Ivana berjalan menuju jalan yang seharusnya juga dilalui Ares beberapa waktu lalu. Ivana berjalan sembari membawa bungkusan plastik ditangannya dan sedikit terkejut ketika melihat sosok Ares berdiri dibawah pohon sembari mengantongi sebelah tangan yang membuatnya nampak seperti model papan atas yang dimanapun tempat dipijaknya akan menjadi tempat paling disoroti oleh ribuan mata.
Ivana mendekati Ares setelah memastikan bahwa Ares memang disana sendirian.
"Ares? Kenapa kamu masih disini?" tanya Ivana.
Ares meliriknya sebelum dengan tenang melangkahkan kakinya, disusul oleh Ivana yang kebingungan. Ares berujar dengan suara tenang kemudian, "Menurutmu?"
Ivana sedikit bingung untuk sementara waktu sebelum dia tidak bisa menahan untuk tidak melebarkan matanya terkejut dan bertanya dengan ragu, "Kamu sengaja nunggu aku?"
Tidak menjawab, Ares masih dengan tenang melangkahkan kakinya. Namun yang tidak Ivana sadari adalah bahwa jari-jari Ares yang panjang didalam sakunya sedikit meringkuk, seolah dia sedang menahan sesuatu. Mendapati respon seperti itu, yang tenang dan santai, Ivana cukup terkejut dan heran. Bagaimanapun, seorang Ares yang dingin dan acuh, mau menunggunya untuk berjalan pulang bersama. Siapa yang tidak berpikir bahwa hal itu adalah hal yang mengejutkan?
Ivana melirik Ares dan tak bisa menahan helaan nafasnya yang lembut dan membatin dengan prihatin.
"Aku curiga bahwa perkataan orang itu memang benar. Orang tampan itu bila bukan kekasih atau suami orang, maka sudah pasti dia belok."
Maksudnya, orang tampan seharusnya selalu dikelilingi oleh para gadis, jadi tidak mungkin bahwa pria manapun yang tidak tergoda oleh salah satu dari sekian banyak betina disekelilingnya jika bukan belok, kan?
Saking fokusnya memikirkan tentang Ares, Ivana tidak menyadari bahwa ada tiang didepannya. Ares yang merasa bahwa seharusnya Ivana jelas akan menghindarinya tidak berpikir bahwa pada detik berikutnya, suara benturan kecil diiringi pekikan terdengar disampingnya yang membuat Ares menghentikan langkahnya dan menoleh.
Ivana menyentuh keningnya dan meringis.
"Sakit, eh!" gumam Ivana.
Ares menatap Ivana dengan tatapan yang sulit diartikan dan bertanya dengan nada yang membuat Ivana merasa bahwa semakin malu atas kelalaiannya sendiri. "Apa kamu rabun?"
Ivana mau tak mau menelan alasannya dan menganggukkan kepalanya dengan tenang. Daripada dia mengakui bahwa dia ceroboh, lebih baik bilang saja bahwa dia rabun sesuai yang dipikirkan oleh Ares. Bagaimanapun, alasan rabun lebih baik untuk menyelamatkan wajahnya daripada alasan tidak fokus dan tidak memperhatikan jalan.
"Kenapa tidak pakai kacamata?" selidik Ares.
"Itu, aku jarang pakai kacamata."
Bisa dibilang, jawaban Ivana ini bukan bohongan. Terkadang ketika sedang senang belajar, Ivana suka menggunakan kacamata agar tidak membuat matanya kelelahan oleh dampak visual dari layar laptop atau ponselnya yang dia gunakan untuk mencatat, mencari sebagian referensi yang terkadang tidak ada dalam buku atau hal lainnya. Jadi, Ivana memang tidak sering menggunakan kacamata, namun bagi Ares sepertinya sudah konteks yang berbeda.
Ares menatap Ivana cukup lama yang membuat Ivana merasakan tulang punggungnya menjadi kaku, sebelum lemas kembali ketika Ares sudah mengalihkan tatapannya dari Ivana.
Ivana hendak mengajak Ares untuk berjalan kembali ketika pemuda itu menarik keluar tangannya yang ia masukkan kedalam saku dan mengulurkannya kepada Ivana. Ivana menatap bingung dan heran pada Ares, sebelum Ares mengeluarkan sepatah kata yang membuat Ivana melebarkan matanya karena terkejut dan tertegun.
"Pegang."
Meski hanya sepatah kata yang diluncurkan dari bibir tipisnya, namun Ivana dengan jelas memahami maksud dari kata Ares tersebut. Ares memintanya untuk memegang tangannya dan ingin membantunya berjalan sehingga dia tidak akan menabrak sesuatu lagi yang memungkinkan ia bisa terluka lebih dari kemerahan didahinya seperti yang dia miliki sekarang.
"Ini ... gapapa?" tanya Ivana dengan ragu.
Ia kemudian menggelengkan kepalanya. "Sepertinya tidak sdah, deh. Aku masih bisa—"
"Pegang."
Mendengar hal tersebut yang diulangi dari bibir Ares, Ivana pada akhirnya mengulurkan tangannya dan meraih jari telunjuk Ares dengan jari telunjuknya sendiri. Bagaimanapun, Ares tidak memakai lengan panjang dan hanya itu yang bisa dia lakukan untuk meminimalisasi kontak fisik dengan Ares.
Wajah Ares masih nampak datar dan tanpa ekspresi, namun keterasingan dan acuh tak acuh dimatanya menghilang, dan karena itu, seolah pribadinya menjadi lebih lembut dan sabar kala ia dengan tenang menuntun Ivana yang bahkan bisa melihat semut melambaikan tangan kearahnya.
Ditengah keheningan itu, Ares dengan tenang menekuk jari telunjuknya, seolah mengeratkan genggamannya pada jari pihak lain.
...***...
Beberapa menit kemudian, setelah berjalan sembari bergandengan tangan, Ivana dapat melihat dengan jelas rumahnya dari jarak belasan meter. Juga dua sosok yang nampak mengobrol di dekat gerbang rumahnya. Menyadari bahwa keduanya adalah Miranda dan Ardila, Ivana segera menarik tangannya dari Ares dan menggenggam kantung plastik ditangannya yang lain.
Ares menoleh menatap kearah jemarinya yang telah kehilangan jejak kecil sentuhan hangat sejenak sebelum mengantongi kembali tangannya sembari menggosok jari telunjuknya dengan ibu jarinya tanpa sadar.
"Loh, kalian kok bisa pulang bareng?"
Ardila yang melihat Ivana dan Ares melangkah mendekati bertanya dengan ekspresi terkejut diwajahnya. Ivana tersenyum dan menjawab, "Tadi kebetulan bertemu di taman tante, jadi pulang sekalian bersama."
"Oh..."
Karena sudah dekat dengan rumahnya, Ares membelokkan kakinya dan hendak menuju rumahnya ketika Ardila memanggilnya. "Ares, tunggu dulu, nak!"
Ares menoleh dan menatap Ardila tanpa suara, namun dari tatapannya jelas ia bertanya mengapa sang mama tersebut menghentikannya untuk pulang ke rumahnya. Ardila dengan tenang menjelaskan dengan senyuman senang.
"Malam nanti kamu ada acara tidak?" tanya Ardila.
Ares yang ditanya begitu menggelengkan kepalanya, yang menandakan bahwa dia tidak memiliki acara yang mengharuskannya untuk keluar dari rumah. Melihat itu, Ardila tersenyum senang dan segera berkata kepada Ares. "Kalau begitu malam ini mama mau ajak kamu keluar. Sama Ivana dan keluarganya ke restoran."
Ares mengangguk dengan singkat dan berbalik untuk pergi setelah mendengar alasan mengapa sang mama sampai harus menghentikannya dan bertanya apakah dia ada acara atau tidak.
"Memang ada acara apa, ma? Tumben sekali kita akan makan diluar juga."
Ivana yang dibawa-bawa juga segera menaikkan alisnya dengan terkejut dan memandang bingung pada sang mama yang hanya tersenyum memandang Ivana dan Ares sebelum berucap dengan ekspresi serius. "Untuk membahas pertunangan kalian berdua."
Manik Ivana membola dan dia membeo dengan konyol. "Hah?"
Sementara Ares yang tengah berjalan hampir tersandung karena terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments