Four Paths Of Love
Pada musim kemarau, pagi hari masih terasa begitu dingin. Burung berkicau dilingkungan perumahaan bertingkat dua itu.
Pada pagi itu, Luna terbangun dari tidur nyenyaknya ketika bunyi ketukan pintu terdengar tepat di pintu kamarnya. Wanita itu berdiri di seberang pintu yang tertutup, dan mengetuknya beberapa kali sembari memanggil sang empunya kamar.
"Luna, bangun. Mandilah dan ayo sarapan."
Dua ketukan terakhir, knop pintu berputar samar sebelum papan kayu tebal itu terbuka. Di hadapan Miranda, gadis berusia sekitar limabelas atau enam belas tahun berdiri, mengenakan piyama berwarna biru muda yang lembut. Helaian surai panjangnya yang kecoklatan alami sedikit berantakan setelah ia gunakan untuk berguling-guling ditempat tidur semalaman penuh. Wajah cantiknya masih jelas menunjukkan wajah bantal.
"Luna belum lapar, ma. Luna makannya nanti aja."
Luna berucap dengan suara yang sedikit serak. Jelas sekali ia benar-benar baru bangun dari alam mimpi. Mendengar apa yang dikatakan oleh sang putri membuat Miranda mau tak mau mengangguk. "Ya udah, gapapa, tapi sekarang kamu mandi terus ikut mama."
"Kemana?" tanya Luna.
"Ada tetangga baru dirumah seberang. Baru pindah hari ini. Nggak enak dong, kalau kita nggak menyapa." Ujar Miranda.
"Aku harus ikut? Kenapa nggak sama bang Nathan atau sama papa aja sih, ma?"
Miranda mencubit hidung Luna dengan gemas. "Sudah, mandi sana. Jadi anak perempuan itu harus rajin. Lagipula, kakak kamu sudah menyempatkan menyapa sebelum berangkat kerja. Kamu temani mama sekalian bantu bawa makanan sebagai buah tangan."
Mendengar perkataan Miranda, Luna mengusap hidungnya yang sedikit memerah sebelum mengangguk. "Iya, ma. Luna mandi dulu."
"Mama tunggu dibawah."
Luna bergumam mengiyakan sebelum melangkah memasuki kamarnya untuk mengambil pakaian ganti dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di lantai dua sebelum mandi. Duapuluh menit kemudian, Luna melangkah menuruni tangga. Karena pagi itu masih cukup sejuk, Luna mengenakan sweater berwarna coklat susu dengan celana panjang berwarna putih yang melekat dikaki rampingnya. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan poni yang jatuh menutupi dahinya.
"Sudah?" tanya Miranda.
Luna mengangguk. "Iya, ma. Aku bantu bawa apa ini?"
Miranda mengambil dua kotak tupperware dari atas meja dan memasukkannya kedalam paper bag. "Kamu bawa kue ini."
Sementara Miranda sendiri mengambil sebuah paper bag yang entah berisi apa. Namun Luna sedikit familiar dengan paper bag itu. Mengikuti dibelakang Miranda, Luna tidak tahan untuk tidak bertanya, "Mama bawa apa?"
"Hadiah."
Mendengar apa yang dikatakan Miranda, Luna tidak lagi bertanya dan dengan tenang mengikuti Miranda menuju bangunan rumah seberang. Dibandingkan dengan rumahnya, bangunan dirumah seberang nampak sudah banyak dimodifikasi.
Bukan hanya dipercantik, namun rumah itu juga diubah menjadi tingkat tiga yang menjadikannya sebagai rumah yang cukup tinggi diantara perumahan lain. Warna rumah itu diubah menjadi warna abu-abu dan putih, dengan campuran material batu andesit di separuh dindingnya, dan bahkan anak tangga dibuat menggunakan batu candi yang mengkilat.
Ada beberapa mobil box yang tengah menurunkan beberapa kotak kardus dalam berbagai ukuran sebelum dibawa masuk.
Luna memperhatikannya dengan tenang, sebelum mengalihkan tatapannya kembali kedepan.
"Selamat siang. Saya Miranda dari rumah seberang. Ini buah tangan dari keluarga saya."
Itu adalah kalimat pertama yang disampaikan oleh Miranda ketika berhadapan dengan seorang wanita yang nampak seusianya. Luna juga dengan sadar diri memperkenalkan dirinya dan menyerahkan kue ditangannya. "Halo, tante."
Wanita berambut hitam panjang itu tersenyum dengan ramah dan berkata kepada Miranda dan Luna.
"Selamat siang. Terimakasih. Mari masuk! Ada ibu tetangga lain didalam. Ngomong-ngomong nama saya Ardila dan saya baru pindah hari ini bersama putra saya. Saya akan banyak merepotkan dimasa depan."
Ardila dan Miranda secara ajaib menjadi cepat akrab. Ketika mereka duduk diruang tamu sembari mengobrol dengan beberapa tetangga lain yang juga menyapa dengan membawa bingkisan ditangan mereka sebagai salam sambutan, Ardila dan Miranda menemukan bahwa banyak kesamaan diantara mereka yang membuat obrolan diantara mereka berjalan dengan sangat lancar, seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun lamanya, padahal baru bertemu beberapa waktu.
Hingga tak terasa satu demi satu tamu lain pergi untuk melanjutkan aktivitas masing-masing, meninggalkan Ardila dan Miranda mengobrol dengan asik.
Bagi Luna, ia merasa cukup tidak terkejut dengan situasi itu.
Bagaimanapun, Luna selalu membingungkan bagaimana bisa ibu-ibu yang bahkan tidak saling kenal bisa saling menyahuti atau membalas perkataan dengan sangat akrabnya, padahal mereka bahkan mungkin tidak tahu nama satu sama lain.
"Nak Luna kelas berapa?"
Pertanyaan yang tiba-tiba diarahkan pada Luna saat diruang tamu itu hanya tersisa dirinya dan Miranda berhadapan dengan Ardila membuat Luna sedikit panik dan terkejut. Namun dipermukaan, wajahnya tenang. Ia menjawab dengan suara yang cukup pelan dan sopan. "Saya baru saja lulus SMP tahun ini, tante."
"Oh, ya? Anak tante juga baru lulus SMP dan mendaftar di SMA Galatia."
Mendengar itu, Luna sedikit terkejut. Sementara Miranda segera berucap, "Luna juga mendaftar disana lho, dek."
Karena Miranda lebih tua daripada Ardila, keduanya secara alami menetapkan panggilan dek dan mbak kepada satu sama lain, sebagai panggilan akrab namun sopan. Ardila berkata, "Benarkah? Kalau begitu bagus dong! Astra dan Luna bisa berteman dengan baik dan bisa berangkat bersama-sama juga dimasa depan."
"Setuju. Bagaimanapun dilingkungan baru, Luna selalu kikuk dan pemalu. Jika ada kenalan yang bisa menjaga Luna, itu akan sangat bagus. Ngomong-ngomong apa suami dek Ardila dan Astra-nya tidak ada dirumah?" tanya Miranda.
"Ah, saya dan suami saya sudah bercerai."
Mendengar itu membuat Miranda terkejut dan sontak meminta maaf sembari mengucapkan kata turut prihatin dengan perceraian itu. Namun Ardila tersenyum dan dengan santai merespon. "Gapapa, mbak. Namanya juga manusia, ada kurangnya dan ga sempurna. Yang penting, sekarang fokus menata masa depan, dan mengurus anak saja."
"Iya, dek." Ucap Miranda sebelum memberi semangat pada Ardila.
"Oh iya, kalau Astra, tadi dia minta izin untuk berjalan-jalan sebentar sekaligus menghafalkan jalan menuju sekolah. Sampai sekarang belum kembali. Biasa, anak laki-laki kalau sudah naik motor, bisa betah berlama-lama. Maaf belum bisa memperkenalkan Astra ya, mbak, Luna."
Luna tersenyum dan tidak mengatakan apapun sementara Miranda yang menggelengkan kepalanya. "Tidak apa. Lagipula masih banyak waktu juga. Lain kali pasti juga bertemu, kok."
Topik kemudian cepat berganti pada motor. Di sebelah Miranda, Luna dengan tenang menyesap teh yang disajikan oleh Ardila dan mendengarkan pembicaraan dua wanita itu dengan tenang. Biasanya, Luna memang suka mendengarkan orang lain berbicara, namun giliran dia yang diminta berbicara, dia hanya berbicara seadanya dan obrolan selalu menjadi singkat, berbeda dengan Ardila dan Miranda yang bahkan sekarang sudah berganti topik sebanyak tiga kali dalam satu tarikan nafas.
Luna melirik keduanya dan mau tak mau membatin.
"Bakat tersembunyi ibu-ibu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
anggita
ikut ng👍like saja. smoga lancar jaya.
2024-01-01
1