Jalur Neraka

Ran berjalan mendekat ke arah Shukar. Tentu saja Shukar ketakutan walau dia sempat memuji Ran karena kemampuan berpedangnya. Shukar kakinya gemeat dan dia berbalik lalu berjalan dengan perlahan agar tidak ketahuan. Tetapi tiba-tiba Ran muncul di sepannya sehingga membuat Shukar berteriak ketakutan dan terjungkal hingga terduduk ke belakang.

“Kau anggota para bandit itu?” tanya Ran yang memperhatikan baju serba hitam yang dipakai Shukar.

“Tolong jangan bunuh aku,” Shukar menempelkan kedua tangannya.

Ran menyipitkan meta dan kemudian dia berjalan pergi meninggalkan Shukar. Tetapi Shukar malah mengikutinya dari belakang dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi tentu saja Ran tahu dia sedang dikuntit oleh bocah lima belas tahun itu.

“Kenapa kau mengikutiku?” Ran menoleh ke belakang.

Shukar kaget dia sembunyi di balik pohon lalu menjawab, “Aku hanya kagum kepada kehebatanmu dalam bertarung tadi.”

Ran kembali berjalan dan tak memedulikan Shukar. Tetapi ketika dia sudah berjalan kurang lebih sepuluh menit, Ran berhenti.

“Bisakah kau tidak mengikutiku?” pinta Ran saat menoleh dan melihat ke sebuah pohon di mana Shukar bersembunyi di balik pohon tersebut.

“Aku tidak tahu harus ke mana. Kelompokku sudah dikalahkan olehmu,” Shukar memalingkan pandangan sambil menggaruk kepalanya.

Kemudian Ran kembali berjalan diikuti oleh Shukar. Ketika sampai di sebuah sungai kecil, Ran berhenti untuk minum dan mengisi botol air yang terbuat dari batang bambunya. Shukar juga melakukan hal yang sama. Ketika sampai di pohon yang ditumbuhi buah-buahan, Ran makan beberapa biji. Shukar juga demikian tetapi dia makan

lebih banyak. Dan ketika Ran menikmati siang hari dengan duduk di bawah pohon sambil baca buku tua itu, Shukar perlahan mendekat.

“Buku apa yang kau baca?” tanya Shukar sambil berlutut di samping Ran dan menyipitkan mata karena tidak paham tentang isi dari buku tua itu.

Ran tidak menjawab dan melanjutkan membaca ke halaman berikutnya. Tetapi Shukar membalik ke halaman sebelumnya.

“Tunggu, aku belum selesai membacanya,” kata Shukar.

Tiba-tiba Ran menutup buku itu dan memasukkannya lagi ke dalam tas lalu berdiri kemudian melanjutkan perjalanan.

“Tunggu, bolehkan aku jadi bawahanmu?” Shukar mengikuti Ran dari belakang.

“Aku tidak sedang cari anggota,” jawab Ran.

“Tapi bolehkah aku ikut denganmu?”

“Aku juga tidak sedang mencari teman seperjalanan.”

“Kau mau ke mana?”

“Ramil,” Ran menjawab singkat.

“Kebetulan aku juga mau ke sana.”

“Belajar lagi bagaimana caranya berbohong.”

Shukar berlari dan mencegat Ran lalu berkata, “Aku tahu bagaimana caranya ke Ramil.”

Ran berhenti lalu memandang Shukar dengan tatapan tidak percaya.

“Ayolah. Kali ini aku tidak berbohong. Aku bersumpah jika kau melewat perbatasan antara Rami dan Kerajaan Mondu di selatan, kau akan mati terpanggang.”

“Benarkah begitu?”

“Itu disebut jalur neraka. Tidak ada orang yang bisa melewatinya ke sana.”

“Lalu aku harus lewat mana?”

“Satu-satunya cara adalah kita ke Winterland. Di sana mungkin ada informasi bagaimana caranya kita ke Ramil.”

“Tempat dingin bersalju?”

Shukar mengangguk, “Sebagian bersalju, sebagian lagi tidak. Tapi keduanya tetap dingin.”

“Kau pernah ke sana?”

“Lima tahun lalu saat usiaku sepuluh tahun.”

Ran tak berkata apa-apa lagi dan dia melanjutkan perjalanan. Sementara itu Shukar mengikutinya dari belakang. Di sepanjang perjalanan, Shukar rewel sekali bertanya banyak hal. Ran hanya menjawab seadanya saja. Ketika menjelang gelap, mereka berdua baru ke luar hutan dan di depan, terbentang lagi padang rumput yang rumputnya juga tidak terlalu lebat.

“Akhirnya kita keluar hutan Wulung. Nah, jika kita terus berjalan ke selatan, kita akan sampai di Winterland,” kata Shukar dengan senyuman yang lebar.

“Aku ingin mencoba lewat perbatasan di jalur selatan ini,” kata Ran.

“Bukankah aku sudah bilang bahwa itu jalur neraka? Kau akan mati konyol.”

“Kalau tidak dicoba, tidak akan tahu.”

Shukar menggelengkan kepalanya.

Karena hari sudah gelap, mereka mencari tempat untuk tidur. Setelah berjalan agak jauh ke selatan, mereka berhasil menemukan pohon yang daunnya cukup rindang. Ran bersiap untuk tidur. Tetapi sebelum tidur, dia duduk sambil menyenderkan punggungnya di pohon. Ran lalu membuka buku tua itu dan lanjut membacanya. Sementara itu Shukar mengendap dan mengintip di balik pohon.

“Aku tidak menyangka seorang samurai macam kau baca buku,” sahut Shukar.

“Memangnya tidak boleh?”

“Biasanya, orang kuat itu hanya mengandalkan otot ketimbang otak.”

“Dalam bertarung kita juga harus punya strategi. Walau kelihatannya dia hanya mengandalkan otot, tapi dia juga gunakan sedikit otaknya.”

“Aku rasa kau menggunakan keduanya dengan seimbang. Aku lihat pertarunganmu dengan Dera. Kau selalu memperhatikan setiap langkah.”

“Layaknya bermain catur.”

“Ngomong-ngomong, siapa namamu?”

“Ran.”

“Aku Shukar. Dari mana kau berasal?”

“Kerajaan Desa Tebing.”

“Wah, itu jauh sekali ke timur. Kalau aku berasal dari desa Tokumani.”

“Apa kau serius mau ikut denganku?”

“Tentu,” Shukar langsung mengangguk dengan mata berbinar.

“Di mana orang tuamu?”

“Mereka pergi entah ke mana,” Shukar tersenyum lebar.

Ran seketika terenyuh dengan jawaban Shukar. Dia lalu menyimpulkan bahwa Shukar sepertinya sering ikut banyak orang sebab dia ingin mencari sosok orang tua. Shukar ingin mencari orang yang tepat untuk jadi sandaran.

“Kau boleh ikut tapi jangan banyak tingkah.”

“Yippiii!!” Shukar meloncat dan berjingkrak-jingkrak.

Ran hanya diam dan melanjutkan membaca.

“Ngomong-ngomong, siapa namamu?”

“Ran Soru.”

“Nama yang bagus. Sekarang, aku akan berpetualang mengelilingi Gatara,” Shukar mengangkat tangan kanannya sambil mengepal.

Pagi hari, mereka berdua langsung bergegas melanjutkan perjalanan ke selatan. Ketika sampai di perbatasan selatan antara Ramil dan Kerjaaan Mondu, mereka berhenti dan melihat perbedaan tanah yang sangat kentara. Di depan sana, terhampar padang pasir dengan cuaca yang sangat panas. Sedangkan di tempat mereka berdiri, tanah dan rumput dengan cuaca hangat.

“Kau yakin mau lewat?” tanya Shukar sambil menelan ludah.

“Aku akan coba,” Ran menundukkan pandangan sambil berjalan perlahan.

Baru tiga puluh meter dia berjalan di padang pasir, Ran langsung merasa kehausan. Dia dehidrasi hebat sehingga, dia hampir terjatuh. Tetapi kemudian dia berjalan berbalik dan kembali ke tempat Shukar.

“Sudah aku bilang itu jalur neraka,” kata Shukar.

“Benar-benar tidak bisa dilewati,” ucap Ran sambil meneguk air.

“Kita harus ke Winterland.”

“Dengan terpaksa kita harus ke sana.”

Mereka berdua melanjutkan perjalanan. Selama dua hari berjalan kaki, mereka tiba di sebuah daerah di mana ketika mereka masuk, mereka langsung merasa kedinginan. Tanah di sini agar bersalju. Semakin jauh mereka berjalan, semakin terasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.

“Dingin sekali di sini,” Shukar memeluk dadanya sambil mengigil.

Tetapi Ran tidak terlalu kedinginan sebab dia dilindungi oleh jubah cokelatnya. Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah benteng yang terbuat dari batu dan terdapat pintu gerbang yang terbuat dari besi tebal. Tak ada penjaga di sini. Beberapa orang juga lewat baik masuk atau keluar Winterland.

Melewati pintu gerbang itu, di depan terhampar pemandangan indah. Pohon-pohon diselimuti salju seperti ditutupi oleh mantel tebal berwarna putih. Ketika mereka berpapasan dengan seorang pria, Ran bertanya sesuatu.

“Di mana kita bisa menemukan pemukiman?” tanya Ran.

“Kalian jalan saja sekitar dua jam lagi. Maka kalian akan  menemukan kota Sarmith,” jawab pria itu.

Melihat Shukar yang kedinginan, pria itu memberikan sebuah mantel tebal.

“Pakailah ini untuk menghangatkan tubuh,” ucap pria itu sambil menyodorkan mantel tebal.

“Ini untukku?” tanya Shukar.

Pria itu mengangguk lalu Shukar memakai mantel tebal itu dan sekarang tubuhnya sudah lebih hangat.

“Terima kasih. Maaf merepotkan,” Ran sedikit menunduk.

“Ah, tak usah dipikirkan. Aku punya banyak mantel tebal di rumah,” balas pria itu.

Pria itu lalu pamit pulang. Ran dan Shukar melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang bersalju. Di sepanjang jalan mereka banyak sekali berpapasan dengan orang-orang. Ada yang berjalan kaki, naik kereta yang ditarik kuda atau serigala, ada juga yang menunggangi kuda seorang diri.

Semakin dekat dengan kota Sarmith, semakin banyak orang-orang yang lalu-lalang hingga sampailah mereka di sebuah alun-alun kota Sarmith di mana di sini tidak hanya ada lapangan besar, tapi juga pasar dan tempat orang-orang bersosialisasi.

“Ramai sekali di sini,” kara Shukar.

“Ini sedikit lebih ramai dibandingkan dengan kota Sagard,” sahut Ran.

“Sekarang kita ke mana?”

“Kita cari penginapan. Aku ingin beristirahat dulu dan mencari informasi bagaimana caranya ke Ramil besok.”

Mereka berdua menginap di sebuah penginapan sederhana. Walau ruangannya kecil, tetapi penghangat ruangannya cukup baik. Jadi Shukar bisa membuka mantelnya.

“Hangat sekali di sini,” ucap Shukar sambil merebahkan badannya di atas kasur.

Ran membereskan barang-barangnya. Katananya dia letakkan di sisi meja dan caping yang terbuat dari anyaman mambunya dia kaitkan di pengait pakaian bersama jubah cokelatnya. Ran juga berasa letih dan dia mulai beristirahat agar besok badannya lebih segar untuk mencari informasi bagaimana caranya ke Ramil.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!