NovelToon NovelToon

A Tale Of The Four Season

A TALE OF THE FOUR SEASON

Hello love!

Seneng banget, akhirnya setelah sekian lama, Ree akhirnya bisa update novel baru Ree. Setelah sekian lama Ree melewati peluh keringat dan kram jari buat nulis novel ini, eaa, sekarang tibalah saatnya Ree mempersembahkan A TALE OF THE FOUR SEASON untuk temen-temen sekalian.

Nih, Ree kasih summarynya;

...❇️...

Apakah kamu pernah jatuh cinta atau pernahkah kamu menyukai seseorang?

Seperti katanya, cinta itu murni, suci dan indah seperti musim dingin dimana salju menawan berjatuhan dari langit. Cinta itu bertumbuh, bercabang dan bermekaran pada saat yang tepat selayaknya musim semi yang selalu dinanti-nanti. Cinta itu panas dan membakar, selayaknya cheetah yang kehausan di tengah musim panas. Namun cinta juga bisa berguguran selayaknya daun rapuh yang tersapu oleh angin dan menghilang tanpa dirasa seperti musim gugur.

Jika kamu diberi kesempatan untuk jatuh cinta, fase apa yang akan takdir pilihan untuk kamu?

...❇️...

Ree nggak ada maksud apa-apa dalam membuat novel ini, dan cerita ini murni untuk hiburan semata dan ga ada niatan buat menyinggung pihak manapun atau apapun.

So, itu aja dari Ree

Ya udah.

ATOTFS 1: Tetangga Baru

Pada musim kemarau, pagi hari masih terasa begitu dingin. Burung berkicau dilingkungan perumahaan bertingkat dua itu.

Pada pagi itu, Ivana terbangun dari tidur nyenyaknya ketika bunyi ketukan pintu terdengar tepat di pintu kamarnya. Wanita itu berdiri di seberang pintu yang tertutup, dan mengetuknya beberapa kali sembari memanggil sang empunya kamar.

"Vana, bangun. Waktunya sarapan."

Dua ketukan terakhir, knop pintu berputar samar sebelum papan kayu tebal itu terbuka. Dihadapan Miranda, gadis berusia sekitar limabelas atau enam belas tahun berdiri, mengenakan piyama berwarna biru muda yang lembut. Helaian surai panjangnya yang kecoklatan alami sedikit berantakan setelah ia gunakan untuk berguling-guling ditempat tidur semalaman penuh. Wajah cantiknya masih jelas menunjukkan wajah bantal.

"Vana belum lapar, ma. Vana makannya nanti aja."

Ivana berucap dengan suara yang sedikit serak. Jelas sekali ia benar-benar baru bangun dari alam mimpi. Mendengar apa yang dikatakan oleh sang putri membuat Miranda mau tak mau mengangguk. "Ya udah, gapapa, tapi sekarang kamu mandi terus ikut mama."

"Kemana?" tanya Ivana.

"Ada tetangga baru dirumah seberang. Baru pindah hari ini. Nggak enak dong, kalau kita nggak menyapa." Ujar Miranda.

"Aku harus ikut? Kenapa nggak sama kak Arjun atau sama papa aja sih, ma?"

Miranda mencubit hidung Ivana dengan gemas. "Sudah, mandi sana. Jadi anak perempuan itu harus rajin. Lagipula, kak Arjuna sudah menyempatkan menyapa sebelum berangkat kerja. Kamu temani mama sekalian bantu bawa makanan sebagai buah tangan."

Mendengar perkataan Miranda, Ivana mengusap hidungnya yang sedikit memerah sebelum mengangguk. "Iya, ma. Vana mandi dulu."

"Mama tunggu dibawah."

Ivana bergumam mengiyakan sebelum melangkah memasuki kamarnya untuk mengambil pakaian ganti dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di lantai dua sebelum mandi. Duapuluh menit kemudian, Ivana melangkah menuruni tangga. Karena pagi itu masih cukup sejuk, Ivana mengenakan sweater berwarna coklat susu dengan celana panjang berwarna putih yang melekat dikaki rampingnya. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan poni yang jatuh menutupi dahinya.

"Sudah?" tanya Miranda.

Ivana mengangguk. "Iya, ma. Aku bantu bawa apa ini?"

Miranda mengambil dua kotak tupperware dari atas meja dan memasukkannya kedalam paper bag. "Kamu bawa kue ini."

Sementara Miranda sendiri mengambil sebuah paper bag yang entah berisi apa. Namun Ivana sedikit familiar dengan paper bag itu. Mengikuti dibelakang Miranda, Ivana tidak tahan untuk tidak bertanya, "Mama bawa apa?"

"Hadiah kecil."

Mendengar apa yang dikatakan Miranda, Ivana tidak lagi bertanya dan dengan tenang mengikuti Miranda menuju bangunan rumah seberang. Dibandingkan dengan rumahnya, bangunan dirumah seberang nampak sudah banyak dimodifikasi. Bukan hanya dipercantik, namun rumah itu juga diubah menjadi tingkat tiga yang menjadikannya sebagai rumah yang cukup tinggi diantara perumahan lain. Warna rumah itu diubah menjadi warna abu-abu dan putih, dengan campuran material batu andesit di separuh dindingnya, dan bahkan anak tangga dibuat menggunakan batu candi yang mengkilat.

Ada beberapa mobil box yang tengah menurunkan beberapa kotak kardus dalam berbagai ukuran sebelum dibawa masuk.

Ivana memperhatikannya dengan tenang, sebelum mengalihkan tatapannya kembali kedepan.

"Selamat siang, mbak. Saya Miranda dari rumah seberang. Ini buah tangan dari keluarga saya."

Itu adalah kalimat pertama yang disampaikan oleh Miranda ketika berhadapan dengan seorang wanita yang nampak seusianya. Ivana juga dengan sadar diri memperkenalkan dirinya dan menyerahkan kue ditangannya. "Halo, tante."

Wanita bersurai hitam panjang itu tersenyum dengan ramah dan berkata kepada Miranda dan Ivana.

"Selamat siang. Terimakasih. Mari masuk! Ada ibu tetangga lain didalam. Ngomong-ngomong nama saya Ardila dan saya baru pindah hari ini bersama putra saya. Saya akan banyak merepotkan dimasa depan."

Ardila dan Miranda secara ajaib menjadi cepat akrab. Ketika mereka duduk diruang tamu sembari mengobrol dengan beberapa tetangga lain yang juga menyapa dengan membawa bingkisan ditangan mereka sebagai salam sambutan, Ardila dan Miranda menemukan bahwa banyak kesamaan diantara mereka yang membuat obrolan diantara mereka berjalan dengan sangat lancar, seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun lamanya, padahal baru bertemu beberapa waktu.

Bagi Ivana, ia merasa cukup tidak terkejut dengan situasi itu.

Bagaimanapun, Ivana selalu membingungkan bagaimana bisa ibu-ibu yang bahkan tidak saling kenal bisa saling menyahuti atau membalas perkataan dengan sangat akrabnya, padahal mereka bahkan mungkin tidak tahu nama satu sama lain.

"Nak Ivana kelas berapa?"

Pertanyaan yang tiba-tiba diarahkan pada Ivana saat diruang tamu itu hanya tersisa dirinya dan Miranda berhadapan dengan Ardila membuat Ivana sedikit panik dan terkejut. Namun dipermukaan, wajahnya tenang. Ia menjawab dengan suara yang cukup pelan dan sopan. "Saya baru saja lulus SMP tahun ini, tante."

"Oh, ya? Anak tante juga baru lulus SMP dan mendaftar di SMA Galatia."

Mendengar itu, Ivana sedikit terkejut. Sementara Miranda segera berucap, "Ivana juga mendaftar disana lho, dek."

Karena Miranda lebih tua daripada Ardila, keduanya secara alami menetapkan panggilan dek dan mbak kepada satu sama lain, sebagai panggilan akrab namun sopan. Ardila berkata, "Benarkah? Kalau begitu bagus dong! Ares dan Ivana bisa berteman dengan baik dan bisa berangkat bersama-sama juga dimasa depan."

"Setuju. Bagaimanapun dilingkungan baru, Ivana selalu kikuk dan pemalu. Jika ada kenalan yang bisa menjaga Ivana, itu akan sangat bagus. Ngomong-ngomong apa suami dek Ardila dan Ares-nya tidak ada dirumah?" tanya Miranda.

"Ah, saya dan suami saya sudah bercerai."

Mendengar itu membuat Miranda terkejut dan sontak meminta maaf sembari mengucapkan kata turut prihatin dengan perceraian itu. Namun Ardila tersenyum dan dengan santai merespon. "Gapapa, mbak. Namanya juga manusia, ada kurangnya dan ga sempurna. Yang penting, sekarang fokus menata masa depan, dan mengurus anak saja."

"Iya, dek." Ucap Miranda sebelum memberi semangat pada Ardila.

"Oh iya, kalau Ares, tadi dia minta izin untuk berjalan-jalan sebentar sekaligus menghafalkan jalan menuju sekolah. Sampai sekarang belum kembali. Biasa, anak laki-laki kalau sudah naik motor, bisa betah berlama-lama. Maaf belum bisa memperkenalkan Ares ya, mbak, Ivana."

Ivana tersenyum dan tidak mengatakan apapun sementara Miranda yang menggelengkan kepalanya. "Tidak apa. Lagipula masih banyak waktu juga. Lain kali pasti juga bertemu, kok."

Topik kemudian cepat berganti pada motor. Di sebelah Miranda, Ivana dengan tenang menyesap teh yang disajikan oleh Ardila dan mendengarkan pembicaraan dua wanita itu dengan tenang. Biasanya, Ivana memang suka mendengarkan orang lain berbicara, namun giliran dia yang diminta berbicara, dia hanya berbicara seadanya dan obrolan selalu menjadi singkat, berbeda dengan Ardila dan Miranda yang bahkan sekarang sudah berganti topik sebanyak tiga kali dalam satu tarikan nafas.

Ivana melirik keduanya dan mau tak mau membatin.

"Bakat tersembunyi ibu-ibu."

🔸

ATOTFS 2: Ares Dan Ardila

Motor sport hitam itu berhenti tepat dihalaman rumah bertingkat tiga yang beberapa jam lalu didatangi oleh Ivana dan Miranda. Pemuda itu tinggi dan ramping., tubuh dibalik hoodie hitam itu jelas menyimpan otot halus khas remaja atletik. Melepas helm hitam dikepalanya, helaian surai hitam jatuh didahinya yang sedikit basah karena keringat. Sepasang maniknya turun dan bulu mata panjangnya sedikit berkibar kala ia berkedip samar.

"Ares, baru pulang?"

Ares mengalihkan tatapannya pada Ardila yang melangkah keluar sembari membawa pot tanaman ditangannya. Ares meletakkan helm di tangannya dan tanpa kata meraih pot ditangan sang mama sebelum membawanya menuju rak pot dan menaruhnya diantara pot-pot lain yang merupakan tanaman kesayangan Ardila.

Melihat sang putra yang meski tanpa kata membantunya, Ardila tersenyum dan berucap, "Tadi banyak tetangga yang mampir dan menyapa. Sayang sekali kamu nggak bisa ikut menyapa mereka. Semuanya baik-baik dan ramah-ramah."

"Oh iya, kak Miranda dari rumah seberang punya anak perempuan yang seumuran sama kamu, dan katanya satu sekolah dengan kamu. Mama harap kalian bisa berteman dan saling membantu di sekolah nanti. Bagaimanapun, di lingkungan baru, kamu juga butuh teman."

"Tidak perlu."

Hanya itu yang diucapkan Ares untuk membalas perkataan sang mama. Suaranya dingin dan dalam, seolah ia tengah menelan sebongkah es yang bisa membekukan hanya dengan sapuan nafasnya. Ares dengan tenang melangkah melewati Ardila dan berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua, meninggalkan Miranda yang berdiri memandang arah kepergian putranya dengan helaan nafas lembut.

"Ares." Ardila berbisik pada dirinya sendiri dalam keheningan. "Kapan kamu akan membuka hatimu, nak?"

Melangkah memasuki kamarnya, Ares mengulurkan tangannya untuk menyampirkan hoodie yang dikenakannya ke kursi belajar sebelum ia merebahkan dirinya disofa. Sandaran sofa yang keras menahan punggungnya yang nampak kesepian. Sepasang maniknya yang dingin memandang keluar balkon kamarnya dengan acuh tak acuh.

Tidak ada emosi di wajahnya yang dengan tegar menampilkan ekspresi dingin dan tak tersentuh.

Drt... Drt...

Iphone hitam diatas meja berkedip dan menampilkan serentet kalimat dilayarnya. Sebelum lima detik kemudian kembali menjadi layar gelap. Ares menatapnya dan dengan acuh mengabaikannya dan kembali memandang keluar balkon kamarnya sekali lagi, tidak tahu apa yang dia pikirkan.

...***...

"Ma, aku main keluar sebentar, ya?"

Lengkap dengan pakaian casualnya, Ivana menghampiri sang mama untuk berpamitan. Miranda menoleh kearah Ivana dan bertanya dengan santai. "Main kemana?"

"Ke caffe, ma. Sama Ai, Vie dan Joa."

Mendengar jawaban Ivana, Miranda menganggukkan kepalanya. Merogoh sakunya, Miranda mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan memberikannya kepada Ivana sembari berkata, "Jangan terlalu lama pulangnya. Kalau ada sesuatu, ingat untuk mengabari orang rumah. Mengerti?"

Ivana menerima uang saku dari sang mama dan mengangguk dengan senang hati. "Iya, ma. Vana berangkat dulu ya."

Setelah berpamitan, Ivana melangkah keluar. Mengenakan baju putih dan cardigan semi ungu sementara bawahannya mengenakan jeans hitam, Ivana mengenakan helm dan menaiki motor matic-nya menuju tempat yang dimaksudkan oleh para sahabat untuk bertemu. Dua puluh menit kemudian, Ivana memarkirkan motor matic-nya di parkiran depan sebuah caffe bertingkat dua.

Memasuki bangunan yang didominasi kaca itu, Ivana melirik ponselnya yang menampilkan grup chat, yang memberitahu bahwa sahabat-sahabatnya berada di meja nomor delapan belas yang ada di sudut caffe. Mengikuti urutan meja, Ivana dengan cepat menemukan keberadaan sahabat-sahabatnya.

Tiga orang itu duduk dimeja kecil. Sebuah meja bundar dengan empat bangku di sekitarnya. Tiga bangku sudah terisi, dan tersisa satu bangku yang jelas menjadi tempat dimana dia akan duduk.

"Vana! Sini!"

Gadis berambut pirang itu melambaikan tangannya memanggil Ivana begitu ia menyadari keberadaannya. Dua temannya yang lain segera menoleh sementara Ivana melangkah menuju mereka sebelum mendaratkan pantatnya diatas bangku.

"Tumben nih, si anak rumahan mau datang."

Sindiran yang sebenarnya juga bukan sindiran itu diucapkan oleh gadis bersurai hitam sebahu disebelah Evie—yang berambut pirang. Dandanannya yang nyaris seperti preman membuatnya nampak kontras dengan wajahnya yang cantik dan bisa dibilang manis. Seringaian terpampang dibibirnya yang merekah berwarna merah cerah, alami tanpa ada polesan apapun.

"Hari ini kan kamu yang traktir. Aku nggak bisa dong, menyia-nyiakan kesempatan jajan gratis sepuasnya." Balas Ivana dengan santai.

"Sialan!"

Aira hanya mengumpat karena kebiasaan, namun dia tidak benar-benar bermaksud mengumpati Ivana. Aira tertawa dan kemudian berucap, "Kamu mau nguras dompet aku ceritanya?"

Ivana menggelengkan kepalanya dengan polos dan tersenyum. "Setengahnya aja."

"Ngomong-ngomong, dari kita yang masuk jurusan IPS cuma Aira, ya?" tanya Ivana.

Aira mengangguk dengan santai, sementara Evie disampingnya berkata, "Sayang banget nggak bisa kumpul satu jurusan apalagi satu kelas."

"Ya, yang penting kita masih bisa satu sekolah, kan?"

Aira menghela napas dan memandang mereka dengan jijik. "Aku bukan anak yang suka belajar kaya kalian. Bisa masuk ke SMA Galatia yang katanya super ketat sama nilai, masih untung-untungan. Udah, disyukurin aja."

Evie hanya bisa menganggukkan kepalanya meski ia masih merasa berat karena satu sahabatnya tidak bisa satu jurusan dengannya. Bagaimanapun keempatnya sudah bersama sejak sekolah dasar, dan sekarang akan terpisah karena jurusan. Rasanya, Evie merasa kurang. Namun memikirkan apa yang dikatakan oleh Aira membuat Evie mau tak mau merasa lega. Benar, setidaknya syukur mereka masih bisa bersama.

"Untung kamu masih ada kelebihan prestasi non akademik."

Joanna yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya. "Soalnya nilai akademik kamu benar-benar mengerikan untuk dilihat."

Aira menyunggingkan senyuman miring dan mengedikkan bahunya, nampak acuh dan tak peduli dengan nilainya. "Yang penting masih lebih dari angka satu."

Ivana tertawa dan menimpali. "Iya, dua kan juga lebih dari satu."

Ketiganya bercanda dan saling bertukar kata sampai tiga jam kemudian, Ivana tiba dirumahnya kembali. Menyimpan motor di garasi, Ivana melangkah masuk ke rumahnya dan berpapasan dengan adik laki-lakinya yang tengah bermain game bersama dengan anak tetangga sebelah di ruang santai disebelah taman samping rumah.

"Game terus, ga bosen apa?"

Suaranya mengalihkan kedua anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tahun itu. Melihat kedatangan Ivana. anak laki-laki yang duduk di bangku sebelah kanan menyapa dengan sopan namun akrab. "Halo, kak Vana."

"Halo, Ren. Gimana kabarnya? Udah seminggu nggak kelihatan main sama Desta."

Ren menjawab seadanya. "Ada les tambahan disekolah, kak. Pulangnya biasanya agak sore. Kalau udah sore, kan, nggak boleh main kemana-mana lagi."

Ivana menganggukkan kepalanya. "Ya udah, lanjut sana."

Ren menganggukkan kepalanya dan kembali mengubur dirinya dalam permainan. Sementara Ivana dengan jahil mencubit pipi Desta sebelum pergi, yang tentu saja menimbulkan jeritan kesal dari korban cubitan yang ditinggalkan begitu saja.

🔸

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!