Kurdi mencoba mengamati lebih dekat, meraih foto Sandy yang sudah terpasang jarum. Tiba-tiba, dari arah belakang terdengar suara deheman.
"Ehem..."
Pemuda bertubuh kurus itu menoleh perlahan, dengan tubuh gemetar dan lemas. Kedua mata yang semakin terbuka lebar, cekungan di pipinya semakin ketara.
"Hais!" karena kaget, Kurdi menjatuhkan selembar foto milik Sandy, hingga secara perlahan terombang ambing oleh angin sebelum menyentuh permukaan lantai.
"Lancang sekali kamu, hah!" kedua mata Jordan melotot tajam, seraya berkaca pinggang.
"Maa, maafkan saya, Pak, sa... Saya, ha..hanya akan membereskan dan membersihkan ruangan Bapak," kilahnya, ia tak berani menatap wajah bundar yang terlihat memerah karena amarah, lantas ia kembali meraih photo itu, dan meletakkannya di tempat semula.
"Hrmm..." Jordan menggeram, suaranya mirip harimau, membuat nyali Kurdi semakin ciut.
"Keluar kamu!" tunjuk Jordan pada pintu, Kurdi mengangguk.
"Tapi Pak, saya belum sempat bersih-bersih di sini," ungkapnya sambil meneguk kasar ludahnya yang terasa hambar di tenggorokan.
"Saya tidak menyuruhmu! Cepat keluar dari ruangan saya!" perintahnya sekali lagi. Kurdi segera keluar sambil membawa peralatan kebersihan, gagang sapu sampai terjatuh karena gugup.
Pria bertubuh kurus itu keluar dari ruangan Jordan dengan wajah tegang dan tangan yang bergetar hebat.
"Duh, aku harus memberi tahu Sandy!" gumamnya. Ia tak ingin terjadi sesuatu buruk menimpa rekannya.
Tiba-tiba, ia merasa ada yang mencolek pundaknya, lantas pemuda itu menoleh ke belakang. Di sana, Jordan berdiri tegas dengan kedua mata sipit yang dipaksa untuk terbuka lebar.
"Saya peringatkan kamu! Jangan sampai memberitahu siapapun, termasuk Sandy, mengenai hal ini, kalau tidak..." Jordan memberi gestur telunjuk yang ia gariskan ke leher, membuat Kurdi semakin menggigil, tetapi bukan karena kedinginan.
"Awas kalau sampai kamu bilang sama semua orang!" ancamnya. Kurdi mengangguk.
"I... Iya Pak, saya akan tutup mulut," ucapnya dengan suara gemetar.
"Bagus! Sekarang silakan bekerja dengan baik!" titahnya. Kemudian, Jordan berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya.
Kurdi hanya bisa menghela napas dalam-dalam, keringat dingin menitik di keningnya.
"Aku yakin, ada yang tak beres. Duh, Gusti, apa yang harus hamba lakukan untuk menyelamatkan Pak Sandy," batin Kurdi sambil terus berjalan. Kebetulan, ia berpapasan dengan Sandy ketika pemuda itu akan ke toilet.
"Pak, sst... Sini!" Kurdi melambaikan jemari kurusnya ke arah Sandy, membuat lelaki itu mengerutkan keningnya heran sekaligus penasaran dengan panggilan petugas kebersihan tersebut.
"Ada apa sih?" tanya Sandy dengan ketus. Kurdi melirik kanan kiri untuk melihat situasi, kemudian berbisik.
"Pak Sandy, sebaiknya Anda mengundurkan diri saja dari sini. Soalnya ada yang tidak beres," papar Kurdi. Sandy menanggapinya dengan tatapan remeh.
"Apa maksud kamu hah? Pake nyuruh saya buat mengundurkan diri segala! Ah, kamu iri kan, gara-gara gak di spesialkan sama si Bos! Bilang saja kalau iri, gak usah memprovokasi. Kami pikir, saya bakal menuruti omong kosongmu itu!" Sandy mengabaikan peringatan Kurdi, ia melangkah dengan sombong melewati petugas kebersihan tersebut.
"Sombong amat sih! Kena batunya baru tahu rasa!" Gerutu Kurdi yang kesal atas kecongkakan Sandy yang merasa selalu paling unggul di atas segalanya.
Setelah menuntaskan keperluannya di toilet, Sandy keluar sambil bersiul dengan gembira. Tiba-tiba, ia berpapasan dengan Sintia yang baru saja keluar dari kantor dan hendak kembali ke gedung pabrik.
Sandy menarik paksa lengannya.
"Sandy, lepas!" gadis itu mencoba memberontak. Namun, Sandy dengan cepat membungkam mulutnya dengan telapak tangan.
"Sutt! Diam!" bentaknya. Sintia terlihat cemas, tetapi tak bisa melawan karena Sandy mencengkram lengannya erat.
"Katakan, apa maumu?" tanya wanita itu, Sandy terkekeh sinis.
"Kenapa kamu ghosting aku, dan malah memilih Yanuar, hah? Apa kurangnya aku selama ini? Bukannya selama ini aku selalu memenuhi kebutuhanmu, apapun yang kamu inginkan aku selalu kasih, tapi kenapa?" cecar Sandy dengan pertanyaan, Sintia memutar kedua matanya jengah terhadap pria yang mencoba terus menahannya.
"Jelas saja aku pilih Yanuar, dia itu jauh lebih muda dan ganteng dari kamu, dia apik, sedangkan kamu jorok! Lihat wajahmu yang jerawatan itu! Kamu tak pernah mengurusi badanmu, aku muak lihat kamu, sama sekali gak enak di pandang! Sudah hitam, gendut, jerawatan!" hina Sintia tanpa menyaring ucapannya, membuat hati Sandy hancur dan terluka.
Seketika amarah merajai dirinya. "Berani-beraninya kamu menghinaku seperti itu!" Sandy mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak mendaratkan tamparan di wajah Sintia.
Namun, beruntungnya aksi tersebut berhasil digagalkan oleh Monik, yang menjabat sebagai staf.
"Sandy, apa yang kamu lakukan! Jangan bikin perkara di sini, ya!" Monik dengan tegas memperingatkan.
Sandy mendaratkan kembali lengannya, dan beranjak dari tempat menuju ke gedung pabrik seakan tak terjadi apa-apa.
Monik menghampiri Sintia dengan khawatir. "Sin, kamu gak apa-apa?" tanyanya, Sintia menggeleng. "Saya tidak apa-apa, Bu," jawabnya, lalu berpamitan.
...
Siang harinya, tepat pukul 11, Sandy memenuhi janjinya kepada Jordan. Dengan semangat, lelaki itu menghadap sang Bos.
"Ayo, kita jalan sekarang!" ajak pria bertubuh tambun itu, hingga Sandy mengikuti langkah Jordan dari belakang, menuju basement perusahaan.
"Pak, sebenarnya Bapak mau ajak saya kemana?" tanya Sandy yang belum tahu arah perjalanan mereka.
"Sudahlah, jangan banyak tanya, kamu mau bonus lagi dari saya, kan?" Jordan mengiming-imingi, dan Sandy mengangguk mantap.
"Tentu saja, Pak," jawabnya, lalu keduanya masuk ke dalam mobil.
Kendaraan roda empat itu segera meluncur ke tempat tujuan yang jaraknya sekitar 4 jam, membawa mereka menuju destinasi yang belum diketahui oleh Sandy.
Hingga keduanya sampai di lereng Gunung Wiracana, tempat yang dikenal sebagai pusat semedi dan ritual pemujaan.
"Ayo, kita turun!" ajak Jordan, keduanya keluar dari mobil.
Sandy mengerlingkan pandangannya ke sekitar lereng gunung yang terhampar pasir halus, disertai rerumputan yang jarang.
Di sudut sana, pepohonan rimbun menyambut mereka, antara lain, pohon dewandaru, beringin, kapuk, dan lain sebagainya. Pohon-pohon itu memancarkan aura magis dan mistis.
"Kok kita turun di sini, Pak?" tanya Sandy tanpa curiga apa pun.
"Hahaha... Kita akan meminta kejayaan dan kelancaran," jawab Jordan.
"Lalu, kenapa harus bersama saya?" tanya Sandy lagi, Jordan sedikit gugup untuk menjawab.
"Ehm... jadi gini, weton dan tanggal lahir kamu itu pas. Kamu membawa hoki, makanya saya ajak kamu," kata Jordan berbohong. Sandy mengangguk saja.
"Oh..."
"Sudah, jangan banyak bertanya! Yang penting, saya akan selalu memberi bonus besar. Kamu tidak mau, ya? Kalau kamu menolak, saya akan gantikan kamu dengan yang lain," Jordan kembali merayu Sandy.
"Jangan, Pak! Ya, saya mau, saya bersedia. Jadi, jangan gantikan dengan yang lain, biar saya saja," Sandy bersimpuh dan memohon, Jordan tertawa lantang.
"Hahaha... Bagus-bagus! Ternyata kamu cerdas," pujinya hanya untuk mengelabuhi.
"Ayo, kamu ikuti saya!" ajak Jordan untuk menemui sang guru kunci atau kuncen di tempat tersebut.
...
Sementara itu, Ayusa dan Vio telah kembali ke dunia Elyrian setelah menjelajahi dunia siluman.
"Bagaimana? Puas dengan perjalanan kita?" tanya iblis tampan itu kepada istrinya. Vio mengangguk, tetapi bayangan mengerikan masih berputar di otaknya.
"Iya, suamiku, aku sangat puas. Terima kasih sudah mengajakku berkeliling, meskipun tempat itu sangat menakutkan. Tapi di Kerajaan Samudra sangat indah," cerita Vio, sambil memperlihatkan mahkota silver pemberian Ratu Seraphina yang diberikan saat kunjungannya.
"Mahkota ini sangat cantik," sambungnya. Ayusa meraih dan meletakkan kembali mahkota itu di kepala sang istri.
"Kamu sangat cocok mengenakannya," puji iblis tampan itu, membuat Vio tersenyum manis.
"Dan kamu juga sangat tampan." Vio menggenggam tangan Ayusa dengan hangat.
"Sekarang istirahatlah, sayang. Aku memiliki tugas di dunia manusia," perintah sang iblis kepada Vio.
"Tugas apa?" Vio penasaran. Ayusa menghela napas dalam.
"Kamu tidak perlu tahu!" jawabnya tegas, membuat Vio mengangguk.
"Tapi sayang, bolehkah aku kembali ke dunia manusia? Aku ingin menunjukkan perubahanku kepada mereka," pinta Vio, diangguki oleh sang suami.
"Boleh, tetapi aku tak mengizinkan sekarang! Tunggulah sampai aku memberikan izin kepadamu!" ujarnya, membuat Vio menghela napas kesal.
"Hmm... Baiklah!"
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments