Hari Senin yang cerah, suara burung berkicau samar, penanda aktivitas pagi dimulai. Cahaya matahari secara otomatis menggantikan lampu yang telah dipadamkan sejak beberapa waktu yang lalu.
"Mama, Vana berangkat!"
Mengenakan seragam olahraga SMP lamanya untuk mengikuti kegiatan pelatihan murid baru di SMA Galatia, Ivana menggendong ransel hitam dipunggungnya. Surai panjangnya diikat kuda dengan anak poni yang jatuh didahinya. Wajahnya alami tanpa polesan selain lipbalm agar bibirnya terlihat tidak pucat.
Miranda melangkah keluar mengikuti Ivana dengan membawa selang air yang biasanya ia gunakan untuk menyiram tanaman di kebun didepan rumahnya. "Bekalnya sudah dibawa, kan? Katanya tidak boleh jajan diluar dan hanya boleh makan bekal. Jangan sampai kelupaan, lho."
Ivana menganggukkan kepalanya. "Sudah kok, ma. Sudah ada di tas Vana."
Miranda menganggukkan kepalanya dan membiarkan Ivana menaiki motornya. Ivana hendak berpamitan ketika Ardila muncul dari balik gerbang rumahnya dan mendekati keduanya dengan wajah penuh kelegaan ketika melihat Ivana.
"Ivana, syukur sekali kamu belum berangkat!"
"Tante Ardila?" beo Ivana samar.
"Lho, ada apa dek?" tanya Miranda sembari mendekati keduanya.
"Begini mbak. Bekal makan siang Ares tertinggal. Tadi saya lupa taruh bekal makan siang Ares di tasnya, dan saya malah bilang sudah sama Ares." Kata Ardila.
Ia menatap Ivana dan tersenyum. "Tante boleh titip bekal makan siang Ares tidak, Ivana? Kata Ares tidak diperbolehkan makan makanan lain selain bekal selama pelatihan. Takutnya Ares lapar. Dan kalau tante mau mengantarkan, masih ada orang yang berbenah di rumah, takutnya tidak enak jika ditinggal."
"Boleh ya, nak?"
Bukannya Ivana yang menjawab, Miranda dengan santai berkata, "Oh, ternyata begitu. Iya, titipkan aja ke Vana, dek. Toh, satu sekolah juga."
Ivana membuka suara. "Tapi ma, Vana tidak tahu seperti apa anaknya tante Ardila."
"Ini, tante ada fotonya Ares."
Mendengar perkataan Ivana, Ardila dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepada Ivana. Foto Ares, dimana pemuda itu berdiri tegap dengan wajah datar dan memandang lurus ke arah kamera. Ivana memandang pemuda yang ada di foto dan sedikit tertegun melihat betapa tampannya remaja itu. Ivana melirik Ardila yang memiliki paras cantik dan mau tak mau memikirkan seperti apa wajah suami Ardila.
Pasti sama-sama rupawannya.
Ivana mengingat didalam benaknya wajah Ares dan menerima permintaan tolong Ardila. Setelah berpamitan kepada keduanya dan setelah menerima ucapan terimakasih dari Ardila, Ivana melajukan motor maticnya menuju sekolah barunya dengan membawa dua bekal didalam tasnya. Bekal miliknya sendiri dan satu lagi, bekal milik Ares.
Sepuluh menit perjalanan menggunakan motor, Ivana akhirnya sampai di SMA Galatia. Memarkirkan motornya diantara motor-motor lain di parkiran SMA Galatia, Ivana menyampirkan helm hitamnya ke motor dan bergegas menuju halaman SMA Galatia bersama dengan para murid baru yang juga baru tiba di SMA Galatia.
...***...
"Gila! Aku capek banget!"
Aira tanpa malu berbaring dibawah pohon yang ditanam disekeliling halaman belakang SMA Galatia yang luasnya hampir sama dengan lapangan bola. Evie dengan tenang mendudukkan dirinya disebelah Aira, mengeluarkan kipas bundar dari dalam tasnya dan menyalakannya. Angin dingin segera berhembus, menyapa kulit kemerahan Evie setelah terpapar sinar matahari selama beberapa jam lamanya.
"Pinjam!" pekik Aira sembari menyambar kipas listrik milik Evie.
Yang dipalak dengan tenang menghela napas dan membiarkan temannya yang hampir sekarat itu disembuhkan oleh kipasnya. Evie berkata, "Mau makan sekarang atau agak nanti?"
Setelah melakukan pelatihan baris berbaris selama setengah hari lamanya, mereka kemudian diberi waktu istirahat selama satu jam untuk melakukan kegiatan pribadi, entah makan siang, bermain ponsel, ke kamar mandi atau bahkan tidur. Karena jam istirahat masih lama, mereka tidak terburu-buru untuk makan.
Joanna yang tengah menyeka wajahnya dengan tissue basah berkata, "Aku sebentar lagi."
"Kalau begitu aku makan duluan ya. Udah laper. Aku tadi belum sempat sarapan soalnya."
"Oke, makan aja."
Evie kemudian mengeluarkan bekal makan siangnya dan mulai menyantapnya sembari bermain ponsel. Sementara Ivana sejak tadi menatap sekeliling guna menemukan sosok Ares. Melihat gerak-gerik sahabatnya yang aneh, Joanna bertanya, "Cari apa sih, Na?"
Ivana memandang sahabat-sahabatnya dan menggelengkan kepalanya. Berkata pun, bukannya mereka akan tahu siapa Ares itu. Lagipula, jika dia memberitahu mereka, mereka terutama Aira hanya akan menjadi penasaran dan melontarkan segala pertanyaan yang pastinya tidak akan berakhir hanya dalam beberapa menit. Apalagi jika berhubungan dengan laki-laki.
"Gapapa, cuma lihat-lihat."
Joanna tidak lagi bertanya, hanya mengangguk dan kemudian melanjutkan menyeka kulitnya yang terbuka dengan tissue basah.
Ivana mengalihkan tatapannya kembali, hanya untuk mendengar suara-suara disekelilingnya.
"Itu yang peringkat pertama, kan?"
"Katanya nilai masuknya benar-benar sempurna. Nilai penuh."
"Seriusan? Wah, udah ganteng, pintar lagi."
Ivana menolehkan kepalanya untuk menemukan segerombol anak perempuan tengah membicarakan sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Seseorang yang diterima di SMA Galatia dengan nilai paling sempurna yang bahkan mengalahkan nilai Joanna yang selalu rangking satu di SMP lamanya. Ivana pernah mendengarnya, namun Ivana lupa. Sebenarnya beritanya yang mendapatkan nilai sempurna di ujian masuk itu benar-benar sudah tersebar ke seluruh lingkungan sekolah bahkan sampai kepada para senior tahun kedua dan tahun ketiga.
Bagaimanapun, siswa cerdas seperti itu adalah yang membuat semua orang tentu saja penasaran.
Ia hendak mengalihkan perhatiannya ketika dia mendengar suara mereka lagi, menyebutkan nama seseorang.
"Namanya Ares, kan?"
"Iya, dia satu SMP denganku dulu. Penggemarnya sangat banyak, tapi sayangnya dia terlalu dingin dan acuh. Bahkan dia hampir bisa dikatakan tidak punya teman lain."
Ivana menoleh kembali dan mengangkat telinganya.
"Eh, lihat deh. Lagi-lagi dia duduk disana sendirian."
Itu adalah kata-kata yang ditunggu Ivana. Ivana mengikuti arah jari gadis yang tengah bergosip dengan temannya dan melihat sosok yang sama persis dengan yang ada di foto tengah duduk di bawah pohon seorang diri. Memandang lurus kedepan dengan dingin dan tanpa ekspresi yang membuat orang lain takut dan ragu untuk mendekatinya.
Ivana berdiri dengan membawa paper bag berisi kotak makan siang ditangannya dan hendak melangkah pergi ketika sebuah percakapan singkat masuk ke telinganya.
"Bukan cuma karena sikap dinginnya yang bikin Ares ditakuti. Tapi rumornya, mereka yang berusaha deketin Ares nggak akan berakhir baik, karena penggemar Ares termasuk penggemar yang anarkis."
"Maksudnya?"
"Maksudnya jangan pernah terlihat dekat sama Ares kalau nggak mau berakhir jadi bulan-bulanannya fangirl Ares. Paham sayangku?"
Yang disebelahnya segera berkata, "Benar. Kudengar teman sebangku Ares, yang kebetulan perempuan jatuh dari tangga tanpa alasan dan menderita patah tulang. Waktu dia sembuh, dia pindah langsung dari tempat duduknya."
Seketika, langkah Ivana terhenti.
Ivana memandang bekal makan siang ditangannya dan memandang samar Ares yang duduk disana dengan puluhan pasang mata yang sadar tidak sadar terarah kepada pemuda itu. Ivana meneguk ludahnya dengan kasar. Jika yang mendapatkan pembagian kursi disebelahnya saja bisa mengalami patah tulang karena jatuh dari tangga, bagaimana dengan dirinya yang bisa dianggap mengirimkan bekal makan siang untuk Ares?
Ivana menciutkan bahunya.
Patah tulang, tidak begitu sakit kan, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments