Vio, tanpa merasa takut, semakin tertantang oleh kehadiran makhluk astral di hotel tersebut. Langkahnya mantap keluar dari ruangan, yang ternyata adalah kamar hotel di lantai utama dengan deretan pintu-pintu kamar di sepanjang lorong.
Dengan lampu senter ponselnya dan keberanian yang menggebu, Vio melangkah maju menelusuri lorong yang gelap dan sunyi. Hanya irama langkah kakinya dan hembusan angin malam yang terdengar. Tiba-tiba, suara pintu terbuka menarik perhatiannya. Namun, ketika ia menoleh, pintu itu segera tertutup kembali seolah ada kehadiran yang tak diinginkan.
Vio terkejut tak terkira, membelalakan kedua matanya, dan setelah menarik napas dalam-dalam, ia meneruskan langkahnya. Vio kini menaiki anak tangga yang berkelok, tetapi suasana mencekam kembali menyelimutinya di lantai dua.
Ia mendengar suara tawa riang seorang anak kecil yang bermain dan berlarian, namun tanpa wujud yang terlihat. Vio merasa dipermainkan, tangan bergerak secara tak beraturan, dan suara tawa semakin bergema.
Dengan penuh keberanian, Vio menantang makhluk tersebut, memanggil mereka.
"Hei, siapapun kalian, tunjukan wujud asli kalian, aku tidak takut!"
Suara tawa semakin bising dan bergema, kursi-kursi tua bergeser, dan musik dari gramophone mengalun dengan lembut, mengisi ruangan dengan lagu berbahasa Hungaria yang tak ia mengerti.
Vio, berusaha menghentikan irama yang mengerikan itu, mendengarkan suara napasnya yang jelas terdengar.
"Siapa kamu?" teriak Vio, menyorotkan lampu senter ke atas lemari.
Seorang anak laki-laki berkaos merah muncul, dengan mata bulat sebesar bola mainan dan wajah pucat yang dipenuhi retakan serta guratan urat-urat yang menghitam. Sosok itu membuka mulutnya, memperlihatkan taring yang tajam.
Reflek Vio berteriak, meski otot kakinya lemas, berusaha melarikan diri menuruni anak tangga satu persatu untuk menghindari sosok menyeramkan itu.
Vio melarikan diri dengan langkah gontai, hampir terjatuh, tetapi berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Ia keluar dari tempat tersebut, dan di luar terdengar suara canda tawa para pemuda, lebih tepatnya remaja tanggung.
Mengendap-endap, Vio mengintip dari celah tembok yang keropos. "Untuk apa mereka kemari?" batin Vio, mendengarkan percakapan keempat pemuda itu dengan seksama.
"Bro, tempat ini pas banget buat Ngevlog," ujar pemuda bernama Wendy dengan semangat. "Yoi!" sahut Rendra.
"Kamu siap jadi setannya?" tanya Ken kepada Haris, yang mengangguk dengan antusias.
"Sip lah, siapa takut, yang penting cuan, Men!" jawab Haris dengan berani.
Ia meletakkan tas ranselnya dan mengeluarkan beragam kostum serta make-up untuk mendandani dirinya menjadi sesosok hantu, menciptakan ilusi syuting langsung di saluran pribadi mereka.
"Bantuin dong!" pinta Haris kepada ketiga temannya. Mereka mendandani Haris menjadi sosok yang sangat menyeramkan, sambil tertawa-tawa dengan kalimat sompral.
"Setan-setan asli juga bakalan takut sama penampilanmu," ujar Ken sambil tertawa jenaka ketika usai mendandani Haris. "Wih, badas, Men!" seru Rendra.
Haris meraih ponselnya dan memotret dirinya sebelum syuting dimulai.
"Oke, siap ya!" kata Wendy yang mulai mengarahkan kameranya kepada Ken yang bertugas sebagai pembawa acara, dan Rendra sebagai juru kunci atau pemuka agama kepercayaan mayoritas.
"Baik, pemirsa, kita berjumpa lagi dalam acara 'Jerit Malam.' Saat ini kami berada di sebuah hotel tua yang konon katanya sudah terbengkalai selama 50 tahun. Di sini, hawanya sudah sangat terasa berbeda," ujar Ken dengan penuh semangat, seperti seorang influencer yang mahir dalam memandu acara.
Haris bersembunyi dengan harapan menunjukkan kesan mengejutkan dalam syuting vlog tersebut.
Namun, di luar kendalinya, ia menatap sebuah cermin retak dan melihat pantulan dirinya yang tampak pucat lengkap dengan riasan yang terkesan menyeramkan, akan tetapi, semakin ia mengamati, pantulan bayangannya seakan bergerak tanpa kendali, bahkan memutar kepalanya 180 derajat hingga terputus, dan menggelinding.
Mulut Haris terbuka lebar dengan kedua mata yang membulat, ia bahkan sulit berkata-kata, otot kakinya melemah sambil menunjuk ke arah kaca tersebut.
Tiba-tiba, ia tak sadarkan diri. Di luar ruangan, Rendra memberi kode agar Haris segera tampil, tetapi raga Haris tampak dihuni oleh sosok lain, ia tertunduk dan berjalan seakan melayang.
"Gais, ada penampakan, gais," ujar Ken ke arah kamera, dan Wendy langsung menyoroti Haris yang tertunduk.
Haris mengangkat wajahnya sambil membelalak tajam, mulutnya menganga. Mereka berpikir Haris sedang menjiwai aktingnya sebagai hantu bohongan.
Haris mendekat ke arah Ken, menjulurkan kedua tangannya, hendak menyerang temannya itu.
Suara menggeram terdengar, Haris tiba-tiba mencekik leher Ken.
Wendy terpaksa mematikan kamera, menyadari ada yang tak beres. Tubuh Ken terangkat dengan posisi tercekik, Haris memutar-mutar tubuh Ken, lalu membantingnya.
"Ris, sadar, Ris!" teriak Wendy.
"Haris, nyebut, Ris!" sambung Rendra. Mereka tak sanggup menghentikan amukan Haris yang diluar batas manusiawi.
Sementara Vio, ia berlari dari tempat tersebut, berhasil keluar dari pintu gerbang dengan napas terengah-engah, keringat mengalir deras di sekujur tubuhnya.
Vio melangkah dengan kaki yang bergetar, menyusuri jalanan yang sepi dengan cahaya redup. Bunyi klakson dari kendaraan yang lewat hanya sebatas latar belakang yang tak begitu dihiraukannya. Miguel dan Roy, dua pemuda yang berada di dalam mobil, tertawa dan berhenti sejenak.
"Hei, lihat itu!" seru Miguel kepada Roy yang mengemudi, menunjuk Vio yang tengah berjalan sendirian.
Roy menjawab dengan nada skeptis, "Stt.. Jangan-jangan, itu perempuan jadi-jadian, lagian mana mungkin ada manusia berkeliaran jam segini di tempat sepi seperti ini."
"Iya, juga ya. Ya sudah, cepat cabut dari sini!" desak Miguel sambil menyentuh bulu kuduknya yang mulai meremang.
....
Singkat cerita...
Vio tiba di depan pintu rumahnya pada pukul 3 dini hari.
Saat mengetuk pintu, rasa was-was memenuhi dirinya.
Pintu terbuka, dan sang Ibu, mengguyur tubuh Vio dengan air satu ember hingga basah kuyup.
"Dari mana saja kamu?" bentak Bu Alina dengan suara tinggi, sementara Ayah Vio menyeretnya secara kasar dan menjatuhkan tubuh putrinya ke bawah lantai.
Pak Burhan, sang Ayah, mengambil sabuk kulit dan memukuli Vio dengan penuh kemarahan, menghasilkan suara erangan dan rintihan yang menggema di dalam rumah.
"Ampun Pah, Ampun Mah," teriak Vio, sementara sabuk terus menghantam tubuhnya, meninggalkan luka-luka memar yang memilukan.
Vio menahan derita, tubuhnya dipenuhi rasa sakit ketika mereka terus menerus menghantamnya dengan kejam.
Wajah sang Ibu memancarkan amarah, matanya menyala-nyala ketika ia memandang putrinya dengan kekecewaan yang mendalam.
"Dasar pembangkang!" umpat sang Ibu.
"Anak pembawa sial!" sambung Pak Burhan terhadap putrinya.
Teriakan caci maki terus di lontarkan, menambahkan luka yang lebih dalam daripada pukulan fisik.
Vio berusaha menyebut nama Tuhan, tapi jawaban hampa seperti hembusan angin yang berlalu.
Setelah mereka puas menyiksa Vio, kepergian mereka meninggalkan jejak luka yang tak terucapkan.
Vio, tersiksa dan hancur, merangkak menuju kamar.
Teriakan frustasi memenuhi ruangan, dan dengan penuh kemarahan, ia membalikkan tanda salib di dinding sebagai protes dirinya terhadap Tuhan.
Batin Vio yang jauh dari iman diliputi oleh keraguan, melemparkan benda-benda apapun yang ada di sekitarnya.
Dalam kilas kesedihan dan kemarahan, ia membuka tasnya dan menemukan kitab yang diberikan oleh Billy. Setiap halaman ia buka dengan hati-hati.
Di lembar berikutnya, gambar seorang wanita yang sedang menjalani ritual pernikahan dengan sosok Iblis tampak menghiasi halaman, dalam diksi itu tertulis bahwa wanita tersebut telah menyerahkan jiwa dan dirinya kepada sang Iblis untuk tujuan tertentu.
Vio menutup kitab tebal itu, napas kasarnya menghela udara. Bibirnya, yang sebelumnya berbicara dengan emosi, kini rapat dengan ketegangan yang tak terucapkan. Sorot mata Vio seperti kilat yang menyambar, mencerminkan pertarungan batin yang sedang berlangsung.
Pertanyaan terlarang melintas di benaknya. Ide-ide yang tak pernah ia bayangkan muncul dengan sendirinya. "Haruskah aku melakukan ini? Menjadi pengantin Raja Iblis, agar kehidupanku bisa berubah menjadi lebih baik," bisik Vio, merenung dalam kegelapan yang membayangi pikirannya.
Vio, ia sebelumnya merupakan individu yang taat beragama, tak pernah mengabaikan ibadah rutinnya. Namun, jalan kehidupan yang tak beruntung membawanya ke lembah hitam yang tak terbayangkan.
"Ayusa," gumamnya, senyum tipis muncul di wajahnya. Dalam lamunan, ia melukiskan sosok rupawan Ayusa yang begitu memikat.
"Bagaimana jika aku benar-benar menikahinya?" lanjutnya berandai-andai, membiarkan imajinasinya membawa ia lebih nyata ke dalam keputusan yang tak terpikirkan sebelumnya.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments