Pada musim kemarau, pagi hari masih terasa begitu dingin. Burung berkicau dilingkungan perumahaan bertingkat dua itu.
Pada pagi itu, Luna terbangun dari tidur nyenyaknya ketika bunyi ketukan pintu terdengar tepat di pintu kamarnya. Wanita itu berdiri di seberang pintu yang tertutup, dan mengetuknya beberapa kali sembari memanggil sang empunya kamar.
"Luna, bangun. Mandilah dan ayo sarapan."
Dua ketukan terakhir, knop pintu berputar samar sebelum papan kayu tebal itu terbuka. Di hadapan Miranda, gadis berusia sekitar limabelas atau enam belas tahun berdiri, mengenakan piyama berwarna biru muda yang lembut. Helaian surai panjangnya yang kecoklatan alami sedikit berantakan setelah ia gunakan untuk berguling-guling ditempat tidur semalaman penuh. Wajah cantiknya masih jelas menunjukkan wajah bantal.
"Luna belum lapar, ma. Luna makannya nanti aja."
Luna berucap dengan suara yang sedikit serak. Jelas sekali ia benar-benar baru bangun dari alam mimpi. Mendengar apa yang dikatakan oleh sang putri membuat Miranda mau tak mau mengangguk. "Ya udah, gapapa, tapi sekarang kamu mandi terus ikut mama."
"Kemana?" tanya Luna.
"Ada tetangga baru dirumah seberang. Baru pindah hari ini. Nggak enak dong, kalau kita nggak menyapa." Ujar Miranda.
"Aku harus ikut? Kenapa nggak sama bang Nathan atau sama papa aja sih, ma?"
Miranda mencubit hidung Luna dengan gemas. "Sudah, mandi sana. Jadi anak perempuan itu harus rajin. Lagipula, kakak kamu sudah menyempatkan menyapa sebelum berangkat kerja. Kamu temani mama sekalian bantu bawa makanan sebagai buah tangan."
Mendengar perkataan Miranda, Luna mengusap hidungnya yang sedikit memerah sebelum mengangguk. "Iya, ma. Luna mandi dulu."
"Mama tunggu dibawah."
Luna bergumam mengiyakan sebelum melangkah memasuki kamarnya untuk mengambil pakaian ganti dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di lantai dua sebelum mandi. Duapuluh menit kemudian, Luna melangkah menuruni tangga. Karena pagi itu masih cukup sejuk, Luna mengenakan sweater berwarna coklat susu dengan celana panjang berwarna putih yang melekat dikaki rampingnya. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan poni yang jatuh menutupi dahinya.
"Sudah?" tanya Miranda.
Luna mengangguk. "Iya, ma. Aku bantu bawa apa ini?"
Miranda mengambil dua kotak tupperware dari atas meja dan memasukkannya kedalam paper bag. "Kamu bawa kue ini."
Sementara Miranda sendiri mengambil sebuah paper bag yang entah berisi apa. Namun Luna sedikit familiar dengan paper bag itu. Mengikuti dibelakang Miranda, Luna tidak tahan untuk tidak bertanya, "Mama bawa apa?"
"Hadiah."
Mendengar apa yang dikatakan Miranda, Luna tidak lagi bertanya dan dengan tenang mengikuti Miranda menuju bangunan rumah seberang. Dibandingkan dengan rumahnya, bangunan dirumah seberang nampak sudah banyak dimodifikasi.
Bukan hanya dipercantik, namun rumah itu juga diubah menjadi tingkat tiga yang menjadikannya sebagai rumah yang cukup tinggi diantara perumahan lain. Warna rumah itu diubah menjadi warna abu-abu dan putih, dengan campuran material batu andesit di separuh dindingnya, dan bahkan anak tangga dibuat menggunakan batu candi yang mengkilat.
Ada beberapa mobil box yang tengah menurunkan beberapa kotak kardus dalam berbagai ukuran sebelum dibawa masuk.
Luna memperhatikannya dengan tenang, sebelum mengalihkan tatapannya kembali kedepan.
"Selamat siang. Saya Miranda dari rumah seberang. Ini buah tangan dari keluarga saya."
Itu adalah kalimat pertama yang disampaikan oleh Miranda ketika berhadapan dengan seorang wanita yang nampak seusianya. Luna juga dengan sadar diri memperkenalkan dirinya dan menyerahkan kue ditangannya. "Halo, tante."
Wanita berambut hitam panjang itu tersenyum dengan ramah dan berkata kepada Miranda dan Luna.
"Selamat siang. Terimakasih. Mari masuk! Ada ibu tetangga lain didalam. Ngomong-ngomong nama saya Ardila dan saya baru pindah hari ini bersama putra saya. Saya akan banyak merepotkan dimasa depan."
Ardila dan Miranda secara ajaib menjadi cepat akrab. Ketika mereka duduk diruang tamu sembari mengobrol dengan beberapa tetangga lain yang juga menyapa dengan membawa bingkisan ditangan mereka sebagai salam sambutan, Ardila dan Miranda menemukan bahwa banyak kesamaan diantara mereka yang membuat obrolan diantara mereka berjalan dengan sangat lancar, seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun lamanya, padahal baru bertemu beberapa waktu.
Hingga tak terasa satu demi satu tamu lain pergi untuk melanjutkan aktivitas masing-masing, meninggalkan Ardila dan Miranda mengobrol dengan asik.
Bagi Luna, ia merasa cukup tidak terkejut dengan situasi itu.
Bagaimanapun, Luna selalu membingungkan bagaimana bisa ibu-ibu yang bahkan tidak saling kenal bisa saling menyahuti atau membalas perkataan dengan sangat akrabnya, padahal mereka bahkan mungkin tidak tahu nama satu sama lain.
"Nak Luna kelas berapa?"
Pertanyaan yang tiba-tiba diarahkan pada Luna saat diruang tamu itu hanya tersisa dirinya dan Miranda berhadapan dengan Ardila membuat Luna sedikit panik dan terkejut. Namun dipermukaan, wajahnya tenang. Ia menjawab dengan suara yang cukup pelan dan sopan. "Saya baru saja lulus SMP tahun ini, tante."
"Oh, ya? Anak tante juga baru lulus SMP dan mendaftar di SMA Galatia."
Mendengar itu, Luna sedikit terkejut. Sementara Miranda segera berucap, "Luna juga mendaftar disana lho, dek."
Karena Miranda lebih tua daripada Ardila, keduanya secara alami menetapkan panggilan dek dan mbak kepada satu sama lain, sebagai panggilan akrab namun sopan. Ardila berkata, "Benarkah? Kalau begitu bagus dong! Astra dan Luna bisa berteman dengan baik dan bisa berangkat bersama-sama juga dimasa depan."
"Setuju. Bagaimanapun dilingkungan baru, Luna selalu kikuk dan pemalu. Jika ada kenalan yang bisa menjaga Luna, itu akan sangat bagus. Ngomong-ngomong apa suami dek Ardila dan Astra-nya tidak ada dirumah?" tanya Miranda.
"Ah, saya dan suami saya sudah bercerai."
Mendengar itu membuat Miranda terkejut dan sontak meminta maaf sembari mengucapkan kata turut prihatin dengan perceraian itu. Namun Ardila tersenyum dan dengan santai merespon. "Gapapa, mbak. Namanya juga manusia, ada kurangnya dan ga sempurna. Yang penting, sekarang fokus menata masa depan, dan mengurus anak saja."
"Iya, dek." Ucap Miranda sebelum memberi semangat pada Ardila.
"Oh iya, kalau Astra, tadi dia minta izin untuk berjalan-jalan sebentar sekaligus menghafalkan jalan menuju sekolah. Sampai sekarang belum kembali. Biasa, anak laki-laki kalau sudah naik motor, bisa betah berlama-lama. Maaf belum bisa memperkenalkan Astra ya, mbak, Luna."
Luna tersenyum dan tidak mengatakan apapun sementara Miranda yang menggelengkan kepalanya. "Tidak apa. Lagipula masih banyak waktu juga. Lain kali pasti juga bertemu, kok."
Topik kemudian cepat berganti pada motor. Di sebelah Miranda, Luna dengan tenang menyesap teh yang disajikan oleh Ardila dan mendengarkan pembicaraan dua wanita itu dengan tenang. Biasanya, Luna memang suka mendengarkan orang lain berbicara, namun giliran dia yang diminta berbicara, dia hanya berbicara seadanya dan obrolan selalu menjadi singkat, berbeda dengan Ardila dan Miranda yang bahkan sekarang sudah berganti topik sebanyak tiga kali dalam satu tarikan nafas.
Luna melirik keduanya dan mau tak mau membatin.
"Bakat tersembunyi ibu-ibu."
Motor sport hitam itu berhenti tepat dihalaman rumah bertingkat tiga yang beberapa jam lalu didatangi oleh Ivana dan Miranda. Pemuda itu tinggi dan ramping., tubuh dibalik hoodie hitam itu jelas menyimpan otot halus khas remaja atletik. Melepas helm hitam dikepalanya, helaian surai hitam jatuh didahinya yang sedikit basah karena keringat. Sepasang maniknya turun dan bulu mata panjangnya sedikit berkibar kala ia berkedip samar.
"Ares, baru pulang?"
Ares mengalihkan tatapannya pada Ardila yang melangkah keluar sembari membawa pot tanaman ditangannya. Ares meletakkan helm di tangannya dan tanpa kata meraih pot ditangan sang mama sebelum membawanya menuju rak pot dan menaruhnya diantara pot-pot lain yang merupakan tanaman kesayangan Ardila.
Melihat sang putra yang meski tanpa kata membantunya, Ardila tersenyum dan berucap, "Tadi banyak tetangga yang mampir dan menyapa. Sayang sekali kamu nggak bisa ikut menyapa mereka. Semuanya baik-baik dan ramah-ramah."
"Oh iya, kak Miranda dari rumah seberang punya anak perempuan yang seumuran sama kamu, dan katanya satu sekolah dengan kamu. Mama harap kalian bisa berteman dan saling membantu di sekolah nanti. Bagaimanapun, di lingkungan baru, kamu juga butuh teman."
"Tidak perlu."
Hanya itu yang diucapkan Ares untuk membalas perkataan sang mama. Suaranya dingin dan dalam, seolah ia tengah menelan sebongkah es yang bisa membekukan hanya dengan sapuan nafasnya. Ares dengan tenang melangkah melewati Ardila dan berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua, meninggalkan Miranda yang berdiri memandang arah kepergian putranya dengan helaan nafas lembut.
"Ares." Ardila berbisik pada dirinya sendiri dalam keheningan. "Kapan kamu akan membuka hatimu, nak?"
Melangkah memasuki kamarnya, Ares mengulurkan tangannya untuk menyampirkan hoodie yang dikenakannya ke kursi belajar sebelum ia merebahkan dirinya disofa. Sandaran sofa yang keras menahan punggungnya yang nampak kesepian. Sepasang maniknya yang dingin memandang keluar balkon kamarnya dengan acuh tak acuh.
Tidak ada emosi di wajahnya yang dengan tegar menampilkan ekspresi dingin dan tak tersentuh.
Drt... Drt...
Iphone hitam diatas meja berkedip dan menampilkan serentet kalimat dilayarnya. Sebelum lima detik kemudian kembali menjadi layar gelap. Ares menatapnya dan dengan acuh mengabaikannya dan kembali memandang keluar balkon kamarnya sekali lagi, tidak tahu apa yang dia pikirkan.
...***...
"Ma, aku main keluar sebentar, ya?"
Lengkap dengan pakaian casualnya, Ivana menghampiri sang mama untuk berpamitan. Miranda menoleh kearah Ivana dan bertanya dengan santai. "Main kemana?"
"Ke caffe, ma. Sama Ai, Vie dan Joa."
Mendengar jawaban Ivana, Miranda menganggukkan kepalanya. Merogoh sakunya, Miranda mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan memberikannya kepada Ivana sembari berkata, "Jangan terlalu lama pulangnya. Kalau ada sesuatu, ingat untuk mengabari orang rumah. Mengerti?"
Ivana menerima uang saku dari sang mama dan mengangguk dengan senang hati. "Iya, ma. Vana berangkat dulu ya."
Setelah berpamitan, Ivana melangkah keluar. Mengenakan baju putih dan cardigan semi ungu sementara bawahannya mengenakan jeans hitam, Ivana mengenakan helm dan menaiki motor matic-nya menuju tempat yang dimaksudkan oleh para sahabat untuk bertemu. Dua puluh menit kemudian, Ivana memarkirkan motor matic-nya di parkiran depan sebuah caffe bertingkat dua.
Memasuki bangunan yang didominasi kaca itu, Ivana melirik ponselnya yang menampilkan grup chat, yang memberitahu bahwa sahabat-sahabatnya berada di meja nomor delapan belas yang ada di sudut caffe. Mengikuti urutan meja, Ivana dengan cepat menemukan keberadaan sahabat-sahabatnya.
Tiga orang itu duduk dimeja kecil. Sebuah meja bundar dengan empat bangku di sekitarnya. Tiga bangku sudah terisi, dan tersisa satu bangku yang jelas menjadi tempat dimana dia akan duduk.
"Vana! Sini!"
Gadis berambut pirang itu melambaikan tangannya memanggil Ivana begitu ia menyadari keberadaannya. Dua temannya yang lain segera menoleh sementara Ivana melangkah menuju mereka sebelum mendaratkan pantatnya diatas bangku.
"Tumben nih, si anak rumahan mau datang."
Sindiran yang sebenarnya juga bukan sindiran itu diucapkan oleh gadis bersurai hitam sebahu disebelah Evie—yang berambut pirang. Dandanannya yang nyaris seperti preman membuatnya nampak kontras dengan wajahnya yang cantik dan bisa dibilang manis. Seringaian terpampang dibibirnya yang merekah berwarna merah cerah, alami tanpa ada polesan apapun.
"Hari ini kan kamu yang traktir. Aku nggak bisa dong, menyia-nyiakan kesempatan jajan gratis sepuasnya." Balas Ivana dengan santai.
"Sialan!"
Aira hanya mengumpat karena kebiasaan, namun dia tidak benar-benar bermaksud mengumpati Ivana. Aira tertawa dan kemudian berucap, "Kamu mau nguras dompet aku ceritanya?"
Ivana menggelengkan kepalanya dengan polos dan tersenyum. "Setengahnya aja."
"Ngomong-ngomong, dari kita yang masuk jurusan IPS cuma Aira, ya?" tanya Ivana.
Aira mengangguk dengan santai, sementara Evie disampingnya berkata, "Sayang banget nggak bisa kumpul satu jurusan apalagi satu kelas."
"Ya, yang penting kita masih bisa satu sekolah, kan?"
Aira menghela napas dan memandang mereka dengan jijik. "Aku bukan anak yang suka belajar kaya kalian. Bisa masuk ke SMA Galatia yang katanya super ketat sama nilai, masih untung-untungan. Udah, disyukurin aja."
Evie hanya bisa menganggukkan kepalanya meski ia masih merasa berat karena satu sahabatnya tidak bisa satu jurusan dengannya. Bagaimanapun keempatnya sudah bersama sejak sekolah dasar, dan sekarang akan terpisah karena jurusan. Rasanya, Evie merasa kurang. Namun memikirkan apa yang dikatakan oleh Aira membuat Evie mau tak mau merasa lega. Benar, setidaknya syukur mereka masih bisa bersama.
"Untung kamu masih ada kelebihan prestasi non akademik."
Joanna yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya. "Soalnya nilai akademik kamu benar-benar mengerikan untuk dilihat."
Aira menyunggingkan senyuman miring dan mengedikkan bahunya, nampak acuh dan tak peduli dengan nilainya. "Yang penting masih lebih dari angka satu."
Ivana tertawa dan menimpali. "Iya, dua kan juga lebih dari satu."
Ketiganya bercanda dan saling bertukar kata sampai tiga jam kemudian, Ivana tiba dirumahnya kembali. Menyimpan motor di garasi, Ivana melangkah masuk ke rumahnya dan berpapasan dengan adik laki-lakinya yang tengah bermain game bersama dengan anak tetangga sebelah di ruang santai disebelah taman samping rumah.
"Game terus, ga bosen apa?"
Suaranya mengalihkan kedua anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tahun itu. Melihat kedatangan Ivana. anak laki-laki yang duduk di bangku sebelah kanan menyapa dengan sopan namun akrab. "Halo, kak Vana."
"Halo, Ren. Gimana kabarnya? Udah seminggu nggak kelihatan main sama Desta."
Ren menjawab seadanya. "Ada les tambahan disekolah, kak. Pulangnya biasanya agak sore. Kalau udah sore, kan, nggak boleh main kemana-mana lagi."
Ivana menganggukkan kepalanya. "Ya udah, lanjut sana."
Ren menganggukkan kepalanya dan kembali mengubur dirinya dalam permainan. Sementara Ivana dengan jahil mencubit pipi Desta sebelum pergi, yang tentu saja menimbulkan jeritan kesal dari korban cubitan yang ditinggalkan begitu saja.
🔸
Hari Senin yang cerah, suara burung berkicau samar, penanda aktivitas pagi dimulai. Cahaya matahari secara otomatis menggantikan lampu yang telah dipadamkan sejak beberapa waktu yang lalu.
"Mama, Vana berangkat!"
Mengenakan seragam olahraga SMP lamanya untuk mengikuti kegiatan pelatihan murid baru di SMA Galatia, Ivana menggendong ransel hitam dipunggungnya. Surai panjangnya diikat kuda dengan anak poni yang jatuh didahinya. Wajahnya alami tanpa polesan selain lipbalm agar bibirnya terlihat tidak pucat.
Miranda melangkah keluar mengikuti Ivana dengan membawa selang air yang biasanya ia gunakan untuk menyiram tanaman di kebun didepan rumahnya. "Bekalnya sudah dibawa, kan? Katanya tidak boleh jajan diluar dan hanya boleh makan bekal. Jangan sampai kelupaan, lho."
Ivana menganggukkan kepalanya. "Sudah kok, ma. Sudah ada di tas Vana."
Miranda menganggukkan kepalanya dan membiarkan Ivana menaiki motornya. Ivana hendak berpamitan ketika Ardila muncul dari balik gerbang rumahnya dan mendekati keduanya dengan wajah penuh kelegaan ketika melihat Ivana.
"Ivana, syukur sekali kamu belum berangkat!"
"Tante Ardila?" beo Ivana samar.
"Lho, ada apa dek?" tanya Miranda sembari mendekati keduanya.
"Begini mbak. Bekal makan siang Ares tertinggal. Tadi saya lupa taruh bekal makan siang Ares di tasnya, dan saya malah bilang sudah sama Ares." Kata Ardila.
Ia menatap Ivana dan tersenyum. "Tante boleh titip bekal makan siang Ares tidak, Ivana? Kata Ares tidak diperbolehkan makan makanan lain selain bekal selama pelatihan. Takutnya Ares lapar. Dan kalau tante mau mengantarkan, masih ada orang yang berbenah di rumah, takutnya tidak enak jika ditinggal."
"Boleh ya, nak?"
Bukannya Ivana yang menjawab, Miranda dengan santai berkata, "Oh, ternyata begitu. Iya, titipkan aja ke Vana, dek. Toh, satu sekolah juga."
Ivana membuka suara. "Tapi ma, Vana tidak tahu seperti apa anaknya tante Ardila."
"Ini, tante ada fotonya Ares."
Mendengar perkataan Ivana, Ardila dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepada Ivana. Foto Ares, dimana pemuda itu berdiri tegap dengan wajah datar dan memandang lurus ke arah kamera. Ivana memandang pemuda yang ada di foto dan sedikit tertegun melihat betapa tampannya remaja itu. Ivana melirik Ardila yang memiliki paras cantik dan mau tak mau memikirkan seperti apa wajah suami Ardila.
Pasti sama-sama rupawannya.
Ivana mengingat didalam benaknya wajah Ares dan menerima permintaan tolong Ardila. Setelah berpamitan kepada keduanya dan setelah menerima ucapan terimakasih dari Ardila, Ivana melajukan motor maticnya menuju sekolah barunya dengan membawa dua bekal didalam tasnya. Bekal miliknya sendiri dan satu lagi, bekal milik Ares.
Sepuluh menit perjalanan menggunakan motor, Ivana akhirnya sampai di SMA Galatia. Memarkirkan motornya diantara motor-motor lain di parkiran SMA Galatia, Ivana menyampirkan helm hitamnya ke motor dan bergegas menuju halaman SMA Galatia bersama dengan para murid baru yang juga baru tiba di SMA Galatia.
...***...
"Gila! Aku capek banget!"
Aira tanpa malu berbaring dibawah pohon yang ditanam disekeliling halaman belakang SMA Galatia yang luasnya hampir sama dengan lapangan bola. Evie dengan tenang mendudukkan dirinya disebelah Aira, mengeluarkan kipas bundar dari dalam tasnya dan menyalakannya. Angin dingin segera berhembus, menyapa kulit kemerahan Evie setelah terpapar sinar matahari selama beberapa jam lamanya.
"Pinjam!" pekik Aira sembari menyambar kipas listrik milik Evie.
Yang dipalak dengan tenang menghela napas dan membiarkan temannya yang hampir sekarat itu disembuhkan oleh kipasnya. Evie berkata, "Mau makan sekarang atau agak nanti?"
Setelah melakukan pelatihan baris berbaris selama setengah hari lamanya, mereka kemudian diberi waktu istirahat selama satu jam untuk melakukan kegiatan pribadi, entah makan siang, bermain ponsel, ke kamar mandi atau bahkan tidur. Karena jam istirahat masih lama, mereka tidak terburu-buru untuk makan.
Joanna yang tengah menyeka wajahnya dengan tissue basah berkata, "Aku sebentar lagi."
"Kalau begitu aku makan duluan ya. Udah laper. Aku tadi belum sempat sarapan soalnya."
"Oke, makan aja."
Evie kemudian mengeluarkan bekal makan siangnya dan mulai menyantapnya sembari bermain ponsel. Sementara Ivana sejak tadi menatap sekeliling guna menemukan sosok Ares. Melihat gerak-gerik sahabatnya yang aneh, Joanna bertanya, "Cari apa sih, Na?"
Ivana memandang sahabat-sahabatnya dan menggelengkan kepalanya. Berkata pun, bukannya mereka akan tahu siapa Ares itu. Lagipula, jika dia memberitahu mereka, mereka terutama Aira hanya akan menjadi penasaran dan melontarkan segala pertanyaan yang pastinya tidak akan berakhir hanya dalam beberapa menit. Apalagi jika berhubungan dengan laki-laki.
"Gapapa, cuma lihat-lihat."
Joanna tidak lagi bertanya, hanya mengangguk dan kemudian melanjutkan menyeka kulitnya yang terbuka dengan tissue basah.
Ivana mengalihkan tatapannya kembali, hanya untuk mendengar suara-suara disekelilingnya.
"Itu yang peringkat pertama, kan?"
"Katanya nilai masuknya benar-benar sempurna. Nilai penuh."
"Seriusan? Wah, udah ganteng, pintar lagi."
Ivana menolehkan kepalanya untuk menemukan segerombol anak perempuan tengah membicarakan sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Seseorang yang diterima di SMA Galatia dengan nilai paling sempurna yang bahkan mengalahkan nilai Joanna yang selalu rangking satu di SMP lamanya. Ivana pernah mendengarnya, namun Ivana lupa. Sebenarnya beritanya yang mendapatkan nilai sempurna di ujian masuk itu benar-benar sudah tersebar ke seluruh lingkungan sekolah bahkan sampai kepada para senior tahun kedua dan tahun ketiga.
Bagaimanapun, siswa cerdas seperti itu adalah yang membuat semua orang tentu saja penasaran.
Ia hendak mengalihkan perhatiannya ketika dia mendengar suara mereka lagi, menyebutkan nama seseorang.
"Namanya Ares, kan?"
"Iya, dia satu SMP denganku dulu. Penggemarnya sangat banyak, tapi sayangnya dia terlalu dingin dan acuh. Bahkan dia hampir bisa dikatakan tidak punya teman lain."
Ivana menoleh kembali dan mengangkat telinganya.
"Eh, lihat deh. Lagi-lagi dia duduk disana sendirian."
Itu adalah kata-kata yang ditunggu Ivana. Ivana mengikuti arah jari gadis yang tengah bergosip dengan temannya dan melihat sosok yang sama persis dengan yang ada di foto tengah duduk di bawah pohon seorang diri. Memandang lurus kedepan dengan dingin dan tanpa ekspresi yang membuat orang lain takut dan ragu untuk mendekatinya.
Ivana berdiri dengan membawa paper bag berisi kotak makan siang ditangannya dan hendak melangkah pergi ketika sebuah percakapan singkat masuk ke telinganya.
"Bukan cuma karena sikap dinginnya yang bikin Ares ditakuti. Tapi rumornya, mereka yang berusaha deketin Ares nggak akan berakhir baik, karena penggemar Ares termasuk penggemar yang anarkis."
"Maksudnya?"
"Maksudnya jangan pernah terlihat dekat sama Ares kalau nggak mau berakhir jadi bulan-bulanannya fangirl Ares. Paham sayangku?"
Yang disebelahnya segera berkata, "Benar. Kudengar teman sebangku Ares, yang kebetulan perempuan jatuh dari tangga tanpa alasan dan menderita patah tulang. Waktu dia sembuh, dia pindah langsung dari tempat duduknya."
Seketika, langkah Ivana terhenti.
Ivana memandang bekal makan siang ditangannya dan memandang samar Ares yang duduk disana dengan puluhan pasang mata yang sadar tidak sadar terarah kepada pemuda itu. Ivana meneguk ludahnya dengan kasar. Jika yang mendapatkan pembagian kursi disebelahnya saja bisa mengalami patah tulang karena jatuh dari tangga, bagaimana dengan dirinya yang bisa dianggap mengirimkan bekal makan siang untuk Ares?
Ivana menciutkan bahunya.
Patah tulang, tidak begitu sakit kan, ya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!