2. Keputusan

Elion Lightbringer, ksatria legendaris yang pernah mengarungi samudra perang dan menghancurkan kejahatan yang mengepung dunia. Dalam cerita-cerita lisan, namanya menjadi kisah inspiratif bagi setiap ksatria yang bermimpi membasmi kegelapan.

Dengan pedangnya yang bersinar cahaya keemasan, Elion memancarkan keberanian yang tak terbantahkan. Teknik pedangnya begitu mahir, setiap gerakannya seperti tarian angin yang menggetarkan hati lawan-lawannya.

Ksatria terkuat.

Ilmu pedang yang mengesankan.

Diagungkan seluruh penjuru kerajaan.

Terkenal sebagai ksatria berdarah dingin yang bisa membunuh iblis hanya dengan sekali tebasan pedang. Jarang bicara dan kemudian menghilang di balik reruntuhan Medan perang yang berhasil dia menangkan. Hingga saat ini, keberadaannya masih menjadi misteri.

Namun, cerita ini bukan sekadar legenda untuk Alaric. Ketika sosok mini muncul di hadapannya dengan klaim bahwa dirinya adalah Elion Lightbringer, Alaric tidak bisa membendung keraguan dan ketidakpercayaannya.

Bagaimana mungkin legenda yang menghancurkan kejahatan itu sekarang bisa dalam sosok mungil yang berbicara dengan nada ceroboh?

"Bagaimana aku bisa percaya padamu? Aku tidak sebodoh itu berpikir jika kau itu sang Lightbringer yang pernah hidup 300 tahun yang lalu itu," ujar Alaric dengan suara ragu, sementara pandangannya terfokus pada bocah mungil di hadapannya.

Elion tersenyum, mata kecilnya berkilau seperti bintang. Cangkir yang tadinya hilang, kembali muncul dan dengan santai berpose sedang meminum tehnya.

"Aku juga tidak percaya jika kau memang keturunan raja melihat tubuh lemah mu itu."sindir Elion melirik sinis ke arah Alaric.

Dengan menghela nafas kasar, Alaric capek berdebat dengan sosok kecil itu. Dia sekali lagi meneliti bocah mini yang sombong itu.

Rambut biru kehitaman yang panjang terikat menjadi satu dengan mata biru yang memabukkan terlihat begitu imut berbeda dengan yang dideskripsikan oleh buku legenda. Tapi keduanya hampir terlihat mirip.

Mata mereka kemudian bertemu. Tatapan tajam Elion mini refleks membuat Alaric memiringkan kepala, "kenapa?"

"Sudah kuduga, kau tidak terpengaruh dengan tatapanku. Kau..... Sudah berapa lama kau mulai meminum darahku."

"Apa? Meminum darahmu? Kapan? Menjijikkan!!"

Elion tampak bingung dengan jawaban Alaric. Dirinya terbang memeriksa seluruh tubuh Alaric yang tampak masih berantakan. "Jadi begitu ya? Kau.... Baumu begitu busuk!! Pergilah mandi sana!!" Dengan tangan mungilnya yang menyumbat hidung, Alaric tampak kesal mendengar perintah Elion.

Bau tak sedap benar menganggu Indra penciumannya. Padahal dia ingat baru tadi sore dia mandi, tapi sudah berbau seperti ini?

"Apa harus aku siramkan air agar kau sedikit wangi?"

"Ah, berisik!! Aku akan mandi, sialan!!"

"Dasar bocah tidak sopan!!"

* * * *

Rambut yang tadinya berantakan sekarang tampak lebih terawat. Busana yang juga mulai berbau itu sudah berganti busana elegan berwarna biru yang dipilihkan Elion untuknya.

Meskipun wajahnya masih tampak pucat, tapi dia masih bisa sedikit menambahkan bedak dengan bantuan cermin di meja.

"Jadi maksudmu, aku sebenarnya bisa mati karena darahmu yang ada di dalam teh yang ku minum itu?" Alaric menarik kesimpulan dari penjelasan Elion yang tampak berbelit belit sejak dirinya masuk kedalam kamar mandi.

Wajahnya membuat beberapa garis berusaha mengerti dengan bahasa yang kurang lebih sulit dipahami.

"Racun dalam darahku sangat kuat hingga bisa membunuh hanya karena setetes saja. Dan anehnya, kau tidak mati sedangkan aku tiba tiba muncul begini dengan pengelihatan menyempit begini. Omong omong tabib tadi hebat juga bisa mengetahui kandungan racun di dalam darahku itu,"

Elion berdiri di depan kaca dan bingung karena penampakannya tidak terlihat dengan matanya.

"Tabib? Apa ada yang merawat ku sebelum ini?" Alaric memutar kursinya menatap Elion dengan penuh harapan. Elion masih dengan tangan yang terlipat melayang mundur dan berbalik tak melihat Alaric.

"Seorang tabib bersama beberapa orang lainnya merawat mu. Mereka kemudian meninggalkanmu atas perintah salah satu pria yang sepertinya anggota keluarga Kerajaan. Terlihat dari warna matanya yang se merah darah."

"Mungkin, itu adalah Valerian. Putra mahkota yang membenciku."

"Tapi.... Ya sudahlah. Aku juga sudah mengecek bahwa tidak ada yang bisa melihatku selain dirimu. Jadi, berbanggalah, bocah lemah!!"

Alaric tidak memperhatikan ucapan terakhir Elion. Dia berjalan kembali ke ranjangnya. Berjalan saja sangat melelahkan baginya.

Secara fisik, Alaric memang terlihat sangat sehat. Namun di dalamnya, dia masih memiliki penyakit yang dideritanya sejak kecil.

"Elic,"panggil Alaric tiba tiba.

"Siapa yang kau panggil itu? Aku Elion!! E-Li-On!!"sanggah Elion kesal namanya diganti seenaknya.

Tapi putra kedua itu sekali lagi tidak peduli. "Kau tau Elic. Sisa hidupku mungkin hanya sampai aku berumur 20 tahun saja. Tapi.... Aku ingin melihat Valerian duduk di singgasana sebelum kematianku. Dan itu terlihat sangat mustahil."

Suasana tiba tiba menjadi suram. Hening. Bahkan Elion tidak bergerak sama sekali. "Dilihat sekilas, semua pasti sudah tau akan hal itu. Kau itu sangat lemah! Aku bahkan sampai kebingungan membersihkan peredaran darah kotor di tubuhmu!!"

"Elic, bisakah kau membuatku bertahan sampai penobatan raja Valerian terlaksana?"

"Bukankah hubungan kalian tidak baik?"

Alaric menggeleng. Hubungan mereka tidak buruk sejak awal, bahkan mereka sangat akrab saat mereka masih kecil.

Valerian yang sangat menyayangi Alaric meskipun dengan penyakit yang di deritanya. Tapi, semenjak tabib mendiagnosa jika Alaric akan hidup sampai 20 tahun, Alaric berubah menjadi liar.

Dia sering menghancurkan barang dan menghina Valerian dengan sangat kasar. Bahkan ada cerita jika dia hampir membunuh Valerian dengan melemparkan pisau buah dari belakang.

"Aku ingin Valerian tidak merasa sedih disaat aku mati nanti, tapi sebelum itu, aku ingin melihat tahta Kerajaan ini ada di tangan yang tepat. Dan itu adalah tangan Valerian,"

Mata Alaric memancarkan cahaya. Berbeda dari sebelumnya yang sangat menjengkelkan bagi Elion, kini sorot mata pangeran kedua itu tampak meminta belas kasihan dari Elion. "Jadi, kumohon, bantulah aku sang ksatria legenda!!"

Situasi itu meningkatkan Elion pada seseorang.

"Seorang pangeran tidak pernah memohon!! Hentikan tatapan matamu itu!! Lagipula, aku membutuhkanmu untuk mengetahui bagaimana darahku bisa ada di masa ini." Elion melengos melayang layang mengibarkan rambutnya.

"Jadi? Kau mau membantuku kan Elic?"

Tatapannya kembali cerah. Jika Elion membutuhkan bantuannya berarti dirinya tidak akan sekarat lagi seperti sebelumnya.

"Bicara apa kau? Jangan salah sangka! Aku hanya butuh bantuanmu karena aku tidak terlihat. Tentang permintaanmu tadi, aku belum memutuskannya!!"

"Baiklah baiklah. Makasih, Elic!!"

"Namaku Elion, bocah prik!! Ingat itu!!"

"Tapi sekarang kau menjadi mini-lion, jadi aku akan memanggilmu Elic! Ataukah harus ku panggil Minion?"

"Ucapkan sangat tidak sopan. Ehem!! Panggilan yang pertama saja kalau begitu,"

"Baiklah, Elic!"

Alaric tidak menduga sangat mudah mempermainkan kurcaci mini yang menyebut dirinya sebagai Elion sang legenda itu.

Sedangkan Elion. Dia tiba tiba menghilang menyembunyikan wajahnya yang mungkin terlihat lucu karena malu.

Mini Elion sangat menggemaskan. Dengan pipi gembul, tangan yang pendek dan mungil juga sorot mata yang harusnya tegas menjadi lebih lebar seperti seorang bayi membuat Alaric sangat ingin menggodanya.

"Elic? Kau pergi kemana? Kembalilah!! Elic!!"

Alaric berteriak sedikit keras. Suaranya sudah hampir sampai batasnya dan membuatnya terbatuk batuk saking bersemangatnya.

Batuknya memuntahkan darah segar. Alaric tidak lagi panik. Itu sudah seperti rutinitasnya selama hampir 14 tahun ini.

Suara pintu yang perlahan membuka tidak juga meredakan batuk Alaric yang semakin menjadi. Seorang pria datang dan melihat pemandangan memilukan Alaric yang sedang bertarung dengan darah yang terus keluar dari mulutnya.

"Pengawal!! Cepat panggil tabib!!"seru pria itu melotot pada semua pengawal yang mengikutinya.

Valerian Eldorion.

Pria tampan itu berlari bergegas mencarikan aroma Terapy yang mungkin bisa meredakan batuk Alaric.

"Kenapa kau duduk! Kau tau jika dirimu itu sangat menyusahkan kan? Kembali tidurlah!!" Valerian menepuk nepuk punggung Alaric.

Wajahnya berkerut. Dia berlutut menyetarakan tingginya dengan Alaric yang duduk di ranjang.

Elion kembali muncul berputar putar di sekitar Alaric. "Bocah ini muntah lagi? Apa kau tidak bosan? Sepertinya darahmu sangat banyak ya?"

Alaric malah melotot mendengar suara Elion yang sangat menjengkelkan itu. Dia mengibas ngibaskan tangannya mengusir Elion yang hinggap tepat di kuncir rambut Valerian dengan wajah menyebalkan khas miliknya.

"Ada apa?! Kau tidak membutuhkanku? Aku bahkan sudah berlutut seperti ini, diam saja kau!!"

Valerian salah memahami perilaku Alaric. Dia kemudian menotok leher Alaric menghentikan darah yang terus keluar tanpa henti.

Bodohnya aku.... Bahkan dia sampai tidak membutuhkanku lagi. Pasti dia sangat membenciku kan? Tapi Baguslah! Dia jadi punya tujuan untuk tetap hidup.

Alaric terbelalak. Dia melihat ke arah Valerian yang sedang berwajah datar melihat ke arahnya. "kenapa? Kejadian merepotkan apa lagi yang ingin kau lakukan? Tetaplah diam sampai tabib memeriksa mu kembali."

Aku akan pergi. Dia bisa lebih tenang jika aku pergi kan? Semoga-

Tangan Valerian yang membantu Alaric berbaring kini mulai menjauh. Begitu juga suaranya yang tiba tiba menghilang. Alaric masih belum percaya dengan apa yang dia dengar baru saja. Itu seperti suara Valerian. Tapi wajah dan bahkan mulut Valerian tidak terlihat seperti sedang berbicara padanya.

Valerian kemudian berjalan pergi berganti tabib dan beberapa pengawal yang berjaga di kamarnya.

"Valerian,"panggil Alaric menghentikan langkah sang putra mahkota.

Tanpa bersuara, dia menoleh menunggu apa yang akan Alaric katakan. "Kalau kau tidak keberatan, apakah kau mau makan malam bersamaku?"

Wajah Valerian sedikit berubah namun tak sampai sepersekian detik ekspresinya kembali datar. "Akan ku pertimbangkan nanti. Jangan banyak bicara dan tidur saja sana!"

Valerian menutup pintu kamar Alaric perlahan. Sebelum tertutup rapat, Alaric melihat senyuman kecil Valerian yang begitu hangat.

"Jangan kepedean. Tolong jangan kepedean, Alaric."batinnya meronta ronta gembira. Dalam pikirannya, dia sangat senang mengetahui Valerian ternyata tidak membencinya yang selalu menjadi beban.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!