18. Pandai besi

"Wow!! Jadi ini, tempat pembuatan senjata akademi yang terkenal itu ya?"seru Alaric penuh dengan kekaguman.

Tempat pandai besi yang diselimuti oleh debu hitam dan aroma logam panas menampilkan suasana yang khas. Peralatan-peralatan berat menggantung di dinding, sementara nyala api dari perapian kecil memainkan perannya dalam menyemarakkan atmosfer tempat tersebut.

Ketika Alaric tiba, seorang pria bertubuh kekar dengan wajah yang penuh kerut dan jejak kelelahan, tampak tidak senang dengan kedatangan Alaric. "Kenapa bocah ini bisa masuk kesini? Seseorang, usir dia pergi!!"ujarnya berteriak pada tukang pandai lain yang sedang bekerja.

Karena tak mau diusir, Alaric membuka kotak kecil yang berisi permata berkilauan. Permata yang dia ambil dari pakaian pakaian yang terlalu berkilauan miliknya. Mata tukang pandai besi berkilat memandang permata tersebut, dan perlahan, ekspresi wajahnya berubah menjadi campuran kagum dan keheranan.

"Apa segini cukup?"

Tukang pandai besi yang awalnya tidak senang, melihat permata tersebut dengan nyengir kuda. "Apa yang bisa saya bantu untuk anda, tuan?" tanya tukang pandai besi itu, kali ini dengan penuh kesopanan.

"Semua manusia sama saja. Hanya uang yang mereka inginkan." Elic menggeleng skeptis pada sikap tukang pandai besi yang berubah.

Dia berputar karena uang. Kau pasti juga begitu kan?

"Hah!? Aku? Aku bahkan tidak pernah memakai gaji ksatriaku untukku sendiri. Yaah... Aku menghabiskannya untuk para wanita sih. Hehehe"

Dasar tua Bangka mesum!

Alaric, sambil memandangi peralatan besi yang tersebar di sekitarnya, berpikir tentang bahan yang akan dia gunakan sebagai bahan untuk pedangnya. "Berikan aku baja Damaskus terbaik yang kalian punya. Aku ingin membuat satu untuk pedangku."ujar Alaric teringat dengan material pedang milik Valerian.

"Maaf tuan, baja Damaskus sangat sulit di dapatkan. Jika tuan ingin memilikinya, sekotak perhiasan ini tentu saja belum cukup." Tukan pandai besi itu menyeringai licik dengan menggosokkan tangannya.

"Dia mau memalak seorang bocah? Dasar bajingan miskin!" Elic menonjok nonjok kepala pria berbadan besar itu namun tetap saja sia sia. Tubuhnya menembus seperti roh.

Aku tau akan seperti itu, itulah sebabnya aku membawa lebih dari dua kotak perhiasan seperti ini.

Krinciing......

Suara permata yang berjatuhan itu menjadi pusat perhatian semua pandai besi yang bekerja. Alaric menjawab seringai licik pria bongsor itu dengan seringai sombongnya, "Bahkan satu kotak perhiasan ini, bisa membuatmu membuka peternakan kuda tingkat menengah. Apa ini belum cukup?"

Mata pandai besi itu terbelalak. Dia memunguti permata permata itu dengan sangat rakus tanpa memperdulikan betapa rendahnya dirinya di hadapan para tukang pandai besi lainnya.

"Damar!! Cepat siapkan semua yang di perlukan tuan muda ini. Cepat!!"seru pria bongsor yang ternyata pemimpin tempat itu pada salah satu pria yang terlihat sangat muda di antara semuanya. "Ba-baik pak!! Mari tuan, ikuti saya."

* * * *

Sembari menunggu bahan bahan yang dia butuhkan, Alaric mengamati proses pembuatan pedang oleh salah satu pandai besi yang lain. Setiap pukulan palu dan suara berdentingnya besi menciptakan harmoni yang menakjubkan di pandai besi.

Damar, menuntun Alaric menuju tempat yang akan Alaric gunakan. "Saya meminta maaf atas perilaku ketua kami tadi, tuan. Beliau memang tidak terlalu suka dengan para bangsawan dengan status rendah."

"Status rendah? Hahaha.... Memang seperti itulah kau kelihatannya. Wkwkwk" Elic terbang dengan tubuh bergetar karena tawanya. Bahkan sesekali dia menirukan ekspresi Alaric yang terkadang sangat datar.

Berisik!! Diamlah, atau aku tidak akan membiarkanmu memakan auraku.

"Ah jangan, aku bisa mati nanti!! Baiklah, baiklah, aku akan diam."

Alaric duduk di depan tungku tempa dengan penuh konsentrasi. Bahan baja Damaskus yang diletakkan di atas tungku memancarkan panas yang membara, menunggu untuk diubah menjadi senjata.

"Eh, bukankah saya yang akan membuatkan pedang untuk anda tuan?" Damar memiringkan kepala bingung dengan sikap Alaric yang menurutnya masih amatir itu. "Kau cukup diam saja disitu, aku akan membuat pedangku sendiri."

Damar menuruti permintaan Alaric tanpa bertanya, dia berdiri di pojok ruangan melihat betapa seriusnya Alaric memperhatikan baja Damaskus yang akan dia gunakan.

Alaric mulai membuat pedangnya sendiri. Dia memimpin palu besi dan membentuk baja Damaskus dengan keahlian yang menakjubkan. Setiap pukulan palu dilakukan kekuatan yang sempurna, menciptakan pola yang rumit dan indah pada permukaan baja.

Damar dan bahkan Elic sangat kagum dengan keterampilan Alaric yang tidak pernah dia perlihatkan. Elic sendiri tau jika ingatan Alaric sangat memukau, tapi dia masih tidak percaya bocah itu bisa menirukan para tukang pandai besi yang dia perhatikan hanya selama setengah jam tadi.

"Alaric, kenapa dia bisa ada disini? Dan apa yang dia buat?" Amara tiba tiba datang dengan pakaian ksatrianya bergumam di sebelah Damar. "Ah nona Amara? Anda mengenal tuan ini?"

Damar sedikit terkejut dengan sosok wanita tomboi di sampingnya itu, "Dia pangeran kedua, Alaric Eldorion. Ehm! Teman sekelompokku."jelas Amara canggung di akhir kalimatnya.

"Hah!? Pangeran kedua? Tapi aku tadi..." Damar teringat ucapannya yang meremehkan Alaric. Dia menggigiti kuku jarinya cemas memikirkan jika Alaric akan menghukumnya setelah ini.

Amara melihat Alaric khawatir, dan menarik kerah baju Damar dengan kasar, "Tubuhnya lemah, seharusnya dia tidak menempa besi seperti itu!! Apa yang kau lakukan padanya!?"

"Apa!? Tunggu sebentar nona! Saya tidak melakukan apa apa. Anda harus melihat sendiri betapa senangnya pangeran menerpa pedangnya sendiri." Damar memperlihatkan wajah Alaric yang tampak serius dengan senyum yang tanpa sadar dia buat.

Sedangkan Elic, dirinya sudah berada di atas kepala Amara tidak mengangguk Alaric sama sekali.

Senyuman Alaric yang jarang terlihat itu begitu menawan bagi Amara. Seakan bunga bunga bersemi di sekitar wajah serius Alaric. Dan tanpa sadar, darah segar mengalir dari hidung gadis itu. "Nona!! Ada darah!! Saya ambilkan sapu tangan!!"

Damar pergi meninggalkan kedua siswa akademi itu berada di ruangan yang sama. Suara tempaan besi dan panas api yang menyala menyamarkan panas dari wajah Amara saat ingin mendekati Alaric.

"Ini membutuhkan banyak waktu untuk pengerasan ya! Bagaimana ini?" Alaric tiba tiba bermonolog melihat hasil karyanya yang sudah terlihat di depan mata.

"Nona, ini sapu tangannya- Waaah.... Pangeran, ini adalah suatu mahakarya yang sangat indah." Damar terkejut dengan hasil akhir yang sangat memukau baginya. Meskipun itu masih berupa sebongkah baja yang masih panas.

Pangeran?

Alaric berbalik dan terkejut melihat Amara sudah berada di depannya dengan darah yang menetes dari hidungnya. "Hah!? Apa!? Dia kenapa!?"tanyanya pada Elic yang duduk di kepala Amara. Tapi sosok mini itu malah mengangkat bahu.

Tangan Alaric di pegang erat oleh Damar. Dengan mata penuh kekaguman, Damar, pria berusia 20 tahunan itu terlihat memohon pada Alaric. "Bisakah anda mempercayakan pedang anda pada saya, pangeran?" Matanya begitu berbinar binar mengagumi sosok pangeran yang belum pernah dia lihat sebelumnya itu.

Meskipun enggan, Alaric akhirnya menyerahkan pembuatan pedang itu pada Damar setelah menjelaskan tentang kriteria pedang yang dia inginkan. "Percayakan saja pada saya, meskipun begini, saya adalah tukang pandai besi paling kompeten di bidang ini. Saya tidak akan mengecewakan anda."

"Apa boleh, dia sepercaya diri itu? Apa dia tidak malu?" Elic merasa sedikit aneh mendengar pujian yang dia dengar dari mulut Damar.

Kau harus mengaca dulu sebelum mengejek orang, kakek tua!!

"Baiklah, kuserahkan pedangku padamu. Dan kalau bisa-"

"Saya akan menyelesaikannya dalam dua Minggu. Saya jamin!! Dua Minggu kedepan, anda bisa datang lagi kesini dan mengetes pedang yang telah anda buat ini."pangkas Damar tau apa yang ada di pikiran Alaric.

"Bagus!! Aku akan kembali dua Minggu lagi. Kalau begitu, aku akan pergi,"pamit Alaric berbalik pergi.

Di belakangnya, Amara masih saja melihat Alaric dalam diam. Mimisannya sudah berhenti, namun dirinya tidak bisa mendekati Alaric lagi seperti sebelumnya.

"Nona, pedang anda sudah berada di ruang senjata. Jika anda datang ke ruangan sebelah, ketua akan menunjukannya pada anda." Damar menepuk pundak Amara dengan santainya tapi di tepis dengan kasar dan malah tatapan tajam yang dia dapatkan dari gadis itu.

"Berani sekali kau menyentuhku!! Bahkan Alaric pun belum pernah menyentuhku. Dasar pria buaya!!" Amara melenggang pergi mengacuhkan informasi yang diberikan Damar.

Damar semakin kebingungan dengan sikap Amara yang mendadak berubah itu. "Ada apa dengannya? Kekanak kanakan sekali."

* * * *

Tok tok tok

"Tuan, saya Theron Harlow datang sesuai keinginan anda,"

Theron mengetuk pintu kamar Alaric dengan begitu sopan. Beberapa murid lain mencibir perilaku Theron yang berbeda dari biasanya saat bersama Alaric.

Dan malam itu, dia bahkan mengetuk pintu dan dengan suara sopan memanggil Alaric yang pernah hampir dia bunuh dengan panah di awal pertemuan dulu.

Theron tidak menghiraukan ocehan murid lain itu, dia hanya takut sekaligus kagum pada sosok Alaric yang belum pernah dilihat oleh orang lain.

"Kenapa kalian menatapku!? Mau makan panah hah!!"seru Theron murka. Beberapa murid yang sempat menatap sinis itu kemudian membubarkan diri pura pura tidak melihat kehadiran Theron.

Cklek!

Pintu kamar Alaric tiba tiba terbuka. Namun, kamar begitu gelap padahal masih belum larut malam. "Pangeran, saya akan masuk."izin Theron melangkah masuk.

Dalam kegelapan, sebuah kain terlempar di depan mukanya membuatnya hampir berteriak ketakutan.

Lampu kemudian menyala. Alaric dengan jubah hitam dan wig rambut hitam pendeknya berdiri di sudut ruangan sedang menunggu Theron. "Pangeran Kedua?"

Theron hampir tidak mengenali wajah Alaric yang selama ini bersembunyi di balik rambut panjangnya.

"Kenapa lama sekali!? Sekarang, cepat pakai baju itu dan berbaringlah! Malam ini, aku akan pergi keluar dan kau harus berpura pura menjadi diriku dan tidur disini!"jelas Alaric kemudian.

"Eh? Apa!? Lalu, bagaimana dengan saya?"

"Itu urusanmu sendiri. Sudahlah, aku akan pergi sekarang sebelum malam semakin larut."

Alaric membuka jendela dan angin kencang langsung berhembus menerbangkan sedikit rambut palsu Alaric yang terlihat sangat nyata. "Jadilah babi yang baik dan tidur lah menggantikan ku,"ujarnya sebelum melompat dari jendela.

"Tuan!! Tapi ini kan lantai-"

Theron melihat betapa gesitnya Alaric melompat dari jendela satu ke jendela lainnya dan kemudian langsung ke pepohonan di dekat sana. Lantai 3 tidaklah sulit bagi Alaric untuk bergerak.

"Jadi begitu, caranya pergi dari lantai 3?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!