Di saat kedua orangtua itu tengah sibuk membicarakan kepergian Vio, tiba-tiba Sandy, putra sulung mereka tertawa riang bahagia.
"Hahaha... Yeah!"
"Ada apa sih? Sepertinya kamu senang sekali," tanya Pak Burhan kepada putranya, begitu juga dengan Bu Alina yang penasaran.
"Kasih tahu kami dong!" Wanita paruh baya itu menghampiri putranya dengan antusias.
"Mah, Pah, aku di kasih bonus besar sama si Bos," ujar Sandy memperlihatkan saldo bonus bulanan yang jumlahnya sangat besar, bahkan beberapa kali lipat dari jumlah gaji yang ia terima.
Seketika kedua mata orangtuanya langsung melebar tajam.
"Wah, Bos kamu itu ternyata baik dan loyal ya." Pak Burhan menepuk-nepuk pundak Sandy sebagai tanda syukur dan ikut merasakan kebahagiaan.
"Mungkin kerjamu bagus," kata Bu Alina dengan bangga, Sandy yang merasa kerjanya biasa-biasa saja hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Bahkan ia tak mencurigai apapun akan kebaikan Bosnya yang secara mendadak. "Entahlah, padahal aku merasa kerjaku biasa saja, sih, sama seperti yang lainnya, malahan aku ini sering telat masuk. Tempo hari saja aku pernah kena omel si Bos, tapi gak tahu kenapa dia mendadak baik banget," papar Sandy, Pak Burhan pun demikian, ia tak mencurigai sesuatu apapun, yang ia pikirkan hanyalah uang, uang, dan uang sama seperti istrinya yang mata duitan.
"Udahlah, ngapain juga kamu pikirin, makanya begitu, mungkin kamu bakal punya jabatan khusus di tempat kerjamu, San. Nikmati saja, itu semua sudah jadi rejekimu," ucap Bu Alina dengan senyum merekah, mencoba membuat Sandy tetap berpikir positif.
"Ya, aku rasa benar ucapan Mama," balasnya dengan penuh bangga.
***
Sementara itu di tempat yang berbeda.
Jordan Wang, yang merupakan pemilik pabrik tekstil tempat Sandy bekerja, ia pernah menjalani ritual pesugihan, dan untuk mencapai hajatnya, ia harus menumbalkan karyawan setahun 2 kali.
Di luar pintu, suara mesin pabrik yang mulai berputar.
Di ruang kantor, Jordan, sang Bos, duduk di balik meja dengan ekspresi tajam.
Ia memegang foto Sandy dengan penuh kebencian. Sementara aroma dupa dan kemenyan menyelimuti ruangan, Jordan meraih dua stik dupa, kamat-kamit sambil membaca mantra yang tak terdengar jelas.
Beberapa waktu lalu, Sandy secara licik memprovokasi para karyawan untuk berdemo demi kenaikan upah, meskipun pabrik sedang mengalami kesulitan finansial.
Atas dasar itulah sang Bos menargetkan Sandy sebagai korban pertama, merasa bahwa karyawan itu tidak disiplin dan sering mangkir, serta kerap kali berbuat ulah.
"Rencanaku sebentar lagi berjalan lancar," gumam Jordan sambil tersenyum puas, menambahkan foto Sandy ke dalam sesaji yang ia persiapkan.
Ruangannya dipenuhi aura gelap, dan suasana mencekam menguar di udara.
...
Di lain tempat...
Sandy baru saja mencairkan uang bonus dari sang Bos. Ia mengajak kedua orangtuanya jalan-jalan ke mall dan menikmati makan malam mewah, yang tentu harganya sangat mahal.
"Berhubung aku lagi banyak uang, kalian bisa makan sepuasnya dan membeli apapun yang kalian inginkan, hahaha..." kata Sandy sambil menghitung jumlah uang dari dalam tasnya.
"Wah, kamu ini memang hebat!" puji Pak Burhan dengan penuh rasa bangga terhadap putra sulungnya tersebut.
"Kalau bisa rayu terus Bos mu itu, pasti kamu akan dikasih uang yang banyak, bahkan lebih banyak dari ini," sambung Bu Alina dengan senyum yang terus merekah. Sesaat, anggota keluarga itu melupakan kepergian Vio, mereka tenggelam dalam suasana kemewahan yang tak pernah mereka rasakan selama ini.
...
Keesokan harinya...
Seperti biasa, Sandy selalu bangun kesiangan, padahal ia sedang shift pagi.
"San, cepat bangun! Nanti kamu telat!" teriak Bu Alina dengan nada cemas dari balik pintu kamar Sandy.
Di dalam, Pemuda itu menggeliat-geliatkan tubuhnya yang masih berbalut piyama dengan gerakan malas.
"Santai aja, Ma," sahutnya seakan semuanya bisa diatasi dengan mudah. Ia merasa dianak-emaskan oleh sang Bos, maka dari itu Sandy menjadi berani dan lebih bertingkah.
Bukannya segera beranjak, ia malah duduk melamun di tempat tidur, merenungi nasib asmara yang tak juga melabuhkan sayapnya, padahal ia sudah berusia cukup matang, yakni 37 tahun.
Sandy menyukai teman satu pabriknya, Sintia.
Namun, wanita itu sudah berpacaran dengan kawannya yang merupakan teman satu pabrik juga.
Hal itu membuatnya semakin murka dan benci terhadap Yanuar karena sudah merebut wanita incarannya.
"Gak bisa dibiarkan ini!" gerutu Sandy, menyimpan dendam terhadap Yanuar, hingga perpecahan pun terjadi.
Padahal sebelumnya, mereka adalah teman dekat, tapi, hanya karena persoalan asmara, semuanya jadi berantakan dan berupaya saling menjatuhkan satu sama lain.
Sandy bergegas untuk segera mandi, setelah beberapa menit berlalu ia kembali, kini mengenakan seragam biru khas pabrik lalu bersolek serapih mungkin sambil bersiul.
Setelah di rasa cukup, ia meraih tasnya, dan keluar dari kamar, berjalan melalui ruang makan.
"Mau sarapan dulu?" tawar sang Ibu, Sandy menatap jam tangan lalu menggeleng.
"Nanti saja di jalan," tolaknya, karena merasa waktu sudah semakin siang.
Ia pun bergegas menaiki motor maticnya, dan meninggalkan teras rumah.
"Sial, pake macet segala lagi!" pekik Sandy, padahal saat itu ia sudah telat satu jam, bahkan divisi kepala bagian sudah menghubunginya beberapa kali atas tidak adanya keterangan dari Sandy.
Pemuda itu mengabaikan panggilan penting, ia dengan entengnya menjawab melalui pesan.
"[Maaf, saya telat lagi, di jalan macet.]" pesannya. Hampir setengah jam, motor itu tak juga melaju karena padatnya kendaraan bermotor dan juga di tengah jam sibuk.
Beberapa saat kemudian, Sandy tiba di pabrik dengan memasang wajah tak bersalah saat berpapasan dengan Ghani, seorang security.
"Masuk shift siang ya, Pak Sandy?" sarkas Ghani yang kesal terhadap tingkah Sandy. Di saat para karyawan lain disiplin terhadap waktu, hanya dia yang memiliki jiwa pembangkang, apalagi sekarang posisinya diistimewakan oleh Jordan.
"Masalah buat lo?" ucap Sandy, lalu nyelonong begitu saja, membuat Ghani menggelengkan kepala.
"Dasar!" gerutu Ghani.
Sandy melangkah ke gedung pabrik, seketika terdengar deru mesin dari jarak agak jauh. Setelah finger print, ia masuk begitu saja dengan wajah datar, seakan tak merasa malu sudah masuk telat 1 jam setengah.
"Sandy, kamu ini benar-benar keterlaluan. Ini sudah jam berapa, hah?" tanya Hans, seorang kepala bagian, dengan suara lantang dan tegas. Sandy hanya tersenyum sebagai tanggapan
"Maaf, Pak. Di jalan macet," jawabnya dengan wajah tak ramah, membuat emosi Hans semakin naik.
"Sudah berapa kali kamu seperti ini! Kamu pikir ini pabrik milik nenek moyangmu!" tunjuk Hans penuh amarah terhadap karyawannya tersebut.
Sandy tak menjawab, ia hanya bergeming sambil memasang wajah kesal.
"Sandy! Dengarkan saya bicara!" teriaknya kembali memperingatkan. Lalu, Jordan muncul di belakang Hans secara tiba-tiba, ia menegor.
"Ada apa ini?" tanya sang Bos dengan sorot mata tajam terhadap Hans.
"Ini, Pak. Sandy sudah beberapa kali melakukan kesalahan!" jawab Hans, lalu menarik napas panjang.
"Sudah, kamu tak usah marahi dia, biar jadi urusan saya," kata Jordan, lalu fokusnya menatap Sandy.
"Sandy, sekarang, kamu silahkan bekerja, dan nanti pukul 11 siang, kamu temui saya di ruangan pribadi saya. Paham!" perintah Jordan.
Sandy mengangguk sambil menunduk hormat, kemudian melirik Hans seraya menatapnya dengan sinis, seakan diberikan perlindungan oleh sang Bos.
Jordan berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalur di antara para karyawan yang sibuk bekerja.
Wibawa tingginya terpancar dari langkah tegasnya, membuat semua yang tertatap langsung menunduk.
Sebuah senyuman puas merekah di wajah pria tersebut, merasakan bahwa pabriknya akan segera mengalami kemajuan pesat jika ia berhasil menumbalkan salah satu karyawan kepada bangsa siluman.
...
Pada saat itu, Kurdi, seorang Office Boy, dengan semangat berusaha membereskan dan membersihkan ruangan Jordan, meskipun belum mendapatkan perintah langsung dari sang Bos.
Pemuda bertubuh kurus itu dengan semangat memasuki ruangan, membawa peralatan kebersihan. Kedua matanya membelalak tajam saat melihat sesaji dan aroma dupa yang menyelimuti ruangan.
Ia melangkah mendekati meja sesaji itu, fokus pada secarik foto milik salah satu karyawan.
"Ini seperti Sandy. Lantas, untuk apa fotonya ditaruh di sini?" batin Kurdi, wajahnya mencerminkan ekspresi bingung.
"Apa jangan-jangan..." lanjutnya, beberapa spekulasi mengitari pikirannya.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments