Terik matahari yang panas menyapa kulit para remaja yang pada saat itu tengah dipanggang dilapangan, selayaknya ikan asing yang tengah dijemur.
"Jaga punggungmu tetap tegap!"
"Bagaimana posisi tanganmu?! Kau pikir sudah benar!?"
"Mata fokus kedepan bukan kebawah! Apa kau fokus melihat pantat teman didepanmu, hah!"
Ditengah panas dan rasa lelah berdiri di lapangan, suara pendamping yang terus menerus terdengar mengoreksi mereka yang salah dalam melakukan posisi berdiri tegap. Suasana semakin tegang, dan tak jarang menemukan beberapa wajah yang pucat dan memerah, antara malu, kesal dan letih setelah hampir dua jam dijemur setelah jam istirahat berakhir.
Diantara remaja-remaja kelelahan, Ivana adalah yang paling terlihat tidak baik.
Wajahnya pucat, dengan keringat yang tidak berhenti mengalir dari pelipis dan berakhir dilehernya yang kini mengkilat oleh keringat. Karena melewatkan jam makan siang yang seharusnya menjadi kondisi dimana dia memulihkan energinya dengan makanan setelah sebelumnya energinya dikuras habis oleh kegiatan baris berbaris, kini Ivana harus merasakan efek kekurangan energi karena tidak sempat mengisi perutnya pada jam istirahat. Kepala Ivana terasa pusing dan tubuhnya lemah. Namun, Ivana masih mencoba menyesuaikan posturnya agar tidak terkena arahan dari pembimbing yang merupakan anggota OSIS SMA Galatia.
Disebelah Ivana, Evie menyadari keanehan Ivana.
"Na, gapapa?" bisik Evie.
Ivana menoleh samar dan tersenyum tipis. Bibir pucatnya bergerak untuk berbicara. "Gapapa, Vie."
"Yakin gapapa? Kalau nggak kuat, aku panggilkan kakak OSIS biar kamu dibawa mundur, ya?"
Ivana hendak menolak ketika ia mendengar sebuah suara menginterupsi keduanya.
"Kenapa kalian?! Ngobrol?"
Seorang perempuan yang merupakan salah satu anggota OSIS mendekati keduanya dan menyilangkan tangan didepan dada dengan ekspresi galak. Keningnya mengerut begitu melihat sosok Ivana dan Evie. "Dari tadi kalian ngobrol terus! Tidak niat ikut pelatihan? Pulang saja sana!"
Evie dengan sopan mencoba menjelaskan. "Maaf, kak. Tadi teman saya keliahatan kurang sehat, jadi saya tanya apa teman saya baik-baik saja."
"Siapa yang suruh kamu bicara?!"
Mendengar sentakan itu, Evie menciut dan ia menunduk. Evie mengepalkan tangannya menahan rasa sakit hati dibentak hanya karena mencoba menjelaskan mengapa ia berbisik dengan Ivana. Ia bahkan sudah berbicara dengan nada sopan dan rendah hati, namun anggota OSIS tersebut justru membentaknya dan sama sekali tidak memiliki sedikit saja keramahan.
"Bel, ada apa sih?"
Seorang anggota OSIS lain datang mendekat dan bertanya dengan suara yang lebih pelan. Abela menoleh dan mendengus dengan kesal. "Mereka ketahuan mengobrol dan justru melawan saat diberi tahu."
Evie mendongak dan menatap Abela dengan tatapan tidak terima. Bagaimanapun, ia bahkan tidak melawan dan mencoba menjelaskan situasinya, namun Abela justru dengan tegas menargetkan mereka seolah memiliki dendam pribadi dengan keduanya. Evie berkata, "Maaf kak. Saya tidak bermaksud melawan. Saya hanya berusaha menjelaskan bahwa saya bukan mengobrol, namun saya mengkhawatirkan keadaan teman saya. Saya melihat ekspresinya nampak salah dan maka dari itu saya menanyakan keadaannya, bukannya mengobrol."
Sembari berkata, Evie menunjuk Ivana.
Abela memarahi Evie lagi, namun pemuda disamping Abela menoleh menatap Ivana. Barulah pada saat itu, pemuda itu mengerutkan kening begitu melihat ekspresi Ivana yang salah. "Hei, kamu gapapa?"
Pada detik berikutnya, Ivana yang sejak tadi pening dan berkunang-kunang pada akhirnya tidak bisa menahan dirinya, dan pingsan.
...***...
Melangkah memasuki bangunan rumahnya, Ivana berjalan dengan gontai. Tiap langkahnya terasa berat dan bahkan ekspresi letih diwajahnya yang kuyu karena keringat tidak bisa disembunyikan. Hari ini benar-benar hari yang berat. Sudahlah ia kelaparan dan bahkan sampai pingsan. Belum lagi dia membuat Evie bermasalah dengan OSIS yang menyebalkan.
"Mana adek kakak yang pingsan?!"
Memasuki area ruang keluarga, kata-kata itu masuk ke pendengaran Ivana. Ivana cemberut dan memandang sang kakak laki-laki yang sedang duduk disofa sembari menikmati camilan kering didalam toples kaca. Wajahnya tampan, namun sekarang dihiasi oleh ekspresi mengejek jahil yang memang selalu dimiliki oleh Arjuna jika berhadapan dengan Arjuna.
"Bang Arjun mau pingsan juga? Vana bantu."
Arjuna dengan santai mengedikkan bahunya dan berujar, "Abang kan strong, ga kaya adek, lemah."
Ivana tanpa kata melemparkan tasnya kepada Arjuna yang dengan sigap menahan tas yang terlempar ke arahnya, sementara pelaku pelemparan tas sudah dengan tenang menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
Membuka pintu kamarnya dan masuk, Ivana mengambil handuk dari tempat gantungan dan segera mencuci muka sebelum kembali ke kamarnya dan langsung berbaring di sofa di kamarnya. Karena begitu kelelahan, tidak sampai lima menit, Ivana sudah terlelap kedalam alam mimpi dengan masih mengenakan seragam olahraga yang dikenakannya sejak pagi.
Disisi lain, pemuda itu menghentikan sepeda motornya di garasi rumahnya. Ares melangkah turun dan berjalan memasuki rumahnya untuk bertemu dengan sang mama yang tengah mencuci peralatan makan yang akan ditata selepas dikeluarkan dari kardus. Melihat sang putra, Ardila dengan tenang menyapanya sembari tersenyum.
"Sudah pulang, nak?"
Ares hanya mengangguk samar sembari meletakkan paper bag ditangannya ke atas meja.
"Oh, syukurlah bekalnya sampai. Maaf ya, nak. Mama tadi benar-benar kelupaan naruh bekalnya kedalam tas. Untung saja Ivana belum berangkat, jadi mama masih sempat menitipkan bekal ke Ivana."
Ardila bertanya dengan penasaran. "Tadi bagaimana Ivana ngasih bekalnya? Sekalian berkenalan, kan?"
Ares memandang Ardila dengan tanpa ekspresi, sebelum dia berbicara dengan nada datar yang selalu ia gunakan dimanapun dan kapanpun, bahkan pada siapapun.
"Aku capek, mau istirahat."
Melihat putranya tidak ingin mengatakan apapun, Ardila hanya bisa tersenyum pasrah. Nampaknya harapannya agar Ares bisa berteman dengan orang lain dan bisa membuka dirinya pada orang lain masih sangat jauh. Ardila harus minta maaf pada Ivana jika Ares tidak mengatakan apapun pada Ivana. Disisi lain, Ares yang tengah melangkah menaiki tangga dengan wajah dingin mengingat perkataan sang mama.
Mau tak mau, Ares mengingat kejadian sewaktu disekolah berjam-jam yang lalu.
Ketika ingatannya menampilkan topi, kacamata dan masker kelinci, sudut bibir Ares mau tak mau sedikit terangkat dengan samar.
Hanya ada satu kata dibenaknya.
——kelinci aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments