Duda Terpaksa Turun Ranjang
Dewangga menatap pilu pada jenazah sang istri yang meregang nyawa ketika bayi kecilnya Qinan masih berusia tiga bulan. Ya, raga yang sudah tak bernyawa itu membujur kaku tampak menutup mata untuk selamanya dengan wajah yang teduh. Kain kafan berwarna putih membungkus tubuh Tya. Itu adalah pakaian terakhirnya yang akan menemaninya untuk disemayamkan di dalam pusara keabadian nanti.
Sementara pandangan Dewa tak henti-hentinya tertuju kepada almarhumah istri tercinta. Dunia yang dia miliki seakan runtuh. Dengan perasaan yang koyak, Dewa hanya bisa meratap dalam hati. Air mata tak bisa berlinang, tapi kedua bola matanya memerah dan terasa perih.
"Ikhlaskan Tya, Dewa ... Insyaallah, Tya sudah tidak merasakan sakit lagi di dunia ini. Tya meninggal dengan husnul khotimah. Sabar dan kuat," kata Bu Endang kepada menantunya itu.
Sementara Dewa terdiam tanpa kata. Rasanya, Tya meninggalkannya terlalu cepat. Bahkan sangat menyiksa batinnya. Seolah-olah separuh nyawanya turut membersamai Tya.
Hingga beberapa saat kemudian usai prosesi acara di rumah, jenazah Tya akan diberangkatkan menuju ke pemakaman. Dewa berusaha tegar, dia turut mengangkat keranda jenazah istrinya. Memasuki ambulance yang kali ini akan menuju ke tempat pemakaman.
Baju koko hitam dan peci hitam yang Dewa kenakan seakan menjadi simbol bahwa memang pria itu sedang berduka. Hari ini benar-benar menjadi hari yang kelabu bagi Dewa. Baginya, Tya adalah dunianya. Ketika Tya pergi untuk selama-lamanya, maka dunia itu hancur.
Begitu tiba di area pemakaman, mulailah seorang pemuka agama memimpin pembacaan ayat i suci Al'Quran. Lalu, jenazah Tya mulai disemayamkan di liang lahat. Pun dengan Dewa yang turut turun dan membaringkan istri tercintanya di sana.
Sebelum tanah mulai mengubur jenazah Tya, Dewa melantunkan kalimat syahadat terlebih dahulu di telinga Tya. Dalam pusara gelap dan terdalam, ada Allah yang Maha Besar dan Maha Kuasa. Kiranya Allah membukakan pintu surga, mengampuni dosa-dosanya, dan juga melapangkan jalannya.
"Insyaallah, aku akan mencoba ikhlas, Tya. Aku akan selalu mencintaimu," kata Dewa lirih dengan setitik air mata yang jatuh di pipinya.
Hingga akhirnya tanah perlahan-lahan dimasukkan dan mengubur sepenuhnya raga yang terbujur kaku di dalam pembaringan terakhir. Sirat jingga di angkasa, tiupan angin yang membuat beberapa bunga kamboja jatuh seolah menjadi saksi betapa pilunya kehilangan yang dirasakan oleh Dewa.
Hingga pria itu bersimpuh di depan pusara, bunga-bunga mulai ditaburkan dengan linangan air mata dari keluarga dan sahabat. Bahkan Bu Endang tergugu pilu di sana.
"Kamu pergi mendahului Mama, Tya. Pertama Papamu yang pergi terlebih dahulu. Sekarang, kamu yang meninggalkan Mama," kata Bu Endang dengan terisak-isak.
"Sabar, Bu. Ikhlas, Mbak Tya sudah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah," kata salah seorang pelayat di sana.
Hingga akhirnya beberapa pelayat mulai meninggalkan tempat pemakaman. Sementara masih ada Dewa, Bu Endang, dan seorang gadis muda yang membawa foto almarhumah Tya.
Jika Bu Endang dan gadis muda itu menangis tersedu. Sementara Dewa hanya terdiam. Pandangannya jatuh hanya ke atas pusara dan nisan yang mencetak jelas nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian istri tercintanya.
Dua puluh delapan tahun, terbilang begitu muda. Namun, bukankah sejatinya hidup, pertemuan, jodoh, dan maut sepenuhnya ada di tangan Allah? Di dalam ketetapan-Nya saja?
"Mari kita pulang," ajak pemuka agama di sana.
Ketiganya mengangguk, lantas berjalan menunggu tempat peristirahatan terakhir Tya. Wajah menunduk pilu, dan ada rasa kehilangan karena perpisahan yang begitu mendalam.
Begitu tiba di rumah, Dewa menatap putri kecilnya Qinan yang masih berusia tiga bulan. Hatinya begitu iba karena anak sekecil Qinan sudah harus terpisah dari Mama tercintanya. Menyebut nama sang Mama saja belum bisa, tapi Qinan sudah harus berpisah. Bukan perpisahan sementara, tapi perpisahan untuk selama-lamanya.
Dewa memilih membersihkan dirinya terlebih dahulu, dan setelahnya mulai menggendong Bayi Qinan.
"Qinan sama Papa yah," katanya lirih.
Menatap wajah Qinan, hati Dewa bak diremas. Bagaimana tidak, mata yang Qinan miliki seperti mata Tya. Bibir yang Qinan punyai seperti bibir Tya. Menatap wajah Qinan seolah membuat Dewa menatap wajah mendiang istrinya yang telah tiada.
"Bagaimana bisa Papa bangkit kalau menatapmu saja membuat Papa mengingat mamamu?"
Qinan tentu tak memahami apa yang terjadi sekarang. Kehilangan pun tak bisa dia rasakan. Usainya masih terlalu kecil untuk memahami semuanya. Kelak saat Qinan beranjak besar pastilah perlahan-lahan dia akan memahami bahwa ada Mama yang tersenyum melihatnya dari surga sana. Mama yang belum sempat dia panggil, belum sempat berkenalan dengannya untuk waktu yang lama. Akan tetapi, sosok itu adalah wanita yang hebat untuk Qinan.
...🍀🍀🍀...
Malam Harinya ....
Turun dari kamarnya, Dewa bergabung dengan acara pembacaan doa dan surat Yasin untuk mendiang Tya. Hati pria itu masih berselimut duka, berusaha tegar, walau sebenarnya Dewa sendiri begitu rapuh. Dia sekarang bagaikan kayu lapuk yang tidak memiliki kekuatan sendiri. Pada acara tahlilan itu, setiap orang yang hadir melihat iba pada bayi Qinan. Bayi sekecil Qinan sudah berpisah selama-lamanya dari Mamanya adalah sebuah petaka.
"Kasihan sekali Qinan sudah harus berpisah dari Mamanya ...."
"Cuma sempat mengenal Mama Tya selama tiga bulan yah. Kasihan, Nak ...."
"Qinan cantik selalu bahagia yah."
Ucapan demi ucapan dari para ibu yang hadir seolah iba kepada Baby Qinan. Jika bisa memilih tentunya tak ingin menjadi Qinan yang harus berpisah selamanya dari mama tercinta. Namun, Allah sudah mengambil Mamanya terlebih dahulu.
"Apa yang Allah gariskan terjadi, itulah yang akan terjadi. Saya percaya almarhumah sudah bahagia bersama dengan Allah. Semoga Mas Dewa ikhlas dan terus Allah kuatkan. Nantinya semua makhluk akan kembali pula kepada Sang Khalik. Kuat ya Mas Dewa," kata Ustad Dradjat yang memimpin Tahlilan malam itu.
Dewa hanya menunduk, tak berkomentar sama sekali. Hatinya masih terlalu perih. Hingga ketika tahlilan usai, Dewa duduk dan irit berbicara. Dia harus mendamaikan hatinya yang kehilangan.
Ketika semua orang sudah pulang, rumah itu kembali sepi. Dewa benar-benar merasakan kehilangan saat malam tiba. Di dalam kamar yang biasa dia tempati kini hanya dia hanya berbaring seorang diri.
Ranjang yang biasa dia gunakan berbaring bersama Tya, kini dia sendirilah yang harus menempatinya. Pria itu berbaring miring, satu tangannya membelai sisi ranjang yang biasa digunakan oleh Tya.
"Akhirnya ... seperti ini kisah kita, Tya. Sampai detik terakhir kehidupanmu, aku mencintaimu. Bahkan sampai sekarang, ketika dunia kita sudah berbeda, aku tetap mencintaimu. Aku bersujud kepada Allah untuk memperpanjang umurmu, tapi nyatanya kamu pergi lebih cepat. Aku sendiri di sini ... hanya berteman ... bayangmu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
💜jiminaa💜🐣
baru bab awal bawng nya bertaburan. 😭😭
2024-02-21
3
Riana
sedih🥺
2024-01-20
1
Esther Lestari
mampir
2023-12-28
1