Janji Bertemu

Api itu terus

menyembur sehingga membuat cahaya yang indah. Beberapa orang yang kebetulan

lewat, tiba-tiba berbelok dan menghampiri karena penasaran. Berna merasa senang

ketika orang-orang yang berkumpul memuji dirinya sebagai pesulap.

“Kau hebat

sekali,” puji seorang pria.

“Iya dia hebat,”

puji seorang ibu yang sedang menggendong anaknya.

Setelah Berna

menunjukkan beberapa trik, orang-orang yang berkumpul membubarkan diri karena

hari sudah gelap.

“Hebat!” Ellie

tersenyum sambil mengangkat jempol setelah semua orang pergi.

Berna tersenyum

malu.

“Ayo kita

pulang, Ellie,” ajak Zaru sambil menarik tangan Ellie.

“Jadi, aku bisa

jadi teman kalian?” tanya Berna.

Zaru tidak

menjawab. Dia terus berjalan sambil menarik tangan Ellie diikuti Weda dan

Nandi. Tetapi Berna tidak bersedih. Dia sangat bahagia hari ini karena akhirnya

orang-orang mengakui keberadaannya. Tetapi juga dia bersedih karena dia

sendirian lagi. Berna pulang ke panti asuhan dan langsung disuguhi pekerjaan

rumah seperti menyapu, mengepel, dan membersihkan kamar mandi.

Hingga satu

minggu ke depan, Berna tidak bisa keluar panti asuhan. Semuanya sedang sibuk

karena ada beberapa calon orang tua yang akan mengadopsi. Dan ternyata hanya

dua orang anak saja yang bisa diadopsi. Hari Jumat, adalah hari terakhir dari

rentetan dari para calon orang tua yang datang untuk mengadopsi. Sudah dari

subuh, semua anak-anak bersiap seperti membersihkan diri dan memakai pakaian

yang layak dan formal. Termasuk si pengasuh permepuan.

Tepat pukul

delapan pagi, semua anak berbaris. Ketika terdengar derap kaki kuda, si

pengasuh perempuan bersiap membuka pintu.

“Kalian semua

bersiap dan jangan berisik,” ucap si pengasuh perempuan itu.

Setelah suara

derap kaki kuda berhenti, terdengar suara langkah kaki yang mendekat lalu

diiringi oleh suara ketukan pintu. Si pengasuh perempuan itu membuka pintu dan

terlihatlah dua pasangan suami istri yang tidak terlalu tua. Pakaian si suami

memakai jas dan si istri memakai gaun berwarna merah tua lengkap dengan tas

yang selalu menggantung di pergelangan tangan kanannya.

“Selamat datang,

Tuan Marudi dan Nyonya Merna,” sapa si pengasuh perempuan.

“Oh Erma, kau

terlalu berlebihan mendandani anak-anakmu seformal ini,” kata Merna, seorang

perempuan dengan dagu lancip, rambut keriting tapi digulung rapi dan dieratkan

dengan bando bunga.

“Tak apa,

Nyonya,” balas Erma.

“Sudah berapa

lama kau jadi pengasuh?” tanya Marudi, yang berbadan gempal, pipi besar dan

berkumis tebal.

Erma menjawab,

“Sepuluh tahun, Tuan.”

“Lama sekali. Di

sini hanya kau sendiri yang mengurus mereka?”

“Iya. Setelah

Bibi Orin pensiun, saya yang mengurus panti ini,” Erma mengangguk.

Erma lalu

mempersilakan Marudi dan Merna duduk dan mereka dijamu teh hangat beserta

beberapa potong roti. Mereka berdua minum beberapa teguk lalu mengobrol.

“Pasti repot

mengurus panti ini sendirian,” kata Marudi sambil memainkan kumisnya.

“Hanya sepuluh

orang anak tak terlalu repot. Tapi dua sudah diadopsi jadi sekarang sisa

delapan. Jadi tambah ringan,” jawab Erma dengan senyuman hangat.

“Anak-anak ini,

kalian temukan di mana?” sekarang giliran Merna yang bertanya.

“Kebanyakan

mereka anak yang ditemukan warga ketika masih bayi. Beberapa memang dikirim ke

sini karena yatim piatu dan sering berkeliaran di pasar.”

“Kalian dapat

dana dari mana?”

“Desa sering

mengalokasikan dana untuk panti asuhan kami. Jadi secara tidak langsung panti

asuhan ini dibiayai oleh warga.”

Marudi lalu

melihat ke anak-anak yang masih berbaris dengan rapi. Dia lalu berdiri dan

mendekati mereka kemudian melihat satu-satu dengan lebih dekat. Semua anak-anak

gugup. Kecuali Berna. Karena dia sedang memikirkan Ellie sebab sudah satu

minggu dia tidak bertemu. Ketika Marudi selesai melihat anak-anak dari dekat,

dia kembali duduk.

“Kami ingin

mengadopsi anak yang pintar dalam bidang akademis,” kata Marudi sambil meneguk

tehnya.

“Bisa kita lihat

buku akademis mereka semua?” pinta Merna kepada Erma.

“Tentu,” Erma

berdiri lalu berjalan ke sebuah ruangan.

Ketika dia

mencari buku akademis semua anak-anak panti asuhan, hatinya merasa sinis. Dia

sudah mengira kalau Berna akan terpilih menjadi anak asuh pasangan suami istri

bangsawan itu. Selama ini, Erma membenci Berna karena kepintarannya. Begitu

juga anak-anak panti asuhan yang lain. Jadi kadang mereka merundung Berna. Erma

pun anak yatim piatu dan dibesarkan oleh Bibi Orin di panti asuhan ini. Dan

sudah dianggap anak sendiri oleh Bibi Orin. Ketika ada keluarga kaya raya ingin

mengadopsi anak, seharusnya Erma yang diadopsi. Tetapi karena ada satu anak

lagi yang pintar dalam bidang akademis, dia tidak jadi diadopsi. Begitulah awal

mulanya Erma benci dengan Berna.

Erma sudah

menemukan buku akademis anak-anak panti asuhan. Setelah itu dia keluar dan

memberikannya kepada Merna.

“Hemm...,” gumam

Merna sambil melihat-lihat semua buku akademis itu.

“Jadi bagaimana,

Mah?” tanya Marudi kepada istrinya.

“Sepertinya kita

menemukan anak yang cocok,” jawab Merna sambil menyodorkan satu buku akademis.

Marudi melihat

buku itu. Dia hanya mengangguk-angguk.

“Anak ini

memiliki bakat terpendam. Bisa tolong panggilkan anak ini?” pinta Marudi kepada

Erma sambil menunjukkan nama yang tertulis di buku akademis itu.

“Sial,” katanya

dalam hati. Tebakannya benar, ternyata Berna yang terpilih.

Berna lalu

dipanggil. Dia berdiri di depan Marudi dan Merna.

“Namamu Berna?”

tanya Merna.

Berna mengangguk

sopan.

“Kau punya nama

lain?” tanya Marudi.

“Tiak punya,

Tuan,” jawab Bernea dengan menggelengkan kepala.

Marudi dan Merna

lalu berdiskusi dengan berbisik-bisik. Beberapa saat kemudian mereka berdua

mengangguk.

“Kami pilih

Berna untuk diadopsi. Besok pagi akan kami jemput,” kata Marudi.

“Ba...baiklah,

Tuan. Berkas-berkas perjanjian adopsi akan saya siapkan ketika kalian menjemput

Berna,” Erma tersenyum manis. Padahal dalam hati dia jadi lebih benci dengan

Berna.

Sementara itu

Berna malah sedih karena dia akan berpisah dengan Ellie. Dia takut tidak akan

bertemu dengan gadis itu lagi.

Marudi dan Merna

lalu pamit pergi. Setelah itu Erma menghampiri Berna dengan tatapan penuh

kebencian.

“Kenapa?” tanya

Erma sambil menatap tajam Berna.

“Kenapa apanya?”

tanya Berna yang bingung dengan pertanyaan Erma.

“Kenapa anak

pintar selalu membuatku muak?”

“Apa maksudmu?”

“Harusnya, saat

ini aku jadi anak orang kaya. Tetapi karena satu anak pintar, mimpiku harus aku

pendam. Kenapa kalian selalu mendapatkan keistimewaan dibandingkan anak yang

bodoh?”

“Erma,

sebenarnya aku juga tidak mau dipilih. Aku bisa bicara dengan mereka--,”

“Cukup!” potong

Erma.

“Erma,” ucap

Berna.

“Dulu, dia juga

berkata begitu. Sama persisi kalimatnya seperti yang kau ucapkan barusan.”

“Erma aku...,”

Berna memegang tangan Erma tetapi Erma menepisnya.

“Bereskan semua

barang-barangmu,” kata Erma.

Malam harinya,

Berna menyelinap melalui pintu kecil rahasia lalu ke hutan tempat biasa dia

berlatih. Dia berharap Ellie akan datang malam ini. Ketika menunggu selama satu

jam, tak ada tanda-tanda kedatangan Ellie. Berna lalu bersedih. Dia menundukkan

kepala lalu terdidik di bawah pohon besar. Tak berapa lama, terdengar suara

langkah kaki. Ketika Berna melihat ke arah suara itu, dia melihat sosok yang

selama ini dia rindukan.

“Ellie!” panggil

Berna.

“Berna,” Ellie

berlari menghampiri Berna.

“Aku kira kau

tidak akan datang.”

“Aku sering ke

sini kalau di rumah ada masalah.”

“Masalah?”

Ellie

memalingkan wajah lalu berkata, “Kedua orang tuaku kadang bertengkar masalah

hutang. Jadi ketika mereka sedang adu mulut, diam-diam aku ke sini untuk

menghibur diri.”

Berna tak

berkomentar apa pun. Tetapi dia harus menyampaikan sesuatu.

“Ellie, besok

aku akan dibawa oleh orang tua baruku,” kata Berna.

Ellie lalu

menengok ke arah Berna dengan mata berbinar.

“Kamu akan

diadopsi?” tanya Ellie sambil memegang tangan Berna. Tentu saja hal itu membuat

pipi Berna menjadi merah karena malu.

Berna mengangguk

lalu menjawab, “Iya. Aku takut kita tidak akan bertemu lagi.”

“Di mana rumah

orang tua barumu?”

“Aku tidak tahu.

Tapi dari penampilannya, mereka seperti keluarga dari bangsawan.”

“Ah, itu berarti

mereka tinggal di kawasan elite.”

“Kawasan elite?”

“Letaknya tiga kilometer

dari desa. Di sana kawasan tempat tinggal para bangsawan dan orang kaya. Biar

aku tebak. Pasti mereka ke sini naik kereta kuda yang mewah?”

“Aku tidak tahu.

Tapi dari dalam memang terdengar suara derap kaki kuda.”

“Selamat, kau

jadi anak keluarga bangsawan,” Ellie menyodorkan tanganya.

“Ta...tapi kamu

bagaimana? Aku tidak mau berpisah denganmu.”

“Aku sudah

terbiasa sendirian.”

Tiba-tiba Berna

memeluk Ellie dengan erat.

“Ellie, aku

ingin lebih dekat denganmu. Hanya kau satu-satunya orang yang menganggapku ada

di dunia ini. Aku ingin membantumu.”

“Berna,” Ellie

melepaskan pelukan Berna dengan perlahan.

“Kenpa Ellie?”

“Kita masih bisa

bertemu di sini. Bagaimana kalau kita buat janji?”

“Janji apa?”

“Janji kalau

setiap hari minggu, kita bertemu di sini.”

“Kamu serius?”

Ellie

mengangguk.

“Setiap hari

minggu, pagi hari kita akan selalu bertemu?”

Ellie mengangguk

lagi. Dia lalu mengangkat jari kelingking tangan kanannya. Berna pun mengangkat

jari kelingking tangan kanannya. Kemudian jari kelingking mereka saling merekat

satu sama lain dan berjanji akan bertemu lagi hari minggu depan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!