Ayusa membawa Vio masuk ke pasar yang ramai dengan aktivitas transaksi jual beli yang sibuk. Gadis itu melihat sesuatu yang tak biasa, membuat kedua matanya membelalak dengan tajam.
"Hah? I... Itu kan, tangan, kaki, dan ke... Kepala manusia," ucapnya terkejut. Para siluman menjajakan organ-organ tubuh manusia, mulai dari daging hingga jeroan. Pemandangan mengerikan tersebut membuat perut Vio terasa mual.
"Sayang, kenapa mereka tega melakukan ini terhadap manusia, hah?" tanyanya kepada Ayusa.
"Itu karena kesalahan mereka sendiri. Mau tahu kenapa? Manusia-manusia itu telah bersekutu dengan bangsa siluman demi meraih kejayaan dan kekayaan secara instan berkat bantuan bangsa siluman. Saat masa perjanjian itu selesai, mereka mengambil badan kasar manusia secara paksa, dan membunuhnya dengan sadis. Namun, jiwa mereka tetap utuh, sebagai gantinya jiwa-jiwa manusia itu menjadi budak bangsa siluman, sementara jasadnya menjadi santapan mereka," papar Ayusa panjang lebar, membuat Vio tercengang oleh kisah yang diceritakan suaminya tersebut.
"Sungguh sangat mengerikan, ternyata kekayaan yang didapat di dunia tidak sebanding dengan penderitaan yang mereka rasakan ketika berada di sini," kata Vio sambil terus merekatkan pelukan di atas gendongan suaminya.
"Ya, kira-kira begitulah. Itu namanya konsekuensi yang harus mereka hadapi," ujar Ayusa. Ia melangkah perlahan di antara bangsa siluman yang sedang hilir mudik.
Ayusa selalu mendapat sapaan penghormatan dari bangsa mereka, seolah-olah menjadi seorang Presiden di antara rakyatnya.
Di tengah pasar yang dipenuhi bangsa siluman, terdengar ramai obrolan menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa yang di gunakan manusia sehari-hari, menyesuaikan adat, tradisi, dan budaya setiap negara dan daerah.
Namun, suasana menjadi semakin menegangkan ketika Vio menyaksikan bagaimana bangsa siluman melahap potongan daging manusia secara utuh tanpa proses memasak terlebih dahulu.
Mereka meraih potongan kaki atau tangan seperti sedang menikmati camilan, dan rakusnya saat memakan makanan itu membuat Vio semakin merasa risih.
Ketegangan Vio bertambah saat melihat seorang siluman berbadan manusia berkepala harimau menyantap daging-daging itu dengan ganas, seolah sedang memenuhi nalurinya sebagai predator.
Suara geraman dan sorot mata tajam dari siluman harimau tersebut membuat Vio merasa terancam, dan ia segera berlindung di balik Ayusa.
"Dia melihatku!" bisik Vio, yang dijawab Ayusa dengan tawa, meremehkan kekhawatiran Vio.
Namun, gadis itu terus merasa diawasi dan diincar oleh siluman harimau tersebut.
"Tenanglah, dia tak akan memburu mu!" ujar Ayusa mencoba menenangkan perasaan sang istri.
"Apa kamu sudah puas? Atau masih ingin melanjutkan?" sambung Ayusa, menawarkan pilihan kepada Vio. Gadis itu masih penasaran dan meminta suaminya untuk melanjutkan eksplorasi ke dunia siluman.
Setelah keluar dari area pasar yang mengerikan, Ayusa masih membawa Vio yang masih di gendong.
"Sayang, sebaiknya turunkan aku, aku takut kamu kelelahan," kata Vio sambil menggelitik punggung suaminya, membuat Ayusa yang kegelian tertawa-tawa.
"Hahahaha... Hentikan! Jangan menggelitiki punggungku seperti itu!" larangnya tegas, dan Vio terkekeh di buatnya karena gemas melihat tingkah suaminya.
Dengan cepat, Ayusa berjongkok, dan Vio turun dari tubuhnya.
"Sayang, aku ingin melihat jiwa-jiwa manusia yang dijadikan budak oleh mereka, boleh kan?" pinta Vio. Ayusa mengangguk sebagai persetujuan, dan mereka melanjutkan perjalanan untuk mengeksplorasi lebih dalam ke dunia siluman.
Keduanya berjalan bersama-sama di tengah padang pasir yang tak tandus, tetapi tak ada udara panas di sana.
Warna kuning keemasan menyelimuti atmosfer, ibarat senja di alam manusia, menghadirkan suasana yang tak biasa.
Keduanya menyusuri jalanan yang tampaknya tak berujung, dan tidak lama kemudian, Vio melihat bangunan megah seperti istana dengan nuansa tradisional yang masih kental.
Bangsa siluman yang mereka temui tampak anggun, gagah dan rupawan, mengenakan pakaian adat khas masyarakat tempo dulu.
Vio mulai merenung. "Apa mungkin mereka adalah nenek moyang yang telah meninggal dan menciptakan kehidupan baru di alam yang berbeda," gumamnya.
Ayusa tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, meninggalkan keajaiban dan misteri dunia siluman untuk diungkapkan secara bertahap.
Meski begitu, jika dilihat secara dekat, tentu fisik mereka memiliki perbedaan nyata dengan bangsa manusia.
Mereka memiliki telinga yang runcing ke atas, tidak memiliki belahan di antara hidung dan bibir, serta hidung mereka juga tidak terlalu mancung, akan tetapi, siluman di tingkat 2 ini jauh lebih baik daripada siluman berwajah hewan yang Vio temui sebelumnya. Mereka juga menyapa kedatangan kedua pasangan suami istri berbeda dimensi ini dengan ramah.
"Selamat datang," ucap salah satu pria yang hanya bertelanjang dada, memiliki rambut panjang sebatas bahu yang ikal, mereka mengenakan bawahan seperti rok, tetapi bukan rok, meski begitu mereka terlihat tampak gagah dan berwibawa.
Ayusa dan Vio melewatinya, kemudian masuk ke dalam istana kerjaan tersebut. Bangsa siluman itu memberikan penghormatan secara bersamaan ke arah kedua pasangan suami istri ini.
Dalam istana kerajaan siluman, pelayan-pelayan tanpa upah bekerja dengan kasar, terus-menerus melakukan tugas mereka tanpa jeda atau istirahat. Jiwa-jiwa manusia, yang dijadikan budak selamanya di alam siluman, terkadang menderita siksaan bertubi-tubi.
Mereka ada yang di tugaskan untuk menumbuk padi, menggoreng di atas minyak panas hingga tangan mereka melepuh dan berdarah, bahkan kulitnya sampai terlepas hingga memperlihatkan dagingnya yang terbuka.
Di sudut lain, Vio melihat sebuah jembatan penghubung yang ternyata terbuat dari anyaman tubuh manusia.
Beberapa dari mereka dipekerjakan untuk menjadi bagian dari struktur jembatan, diperlakukan dengan kejam dan tidak layak.
Suara erangan mereka seakan diabaikan oleh bangsa siluman, tubuh manusia yang diikat satu per satu tanpa mengalami proses kematian, hanya meninggalkan jiwa yang tersiksa.
"Aargh... Tolong..." teriak manusia-manusia yang dianyam, mengirimkan rasa ngeri ke hati Vio. Mereka berlumur keringat berwarna merah, tanda penderitaan yang mereka alami.
Ayusa mengajak Vio melewati jembatan tersebut, namun gadis itu enggan dan terguncang melihat pemandangan yang menyedihkan.
Ayusa, kesal dengan keengganan Vio, memutuskan untuk memangku tubuhnya dengan gaya bridal saat melewati jembatan anyaman manusia tersebut. Setiap langkah kaki Ayusa menginjak tubuh mereka, menghasilkan erangan dan rintihan menyakitkan yang memenuhi udara, silih berganti dengan setiap jejak langkah yang diambil.
Setelah berhasil menyeberangi jembatan yang mengerikan itu, Ayusa menurunkan tubuh Vio, yang kini terisak. Ayusa, agak jengkel dengan reaksi manja sang istri, bertanya, "Kenapa kamu menangis, hah?"
"Aku tidak tega melihat mereka," isak Vio, Ayusa merespon dengan memutar kedua matanya dengan ekspresi jengah di hadapan istrinya.
"Kamu benar-benar manja dan merepotkan! Untuk apa kamu menangisi mereka? Itu adalah sesuatu yang harus mereka bayar!" tegas Ayusa memberikan penjelasan, berharap Vio akan memahami.
"Kalau kamu masih seperti ini, sebaiknya kita pulang saja!" ajak Ayusa, namun Vio menggeleng, masih penasaran.
"Jangan sekarang!" tolaknya dengan suara cengeng. Ayusa, kesal dan frustasi atas kelambatan Vio, berdecak kesal.
"Ya sudah, cepatlah, jangan banyak drama! Aku muak melihatnya!" tegas Ayusa, dan Vio mengangguk, kali ini siap menghadapi segala keanehan dan kengerian berikutnya di alam siluman.
Dari kejauhan, terdengar kembali jeritan yang menggelegar.
"Aargg... Panas... Tolong...!" teriak suara tersebut, membuat tubuh Vio kembali bergetar. Ia menarik pakaian hitam Ayusa dan menggenggam tangannya erat.
Iblis tampan itu membawanya mendekat ke arah sumber suara, dan tampaknya beberapa manusia dijadikan kayu bakar oleh bangsa siluman.
Mereka dipaksa masuk ke dalam tungku api yang berkobar-kobar, memancarkan panas yang luar biasa.
"Astaga, ngeri sekali," batin Vio. Sepasang mata mereka terbuka lebar, memerah menahan betapa sakitnya tubuh yang terbakar di dalam tungku api itu.
"Aku mohon, ampuni aku," teriak salah satu dari mereka, menyuarakan permintaan yang berbeda-beda, semuanya menginginkan akhir dari penderitaan di hadapan para siluman kejam. Namun, para siluman tak mempedulikan erangan atau jeritan yang keluar dari mulut mereka yang membusuk.
"Teruslah berteriak!" kata siluman yang sedang memasukkan tubuh-tubuh manusia ke dalam kobaran api. Ajaibnya, siksaan itu terus berulang, tubuh yang hancur akan hidup kembali, dan mereka disiksa tanpa henti.
"Ini seperti neraka bagi mereka," bisik Vio sambil meringis ngeri menyaksikan penyiksaan yang tidak manusiawi.
"Itulah sebabnya, karena mereka mengambil cara sesat demi mencapai ambisinya. Padahal, hidup setelah kematian itu jauh lebih kekal," ungkap Ayusa dengan suara penuh penyesalan, sementara Vio terus merenung, menyadari bahwa kekayaan dan kejayaan sesaat dapat membawa konsekuensi yang mengerikan.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments