"Dia yang menyelamatkannya," gumam Nenek tua yang dikenal sebagai Bu Sumi, kerudung merahnya memberikan kesan misterius. Seakan-akan, ia telah mengetahui semua keanehan dan keajaiban yang menimpa Vio. Bu Sumi mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum, seolah-olah berkomunikasi dengan entitas tak terlihat yang berada langit dan pepohonan di sekitar mereka.
Pak Darman, yang mengenal betul keahlian kebatinan Bu Sumi, mengajukan pertanyaan dengan rasa penasaran. "Maaf, apa yang Ibu lihat?"
"Dia, telah memberikan kekuatan pada gadis itu," jawab Bu Sumi dengan suara seraknya yang khas. Pak Darman mengernyitkan keningnya, mencoba memahami maksud yang tersembunyi di balik kata-kata Bu Sumi.
"Maksud Bu Sumi?" tanya Pak Darman kembali, tapi Bu Sumi hanya menyoroti matanya, membiarkan tatapannya menelisik rimbunnya pepohonan dan langit yang sedikit menghitam, seolah berterima kasih pada kehadiran sesuatu yang tidak tampak.
"Nanti malam, bertepatan dengan bulan purnama, kita harus memberikan persembahan untuk mereka," ujar Bu Sumi, menciptakan nuansa seremonial. Pak Darman mengangguk, menunjukkan kesiapannya untuk mengikuti petunjuk Bu Sumi.
"Apa saja yang diperlukan?" tanya Pak Darman, dan Bu Sumi pun mulai menyampaikan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Entah mengapa, tubuh Vio seakan ringan saat berjalan, tapi hawa kantuk yang luar biasa mulai menyergapnya.
Setelah berpamitan kepada warga yang masih melihatnya dengan pandangan aneh, gadis berambut pendek itu mendorong sepedanya yang rusak karena insiden tadi.
Hawa dingin menusuk kulitnya, dan rintik-rintik hujan kembali turun, membasahi rambutnya secara perlahan dan teratur.
Saat sampai di rumah, kehadiran Vio mendapat sorotan tajam dari kedua orangtuanya.
"Dari mana saja kamu, hah?" tanya Bu Alina dengan tegas. Pak Burhan tidak kalah marah, menyeret lengan putrinya dengan kasar, membawanya ke dalam rumah, dan menjatuhkannya di bawah lantai.
Vio terpekik kesakitan, tak mengerti mengapa kedua orangtuanya begitu marah padanya, mengingat ia hanya pergi selama beberapa jam.
"Kemana saja kamu selama satu Minggu ini?" tanya Pak Burhan dengan nada tinggi. Mendengar kalimat 'satu minggu,' Vio mengernyitkan kening dengan ekspresi heran.
"Apa? Satu minggu? Pah, aku pergi hanya 3 jam," Vio menjelaskan, sambil menatap waktu di ponselnya yang ternyata tidak sejalan dengan jam dinding di rumah.
"Rupanya otakmu sudah mulai geser! Pantas saja tidak ada laki-laki yang mau sama kamu! Heh, perawan tua, kemana saja kamu selama satu minggu ini? Jawab!" celetuk Bu Alina tanpa belas kasihan terhadap putri kandungnya.
Vio merasa terhina dan sakit hati oleh lontaran kalimat tak pantas dari ibunya. Bahkan untuk memberikan keterangan jujur pun terasa sia-sia, seolah mereka tak akan pernah memercayai kejadian aneh yang menimpanya.
"Kalau kamu memang ingin pergi dari rumah, silahkan! Kami tidak akan melarang. Kami malu memiliki seorang anak perempuan yang tidak menikah, dan hidupmu hanya menjadi beban bagi kami! Dasar perawan tua, tidak normal!" hardik Bu Alina dengan kata-kata tajam, membuat Vio sesegukan. Ia masih terduduk di lantai yang dingin, tubuhnya menggigil karena air hujan.
Kedua orangtuanya terus menyoroti Vio, seakan ingin melahapnya hidup-hidup. Vio terlihat tak berdaya dan berkecil hati, terganggu oleh ucapan yang merusak mentalnya.
"Tuhan, mengapa semua ini begitu berat?" batin Vio. Ia bangkit dari posisinya, berjalan terseok-seok menuju kamarnya. Kedua orangtua itu terus berunding, saling menyalahkan satu sama lain terhadap prilaku Vio yang menurut mereka aneh.
Mereka merasa status jomblo yang disandang Vio yang hampir berusia 30 tahun menjadi suatu aib yang memalukan. Itu menjadi gunjingan di antara keluarga dan lingkungan lainnya.
Tuntutan sosial untuk menikah di usia muda membuat mereka tak pernah memikirkan dampak mental seseorang yang belum cukup matang. Bagi mereka, menikah di usia muda adalah suatu prestasi, tanpa memperhatikan beban psikologis yang mungkin ditanggung oleh individu tersebut.
Vio menemukan sebuah kartu undangan yang terletak di meja kamarnya. Dengan cepat, ia menyambar kertas yang digulung dan diikat dengan pita berwarna merah, lalu membacanya dengan cermat.
"Undangan reuni SMA?" gumamnya. Senyum merekah pun muncul di bibir mungil Vio, menggantikan tangisan yang baru saja mereda. "Ya, aku akan datang. Aku merindukan teman-teman SMA, meski hanya bisa melihat mereka lewat sosial media."
Vio meletakkan surat undangan itu kembali di meja dan bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
Setelah selesai mandi, ia kembali menyambar ponselnya, namun mendapati notifikasi dari operator kartu selulernya yang memberitahu bahwa kuota internetnya sudah habis.
"Yah!" pekik Vio, kecewa karena rencananya untuk melanjutkan mengetik novel terhenti.
Dengan iseng, ia membuka sosial media, meski tahu aksesnya akan sulit tanpa kuota. Ajaibnya, Vio masih bisa mengakses internet tanpa hambatan.
"Loh, kok aneh," batin Vio, mencoba mengotak-atik pengaturan, tetapi tak ada yang berubah. "Mungkin kartu selulerku bermasalah?" terusnya, masih terheran-heran.
Dengan rasa ingin tahu, Vio mencari jawabannya lewat internet, tetapi tak menemukan penjelasan yang memuaskan. Keajaiban ini semakin menambah misteri dalam hari yang sudah begitu penuh kejutan bagi Vio.
"Ah, sudahlah, mungkin kartu selulernya sedang eror, tapi ini jadi keuntungan buatku karena bisa mengakses internet gratis." Vio merebahkan tubuhnya di atas pembaringan, merenungi kejadian aneh. Saat itu, sosok Ayusa yang begitu memukau kembali muncul di pikirannya.
"Apakah yang aku rasakan itu nyata? Sulit dipercaya. Aku seakan pergi ke dalam dunia mimpiku sendiri," gumamnya, mata kosong menatap langit-langit kamar yang berlatar putih.
"Apakah ini artinya aku memasuki alam tak kasat mata yang sering aku dengar dari mulut orang-orang dan artikel yang pernah aku baca?" sambungnya, mencoba mencerna semua yang telah terjadi.
"Ya, aku yakin. Mereka hidup di dimensi yang berbeda dengan manusia, dan aku mengalaminya sendiri. Ternyata, bangsa lelembut itu tidak menyeramkan seperti yang digambarkan dalam film atau cerita." Vio menyimpulkan dengan ekspresi penasaran, mencoba memahami pengalaman yang baru saja ia alami.
Tiba-tiba, Vio tertidur karena kelelahan, dan ia terbangun kembali pukul 8 malam. Suntuk dan lelah, ia keluar dari kamar, melihat kakak dan kedua orangtuanya sedang menikmati makan malam.
"Mau apa kamu?" tanya Bu Alina dengan sorotan tajam, penuh antisipasi. Vio hanya menggeleng, tak berniat mengusik, hanya lewat.
"Tidak ada makanan untukmu! Kamu pengangguran, tidak ada penghasilan!" ujarnya, seolah tak mengizinkan Vio menyentuh hidangan di atas meja.
Ibu memberikan perlakuan berbeda pada Sandy, kakak Vio, karena ia bekerja dan memberikan uang, meski Sandy juga belum berkeluarga.
Prioritas untuk tidak terburu-buru menikah nampak jelas bagi laki-laki, sementara Vio merasakan tekanan untuk menikah sejalan dengan usianya yang semakin matang.
Entah mengapa, Vio tak tergugah oleh makanan tersebut. Selera makannya hilang, ia tak merasakan lapar ataupun lemas sejak kembali ke dunia manusia. Sesuatu yang dahulu menjadi kebutuhan, kini terasa sekadar rutinitas tanpa makna.
Vio melangkah ke luar rumah dan duduk di teras, menengadahkan pandangannya ke langit hitam yang dihiasi bulan purnama dan bintang-bintang.
Cahaya bulan bersinar terang, dan Vio hanya merenung sambil tersenyum, seolah menyapa sesuatu yang tak tampak.
Meski tak terlihat, ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang lebih dari sekadar materi.
Air mata mengalir bebas di kedua pipinya, merenungi nasibnya yang tampak tak berpihak, sambil sesegukan, ia berbicara dalam hati.
"Kenapa aku harus menjalani nasib seperti ini?" batinnya. Seakan-akan, pertanyaan itu mendapatkan jawaban samar-samar yang menggema dari kejauhan.
"Kamu tak perlu bersedih, ingat, aku ada di dekatmu," gema suara itu terdengar, membuat Vio mengedarkan pandangannya penuh keheranan.
"Ayusa," panggilnya dengan wajah bingung, tetapi meski ia merespons panggilan itu, Ayusa tetap tidak tampak di hadapannya.
Suara itu seperti datang dari dimensi yang tak terlihat oleh mata manusia.
Ia menatap layar ponselnya, membuka sosial media, dan menelusuri akun sang mantan yang kini sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Senyum pahit terukir di bibirnya, mengingat masa lalu yang menyakitkan.
Ya, dia adalah lelaki yang pernah mencampakannya, memberikan harapan semu selama bertahun-tahun tanpa kepastian. Rangga lebih memilih menikahi wanita lain, membiarkan Vio hancur dan tenggelam dalam jurang nestapa yang sulit untuk kembali percaya pada cinta.
"Rangga," batin Vio, tidak dapat menyangkal rasa kesal terhadapnya. Dorongan untuk membalaskan dendam memuncak, namun ia tak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Lengan Vio terkepal dengan sempurna, ketika mengingat janji manis Rangga yang pernah berniat serius kepadanya, tetapi berakhir dengan pengkhianatan.
"Eugh! Aku benci kamu, Rangga!" pekiknya, terisak dalam hening malam, membiarkan rasa kecewa dan amarahnya terlontar begitu saja.
Vio merasa terbuang dan terhina, bukan hanya oleh Rangga yang mengkhianati cintanya. Dua pria yang kini menjadi mantan juga meninggalkan bekas luka yang sama, selalu berakhir dalam pengkhianatan terhadap Vio.
Pintu hatinya seakan telah tertutup rapat, sulit baginya untuk kembali mengenal cinta dan janji manis seorang pria.
Bahkan, dia pernah berkata bahwa dirinya sudah tak ingin menjalin asmara dengan pria dari kalangan manusia.
Baginya, semua akan berakhir dalam nestapa. Kekecewaan dan ketidakpercayaannya terhadap pria telah membuatnya membangun tembok yang kokoh di sekitar hatinya, menjadi sulit untuk merelakan siapapun mendekatinya dengan maksud apapun.
Vio mengusap air matanya dengan kasar, merasa dunia ini bukanlah tempat yang damai baginya. Meski begitu, tekadnya untuk bertahan hidup masih ada dalam dirinya, walaupun pernah terbersit keinginan untuk melenyapkan nyawanya sendiri karena tekanan sosial yang begitu besar.
Dalam kegelapan yang menyelimuti pikiran, Vio mencoba menemukan kekuatan dan semangat untuk terus melangkah, melawan gelombang kesedihan dan putus asa yang mencoba meruntuhkan semangatnya.
Ia tahu bahwa setiap langkah ke depan adalah perlawanan terhadap keputusasaan yang pernah hampir merenggutnya.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments