Tiara duduk sendirian di dalam kamarnya, suasana hening hanya terpecah oleh suara isak tangisnya yang sedih dan pilu. Raut wajahnya yang biasanya ceria kini tertutup dalam kesedihan yang mendalam. Matanya merah, berkaca-kaca akibat air mata yang tak henti mengalir. Rambut panjang dan hitamnya terurai kusut, tak tersentuh oleh sentuhan tangan.
Kamarnya dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga kesayangannya, yang kontras dengan suasana hatinya yang suram. Di sudut kamar, terdapat meja kecil yang dipenuhi dengan kenangan-kenangan indah; foto-foto bersama teman-teman dan keluarga, cinderamata dari perjalanan yang menyenangkan, dan mainan favoritnya dari masa kecil.
Dia meraih sebuah jurnal tua dari laci meja dan mulai menulis. Kata-kata yang ditorehkannya penuh dengan rasa sakit dan murka. Dia mencurahkan segala perasaannya, seolah-olah jurnal itu adalah sahabat terdekat yang dapat memahaminya tanpa harus dihakimi. Tidak mungkin kan dia diam saja. Dia harus melaporkan Dirga. Pria biadab yang telah merenggut mahkotanya.
Kejadian suram semalam kembali melintas dalam benaknya. Membuatnya semakin merasa terpuruk. Haruskah kedua orang tuanya mengetahui semua kejadian pahit itu?
Sesaat kemudian, dia melihat sebuah foto yang terselip di antara halaman jurnalnya. Wajahnya dan orang yang dicintainya tertangkap dalam momen kebahagiaan. Air mata kembali mengalir, tapi kali ini, ada sedikit pilu terlihat di sudut bibirnya. Apa reaksi Ferdinan, pria yang ia sukai. Kakak tingkat yang selama ini ia kagumi. Dia yang tak tergapai pasti akan semakin menjauhinya saja.
Di dalam kamarnya yang sunyi, Tiara merenung dan merelakan diri untuk merasakan kesedihan, karena dia tahu bahwa lambat laun, lukanya akan sembuh dan ia akan mampu bangkit lagi. Meski saat ini hati dan tubuhnya hancur, dia tahu bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan cahaya dan kebahagiaan kembali.
Dirga awas kau ya, aku akan membalasmu! Aku pastikan kamu mendapatkan balasan yang setimpal dari perbuatanmu.
Hari ini Tiara memutuskan untuk mengurung diri di kamar karena belum siap bertemu dengan ayahnya.
****************
Hari telah beranjak senja, dan cahaya yang redup menyinari rumah. Di dalam rumah itu, wanita paruh baya itu merasa gelisah karena sepanjang hari ini, Tiara belum keluar dari kamarnya. Ibu Susi memutuskan untuk mengetuk pintu kamar putrinya dengan lembut, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
"Tiara, boleh ibu masuk sebentar?" panggil sang ibu dengan penuh kelembutan.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Tiara nampak terkejut melihat ibunya di depan pintu. Wajahnya tampak lelah, dan mata yang biasanya bersinar penuh semangat, kini redup tak bercahaya. Ibu Susi dengan penuh kasih sayang mengamati sang putri. Hatinya terasa teriris melihat perubahan drastis pada Tiara. Ya, putrinya itu tampak kusut dengan kedua mata yang memerah.
"Tiara, apakah kamu baik-baik saja?" tanya ibunya sambil duduk di sebelah Tiara di tepi ranjang.
Tiara menggeleng lemah, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. "Aku... aku merasa sedih, Bu," ucapnya dengan suara tercekat.
Dengan jemarinya Bu Susi menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Ceritakan padaku, sayang. Apa yang membuatmu sedih?"
"Ada masalah Bu, tapi untuk saat ini aku belum siap menceritakan semuanya. Beri aku waktu ya Bu," jawabnya tanpa menatap manik hitam ibunya. Takut sekali.
"Tiara, ibu tahu hidup tidak selalu mudah, dan kadang-kadang kita harus menghadapi masalah dan tantangan. Tapi percayalah, kamu tidak sendirian. Ibu akan selalu ada di sampingmu, mendukungmu sepenuh hati," bujuk Bu Susi dengan penuh kasih.
Satu menit berikutnya Bu Susi tampak kebingungan karena Tiara terlihat menangis sesenggukan tanpa sebab.
"Ingatlah, sayang, kamu adalah seorang pejuang. Setiap masalah adalah kesempatan untuk tumbuh dan belajar. Ibu bangga denganmu, dan kita akan melewati semua ini bersama-sama. Sekarang ceritakan apa yang membuatmu menangis seperti ini," pintanya dengan mengusap punggung belakang Tiara
Saat Ibu Susi selesai berbicara, Tiara merasa sedikit lega, seolah beban besar di pundaknya berkurang. Perasaan kehangatan dari ibunya memenuhi hatinya, dan dia merasa lebih kuat. Ia ia tidak sendiri.
"Ayo kita keluar, Ayah sudah menunggu di ruang makan, kita harus makan bersama," ajaknya.
"Ya Bu, sebentar aku mau cuci muka, baru keluar untuk makan malam bersama." Tiara berusaha menyunggingkan senyumnya.
"Ya, ibu tunggu di ruang makan ya."
"Ya Bu."
****************
Di ruang tamu rumah megah keluarga Abraham, Nyonya Rani duduk di sofa dengan cemas. Sudah sejak kemarin, Dirga, putranya yang bekerja di perusahaan milik keluarga, Abraham Group, belum pulang. Meskipun keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang sukses dan memiliki bisnis yang besar, Nyonya Rani selalu mengutamakan kebersamaan keluarga di atas segalanya. Ia merasa gelisah karena sudah lama tidak berkumpul bersama Dirga.
Akhirnya, dengan hati berdebar, Nyonya Rani mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menelpon putranya.
Panggilan telepon terhubung.
"Halo," sapa Dirga di seberang telepon.
"Halo Dirga, kamu pulang jam berapa. Semalam kamu tidak pulang apa malam ini kamu tidak pulang lagi?" cerca sang mama.
"Ini Ma, aku sedang dalam perjalanan pulang. Sepuluh menit lagi aku tiba di rumah," sahutnya.
"Ok, mama tunggu di rumah, cepat ya. Jangan mampir kemana-mana lagi!" tegas sang mama.
"Siap Ma."
"Sampai ketemu di rumah."
"Ya Ma."
Panggilan telepon berakhir.
Lima belas menit kemudian.
Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat saat Dirga tiba di rumah setelah seharian bekerja. Langit senja yang indah menaungi langkahnya menuju pintu depan. Pria itu membuka pintu dengan lembut dan masuk ke dalam rumah dengan lelah. Ia melihat sang mama duduk di ruang keluarga dengan wajah penuh ketertarikan.
"Sudah pulang?" sapa Nyonya Rani dengan senyum tipis disertai tatapan tajam.
"Iya, Ma," jawab Dirga sambil melepaskan sepatu kerjanya. "Hari ini cukup melelahkan di kantor."
Nyonya Rani menatap putranya dengan pandangan yang penuh tanda tanya. "Bisa aku tanya sesuatu?"
"Tentu, Ma," ucap Dirga agak ragu. Pasalnya tidak biasa sang mama menunggu di ruang tamu. Biasanya mereka akan bertemu di ruang makan untuk makan bersama.
"Tadi pagi, aku menemukan sesuatu di salah satu kamar di homestay kita. Sebuah baju wanita. Apakah itu milikmu?" tanyanya dengan suara hati-hati.
Dirga terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Maaf, Ma. Baju itu bukan milikku. Aku tidak tahu siapa pemiliknya, mungkin milik salah satu keluarga Rosalin yang menyewa Homestay mulai pagi tadi," jawabnya asal. Bisa jadi baju wanita yang ditemukan mamanya adalah pakaian milik Tiara.
Nyonya Rani mengernyitkan kening, curiga memuncak dalam hatinya. "Tapi homestay itu milik kita, Dirga. Keluarga Rosalin datang siang hari, dan kamu adalah satu-satunya pria dalam keluarga kita yang pernah menginap di sana."
Dirga mengerti kekhawatiran ibunya. "Mungkin itu baju milik tamu yang menginap sebelumnya," sahut Dirga asal tidak ingin memperpanjang.
Nyonya Rani menatap putranya dengan pandangan mencari kebenaran di matanya. "Apakah kau yakin, Dirga?"
Dirga memegang tangan ibunya dengan penuh kelembutan. "Aku mau mandi sekarang Ma, nanti kita bertemu di ruang makan." Dirga membuang pandangan matanya.
"Ya."
Pandangan mata Nyonya Rani mengikuti punggung Dirga yang bergerak menjauhinya. iya sangat yakin bahwa Dirga berdusta. Kenapa Dirga berdusta?
Wanita itu perlu mencari tahu apa yang sedang disembunyikan oleh putranya.
"Baik Dirga silakan saja kamu berbohong tapi mama tidak mudah kamu dustai begitu saja. Mari kita cari tahu siapa pemilik baju, mama pastikan akan mengetahuinya."
To Be Continue..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
HelseyTa
tolong bu rani cari tau dan dirga hrs bertanggung jawab
2024-10-09
0
Bu Kus
lanjut
2024-08-28
0