"Gimana, kalian berdua udah dapat teman baru?" tanya Ivana kepada Joanna dan Aira.
Di jam istirahat, keempat sahabat itu duduk disebuah meja persegi di kantin, yang memang biasanya hanya berisi empat orang. Duduk saling berhadapan, Ivana menjadi yang pertama bertanya begitu mereka sudah menempati masing-masing bangku kosong.
Joanna yang diseberangnya berucap, "Bisa dibilang hanya kenalan. Untung gambaran teman, kelas X IPA 1 sepertinya lebih senang menganggap murid pintar sebagai saingan."
Ivana berkata dengan prihatin. "Kelas kita benar-benar berbeda. Bukan hanya ruang kelas, namun kelas sosial juga sudah lain."
"Iya, kita aja kayanya sudah dapat hampir semua nomor anak di kelas X IPA 3 ya, Na?" sahut Evie dibalas anggukan kepala oleh Ivana.
"Yup." Ivana mengalihkan tatapannya pada Aira. "Kalau Ai gimana?"
Aira mengalihkan tatapannya dari ponselnya dan menjawab dengan santai. Seperti biasanya, ia memang selalu menanggapi setiap perihal yang terjadi di hidupnya secara santai, atau setidaknya yang ada dipermukaan. "Sama kaya imagenya. Kelasku benar-benar berisi perundung dan orang-orang nyebelin."
"Eh? Emang masih zaman ya, bully-bully gitu? Tapi kamu gimana? Kamu ga diganggu, kan?" tanya Evie khawatir.
Aira dengan sombong menyeringai. "Ga perlu ditanya. Mereka bakal tahu siapa bosnya."
Aira adalah pemegang banyak medali dari berbagai macam olimpiade karate baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Setiap medali ia hasilkan dari kekuatannya sendiri, dan tidak ada campur tangan dari pihak manapun. Hanya berurusan dengan sekelompok remaja yang berpura-pura kuat dan berani padahal aslinya anak manja dan pengecut bukanlah masalah besar bagi Aira.
Seperti katanya, kekuatan menujukkan kepemimpinan.
Jika di lain jurusan kecerdasan menunjukkan kepemimpinan, maka di jurusan IPS, kekuatan adalah tanda kepemimpinan.
Selesai bercakap-cakap tentang teman baru di masing-masing kelas, mereka segera memesan makanan dan membeli minuman untuk mengisi perut mereka. Diantara mereka berempat, yang paling banyak makan tentu saja adalah Aira. Ia bisa menghabiskan total tiga menu dengan tambahan sup dan segelas minuman. Belum lagi, camilan yang biasa ia gunakan sebagai makanan penutup. Namun karena Aira juga selalu mengimbangi asupan kalorinya dengan olahraga, tubuhnya tidak memiliki banyak lemak dan justu kencang dengan lapisan otot halus yang sangat samar di lengan, kaki dan perutnya.
"Katanya Ares lagi-lagi nolak cewek."
Suara itu jelas terdengar disamping Ivana. Ivana yang mendengar nama seseorang yang ia kenal tanpa sadar menoleh dan mendapati beberapa anak laki-laki tengah duduk sembari menikmati jajanan mereka, sembari menggosip. Yang anehnya bagi Ivana, ternyata anak laki-laki juga suka bergosip jika sudah berkumpul bersama.
Yang memegang ponsel berkata, "Yang nembak dari kelas X IPA 6, kan? Katanya dia primadona di jurusan IPA, lho."
"Ditolak?"
"Iya. Sombong banget, kan? Cewek secantik Olivia ditolak. Aku aja yang mau minta nomernya dianggap angin lalu, sekarang dia yang di kasih surat cinta bahkan nggak ngelirik Olivia sama sekali."
Ivana mendengarkan dengan cermat sembari mengunyah makanannya. Ivana tidak mengenal siapa itu Olivia, namun Ivana pernah melihat seperti apa Olivia. Gadis cantik dengan penampilan yang menarik dan memiliki kesan manis diwajahnya. TIngginya diatas rata-rata dengan pribadi yang cerah dan ramah yang tentu saja dapat dengan mudah menarik perhatian siapapun.
Jadi Olivia memberikan surat cinta kepada Ares dan kemudian ditolak?
Ivana mau tak mau memikirkan seperti apa tipe Ares sehingga gadis se sempurna Olivia saja di tolak, bahkan dengar-dengar, dengan sangat dingin.
"Dengar-dengar sih, rumornya Ares itu gay."
Nyaris tersedak kunyahan siomay ikan dimulutnya, Ivana buru-buru mengambil air dan menenggaknya untuk meredakan batuknya. Ivana menarik napas dan menenangkan dirinya dari keterkejutannya tentang Ares yang rumornya gay.
"Na, kenapa?"
Evie bertanya kepada Ivana yang segera menggelengkan kepalanya. "Gapapa, Vie. Agak pedas."
Mendengar alasan Ivana yang memang cukup meyakinkan, baik Evie bahkan Joanna dan Aira tidak lagi bertanya. Ivana segera memasang telinganya dan kemudian menguping pembicaraan di sampingnya setelah terhenti kala ia terbatuk.
"Aku sih dengar itu dari temanku. Temanku yang juga pernah jadi teman sekelas Ares bilang, kalau Januar sendiri yang bilang kalau Ares itu gay."
"Januar itu, sahabatnya Ares, kan?"
Yang lain menyahut. "Iya, cuma Januar yang bisa ngobrol sama Ares. Mungkin rumor itu benar. Apalagi, ngapain coba, Januar nyebarin berita yang nggak benar?"
"Dipikir-pikir, iya juga. Pantas saja dia selalu nolak cewek yang nembak dia."
"Ck ck, sayang banget. Punya muka kaya gitu malah belok. Andai aku bisa minta setengah kegantengannya."
Yang lain tertawa dan membenarkan. "Yup, rugi banget."
Ivana mendengarkan dengan hikmat sembari memikirkan perkataan mereka. Ares memang sangat tampan, dia tinggi. Juga sangat cerdas dilihat dari nilainya. Kemudian, Ares juga berasal dari keluarga kaya. Dilihat dari sisi manapun, Ares adalah sosok yang bisa dikatakan sempurna. Ivana mendesah dengan prihatin dan melanjutkan makannya sembari berpikir.
"Benar kata orang. Tidak ada manusia yang sempurna."
...***...
Memegang setumpuk buku ditangannya, Ivana melangkah kelasnya setelah dari perpustakaan untuk mengambilkan buku kerja siswa yang diminta guru Bahasa Inggris untuk diambilkan. Sebagai orang yang memiliki jadwal piket, Ivana secara alami menjadi orang yang ditunjuk untuk mengambilkan buku dari perpustakaan.
Dalam perjalanan, Ivana melangkah menuruni tangga hanya untuk menemukan dua orang tengah berdiri di salah satu tangga.
Ivana menatap kejadian dibawahnya dengan sedikit dejavu.
Ada seorang gadis yang tengah meremat sebuah surat cinta berwarna merah muda dengan stiker hati diatasnya, berwarna merah cerah yang terkesan imut. Namun ekspresi gadis itu tidak bagus. Ada air mata menggenang dimatanya dan wajahnya merah antara malu dan marah. Begitu melihat sosok Ivana, gadis itu mengepalkan surat ditangannya menjadi bola dan memasukkannya ke saku roknya sebelum berlari menuruni tangga dan menghilang dengan cepat, menyisakan Ivana dan Ares disana.
Ivana yang ragu untuk bergerak, masih terkejut karena merasa bahwa dia mengganggu kegiatan menyatakan cinta orang lain, sementara Ares yang berdiri menjulang, memandang Ivana dengan tanpa ekspresi.
"Berat?"
Suara itu menarik kesadaran Ivana yang tengah memikirkan untuk bergerak atau tidak. Ivana mengalihkan tatapannya pada Ares dan sedikit merespon dengan samar. "Berat."
Buku kerja siswa memang tidak tebal, namun dengan jumlah siswa yang satu kelasnya berjumlah 40 orang, tentu saja satu buku berubah menjadi setumpuk buku, yang pada akhirnya tetap berat, yang jika ditumpuk bisa setinggi dua jengkal.
Mendengar jawaban Ivana, Ares dengan tenang memperpendek jarak diantara mereka, dan dengan tenang mengambil alih buku yang ada ditangan Ivana dan memegangnya ditangannya sendiri. Ivana tertegun melihat tindakan Ares, namun Ares sendiri dengan tanpa ekspresi melangkah menuruni tangga dengan ringan.
Tersadar dari ketertegunannya, Ivana segera berjalan menyusul Ares, dengan membawa beberapa buku ditangannya, yang membuatnya terlihat membantu juga, meskipun buku ditangannya bahkan bisa dihitung dengan jari satu tangan.
Begitu kembali ke kelasnya, kelas X IPA 3 meledak karena keterkejutan begitu melihat sosok Ares melangkah memasuki ruang kelas mereka dengan setumpuk buku ditangannya. Meletakkan buku di atas meja, Ares kemudian pergi setelah menjawab pertanyaan dari guru bahasa inggris dikelas Ivana dan membuat orang segera memandang Ivana dengan terkejut, penasaran dan keheranan.
Ivana kembali bangkunya dan sedikit memijat pelipisnya begitu mendengar pertanyaan Evie dan tatapan orang-orang disekitarnya.
"Kok Ares bisa bantuin kamu bawa buku?" tanya Evie heran.
Ivana tersenyum tanpa daya dan berakata, "Kebetulan bertemu di tangga. Lihat aku kesusahan bawa buku, Ares bantuin."
"Kok dia mau bantuin?" tanya Evie lagi.
Pasalnya, bukan hanya Evie, namun semua orang tahu bagaimana karakter Ares bahkan hanya dalam beberapa waktu mengenalnya. Dingin dan acuh, cukup ajaib jika ia mau membantu seseorang.
"Mungkin dia lagi punya mood bagus, jadi mau bantuin aku."
Evie mendengarkan alasan Ivana dan berpikir selama dua detik sebelum mengangguk dengan tanpa ragu. "Aku kira kamu kenalannya Ares."
Ivana menggelengkan kepalanya dengan perasaan bersalah. "Bukan."
Ivana memikirkan kejadian yang dia alami dan memikirkan kemungkinan yang menjadi alasan Ares mau membantunya, dan satu-satunya alasan yang masuk akal bagi Ivana adalah karena mereka bertetangga. Mungkin inilah yang disebut layanan khusus untuk tetangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments