Vio terbangun dalam suasana hati yang rapuh, sinar pagi yang memasuki kamar menyoroti kekacauan di sekitar ruangan tersebut.
Setiap hari, ketegangan dan kegundahan merajai kehidupannya.
Tiba-tiba, terdengar teriakan memanggil dari luar kamar, "Vio..."
Suara keras sang Ibu yang menyisakan rasa trauma psikis di hati Vio.
Sang Ibu, dengan ekspresi kesal, mendobrak pintu kamar secara paksa.
"Kamu masih punya tabungan tidak?" tanya Bu Alina dengan tangan menengadah, wajahnya mencerminkan emosi yang menjengkelkan bagi Vio.
Vio, dengan rambut yang berantakan dan wajah yang pucat, menggeleng lemah.
"Seharusnya kamu lihat dirimu sendiri! Kusut dan jelek. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang mau denganmu jika kamu terus seperti ini? Kamu bahkan tidak bekerja dan tidak menghasilkan uang! Hidupmu sama sekali tidak ada gunanya, Vio!" sergah sang Ibu dengan kata-kata tajamnya yang menusuk.
Emosi Vio sudah mencapai puncaknya. "Kenapa Ibu selalu merendahkan aku?" gumamnya, dan tanpa bisa menahannya lagi, air mata mulai mengalir deras. Pandangannya buram oleh desakan emosi yang tak terbendung.
"Jawab! Masih ada uang simpananmu atau tidak?" desak Bu Alina dengan keras. Vio, yang masih terduduk lemah di atas tempat tidur, berusaha menenangkan diri.
"Masih tidak menjawab?" Wanita paruh baya itu semakin emosi, lalu membuka lemari Vio dan mengacak-acak isinya dengan marah, mencari uang tabungan satu-satunya yang dimiliki Vio.
"Ma, jangan!" seru Vio, berusaha menghentikan aksi sang Ibu yang tak terkendali. Namun, Bu Alina seakan tak peduli dan menemukan uang tersebut dengan girang dan senyum lebar.
"Hah, kamu berani menyembunyikan ini dariku!" pekik sang Ibu, merampas uang yang menjadi tabungan satu-satunya milik putrinya.
"Ma, jangan ambil itu, Vio tidak punya lagi!" rintih Vio, tetapi larangan itu diabaikan oleh Bu Alina seperti angin lalu.
"Ma!" teriak Vio, tapi wanita paruh baya itu keluar dari kamar putrinya sambil menghitung jumlah uang yang berhasil diambilnya.
Sesudahnya, ia menulis daftar belanjaan dengan cepat, lalu kembali ke kamar Vio untuk melemparkan kertas daftar belanjaan tersebut ke arah putrinya.
"Sekarang, pergi ke pasar dan beli semua yang ada di catatan ini! Cepat!" perintahnya, membuat Vio hanya bisa mengangguk pasrah, menurut pada perintah sang Ibu yang tak bisa dibantah.
"Baik, Ma," ucap Vio, tanpa daya ia beranjak ke kamar mandi untuk bersih-bersih, menyembunyikan rasa sakit di hatinya di balik guyuran air yang setidaknya bisa meredakan luka perihnya untuk sementara.
Isakan dan erangan emosi menciptakan harmoni kesedihan di dalam ruang kamar mandi, tangisan yang teredam terhalangi oleh suara gemericik air deras yang sengaja dihidupkan oleh Vio.
"Tuhan, mengapa Engkau membiarkanku terus tersakiti seperti ini?" Vio menangis dalam doa, tetapi Tuhan seakan mengabaikan jeritannya, menanamkan keraguan dalam hati Vio terhadap peran Tuhan di dunia ini.
"Tidak ada gunanya aku berdoa!" Vio merasa putus asa dan jatuh di sudut kamar mandi dengan tubuh yang basah.
Suara teriakan sang Ibu, seperti genderang perang yang tak berkesudahan, memenuhi keheningan kesedihan Vio.
Hati Vio semakin lemah dan hancur, kehilangan harga diri.
Vio bergegas menyelesaikan mandinya, mengenakan pakaian tanpa dandan, tak mood untuk mempercantik diri. Toh, pikirnya, tak akan ada yang melirik juga.
Vio mengenakan pakaian santai yang terkesan sederhana dan maskulin, meski ia seorang wanita, dan bergegas mengayuh sepedanya menuju pasar yang ramai.
Setelah memarkir sepedanya, Vio berjalan ke dalam gedung pasar tradisional yang kini tampak lebih bersih dan modern.
Tak sengaja, ia bertemu dengan mantan pacarnya, Rangga, bersama istri dan anaknya.
Lelaki itu diam-diam memandang Vio dari kerumunan aktifitas di pasar.
"Sayang, aku ke toilet sebentar," Rangga berpamitan kepada istrinya, lalu mengikuti langkah Vio dan menarik lengan gadis itu menuju ke tempat yang sepi.
"Apa-apaan, Rangga!" pekik Vio, mata membelalak saat menyadari kehadiran mantan yang mengganggu.
Rangga mencengkram lengan Vio dengan kasar, seakan mengunci pergerakannya.
"Masih sendiri saja, hah? Mana suami atau pacarmu?" goda Rangga dengan ekspresi mengejek. Vio hanya bisa menatapnya dengan penuh emosi.
"Masih belum kawin juga, ya?" ejek Rangga dengan sinis.
"Diamlah, Rangga! Semua ini bukan urusanmu! Urusi saja keluargamu, mengapa kamu masih ikut campur dalam masalah pribadiku?" bentak Vio, tetapi Rangga semakin senang melihat reaksi kemarahannya.
"Oh, itu artinya kamu tak bisa move on dari aku, kan? Hahaha... Jelas saja, aku tampan, banyak perempuan yang ngejar-ngejar aku, termasuk kamu!" ujar Rangga sombong, tapi Vio mendengar ocehannya yang tak berbobot.
"Kamu tidak selevel denganku! Kita berdua seperti majikan dan babu," cibir Rangga, mencoba memancing emosi Vio.
"Jaga ucapmu, Rangga! Dengan sikapmu seperti ini, aku tak menyesal ditinggalkan olehmu. Aku bersyukur dijauhkan dari pria toxic seperti kamu! Mulutmu bagaikan tong sampah yang nyaring dan tak bernilai!" cerocos Vio, tetapi Rangga malah semakin puas menertawakannya.
"Oh, begitu ya! Buktinya, sampai sekarang kamu belum menikah juga. Apalagi kalau bukan karena tak bisa move on dari aku. Hahaha... Sudah, mending mengaku lah. Aku masih ingat disaat kamu menangis dan meratap ketika aku meninggalkanmu untuk menikah dengan Riri. Kamu seperti setan, hahaha..." ejek Rangga dengan nada sombong.
Vio menatap Rangga dengan mata yang memancarkan kemarahan. Wajahnya yang tegang dan mata yang membelalak tajam mencerminkan emosi yang sedang meluap di dalam dirinya. Rangga hanya terus tertawa dengan penuh kecongkakan, mengabaikan gejolak emosi yang dirasakan oleh Vio.
"Puas kamu, hina-hina aku?" Vio menyuarakan rasa kesalnya, tetapi Rangga masih terus tertawa dengan suara yang semakin jelas dan memuakan.
"Sudah miskin, jelek, belagu! Mana ada laki-laki berkelas yang mau sama kamu, yang ada juga, noh... Tukang sampah, tukang becak, nah itu selevel sama kamu!" Rangga menunjuk-nunjuk Vio sambil tertawa, membuat perasaan Vio semakin hancur.
Emosi Vio kian meledak, tetapi dia memilih untuk menahan diri meskipun hatinya terasa terkoyak.
"Kenapa kamu bawa-bawa profesi mereka dalam ucapanmu? Tak ada salahnya dengan kedua profesi itu, yang salah itu sikapmu yang sombong dan merasa paling memiliki segalanya!" Vio mencoba membela diri, tetapi Rangga hanya menganggapnya sebagai lelucon.
"Ow, ow, ada perawan tua ngamuk-ngamuk, eh... " Rangga terus merendahkan Vio dengan kata-kata kasarnya.
Dengan kelebihan baru yang dimiliki, Vio memilih untuk melihat lebih jauh ke dalam mata Rangga, mencoba membaca kehidupan penuh ketidakharmonisan yang sebenarnya.
Ia menyadari bahwa Rangga sering kali berselingkuh dari istrinya dengan wanita-wanita di luar sana, dan Riri, istrinya, juga membalas perselingkuhan Rangga dengan memiliki hubungan gelap bersama pria lain sampai menghasilkan seorang anak yang bersamanya kini.
"Oh, jadi... Anak itu bukan anak Rangga," pikir Vio yang merasa puas mengetahui kisah kelam di balik tampang sombong Rangga.
"Sudahlah Rangga, sebaiknya kamu urus saja keluarga kecil mu yang bahagia itu," sindir Vio dengan nada lebih santai, mengakhiri perdebatan itu dengan sikap yang menunjukkan bahwa ia tak terpengaruh oleh ejekan Rangga.
"Aku sarankan sama kamu, segeralah kawin, kawin, kawin, nanti kamu keburu tua!" bisik Rangga, lalu meninggalkan Vio sekaan puas sudah mengejeknya di hadapan umum.
....
Saat sore hari tiba..
Vio duduk sendiri di kursi kayu sudut kamar, dekat jendela saat senja mulai merayap.
Gelisah menyelinap di setiap celah hatinya. Dengan uang yang habis dan tanpa pekerjaan, hobi menulis novel yang dulu memberinya semangat kini terasa hambar. Matanya memandang tumpukan buku dan kertas, mencari inspirasi yang seperti lenyap.
Ia memegang cangkir berisi cairan hitam pekat, dan mengaduknya secara perlahan. "Kehidupanku pahit, seperti rasa kopi ini," gumam Vio sambil menyedot aroma kopi yang membuatnya sedikit rileks.
"Tapi bedanya, meski kopi ini pahit, orang-orang banyak yang menyukainya. Kalau aku?" Senyum miring terukir di wajahnya, menggambarkan kehidupan yang rumit yang tengah dihadapinya. Dia melihat keluar jendela, merenung di dalam kamar yang sepi.
***
Sementara itu...
Di dunia Elyrian dengan peradaban yang sangat maju di sertai tekhnologi canggih dan mutakhir, Ayusa berdiri dengan gagah, sorot matanya penuh pengawasan terhadap aktifitas yang ada di dalamnya.
Telunjuk jarinya memancarkan layar 4D tembus pandang.
Dengan mata tajamnya, ia mengamati perkembangan teknologi applikasi di dunia manusia melalui layar tersebut.
Tiba-tiba ia memekik kekal.
"Sialan!"
Bagaimana tidak, ternyata applikasi miliknya yang sudah terkenal mendunia itu ada yang mengklaim atas nama Alex. "Kurang ajar, tak akan aku biarkan manusia itu mengklaim applikasi milikku! Dasar rakus! Tunggulah, aku akan membuat perhitungan padanya!" cerocos Ayusa penuh amarah, lalu Kaino mendekatinya, ia mendengar ucapan Ayusa yang sedang kesal.
"Bagaimana bisa Tuan menampakan diri di alam manusia, sementara unsur kita berbeda dengan mereka, itu hal mustahil!" papar Kaino, Ayusa mengangguk-anggukan kepalanya merasa benar atas ucapan anak buahnya itu.
"Ya, tapi aku tak bisa membiarkan ini terjadi!" ujar Ayusa, Kaino tahu sesuatu. "Bisa saja, Tuan," katanya, Ayusa menoleh sesaat mengamati wajah serius Kaino. "Caranya?" tanya Ayusa.
"Jika kamu menikah dan berhubungan dengan salah satu manusia, maka kamu dapat menjelma menjadi manusia seutuhnya," jawab Kaino dengan mantap, membuat Raja Iblis itu menghela napas kasar.
"Hah? Apa? Apakah tak ada cara lain selain itu?"Ayusa menunjukan ekspresi ketidak setujuan akan usul Kaino, bahkan ia meringis jijik membayangkan bagaimana saat Vio memperlakukannya, dan mencium bibirnya dengan buas dan penuh nafsu.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments