"Na, tolong antarkan ini ke Ares, ya!"
Dari dapur, Miranda datang dengan membawa tupperware susun yang nampaknya telah diisi oleh nasi dan lauk pauk yang telah selesai dimasak Miranda beberapa waktu yang lalu. Ivana menoleh, meletakkan toples berisi makanan ringan didalamnya dan sedikit mengerutkan keningnya.
"Itu apa, ma?"
"Makanan buat Ares. Tante Ardila kan sedang pergi, kamu antarkan makanan ini untuk Ares."
Mendengar hal tersebut, Ivana mau tak mau mengangguk dan menjalankan perintah dari sang mama yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi kedua dirumah itu, tentu saja setelah sang kakak perempuan yang sudah lama sekali tidak kembali karena bekerja di luar kota yang jaraknya sangat jauh. Ivana memegang tupperware di tangan kanannya dan memegang ponsel ditangan kirinya, yang selalu menjadi kebiasaan anak muda zaman sekarang. Tidak bisa lepas dari hp jika bukan di area yang dilarang membawa hp.
Ivana menyebrangi jalan selebar lima meter dan memasuki rumah Ares melalui gerbang depan yang memang terbuka sedikit.
Menekan bel rumah Ares, Ivana menunggu selama beberapa menit sampai terdengar langkah kaki mendekati pintu. Pintu terbuka, menampilkan sosok Ares yang satu kepala lebih tinggi darinya. Ivana mendongak sedikit dan hendak menyerahkan tupperware ditangannya ketika dia melihat lebam dan robekan kecil dibibir Ares nampaknya sama sekali belum tersentuh obat atau bahkan antiseptik. Ivana mengerutkan kening dan bertanya, "Lukanya belum diobati?"
Melihat kedatangan Ivana yang tiba-tiba dan pertanyaannya yang juga tiba-tiba, Ares sedikit terdiam sebelum menjawab dengan wajah tanpa emosi.
"Ga ada obat."
Ivana semakin mengerutkan keningnya. Ivana dengan tenang menjejalkan tupperware ditangannya ke pelukan Ares sembari berkata, "Tunggu sebentar. Tunggu!"
Setelah menegaskan bahwa Ares harus menunggu, Ivana berbalik dan berlari kembali ke rumahnya, meninggalkan Ares yang berdiri di depan pintu dan memandang sosok Ivana yang menghilang dibalik gerbang. Lima menit menunggu, Ares hendak beranjak pergi ketika dia melihat sosok Ivana berlari kembali menuju rumahnya, dengan membawa sesuatu ditangannya. Nampak seperti kotak sederhana namun terlihat elegan berwarna putih.
Cahaya matahari sore yang lembut dan hangat menyorot gadis yang berlari kearahnya.
Ares tanpa sadar meremas tupperware ditangannya samar dan tidak bisa menahan untuk tidak berpikir bahwa ada peri yang berlari kearahnya.
Ivana berhenti didepan Ares dan lagi-lagi menjejalkan kotak ditangannya kepada Ares.
"Obat didalamnya adalah obat standar yang biasanya juga aku pakai kalau luka. Tapi kalau habis pakai kamu ngerasa nggak nyaman, jangan pakai lagi dan langsung pergi aja ke rumah sakit atau klinik."
Ivana menjelaskan dengan nada khawatir terselip didalamnya. Bagaimanapun, ia khawatir apakah obatnya cocok atau tidak. Karena terkadang ada beberapa orang yang memiliki kulit lebih sensitif daripada orang lain dan harus memakai produk apapun itu secara khusus.
"Hm."
Ivana mendongak dan mendapati Ares menatap lurus kearahnya, seolah mengerti penjelasannya. Karena merasa bahwa tugasnya sudah selesai, Ivana kemudian berkata, "Ya sudah. Aku pulang dulu. Kalau ..."
Ivana sedikit ragu untuk berucap, namun pada akhirnya dia tetap berkata, "Kalau butuh sesuatu, datang saja ke rumahku. Ada mama aku juga yang siap bantu selama tante Ardila nggak dirumah."
Setelahnya, tanpa menunggu respon Ares, Ivana bergegas kembali ke rumahnya.
Ares melihatnya selama beberapa waktu sebelum melangkah masuk dan menutup pintu depan rumahnya. Ia berjalan menuju kamarnya setelah meletakkan tupperware di atas meja dapur dan kemudian meletakkan kotak obat di atas nakas mejanya. Bagi Ares, luka semacam itu adalah luka kecil yang bahkan tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apapun, dan akan sembuh dengan sendirinya.
Namun mengingat tatapan dan suara Ivana, Ares menghentikan langkahnya dan setelah dua menit dalam keheningan, ia berbalik dan membuka kotak obat.
Bagian dalamnya juga standar. Obat penghilang rasa sakit, obat demam, obat alergi, minyak kayu putih, obat tetes mata, salep antibiotik untuk luka, kasa, plester dan beberapa hal lainnya. Ares dengan tenang mengangkat beberapa lembar plester didalam kotak obat dan menemukan bahwa disetiap sudut plester itu, terdapat cetakan lucu bergambar kelinci dan stroberi.
Ares memandangnya selama dua menit sebelum dengan tenang mengangkat sudut bibirnya menjadi sebuah senyuman yang amat langka.
Seperti dugaannya, kelinci.
...***...
Keesokan harinya, Januar menatap terkejut pada wajah Ares yang terhias beberapa memar dan terhias dua plester bermotif kelinci berwarna oranye dan biru muda, yang membuatnya nampak sangat konyol dimata Januar. Bagaimana tidak, pria besar dan dingin sepertinya, mengenakan plester bermotif lucu yang biasanya dipakai gadis atau anak kecil.
Bukannya terkejut mendapati ia memperoleh luka dan lebam, namun ia lebih terkejut melihat plesternya!
"Aku tidak tahu kau suka sama yang kawai-kawai seperti itu, Res."
Ares dengan dingin mendorongnya menjauh dan melangkah memasuki area sekolahan. Januar yang didorong akibat bercandaannya segera menyusul Ares dan bertanya dengan serius. "Gara-gara anak haram itu lagi, ya?"
Karena keduanya sudah berteman sejak masih kecil, Januar jelas tahu bagaimana kehidupan Ares. Orangtua keduanya dulu adalah teman, namun karena suatu masalah yang berujung pada perdebatan, ayahnya dan ayah Ares melakukan perang dingin yang membuat hubungan mereka merenggang, namun tidak dengan Januar dan Ares. Bagi Januar dan Ares, hubungan pertemanan mereka tidak ada hubungannya dengan orangtua mereka, dan bahkan meskipun orangtua mereka memiliki masalah, Januar dan Ares tetap berteman dengan normal.
Maka dari itu, baik Januar dan Ares tahu kehidupan masing-masing.
Bahkan pada perselingkuhan ayah Ares yang bahkan menghasilkan anak haram yang hanya berbeda beberapa bulan dari Ares.
Ares tidak menjawab, namun dari tekanan disekitar tubuhnya dan ekspresinya yang mendingin, Januar sudah mendapatkan jawaban yang jelas.
"Butuh bantuan?"
Ares dengan dingin menjawab, "Nggak."
Januar tidak lagi memaksa Ares untuk menerima bantuannya. Januar melirik Ares dan mendengus dalam diam. Jika sudah berkata seperti itu, Januar berani jamin bahwa nasib anak haram itu tidak akan berakhir dengan baik. Setidaknya, mendapatkan lebam masih merupakan level balasan yang sangat ringan.
...***...
Karena hari itu merupakan hari pengumuman nilai ujian sekaligus pembagian kelas, papan pengumuman sekolah sangat ramai. Ivana, Evie, Aira dan Joanna menunggu dibelakang kerumunan remaja yang hampir sama ributnya dengan kuda liar untuk menunggu ruang menjadi lebih lega agar mereka bisa melihat dikelas mana mereka ditempatkan.
"Yah, kita nggak sekelas! Sedih banget."
"Kok aku bisa masuk X IPA 1, ya? Padahal banyak yang aku asal kemarin."
"Asik! Sekelas sama Ares!"
"Seriusan? Enak banget sekelas sama Ares!"
"Yeay, sekelas sama crush. Semoga aja sebangku nanti."
Hampir duapuluh menit kemudian, kelompok itu membubarkan diri dan hanya tersisa beberapa orang saja.
"Ayo, ayo lihat!" kata Evie dengan semangat.
Gadis yang paling berbeda diantara yang lainnya itu segera berdiri didepan papan pengumuman, melihat ke deretan kertas berwarna putih dengan nama dan pembagian kelas, yang selalu diurutkan dari yang paling ujung dan paling atas adalah rangking pertama.
"Ah, aku masuk kelas X IPA 3!"
"Aku juga!" sahut Ivana yang juga menemukan namanya di kolom kelas X IPA 3.
Ivana dan Evie sama-sama suka belajar, namun nilai Evie lebih baik daripada nilai Ivana karena Evie lebih suka belajar. Sementara Ivana terkadang bisa merasa malas belajar jika mendapatkan pelajaran yang tidak ia mengerti, sementara Evie adalah orang yang sangat pekerja keras dan selalu merasa penasaran.
Berada di kolom lain, tepatnya diantara jurusan IPS, Aira berkata dengan nada santai. "Aku kelas X IPS 6."
"Jauh banget!" ucap Evie.
"Eh, Joa dikelas mana ya?"
Ivana dan Evie kemudian segera melesat ke kolom pertama dan tertegun.
Joanna adalah yang paling pendiam diantara mereka. Kacamatanya berkilat, menutupi sepasang maniknya sehingga ekspresinya tidak jelas terlihat. Namun ia memandang lurus kedepan. Di atas sana, di kolom kelas X IPA 1 yang merupakan kelas terbaik, nama yang ada di urutan pertama adalah sebuah nama yang sama dengan nama siswa dengan perolehan nilai sempurna di ujian masuk.
Maeve Ares Allison.
Sementara namanya, berada di urutan kedua, dengan selisih 25 poin.
🔸
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments