Malam hari tiba...
Dimana perlakuan tak patut itu kembali terulang. Ayah dan Ibunya mengobrak-abrik isi lemari milik Vio, mencari sisa-sisa uang yang mungkin masih dimilikinya.
Mata gadis berambut pendek itu terbuka tajam ketika ia baru saja akan memejamkan kedua matanya.
"Mah, Pah, apa yang akan kalian lakukan?" Vio berlutut di hadapan keduanya mencoba menghentikan.
Namun, ia malah ditendang oleh kaki sang ibu. "Vio, katakan! Kamu masih menyimpan uang, kan?" Bu Alina berkaca pinggang di hadapan putrinya yang meringis kesakitan. Bukan hanya sakit secara fisik. Namun, juga mental.
Vio menggeleng sambil tersedu-sedu, air matanya tumpah ruah tak terkendali. "Uangku sudah habis, Ma," jawab Vio dengan suara yang memilukan.
Pak Burhan, tanpa berperasaan, ia pun sama seperti istrinya, melempar semua pakaian Vio tak tentu arah.
Bukan hanya itu, mereka juga mengobrak-abrik isi kamar putri mereka. Vio benar-benar merasa terhina dan sakit hati diperlakukan kejam oleh kedua orangtuanya itu.
Setelah mencari sesuatu yang tak diperoleh, mereka langsung pergi meninggalkan Vio dengan duka yang mendalam.
Gadis itu meratapi nasibnya seorang diri, isakannya menggema memenuhi intensitas ruangan kamar.
"Jahat! Benar-benar jahat!" kata Vio, bahkan ia menanyakan kemana peran Tuhan di saat dirinya sedang dalam keadaan susah seperti ini.
"Mengapa Engkau diam saja, Tuhan? Apa kau puas melihatku seperti ini?" Vio meratapi, hatinya sudah sangat kesal. Ia kali ini benar-benar sendiri.
Di saat pikirannya sudah buntu, gadis berambut pendek itu meraih tas ransel, kemudian melipat dan memasukkan pakaiannya.
"Aku sudah muak berada di sini!" gumam Vio, air matanya terus mengalir sampai-sampai tertelan di tenggorokan saking banyaknya.
Ia mengusap ketidakberdayaan di wajahnya, lalu bangkit sambil menggendong ranselnya itu.
"Meski aku tak tahu kemana tujuanku, aku rasa keluar dari rumah ini adalah pilihan yang tepat!" batin Vio dengan dada yang semakin sesak jika mengingat perilaku kedua orangtuanya yang selalu semena-mena dan tak berperasaan.
Ia keluar dari dalam kamar, kedua orangtuanya sedang duduk di sofa ruang tengah.
Vio menangkap samar-samar suara obrolan mereka.
"Aku sudah cape memelihara dia, tak ada gunanya!" ujar Bu Alina.
"Ya, dia itu bikin malu kita saja, apa lagi dengan umurnya yang sudah semakin tua tapi kehidupannya masih gak jelas!" sambung Pak Burhan, telinga Vio seakan panas mendengar ucapan itu, ia semakin yakin jika meninggalkan rumah adalah keputusan yang tepat.
Malas untuk berpamitan, Vio memilih keluar lewat jendela.
Di tengah malam yang sunyi, ia berjalan seorang diri.
Terbesit di pikirannya untuk menemui Billy, ia ingin mencurahkan semua keluh kesahnya pada pemimpin sekte sesat itu.
Ketika Vio melangkah melewati warung tempat tongkrongan anak muda, sinisnya komentar dari Bu Yuni, pemilik warung yang terkenal rese, menyapa Vio dengan nada merendahkan.
"Vio, kamu mau kemana? Mau minggat?" tanya Bu Yuni dengan nada mencemooh, menarik perhatian semua mata pemuda di sekitarnya.
"Ehem... Sendirian saja nih?" rayu Ethan, pemuda yang baru lulus SMA, dengan senyum menggoda.
"Ngapain kamu godain dia!" tegur Bu Yuni dengan nada tegas kepada Ethan, membingungkan pemuda tersebut.
"Loh, emangnya kenapa? Dia kan lumayan cantik," ujar Ethan, tak menyadari reaksi Bu Yuni yang semakin ketus.
"Asal kamu tahu, umur dia itu sudah hampir 30 tahun, perawan tua, gak laku-laku, dih amit-amit. Masa laki-laki muda seperti kamu menggoda seorang nenek-nenek!" ejek Bu Yuni, sambil mencibir. Vio, yang sudah melanjutkan langkahnya, meski samar, masih mendengar komentar pahit itu.
Menyadari hal itu, kening Ethan mengernyit heran. "Ah, masa sih? Tapi aku lihat, dia seperti masih muda, Bu, kaya masih umur 20 an gitu," ungkapnya dengan jujur dan tanpa malu.
"Iya! Tapi tetap aja dalamannya tua, hiy!" hina Bu Yuni, meninggalkan Ethan dalam kebingungan.
Vio terus melangkah, meneruskan perjalanannya, hingga akhirnya tiba di tempat tujuan. Kawasan hotel tua yang angker, tempat di mana Billy berada saat itu.
***
Di dalam ruangan itu, Billy tampak seperti tengah berkomunikasi dengan sosok tak kasat mata. Sosok itu tinggi besar, bertanduk, dengan mata tajam merah menyala, dan hanya ia seorang yang mampu melihatnya.
"Wahai manusia, siapkan wanita untuk menjadi pengantinku malam ini," pintanya, Billy mengangguk tunduk patuh. Sosok tak kasat mata itu tertawa dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.
Di saat yang tepat, pintu ruangan terbuka, dan Vio masuk ke dalam. Lelaki itu mendengar suara derit pintu yang berdecit, wajahnya penuh geram saat ia melangkah tegas menuju asal suara itu.
"Hei, kamu!" tunjuk Billy dengan tegas kepada Vio yang baru saja tiba, gadis itu terus berurai air mata.
"Pak pendeta, izinkan aku berada di sini, aku mohon. Aku sudah pergi meninggalkan rumah, tidak tahan lagi dengan perlakuan kedua orangtuaku yang jahat," ucap Vio sambil bersujud di kaki Billy. Lelaki itu berdiri dengan sikap angkuh, senyum sinis menghiasi wajahnya.
"Hahahaha... Kamu tiba di saat yang tepat," ujarnya, Vio bangkit dari bersujudnya sambil mengusap air mata.
"Jadilah pengantin untuk Lucifer, maka nasib kehidupanmu akan berubah," kata Billy dengan nada yang menggoda.
Mendengar rayuan Billy, Vio terpaku, membiarkan bayangan kehidupan yang sempurna melintas di benaknya. Setelah sejenak berpikir, ia mengangguk dengan mantap.
"Iya, aku bersedia menjadi pengantin Lucifer," ucapnya, senyum puas merekah di wajah Billy.
"Hahaha... Apa aku tidak salah dengar?" tanya Billy, kemudian memberi peringatan serius. "Ketahuilah, bahwa Lucifer memiliki rupa yang jauh dari kata rupawan. Jangan takut saat berhadapan dengannya. Kalau kamu sampai mengingkari janjimu, kehidupanmu akan jauh lebih buruk dari ini!" ancam Billy dengan tegas.
Sebenarnya, Billy tidak mengetahui wujud dan rupa asli Lucifer, yang sebenarnya adalah Ayusa.
Jika Ayusa memiliki wujud fisik yang sempurna dan tampan, ia tidak menampakkan rupa asli di hadapan Billy sebagai pemimpin sekte; hanya Vio yang memiliki kemampuan khusus melihat wujud asli sang Lucifer.
"Aku tak peduli mengenai itu!" ujar Vio dengan tekad yang sungguh-sungguh, Billy kembali tertawa.
"Baiklah, persiapkan dirimu! Ritual pernikahan akan diadakan tepat pukul 12 malam, hahaha..." kata Billy, dan Vio mengangguk kembali.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vio dengan suara rendah, tetapi tegas.
"Dandani dirimu secantik mungkin layaknya pengantin pada umumnya, dan aku sudah mempersiapkan make-up beserta gaun khusus untukmu," jawab Billy, lalu menuntun Vio ke sebuah kamar temaram yang dihiasi lilin sebagai penerang.
Ia membuka lemari kayu tua, di dalamnya terdapat beberapa gaun cantik dan sebuah kotak berisi alat make-up.
"Dari mana kamu mendapatkan ini semua?" tanya Vio sambil memandangi koleksi gaun-gaun mewah tersebut.
"Pakaian-pakaian ini sudah ada sejak lama. Kamar ini dulunya tempat menginap seorang putri konglomerat," papar Billy. Vio mengangguk puas dengan jawabannya.
"Baiklah, silahkan kamu dandani dirimu. Jika sudah selesai, segera temui aku!" perintah Billy.
Ketika Billy meninggalkan kamar, Vio segera mengganti pakaiannya. Ia merias wajahnya dengan penuh perhatian sambil menatap cermin di tengah cahaya lilin yang lembut.
Vio, berdiri di depan cermin, memandang bayangannya sendiri dengan tegas.
"Aku harap ini keputusan terbaikku. Aku tak peduli bagaimana rupa Lucifer itu, mau dia jelek kek, buruk rupa kek, aku tak peduli. Yang penting, kehidupanku bisa jauh lebih baik, agar aku bisa menunjukkan kepada mereka dan membalaskan rasa sakit hatiku. Aku sudah lelah hidup menderita seperti ini. Aku sudah muak dengan hinaan, cemoohan, dan direndahkan terus-menerus!" Vio melemparkan seringai tajam terhadap dirinya sendiri di pantulan cermin, kemudian ia tertawa lantang.
"Hahaha... Ya, aku akan membalas perlakuan mereka!" tekadnya.
Saat itu, waktu hampir menunjukkan pukul 12 tengah malam. Vio, mengenakan gaun panjangnya, melangkah keluar kamar dengan hak tinggi yang cantik.
Di ruangan pernikahan, suasana khidmat sangat terasa. Ruangan begitu sesak dan wangi bunga beraneka macam menyeruak. Beberapa orang di sana tampak tertunduk, orang-orang misterius dengan pakaian kompak dan senada.
Tidak ada ekspresi di wajah mereka. Tiba-tiba, beberapa wanita bridesmaid menuntun lengan Vio, beberapa orang lainnya berada di belakangnya, berjalan sambil tertunduk.
Di balik sebuah altar, Billy berdiri siaga, sementara seorang pria dengan tuxedo hitam formal berdiri memunggunginya. Jantung Vio berdetak tak menentu, penuh kepenasaran.
"Apakah itu yang dimaksud Lucifer? Kenapa aku merasa tak asing melihatnya?" gumam Vio, berharap itu adalah Ayusa.
Vio semakin mendekat, dan seketika calon pengantin pria itu menoleh dengan gerakan perlahan. Melihat wujudnya, kedua mata Vio membelalak tajam, dan senyum merekah di sudut bibirnya.
Pernikahan yang ia idam-idamkan terwujud sudah, meski yang ia nikahi bukan manusia melainkan Raja Iblis sang penguasa kegelapan.
"Ayusa," ucap Vio, tatapannya membuat Ayusa jengah.
"Hais! Kalau bukan karena aku harus menyamar menjadi manusia di alam manusia, aku tak sudi menikah dengannya!" batin Ayusa. Meskipun tak ada pilihan lain, hanya dengan menikah dengan manusia ia dapat mengklaim aplikasi miliknya kembali dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia adalah makhluk cerdas.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Zila Aziz
asyik marathon membaca karya mu Thor
2024-01-14
0