Melangkah turun dari mobil hitam itu, Joanna melangkah memasuki gerbang rumah mewahnya. Bangunan bertingkat yang didominasi warna pasir itu berdiri menjulang ditengah taman luar yang nyaris mengepungnya, dan tak lengkap tanpa air mancur besar di depan rumah. Daripada rumah, bangunan itu hampir terlihat cocok disebut mansion.
Joanna membenarkan letak kacamatanya dan membenahi rambutnya, memastikan penampilannya sempurna tanpa cacat.
"Bagaimana hasilnya?"
Begitu memasuki ruang keluarga yang merupakan ruang yang seharusnya menjadi ruang santai, Joanna langsung disambut pertanyaan dari sang ayah yang bahkan tak mengalihkan tatapannya dari koran di tangannya. Joanna melihatnya dan dengan tenang berkata, "Kelas X IPA 1, pa."
"Bagus."
Pria yang nampaknya sudah setengah baya lebih itu menoleh dan bertanya lagi. "Peringkat?"
"Dua."
Ucapan Joanna membuat pria itu terdiam. Wanita yang sedari tadi duduk disamping pria itu menoleh dan mengerutkan keningnya dengan samar, namun tidak mengatakan apapun dan membiarkan sang suami yang mengambil alih.
Agra memandang putrinya dengan datar. "Sepertinya kamu kurang belajar. Minggu lalu sepertinya kamu masih sempat bermain dengan teman-temanmu daripada belajar lebih. Dan lihat hasilnya, sekarang kamu berada di peringkat kedua yang tidak ada bedanya dengan tidak mendapatkan peringkat apapun."
Ia menarik tatapannya dan berkata dengan tegas. "Pergilah ke kamarmu dan renungkan kesalahanmu."
"Baik, pa."
Joanna menjawab dengan ringan sebelum melangkah menuju kamarnya. Joanna meletakkan tasnya di atas meja, menarik sebuah bangku menuju kedepan rak yang dipenuhi dengan piala dan medali serta sertifikat yang nampak di pajang di dinding. Joanna mendudukkan dirinya dan memandang kearah rak mengkilat itu dalam diam.
Orangtuanya adalah orangtua yang berasal dari keluarga berada dan berpendidikan tinggi. Pikiran mereka selalu tertutup dan mereka memiliki ambisi untuk menghasilkan keturunan yang berkualitas. Terlebih, Agra dan Mayra adalah pasangan yang telat dikaruniai momongan, sehingga begitu mendapatkan buah hati pertama kali dan terakhir kalinya, keduanya telah membuat Joanna memikul harapan besar dibahunya yang rapuh. Karena berpendidikan, keduanya secara alami tidak pernah menghukum Joanna dengan kekerasan atau bentakan seperti kebanyakan orangtua lainnya, namun mereka hanya menyuruh Joanna untuk merenungkan kesalahannya dengan menghadapi keberhasilannya, sehingga Joanna bisa merasa malu atas kegagalannya dan memikirkan dimana letak kesalahannya sehingga ia bisa gagal.
Joanna mungkin terlihat tegar dan kuat di luar, namun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Joanna selalu mendapatkan tekanan berat dari orangtuanya untuk selalu menjadi sempurna.
Joanna memandang kosong ke arah kumpulan medali dan piala yang telah ia dapatkan sejak kecil atas usaha dan kerja kerasnya selama ini.
Pada akhirnya, Joanna tidak bergerak sampai ia merenungkan kesalahannya.
...***...
Hari Senin datang kembali dengan cepat. Sinar matahari menyorot langsung ke setengah sisi bumi, menyapa dan memberitahu untuk segera mengawali hari. Duduk di bangku di meja makan, Ivana menikmati sepiring nasi dan lauk pauk yang biasa ia gunakan sebagai sarapan, ditemani celotehannya mengenai sekolah kepada Miranda yang mendengarkan dengan tenang, sementara sang kakak dan sang adik seringkali menyahuti perkataannya dengan cibiran dan ledekan.
"Vana berangkat dulu!"
Berpamitan, Ivana dengan segera meraih cardigan hitamnya.
Mengenakan helm warna cream-nya, Ivana menaiki motor maticnya dan keluar dari gerbang ketika dia berpapasan dengan Ares yang kebetulan juga baru mengeluarkan motornya dari gerbang. Ngomong-ngomong soal motor, sepertinya Ares segera membeli motor baru begitu motornya dicuri. Motor itu tiba kemarin, dibawa oleh mobil box.
Ivana melirik motor yang sama kerennya dengan yang lalu dan tidak bisa membayangkan berapa uang yang dikelurkan Ares untuk itu.
Keduanya berhenti selama beberapa waktu sebelum Ivana dengan ragu menyapa Ares.
"Pagi, Ares!"
Setelahnya, Ivana melajukan motornya menjauh tanpa mendengar balasan dari Ares. Ya, yang penting dia sudah bersikap ramah.
Ares melihat kepergian Ivana dan dengan tenang memutar pegas motornya dan melajukannya tak jauh dibelakang Ivana.
Kedua motor berbeda jenis itu bersamaan melaju dijalan yang sama, dengan kecepatan yang hampir sama. Ivana sesekali melirik spion dan membatin tentang apakah Ares biasanya naik motor memang dengan kecepatan yang sangat rata-rata sepertinya juga.
Dua puluh menit lebih, kedua motor itu akhirnya tiba di parkiran yang tentu saja pada pagi itu sudah ramai. Bukan hanya oleh murid baru, namun juga dipenuhi oleh para senior kelas dua atau tiga yang membawa kendaraan sendiri, entah itu mobil atau sepeda motor. Motor Ivana dan Ares yang datang hampir bersamaan bisa dibilang diparkiran berdekatan. Dan hanya berjarak dua atau tiga motor. Ivana meletakkan helmnya, melepas cardigan ditubuhnya dan merapihkan rambutnya selama beberapa waktu sebelum dengan tenang melangkah turun.
Karena kelas Ivana dan Ares bisa dikatakan berdekatan, keduanya secara otomatis berjalan di jalur yang sama. Ivana sedikit melirik Ares saat ia baru keluar dari parkiran, namun tidak mengatakan apapun dan dengan tenang menggerakkan kakinya bergiliran menjauh dari area itu, seolah dia memang tidak ada hubungannya dengan Ares.
"Pura-pura tidak kenal saja. Toh sepertinya Ares juga tidak berniat terlihat kenal denganku." Batin Ivana.
Namun meskipun mereka berjalan di jalur yang sama dan bahkan bisa dikatakan hampir berdekatan, baik Ivana dan Ares sama-sama tidak saling berbicara dan hanya berjalan lurus kedepan. Bagi Ares, mungkin karena tidak suka berbicara, namun bagi Ivana, karena Ivana tidak ingin fans fanatik Ares melihat ia berbicara dengan Ares.
Kelas Ivana lebih dahulu terlihat. Tanpa menoleh kebelakang, Ivana berbelok dan segera memasuki ruang kelasnya.
Sementara Ares dibelakangnya, sedikit memelankan langkahnya, melirik punggungnya yang menghilang dibalik pintu.
Pada detik berikutnya, Ares menarik tatapannya dan melangkah menuju kelasnya sendiri sementara Ivana mencari-cari kenalan yang ada di kelas X IPA 3.
"Na! Sini!"
Mendengar suara Evie, Ivana segera menoleh dan menemukan sosok Evie duduk di barisan depan deret samping kelas. Ivana menghampiri Evie. Evie segera memberikan akses Ivana untuk duduk di sampingnya, yang secara otomatis adalah bangku disamping jendela. Bangku disamping jendela di deretnya bukan menghadap lapangan yang rindang, namun menghadap lorong yang merupakan jalur untuk menuju kelas lain.
Jendela yang sebatas bahunya membuat Ivana dapat dengan mudah melihat situasi yang ada di luar, dan sama halnya dengan orang luar yang bisa melihat situasi didalam kelas dengan mudah.
"Jam berapa kamu berangkat, Vie?" tanya Ivana.
"Jam enam lebih sedikit. Aku mau duduk didepan, jadi berangkatnya harus pagi."
Evie sengaja bangun lebih awal daripada biasanya karena ia ingin mendapatkan tempat nyaman dikelas yang bisa membantunya belajar lebih baik. Duduk dibangku depan menjadi pilihan terbaik bagi mereka yang suka belajar seperti Evie, dan terlebih lagi, ia dapat dengan mudah melihat papan tulis tanpa harus terhalang murid lainnya.
Ivana tertawa dan berkata, "Dan untungnya aku punya bestie yang bisa diandalkan buat urusan kaya gini."
"Pamer ke Joa sama Ai, yuk!"
Kemudian, Evie dengan tenang melakukan selfie bersama dengan ivana dan memposting foto keduanya di grup mereka yang terdiri dari empat orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments