"Halo, nama kamu siapa?"
"Dari SMP Bangsa, kan? Aku punya teman dari sana, namanya Bamayu. Kenal nggak?"
"Kok dari tadi diam aja, sih?"
Sejak bermenit-menit yang lalu, meja Ares dan Ivana menjadi tempat perkumpulan para gadis yang mencoba mencari perhatian Ares. Mereka mengenakan parfum yang harum, merias wajah mereka semanis mungkin dan bertanya dengan lembut. Jelas sekali ada banyak siswa laki-laki diruangan itu, namun hanya Ares yang mereka tanyai.
Namun, si objek yang menjadi tujuan mereka justru dengan acuh menunduk, membaca sebuah buku yang entah apa isinya, dengan sangat jelas mengabaikan mereka.
Mereka yang bermuka tipis dengan sadar diri melangkah mundur kembali ke bangku mereka atau memilih berkenalan dengan siswa yang lain, sementara mereka yang masih memiliki muka cukup tebal masih mencoba berbicara dengan Ares.
"Hai, boleh minta nomernya, nggak?"
"Iya dong, minta nomer. Siapa tahu kita bakalan satu kelas, kan?"
Ivana yang sejak tadi diam dibangkunya mau tak mau melirik mereka sebelum dengan tenang menarik tatapannya. Bagaimanapun, setelah bergaul dengan Ares selama beberapa waktu, Ivana dengan jelas mengetahui bagaimana sosok Ares itu. Dingin, acuh, dan suka memperlakukan orang lain seperti udara. Ivana juga termasuk dalam udara tersebut. Ivana melirik gadis-gadis yang kembali ke bangku mereka satu persatu dengan malu sebelum gadis terakhir meninggalkan satu kata kepada Ares dengan ekspresi kesal.
"Sombong!"
Namun bukan Ares jika ia bereaksi dengan kata-kata seperti itu. Ivana menunduk dan memilih memainkan ponselnya setelah mejanya menjadi lebih tenang. Ivana hendak membuka aplikasi intagram ketika sebuah notifikasi pesan mengambang di layar ponselnya. Ivana mengetuknya dan mendapati pesan dari Ardila yang sudah bertukar kontak dengannya sejak beberapa hari yang lalu agar memudahkan komunikasi jika seandainya sedang butuh.
[Nana, maaf tante ganggu. Nana sedang bersama Ares tidak? Kalau iya, boleh tante minta tolong ditanyain kenapa ponsel Ares nggak bisa dihubungi?]
Ivana dengan cepat membalas.
[Vana lagi sama Ares kok, tante. Nana tanyain ya, tante.]
"Ares, tante Dila tanya kenapa nggak bisa dihubungi." Ivana bertanya tiba-tiba dengan suara rendah yang membuat Ares disampingnya sedikit menoleh.
Melihat bahwa Ivana benar-benar berbicara padanya, Ares sedikit bergumam, "Kamar."
Mendapati jawaban yang sudah bisa dibilang cukup jelas itu, Ivana menunduk kembali dan mengirim pesan kepada Ardila sementara Ares menarik tatapannya kembali.
[Kata Ares hpnya ketinggalan dikamarnya.]
[Aduh, pantas saja. Ya sudah. Nana, tante minta tolong, kasih tahu Ares kalau hari ini tante balik ke rumah lama buat mengurus penjualan rumah lama. Karena jauh, tante akan menginap dan pulang besok, dan karena kunci belum di gandakan, kuncinya tante tinggalkan dibawah pot favorit tante. Tante khawatir Ares tidak tahu, jadi tolong sampaikan ya, Na.]
[Siap tante. Nana bakal kasih tahu Ares, tante.]
[Makasih banyak, Na. Tante titip Ares, ya.]
Membaca pesan Ardila, Ivana merasa geli didalam hatinya. Kata titip membuat Ares seolah masih anak berusia tiga tahun yang harus dijaga. Padahal aslinya, sangat tidak mungkin.
Ivana memastikan bahwa penghuni kelas tidak memperhatikannya. Setelahnya, Ivana dengan tenang mengulurkan ponselnya kearah Ares. Melihat pergerakan dimejanya, Ares menunduk dan melihat antarmuka obrolan. Ares mengerutkan keningnya dan melirik Ivana yang dengan tenang menyiapkan perlengkapan untuk mengikuti ujian hari ini. Ares menarik tatapannya dan kembali melihat chat yang ada di layar ponsel Ivana.
Membacanya sekilas, ekspresi Ares menjadi dingin.
"Boleh pinjam?"
Suaranya yang dingin menembus pendengaran Ivana. Ivana tertegun dan menoleh, sebelum mengangguk tanpa sadar meski Ivana tidak tahu apa yang harus dia pinjamkan. Setelah mendapatkan persetujuan dari sang empunya yang bahkan tidak sadar apa yang dipinjamkannya, Ares mengambil ponsel Ivana dan melangkah keluar kelas. Ivana tertegun dan sedikit bingung.
Apakah ini ... pencurian?
Tidak, sepertinya Ares sudah meminta izin tadi.
Ivana menggaruk pipinya selama beberapa detik sebelum mengedikkan bahunya dan kembali membaca ringkasan materi.
Lima menit sebelum ujian dimulai, Ares kembali. Tekanan diseluruh tubuhnya dingin dan rendah, yang membuat siapapun yang memandangnya merasa ragu untuk bahkan bersuara. Duduk dibangkunya, Ares menaruh ponsel Ivana ke depan Ivana sembari mengucapkan satu kata bernada dingin, yang bahkan jauh lebih dingin daripada biasanya. Hampir seperti sebuah desisan.
"Makasih."
Ivana mengambil ponselnya dan dengan tenang memeriksa histori ponselnya. Dan ada sebuah catatan panggilan selama tiga menit. Sepertinya Ares menghubungi Ardila, namun mengapa suasana hatinya nampaknya berubah menjadi sangat dingin ketika selesai melakukan panggilan telepon dengan Ardila?
Apa yang tidak diketahui oleh Ivana adalah bahwa dalam tiga menit panggilan itu, Ares mengetahui dengan jelas bahwa ibunya bukan kembali ke sana untuk mengurus penjualan rumah lamanya, namun untuk menghadapi ayah kandungnya yang sudah bercerai sejak sebelum kepindahannya kemari.
Ibunya mengatakan bahwa ayahnya berusaha mengajukan banding tentang hak asuh Ares ke pengadilan.
Tentu saja ayahnya, tidak. Ares bahkan tidak mau menyebutnya sebagai ayah. Jelas pria itu bukan berniat membesarkannya dengan penuh kasih sayang selayaknya ayah penyayang, namun pria itu sudah jelas ingin memiliki kendali atas persenan saham yang Ares miliki diperusahaan yang merupakan perusahaan milik keluarga Allison. Bisa dibilang, Ares memegang saham paling banyak setelah mendapatkan warisan dari sang kakek yang sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu.
Jika pria itu mendapatkan saham atas nama Ares, pria itu bisa menjadi pemilik saham paling banyak dan dapat mengatur perusahaan dengan mudah sesuai kehendaknya, yang tentu saja akan menguntungkan anak haram pria itu.
Suasana hati Ares yang selalu dingin berubah menjadi lebih dingin. Wajahnya tanpa ekspresi, namun mata dinginnya sangat menusuk hingga membuat beberapa orang yang iseng meliriknya merasa takut dan menarik tatapan mereka lebih cepat dari kedipan mata. Mengepalkan tangannya, pengawas ujian masuk sedikit membuat Ares bereaksi. Ia menurunkan tatapannya ketika ia tertegun mendapati diatas mejanya, sebuah permen kecil berwarna putih dengan gambar kelinci putih yang nampaknya terbuat dari susu tersenyum lebar kearahnya dengan sepasang manik kancing yang bundar.
Ares tidak bisa bereaksi selama beberapa waktu sebelum satu pikiran terlintas dibenaknya.
Kelinci.
Ia hendak menoleh ketika mendengar bisikan disebelahnya. "Katanya makan manis bisa meningkatkan mood."
"Semangat ujiannya, Ares."
Ujung jari Ares menekuk dengan samar. Ekspresinya tertutup oleh poninya yang sedikit panjang. Ivana meliriknya dengan sedikit malu dan canggung. Berpikir apakah Ares tidak suka permen atau bahkan membencinya dan akan membuangnya. Ivana semakin canggung, sampai setelah lama keheningan terjadi, Ares dengan tenang mengulurkan tangannya mengambil permen itu, merobek kemasannya dan melempar permen putih susu itu kedalam mulutnya.
Ivana menarik tatapannya, namun sudut bibirnya terangkat.
Ternyata dimakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments