Motor sport hitam itu berhenti tepat dihalaman rumah bertingkat tiga yang beberapa jam lalu didatangi oleh Ivana dan Miranda. Pemuda itu tinggi dan ramping., tubuh dibalik hoodie hitam itu jelas menyimpan otot halus khas remaja atletik. Melepas helm hitam dikepalanya, helaian surai hitam jatuh didahinya yang sedikit basah karena keringat. Sepasang maniknya turun dan bulu mata panjangnya sedikit berkibar kala ia berkedip samar.
"Ares, baru pulang?"
Ares mengalihkan tatapannya pada Ardila yang melangkah keluar sembari membawa pot tanaman ditangannya. Ares meletakkan helm di tangannya dan tanpa kata meraih pot ditangan sang mama sebelum membawanya menuju rak pot dan menaruhnya diantara pot-pot lain yang merupakan tanaman kesayangan Ardila.
Melihat sang putra yang meski tanpa kata membantunya, Ardila tersenyum dan berucap, "Tadi banyak tetangga yang mampir dan menyapa. Sayang sekali kamu nggak bisa ikut menyapa mereka. Semuanya baik-baik dan ramah-ramah."
"Oh iya, kak Miranda dari rumah seberang punya anak perempuan yang seumuran sama kamu, dan katanya satu sekolah dengan kamu. Mama harap kalian bisa berteman dan saling membantu di sekolah nanti. Bagaimanapun, di lingkungan baru, kamu juga butuh teman."
"Tidak perlu."
Hanya itu yang diucapkan Ares untuk membalas perkataan sang mama. Suaranya dingin dan dalam, seolah ia tengah menelan sebongkah es yang bisa membekukan hanya dengan sapuan nafasnya. Ares dengan tenang melangkah melewati Ardila dan berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua, meninggalkan Miranda yang berdiri memandang arah kepergian putranya dengan helaan nafas lembut.
"Ares." Ardila berbisik pada dirinya sendiri dalam keheningan. "Kapan kamu akan membuka hatimu, nak?"
Melangkah memasuki kamarnya, Ares mengulurkan tangannya untuk menyampirkan hoodie yang dikenakannya ke kursi belajar sebelum ia merebahkan dirinya disofa. Sandaran sofa yang keras menahan punggungnya yang nampak kesepian. Sepasang maniknya yang dingin memandang keluar balkon kamarnya dengan acuh tak acuh.
Tidak ada emosi di wajahnya yang dengan tegar menampilkan ekspresi dingin dan tak tersentuh.
Drt... Drt...
Iphone hitam diatas meja berkedip dan menampilkan serentet kalimat dilayarnya. Sebelum lima detik kemudian kembali menjadi layar gelap. Ares menatapnya dan dengan acuh mengabaikannya dan kembali memandang keluar balkon kamarnya sekali lagi, tidak tahu apa yang dia pikirkan.
...***...
"Ma, aku main keluar sebentar, ya?"
Lengkap dengan pakaian casualnya, Ivana menghampiri sang mama untuk berpamitan. Miranda menoleh kearah Ivana dan bertanya dengan santai. "Main kemana?"
"Ke caffe, ma. Sama Ai, Vie dan Joa."
Mendengar jawaban Ivana, Miranda menganggukkan kepalanya. Merogoh sakunya, Miranda mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan memberikannya kepada Ivana sembari berkata, "Jangan terlalu lama pulangnya. Kalau ada sesuatu, ingat untuk mengabari orang rumah. Mengerti?"
Ivana menerima uang saku dari sang mama dan mengangguk dengan senang hati. "Iya, ma. Vana berangkat dulu ya."
Setelah berpamitan, Ivana melangkah keluar. Mengenakan baju putih dan cardigan semi ungu sementara bawahannya mengenakan jeans hitam, Ivana mengenakan helm dan menaiki motor matic-nya menuju tempat yang dimaksudkan oleh para sahabat untuk bertemu. Dua puluh menit kemudian, Ivana memarkirkan motor matic-nya di parkiran depan sebuah caffe bertingkat dua.
Memasuki bangunan yang didominasi kaca itu, Ivana melirik ponselnya yang menampilkan grup chat, yang memberitahu bahwa sahabat-sahabatnya berada di meja nomor delapan belas yang ada di sudut caffe. Mengikuti urutan meja, Ivana dengan cepat menemukan keberadaan sahabat-sahabatnya.
Tiga orang itu duduk dimeja kecil. Sebuah meja bundar dengan empat bangku di sekitarnya. Tiga bangku sudah terisi, dan tersisa satu bangku yang jelas menjadi tempat dimana dia akan duduk.
"Vana! Sini!"
Gadis berambut pirang itu melambaikan tangannya memanggil Ivana begitu ia menyadari keberadaannya. Dua temannya yang lain segera menoleh sementara Ivana melangkah menuju mereka sebelum mendaratkan pantatnya diatas bangku.
"Tumben nih, si anak rumahan mau datang."
Sindiran yang sebenarnya juga bukan sindiran itu diucapkan oleh gadis bersurai hitam sebahu disebelah Evie—yang berambut pirang. Dandanannya yang nyaris seperti preman membuatnya nampak kontras dengan wajahnya yang cantik dan bisa dibilang manis. Seringaian terpampang dibibirnya yang merekah berwarna merah cerah, alami tanpa ada polesan apapun.
"Hari ini kan kamu yang traktir. Aku nggak bisa dong, menyia-nyiakan kesempatan jajan gratis sepuasnya." Balas Ivana dengan santai.
"Sialan!"
Aira hanya mengumpat karena kebiasaan, namun dia tidak benar-benar bermaksud mengumpati Ivana. Aira tertawa dan kemudian berucap, "Kamu mau nguras dompet aku ceritanya?"
Ivana menggelengkan kepalanya dengan polos dan tersenyum. "Setengahnya aja."
"Ngomong-ngomong, dari kita yang masuk jurusan IPS cuma Aira, ya?" tanya Ivana.
Aira mengangguk dengan santai, sementara Evie disampingnya berkata, "Sayang banget nggak bisa kumpul satu jurusan apalagi satu kelas."
"Ya, yang penting kita masih bisa satu sekolah, kan?"
Aira menghela napas dan memandang mereka dengan jijik. "Aku bukan anak yang suka belajar kaya kalian. Bisa masuk ke SMA Galatia yang katanya super ketat sama nilai, masih untung-untungan. Udah, disyukurin aja."
Evie hanya bisa menganggukkan kepalanya meski ia masih merasa berat karena satu sahabatnya tidak bisa satu jurusan dengannya. Bagaimanapun keempatnya sudah bersama sejak sekolah dasar, dan sekarang akan terpisah karena jurusan. Rasanya, Evie merasa kurang. Namun memikirkan apa yang dikatakan oleh Aira membuat Evie mau tak mau merasa lega. Benar, setidaknya syukur mereka masih bisa bersama.
"Untung kamu masih ada kelebihan prestasi non akademik."
Joanna yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya. "Soalnya nilai akademik kamu benar-benar mengerikan untuk dilihat."
Aira menyunggingkan senyuman miring dan mengedikkan bahunya, nampak acuh dan tak peduli dengan nilainya. "Yang penting masih lebih dari angka satu."
Ivana tertawa dan menimpali. "Iya, dua kan juga lebih dari satu."
Ketiganya bercanda dan saling bertukar kata sampai tiga jam kemudian, Ivana tiba dirumahnya kembali. Menyimpan motor di garasi, Ivana melangkah masuk ke rumahnya dan berpapasan dengan adik laki-lakinya yang tengah bermain game bersama dengan anak tetangga sebelah di ruang santai disebelah taman samping rumah.
"Game terus, ga bosen apa?"
Suaranya mengalihkan kedua anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tahun itu. Melihat kedatangan Ivana. anak laki-laki yang duduk di bangku sebelah kanan menyapa dengan sopan namun akrab. "Halo, kak Vana."
"Halo, Ren. Gimana kabarnya? Udah seminggu nggak kelihatan main sama Desta."
Ren menjawab seadanya. "Ada les tambahan disekolah, kak. Pulangnya biasanya agak sore. Kalau udah sore, kan, nggak boleh main kemana-mana lagi."
Ivana menganggukkan kepalanya. "Ya udah, lanjut sana."
Ren menganggukkan kepalanya dan kembali mengubur dirinya dalam permainan. Sementara Ivana dengan jahil mencubit pipi Desta sebelum pergi, yang tentu saja menimbulkan jeritan kesal dari korban cubitan yang ditinggalkan begitu saja.
🔸
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments