti seorang ksatria kerajaan.

“Bagaimana bisa?” tanya Salino dengan kaget. Dia lalu melihat pedangnya yang kini ukuran panjangnya sudah menyusur menjadi lebih pendek.

Ternyata, Berna berhasil menyentuh pedang Salino sebelum pedang tersebut mengenai pinggang sebelah kirinya. Berna mengambil sedikit bahan logam dari pedang itu untuk dijadikan baju zirah.

“Kurang ajar!” teriak Salino.

“Haya trik kecil,” kata Berna sambil menyembuhkan kembali lukanya.

Salino lalu berlari melesat dan menyerang Berna dengan tebasan, tusukkan, dan juga hempasan pedangnya. Berna hanya menghindar dan menahan. Kini dia tidak bisa dilukai. Tetapi Berna juga tahu bahwa baju zirah ini hanya melindungi badannya. Bukan kepalanya. Jadi dia harus hati-hati.

Gesekkan pedang Salino dan baju zirah Berna terdengar nyaring bahkan sampai mengeluarkan percikan api. Zaru yang melihat mereka bertarung hanya diam dan tertegun dengan apa yang sedang dia lihat.

“Kalau aku membuat helm, aku tidak akan leluasa melihat,” gumam Berna dalam hati.

Berna melompat ke belakang lalu meletakkan kedua telapak tangannya di lantai. Seketika lantai di depannya memanjang seperti tongkat dan melesat ke arah Salino. Tetapi Salino menghindar dengan melompat ke atas lalu menebaskan pedangnya dari atas ke bawah tepat ke kepala Berna. Untungnya Berna dengan cepat menahan tebasan pedang Salino dengan kedua tangannya.

“Bocah sialan! Kembalikan bahan logam pedangku!” teriak Salino yang penuh amarah.

“Coba saja kalau bisa,” balas Berna sambil melompat ke belakang dan dia meletakkan kembali telapak tangannya di lantai.

Lantai tempat Berna berpijak tiba-tiba terbuka lalu dia melompat ke bawah dan lantai itu kembali menutup seperti semula.

“Dia masuk ke dalam lantai?” Salino kebingungan.

“Berna, kau kabur?” tanya Zaru dalam hati.

“Sial, dia pasti sembunyi dan akan menyerang secara tiba-tiba,” Salino kini waspada dan memperhatikan seluruh ruangan.

Selama sepuluh detik, tidak terjadi apa-apa. Bahkan tanda-tanda kedatangan Berna pun tidak

terlihat.

“Hei bocah, kau mau main petak umpat?” tanya Salino.

Tiba-tipa di atas plafon terlihat gumpalan api yang melingkar. Gumpalan itu sekarang menjadi memanjang dan berputar seperti seekor naga yang sedang melayang membentuk cincin di langit lalu menyerang Salino seperti meteor yang menghantam bumi. Salino menghindari hantaman api itu dengan gesit hingga api itu perlahan menghilang.

“Kenapa lantai dan ruangan ini tidak ikut terbakar?” tanya Salino setelah gumpalan api itu menghilang.

Berna secara tiba-tiba muncul dari bawah lantai yang terbuka dan berkata, “Aku sudah menetralkan ruangan ini agar tidak bisa terbakar oleh api kecuali kau.”

Seketika Salino semakin ingin kekuatan yang dimiliki oleh Berna. Kini dia tidak peduli lagi dengan imbalan dari Bossman. Yang dia inginkan sekarang adalah kekuatan Berna.

“Kalau begitu aku akan merebut kekuatan itu darimu, bocah,” sahut Salino.

“Perlu perjuangan dan otak yang cerdas untuk mempelajari ilmu ini,” balas Berna.

“Kau selalu punya balasan dengan kalimat yang bagus.”

Berna tak peduli

apa kata Salino. Dia menempelkan kedua telapak tangannya dan seketika lantai di

sekitarnya melepaskan seperit butiran peluru yang menyerang Salino.

Dengan gesit Salino menghindar dan beberapa kali dia menangkis butiran peluru yang melesat ke arahnya. Setelah selesai, Berna menjentikkan jari tangan kanannya dan sambaran api pun melesat ke arah Salino. Tetapi Salino berlari menghindari sambaran api itu lalu hingga api itu menghilang.

“Aku harus bisa mendekat dan menyerangnya dengan serangan fisik,” ucap Salino dalam hati. Dia tahu Berna lebih unggul di serangan jarak jauh.

Setelah beberapa lama berpikir, Salino tersenyum menyeringai.

“Lebih baik aku lukai dia dari dalam. Tepat di hatinya,” kata Salino dengan suara yang pelan.

Salino lalu berlari ke sebuah pintu, mendobraknya lalu masuk ke ruangan tersebut.

“Tunggu!” sahut Berna sambil berlari mengejar Salino.

Saat Berna sampai di pintu yang sudah rusak didobrak oleh Salino, dia melihat sebuah lorong yang di ujungnya terdapat pintu lagi. Seketika dia mendengar suara  teriakan.

“I...itu...suara Ellie,” kata Berna yang langsung berlari menuju pintu di ujung lorong itu.

Sesampainya di pintu itu, Berna langsung mendobraknya dan melihat Salino sedang mengangkat Ellie dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya yang memegang pedang, hendak menusuk Ellie.

“Berna,” ucap Ellie yang melihat Berna.

“Ellie!” teriak Berna.

“Melangkah satu langkah saja, pedangku akan menembus jantung gadis ini,” kata Salino.

“Hentikan!” pinta Berna.

Salino hanya tersenyum menyeringai kemudian dia menusukkan pedangnya tepat di jantung Ellie. Seketika mata Ellie melotot dan darah keluar dari mulutnya ketika pedang Salino menembus dada hingga ke punggungnya.

“TIDAAAKKK!” teriak Berna sambil berlari.

Air mata Berna mengalir bersama dengan darah Ellie yang menetes di lantai.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!